Surah al-Ma’arij 70 ~ Tafsir al-Munir – az-Zuhaili (4/7)

Dari Buku:
Tafsir al-Munir
(Jilid 15 Juz 29-30)
Oleh: Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili

Penerjemah: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk.
Penerbit: GEMA INSANI

Rangkaian Pos: Surah al-Ma'arij 70 ~ Tafsir al-Munir - az-Zuhaili

SEPULUH PERKARA YANG DAPAT DIGUNAKAN UNTUK MENGOBATI TABIAT MANUSIA.

Surah al-Ma‘ārij [70], Ayat 19-35

 

إِنَّ الْإِنْسَانَ خُلِقَ هَلُوْعًا. إِذَا مَسَّهُ الشَّرُّ جَزُوْعًا. وَ إِذَا مَسَّهُ الْخَيْرُ مَنُوْعًا. إِلَّا الْمُصَلِّيْنَ. الَّذِيْنَ هُمْ عَلَى صَلَاتِهِمْ دَائِمُوْنَ. وَ الَّذِيْنَ فِيْ أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ مَّعْلُوْمٌ. لِّلسَّائِلِ وَ الْمَحْرُوْمِ. وَ الَّذِيْنَ يُصَدِّقُوْنَ بِيَوْمِ الدِّيْنِ. وَ الَّذِيْنَ هُمْ مِّنْ عَذَابِ رَبِّهِمْ مُّشْفِقُوْنَ. إِنَّ عَذَابَ رَبِّهِمْ غَيْرُ مَأْمُوْنٍ. وَ الَّذِيْنَ هُمْ لِفُرُوْجِهِمْ حَافِظُوْنَ. إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُوْمِيْنَ. فَمَنِ ابْتَغَى وَرَاءَ ذلِكَ فَأُوْلئِكَ هُمُ الْعَادُوْنَ. وَ الَّذِيْنَ هُمْ لِأَمَانَاتِهِمْ وَ عَهْدِهِمْ رَاعُوْنَ. وَ الَّذِيْنَ هُمْ بِشَهَادَاتِهِمْ قَائِمُوْنَ. وَ الَّذِيْنَ هُمْ عَلَى صَلَاتِهِمْ يُحَافِظُوْنَ. أُولئِكَ فِيْ جَنَّاتٍ مُّكْرَمُوْنَ.

70: 19. Sungguh, manusia diciptakan bersifat suka mengeluh.
70: 20. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh-kesah,
70: 21. dan apabila ia mendapat kebaikan (harta) ia jadi kikir,
70: 22. kecuali orang-orang yang melaksanakan shalat,
70: 23. yang mereka itu tetap setia melaksanakan shalatnya,
70: 24. dan orang-orang yang dalam hartanya disiapkan bagian tertentu,
70: 25. bagi orang (miskin) yang meminta dan yang tidak meminta,
70: 26. dan orang-orang yang mempercayai hari pembalasan,
70: 27. dan orang-orang yang takut terhadap ‘adzab Tuhannya,
70: 28. sesungguhnya terhadap ‘adzab Tuhan mereka, tidak ada seseorang yang merasa aman (dari kedatangannya),
70: 29. dan orang-orang yang memelihara kemaluannya,
70: 30. kecuali terhadap istri-istri mereka atau hamba sahaya yang mereka miliki maka sesungguhnya mereka tidak tercela.
70: 31. Maka barang siapa mencari di luar itu (seperti zina, homoseks, dan lesbian), mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.
70: 32. Dan orang-orang yang memelihara amanah dan janjinya,
70: 33. Dan orang-orang yang berpegang teguh pada kesaksiannya.
70: 34. dan orang-orang yang memelihara shalatnya.
70: 35. Mereka itu dimuliakan di dalam surga.

(al-Ma‘ārij [70]: 19-35).

 

Qirā’āt

(لِأَمَانَاتِهِمْ):

Ibnu Katsīr membaca (لِأَمَانَتِهِمْ).

Ḥafsh membaca (بِشَهَادَاتِهِمْ) sedang yang lain membaca (بِشَهَادَتِهِمْ).

I‘rāb.

(إِنَّ الْإِنْسَانَ خُلِقَ هَلُوْعًا. إِذَا مَسَّهُ الشَّرُّ جَزُوْعًا. وَ إِذَا مَسَّهُ الْخَيْرُ مَنُوْعًا.) ‘āmil pada (إِذَا) yang pertama adalah kata (هَلُوْع), sedang (إِذَا) yang kedua adalah (مَنُوْع). Kata (هَلُوْعًا) adalah ḥāl dari dhamīr pada kata (خُلِقَ). Hal ini dinamakan dengan ḥāl muqaddarah sebab keluh-kesah hanya terjadi setelah dia diciptakan bukan pada saat dia diciptakan.

Kata (جَزُوْعًا) dan (مَنُوْعًا) adalah khabar (كَانَ) yang muqaddar, taqdīr-nya (يَكُوْنُ جَزُوْعًا) dan (يَكُوْنُ مَنُوْعًا).

Balāghah.

(إِذَا مَسَّهُ الشَّرُّ جَزُوْعًا. وَ إِذَا مَسَّهُ الْخَيْرُ مَنُوْعًا) dua susunan kalimat ini adalah muqābalah.

Mufradāt Lughwiyyah.

(إِنَّ الْإِنْسَانَ) yang dimaksud dengan (الْإِنْسَانَ) adalah orang-orang. Oleh karena itu, dikecualikan orang-orang yang shalat.

(هَلُوْعًا) cepat sedih dan gelisah, sangat rakus, kurang sabar. Az-Zamakhsyarī mengatakan. (الهَلع) adalah cepat resah ketika terkena musibah, cepat menolak ketika mendapatkan kebaikan.

(الشَّرُّ) kesulitan.

(جَزُوْعًا) orang yang cepat resah. Yang dimaksud adalah yang sangat putus asa, patah semangat. (الجزع) kesedihan yang memalingkan orang dari tugas-tugasnya.

(الْخَيْرُ) keluasan, harta atau kekayaan.

(مَنُوْعًا) yang banyak menolak, berlebihan dalam menolak. Tiga sifat ini (الْهَلَع، الْجَزَع، الْمَنْع) tabiat-tabiat diciptakannya manusia.

(إِلَّا الْمُصَلِّيْنَ) orang-orang Mu’min. Sebagai bentuk pengecualian dari orang-orang yang disifati dengan sifat-sifat tersebut.

(الَّذِيْنَ هُمْ عَلَى صَلَاتِهِمْ دَائِمُوْنَ.). Artinya, terus-menerus tidak disibukkan oleh apa pun.

(حَقٌّ مَّعْلُوْمٌ.) bagian tertentu yang wajib seperti zakat dan nazar.

(لِّلسَّائِلِ) orang fakir yang meminta pertolongan.

(الْمَحْرُوْمِ) orang fakir yang menjaga diri dan tidak meminta-minta sehingga disangka dia kaya sehingga terhalang mendapatkan bantuan.

(يُصَدِّقُوْنَ بِيَوْمِ الدِّيْنِ) membenarkan hari pembalasan, baik dalam hati maupun praktik, sehingga dia rajin beribadah, menafkahkan hartanya karena ingin mendapatkan pahala akhirat.

(مُّشْفِقُوْنَ) khawatir akan diri mereka.

(إِنَّ عَذَابَ رَبِّهِمْ غَيْرُ مَأْمُوْنٍ.) turunnya tidak bisa dirasakan aman. Ini adalah jumlah i‘tirādhiyyah (susunan kalimat sempurna) yang menunjukkan bahwa tidak seyogyanya seorang pun merasa aman dengan ‘adzab Allah meskipun dia berlebihan dalam taatnya.

(وَ الَّذِيْنَ هُمْ لِفُرُوْجِهِمْ حَافِظُوْنَ.) artinya menjaganya dari yang haram.

(أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ) budak perempuan ketika status perbudakan masih eksis.

(الْعَادُوْنَ) melampaui batas halal menuju keharaman atau batas-batas yang diperbolehkan dalam syara‘.

(لِأَمَانَاتِهِمْ) urusan-urusan agama dan dunia yang diamanahkan pada mereka.

(وَ عَهْدِهِمْ) janji yang dibuat oleh mereka dan mereka konsisten menepatinya.

(رَاعُوْنَ) mereka menjaga.

(بِشَهَادَاتِهِمْ) kesaksian-kesaksian. Dibuat dalam bentuk jama‘ (plural) karena perbedaan macam-macamnya.

(قَائِمُوْنَ) memberikan kesaksian dan tidak menyembunyikannya.

(يُحَافِظُوْنَ) melaksanakan pada waktunya dengan menjaga syarat-syaratnya, fardhu-fardhu dan sunnah-sunnahnya. Pengulangan penyebutan shalat dan sifat orang-orang Mu’min terhadap shalat di awal dan di akhir adalah untuk menunjukkan keutamaannya.

(مُّكْرَمُوْنَ) dimuliakan dengan pahala Allah.

Persesuaian Ayat.

Setelah menjelaskan sifat-sifat hari Kiamat yang menakutkan, Allah memperingatkan tabiat-tabiat manusia, penyifatan mereka dengan sifat suka berkeluh-kesah dan menolak memberi yang memadukan dasar-dasar akhlak yang tercela, kemudian Dia mengecualikan orang-orang Mu’min yang mengerjakan amal-amal shalih, mereka diberi sifat dengan sepuluh sifat untuk mengobati penyakit-penyakit diri manusia dan supaya mereka menjadi teladan kemanusiaan dan contoh tertinggi yang bisa ditiru.

Tafsir dan Penjelasan.

Sungguh, manusia diciptakan bersifat suka mengeluh. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh-kesah, dan apabila ia mendapat kebaikan (harta) ia jadi kikir” (al-Ma‘ārij [70]: 19-21).

Manusia diberi sifat dasar gelisah dan berkeluh-kesah yakni sangat rakus, kurang sabar, sehingga tidak sabar menghadapi cobaan dan tidak mensyukuri ni‘mat. Ini ditafsirkan bahwa manusia ketika tertimpa kefakiran, kebutuhan, sakit, atau kesulitan sejenisnya, dia sangat resah, sangat sedih dan banyak mengadu. Jika dia mendapatkan kebaikan seperti kekayaan, kelapangan, kedudukan, posisi, kekuatan, kesehatan, dan keni‘matan-keni‘matan yang lain, dia banyak menolak, menahan, bakhil terhadap yang lain.

Imām Aḥmad dan Abū Dāwūd meriwayatkan dari Abū Hurairah r.a., dia berkata: “Rasūlullāh s.a.w. bersabda:

شَرُّ مَا فِيْ رَجُلٍ: شَحٌّ هَالِعٌ، وَ جُبْنٌ خَالِعٌ.

Sejelek-jelek apa yang ada pada laki-laki adalah kebakhilan yang menahan semua pemberian dan ketakutan yang mencabut hati.

Kemudian Allah mengecualikan orang yang disifati sepuluh sifat berikut:

1-2. Melaksanakan shalat dan terus melaksanakannya.

Kecuali orang-orang yang melaksanakan shalat, yang mereka itu tetap setia melaksanakan shalatnya” (al-Ma‘ārij [70]: 22-23).

Sesungguhnya manusia diberi sifat-sifat tercela kecuali, orang-orang yang mendapatkan taufik, diberi hidayah menuju kebaikan. Mereka adalah orang-orang yang menjalankan shalat, menjaga waktu dan kewajiban-kewajibannya, tidak meninggalkannya satu waktu pun dan tidak disibukkan satu kesibukan apa pun. Mereka tidak meninggalkan sama sekali fardhu-fardhu dan sunnah-sunnah shalat. Mereka menjalankan hakikat shalat, yakni hubungan dengan Allah, ketenangan, dan kekhusyu‘an. Mereka tidak mempunyai sifat-sifat suka berkeluh-kesah, resah, dan menahan untuk memberi. Mereka – karena keimanan dan karena adanya agama pada diri mereka – hanya mempunyai sifat-sifat terpuji dan perangai-perangai yang diridhai.

Ini adalah dalil tentang kewajiban terus-menerus dalam ibadah sebagaimana tersebut dalam hadits shaḥīḥ dari ‘Ā’isyah r.a. dari Rasūlullāh s.a.w. bahwasanya beliau bersabda:

أَحَبُّ الْأَعْمَالِ إِلَى اللهِ أَدْوَمُهَا وَ إِنْ قَلَّ.

Perbuatan yang paling disukai oleh Allah adalah yang selalu dilaksanakan meskipun sedikit.

Menurut redaksi yang lain, hadits itu berbunyi ‘amal yang selalu dilakukan oleh pelakunya. ‘Ā’isyah r.a. berkata: “Rasūlullāh s.a.w. ketika menjalankan suatu amal maka dia selalu melaksanakannya atau menetapinya (tidak meninggalkannya).”

Yang dimaksudkan dengan ayat tersebut adalah orang-orang yang terus-menerus melaksanakan shalat pada waktunya. Adapun perhatian terhadap urusan shalat, terjadi dengan menjaga perkara-perkara sebelum shalat seperti wudhu’, menutup aurat, mencari qiblat dan sebagainya, terkaitnya hati dengan shalat ketika waktu shalat sudah masuk, menjaga perkara-perkara yang berkaitan dengan shalat seperti khusyu‘, menjaga riyā’, melakukan hal-hal sunnah dan penyempurna shalat, menjaga hal-hal yang menempel pada shalat, seperti menjaga diri tidak melakukan tindakan sia-sia dan hal-hal yang bertentangan dengan ketaatan. Shalat adalah mencegah perbuatan keji dan mungkar. Mengerjakan perbuatan maksiat setelah shalat adalah petunjuk shalat tidak diterima.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *