Surah al-Kafirun 109 ~ Tafsir al-Wasith

Dari Buku:

Tafsīr al-Wasīth
(Jilid 3, al-Qashash – an-Nās)
Oleh: Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili

Penerjemah: muhtadi, dkk.
Penerbit: GEMA INSANI

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang

 

SŪRAT-UL-KĀFIRŪN

MELEPASKAN DIRI DARI KESYIRIKAN.

Melalui ayat-ayat al-Qur’ān, Islam menegaskan masalah keimanan dan kesyirikan setelah Allah s.w.t. menjelaskan dalil-dalil yang menunjukkan kebenaran akidah seperti akidah tauhid, percaya kepada para nabi dan rasūl-Nya, kitab, para malaikat dan hari akhir. Dengan demikian tidak lagi tersisa kesempatan untuk paganisme atau kesyirikan. Surah al-Kāfirūn, surah Makkiyyah berdasarkan ijma‘, datang untuk membebaskan diri dari kesyirikan, kemunafikan dan amal perbuatan orang-orang musyrik, memerintahkan untuk menyembah Allah s.w.t. dengan ikhlas. Allah s.w.t. berfirman:

قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُوْنَ. لَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُوْنَ. وَ لَا أَنْتُمْ عَابِدُوْنَ مَا أَعْبُدُ. وَ لَا أَنَا عَابِدٌ مَّا عَبَدْتُّمْ. وَ لَا أَنْتُمْ عَابِدُوْنَ مَا أَعْبُدُ. لَكُمْ دِيْنُكُمْ وَ لِيَ دِيْنِ

109:1. Katakanlah (Muḥammad): “Wahai orang-orang yang kafir!
109:2. aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah,
109:3. dan kamu bukan penyembah apa yang aku sembah.
109:4. dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah.
109:5. dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah apa yang aku sembah.
109:6. Untukmu agamamu dan untukku agamaku.”
(al-Kāfirūn: 1-6).

Sebab turun: Thabrānī dan Ibnu Abī Ḥātim meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbās r.a.; kaum Quraisy menyerukan untuk memberi Rasūlullāh s.a.w. harta hingga menjadi orang terkaya di Makkah dan menikahkannya dengan wanita-wanita yang ia mau, mereka bilang: “Wahai Muḥammad, ini untukmu dengan syarat kau berhenti mencela tuhan-tuhan kami, jangan menyebut-nyebut keburukan para mereka. Bila tidak, kau, sembahlah tuhan-tuhan kami selama satu tahun.” Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Beri aku waktu hingga (wahyu) Rabbku datang.” Lalu Allah s.w.t. menurunkan: “Katakanlah (Muḥammad): “Wahai orang-orang yang kafir!” (al-Kāfirūn: 1) hingga akhir surah. Dan Allah s.w.t. juga menurunkan: “Katakanlah: “Maka apakah kamu menyuruhku menyembah selain Allah, hai orang-orang yang tidak berpengetahuan?” (az-Zumar: 64).

Orang-orang Quraisy yang memberikan tawaran tersebut kepada Nabi s.a.w. tawaran untuk memberi harta dan menikahkan dengan wanita-wanita Quraisy yang terhormat itu adalah; Walīd bin Mughīrah, ‘Āsh bin Wā’il, Aswad bin Muththalib, Umayyah bin Khalaf, Ubai bin Khalaf, Abū Jahal, dua putra Ḥajjāj dan lainnya yang sama sekali tidak masuk Islam. Lalu surah ini turun sebagai bantahan untuk mereka. Kandungan surah sebagai berikut:

Wahai rasūl, katakan kepada kaummu orang-orang Quraisy; wahai orang-orang kafir! aku secara mutlak tidak akan pernah menyembah berhala dan patung yang kalian sembah, aku tidak akan menyembah tuhan-tuhan kalian sama sekali. Ayat ini mencakup seluruh orang kafir di muka bumi. Dimulai dengan kalimat “Katakanlah!” bertujuan untuk menhilangkan beban dari Nabi s.a.w. dan untuk menjelaskan bahwa ia diperintahkan untuk menyampaikan kata-kata itu, bukan dari dirinya sendiri.

Aku tidak akan pernah melakukan permintaan kalian untuk menyembah tuhan-tuhan kalian, kalian juga tidak akan melakukan yang aku minta pada kalian untuk menyembah Tuhanku.

Aku tidak melakukan seperti penyembahan kalian, maksudnya aku tidak akan melakukan dan menirunya. Aku hanya menyembah Allah s.w.t. semata dengan cara yang Ia suka dan ridhai, kalian tidak mengikuti perintah-perintah dan syariat Allah s.w.t. dalam menyembah-Nya, kalian justru membuat-buat penyembahan sendiri, sebab ibadah yang dilakukan Rasūlullāh s.a.w. dan para pengikutnya, orang-orang yang percaya pada risalahnya murni untuk Allah s.w.t., tidak ada kesyirikan dan tidak melalaikan Allah s.w.t., Tuhan yang berhak disembah. Mereka menyembah Allah s.w.t. sesuai dengan yang disyariatkan. Sementara orang-orang musyrik menyembah selain Allah s.w.t. yang tidak Allah s.w.t. idzinkan. Semuanya kesyirikan dan mempersekutukan, semua perantara-perantaranya hanyalah buatan hawa nafsu dan syaithan.

Salah satu pendapat menyatakan, di dalam ayat-ayat ini terdapat pengulangan, tujuannya sebagai penegasan untuk memutuskan harapan orang-orang kafir agar Rasūlullāh s.a.w. menerima permintaan mereka untuk menyembah tuhan-tuhan mereka.

Dan putusan final yang membuat setiap kelompok atau jamaah terbebas dengan agama masing-masing adalah; bagimu kesyirikan atau kekafiranmu, sementara bagiku agamaku dan fahamku, yaitu tauhid dan ikhlas untuk Allah s.w.t. atau Islam. Agama kalian, yaitu kesyirikan untuk kalian sendiri, tidak akan merembet (to spread; creep; infect) padaku, dan agamaku, yaitu tauhid terbatas untukku, tidak merembet pada kalian lalu kalian dapatkan.

Berdasarkan taḥqīq, ayat ini tidak di-nasakh oleh ayat perang: “Dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana mereka pun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertaqwa.” (at-Taubah: 36) Karena para ahli taḥqīq dari kalangan ulama menjelaskan, tidak me-nasakh surah al-Kāfirūn, namun yang dimaksud adalah sebagai ancaman, seperti