Surah al-Lahab 111 ~ Tafsir al-Wasith

Dari Buku:

Tafsīr al-Wasīth
(Jilid 3, al-Qashash – an-Nās)
Oleh: Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili

Penerjemah: muhtadi, dkk.
Penerbit: GEMA INSANI

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang

 

SŪRAT-UL-LAHAB

SIKSA ABŪ LAHAB DAN ISTRINYA.

Abū Lahab; ‘Abd-ul-‘Uzza bin ‘Abd-il-Muththalib, kuniahnya Abū ‘Utaibah, dan istrinya termasuk orang-orang yang sangat memusuhi dan menyakiti Nabi s.a.w. Dalam pertemuan-pertemuan umum, Abū Lahablah orang yang melawan dan memusuhi Nabi s.a.w., menentang dakwahnya dengan keras.

Diriwayatkan dalam hadits dari Ibnu ‘Abbās yang diriwayatkan oleh Bukhārī dan Muslim, ia berkata: “Saat turun ayat “Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat.” (asy-Syu‘arā’: 214) yaitu para pengikutmu yang tulus ikhlas, Rasūlullāh s.a.w. keluar lalu naik bukit Shafā, beliau menyeru: “Wahai teman-temanku!” Mereka berkata: “Siapa yang memanggil-manggil itu?” mereka bilang: “Muḥammad”. Mereka pun berkumpul di sekitar beliau, beliau menyampaikan: “Wahai Bani Fulan, wahai Bani Fulan, wahai Bani Fulan, wahai Bani ‘Abdi Manaf, wahai Bani ‘Abd-il-Muththalib!” Mereka berkumpul mengerumuni beliau, beliau bertanya: “Bagaimana menurut kalian bila aku memberitahukan ada seekor kuda di kaki bukit ini, apa kalian percaya?” mereka menjawab: “Kami tidak pernah melihatmu berdusta.” Beliau bersabda: “Sungguh, aku adalah pemberi peringatan untuk kalian di hadapan (terdapat) siksa yang keras.” Lalu Abū Lahab berkata: “Celaka kamu! Untuk inikah kau mengumpulkan kami?” Selanjutnya beliau bergegas lalu turun surah ini, surah Makkiyyah berdasarkan ijma‘: “Binasalah kedua tangan Abū Lahab dan benar-benar binasa dia!” (al-Lahab: 1). Demikian bacaan A‘masy, ‘Abdullāh bin Mas‘ūd dan Ubai bin Ka‘b hingga akhir surah. Sementara Ḥafsh membaca (وَ تَبَّ), yang pertama sebagai doa keburukan untuk Abū Lahab dan yang kedua sebagai berita berkenaan dengannya. Berikut surah al-Lahab:

تَبَّتْ يَدَا أَبِيْ لَهَبٍ وَ تَبَّ. مَا أَغْنَى عَنْهُ مَالُهُ وَ مَا كَسَبَ. سَيَصْلَى نَارًا ذَاتَ لَهَبٍ. وَ امْرَأَتُهُ حَمَّالَةَ الْحَطَبِ. فِيْ جِيْدِهَا حَبْلٌ مِّنْ مَّسَدٍ.

111:1. Binasalah kedua tangan Abū Lahab dan benar-benar binasa dia!.

111:2. Tidaklah berguna baginya hartanya dan apa yang dia usahakan.

111:3. Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak (neraka).

111:4. Dan [begitu pula] istrinya, pembawa kayu bakar (penyebar fitnah).

111:5. Di lehernya ada tali dari sabut yang dipintal.

(al-Lahab: 1-5)

Makna; binasalah dan rugilah kedua tangan Abū Lahab (diberi kuniah Abū Lahab karena wajahnya merah). Ini majāz untuk diri Abū Lahab secara keseluruhan. Artinya, ia binasa dan rugi. Ini doa kebinasaan dan kerugian bagi Abū Lahab. Selanjutnya Allah s.w.t. memberitahukan: “Dan benar-benar binasa dia!.” (al-Lahab: 1) artinya, kebinasaannya benar-benar terjadi. Ia rugi dunia akhirat. Abū Lahab adalah paman Nabi s.a.w., namanya ‘Abd-ul-‘Uzza bin ‘Abd-il-Muththalib. Ia sering kali menyakiti, membenci dan memusuhi Rasūlullāh s.a.w. dan agamanya, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.

Firman Allah s.w.t.: “Binasalah!” (al-Lahab: 1) artinya rugilah. Tabbat artinya rugi dan hancur. Kata ini disandarkan pada kedua tangan karena tangan adalah bagian untuk mendapatkan hasil, keuntungan dan merangkul benda yang dimiliki. Selanjutnya Allah s.w.t. memberitahukan, ia benar-benar binasa. Artinya, telah dipastikan binasa.

Selanjutnya, Allah s.w.t. memberitahukan kondisi Abū Lahab sebelumnya, Allah s.w.t. berfirman: “Tidaklah berguna baginya hartanya dan apa yang dia usahakan.” (al-Lahab: 2) artinya, harta yang ia kumpulkan, keuntungan, wibawa dan anak yang ia miliki tidak akan berguna pada hari kiamat, tidak akan bisa menangkal kebinasaan dan siksa yang akan menimpanya karena ia sangat memusuhi Rasūlullāh s.a.w., menghadang manusia untuk beriman kepadanya. Perbedaan antara harta dan laba; harta adalah modal sedangkan laba adalah keuntungannya. Ini memberitahukan tentang kondisi seluruh kondisi dunia Abū Lahab, ia memiliki harta dan keturunan, namun semua tidak sama sekali tidak membawa guna saat dipastikan mendapatkan siksa setelah mati. Inilah yang diberikan Allah s.wt.. tentang apa yang akan terjadi di akhirat melalui firman: “Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak (neraka).” (al-Lahab: 3) artinya, Abū Lahab akan merasakan api neraka Jahannam yang bergejolak, berkobar dan menyala-nyala. Abū Ḥayyān menjelaskan, sīn untuk arti sesuatu yang akan datang meski lama waktunya. Ini merupakan ancaman yang pasti terjadi, tidak mustahil meski lama waktunya.

Istri Abū Lahab juga akan masuk neraka bersamanya, ia adalah Ummu Jamīl Arwā binti Ḥarb, saudari Abū Sufyān, bibi Mu‘āwiyah bin Abī Sufyān. (وَ امْرَأَتُهُ) di-‘athaf-kan pada dhamīr rafa‘, fā‘il dari (سَيَصْلَى) tanpa meneguhkan dhamīr karena adanya penghalang yang menggantikan posisi penegasan.

Ummu Jamīl ini menyakiti Rasūlullāh s.a.w. dan kaum mu’minin dengan lisan dan dengan segenap kemampuannya. Ibnu ‘Abbās menjelaskan, ia sering membawa duri lalu dilemparkan di jalan yang biasa dilalui Rasūlullāh s.a.w. dan para sahabat untuk melukai mereka. Karena itulah ia disebut pembawa kayu bakar. Ia benar-benar sering membawa berbagai jenis kayu dan duri untuk melukai Rasūlullāh s.a.w. dan para sahabat. Firman Allah s.w.t.: “Pembawa kayu bakar,” (al-Lahab: 4) adalah majāz, ia membawa dosa-dosa yang merugikan dirinya sendiri di akhirat. Pendapat lain menyatakan, maksudnya ia menyebar fitnah, karena itulah orang yang menyebar fitnah dan merusak hubungan sesama disebut dengan julukan orang yang membawa kayu di antara mereka. Maksudnya, menyulut api permusuhan di antara mereka dan menimbulkan keburukan. Ini pendapat sebagian besar mufassir.

Bentuk dan ciri-ciri siksanya adalah seperti yang diungkapkan Allah s.w.t. melalui firman-Nya: “Di lehernya ada tali dari sabut yang dipintal.” (al-Lahab: 5). Di lehernya terdapat tali yang dipintal dari sabut neraka, yaitu dipintal dari belenggu neraka. Saat tersiksa dengan api neraka Jahannam, Allah s.w.t. menggambarkan bentuk siksanya seperti kondisinya saat di dunia kala menebar fitnah, saat membawa duri dan diikatkan di leher lalu dibuang di jalanan yang biasa dilalui Nabi s.a.w. Orang yang berbuat dosa di dunia akan diberi balasan berupa siksa serupa dengan kondisinya. Ibnu ‘Abbās dan lainnya menjelaskan, isyarat pada tali sebenarnya. Tali yang digunakan untuk mengikat duri dan kayu. As-Suddī menjelaskan, masad artinya sabut.

Saat Ummu Jamīl mendengar surah ini, ia mendatanggi Abū Bakar yang saat itu tengah bersama Rasūlullāh s.a.w. dalam masjid, Ummu Jamīl menggenggam batu, ia berkata: “Aku dengar, temanmu menghinaku, aku akan dibeginikan dan dibegitukan.” Allah s.w.t. membutakan matanya sehingga tidak melihat Rasūlullāh s.a.w. Riwayat lain menyebutkan: Abū Bakar bertanya pada Ummu Jamīl: “Apa kau lihat orang lain bersamaku?” Ummu Jamīl menjawab: “Apa kau menghinaku? Aku tidak melihat orang lain selainmu.”

Sa‘īd bin Musayyab menjelaskan, Ummu Jamīl memiliki kalung mewah, ia berkata: “Demi Lāta dan ‘Uzzā, sungguh aku akan mendermakannya untuk memusuhi Muḥammad.” Allah s.w.t. mengubahnya menjadi tali dari sabut neraka di lehernya.

Sikap keras, sombong, sangat durhaka dan menyakiti yang dilakukan Abū Lahab dan istrinya itu disebabkan oleh tumpukan kebodohan, paham Paganisme, mengikuti tradisi yang mereka warisi secara turun-temurun, dan ketamakan untuk menjadi pemimpin. Andai saja Abū Lahab, istirnya dan orang-orang serupa memiliki akal yang sadar, ilmu yang memadai dan sedikit dari sikap beradab, tentu tidak memiliki sikap seperti itu terhadap sosok yang menyeru menuju petunjuk dan tuntunan, menuju penyelamatan dan keselamatan.

Sebagian ulama ushūl fiqh ber-istinbāth dari ayat: “Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak (neraka).” (al-Lahab: 3) sebagai dalil bolehnya memerintahkan sesuatu yang tidak mampu dilakukan, sebab Abū Lahab diperintahkan untuk beriman kepada Muḥammad s.a.w., diperintahkan untuk beriman pada surah ini, juga pada kebenarannya. Ia seolah-olah diperintahkan untuk beriman dan mempercayai bahwa ia tidak akan beriman. Para ulama ushūl menjelaskan, bila ada perintah untuk sesuatu yang tidak bisa dilakukan, itu merupakan pertanda Allah s.w.t. telah memastikan siksanya, yaitu menyiksa mukallaf tersebut berdasarkan kisah Abū Lahab.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *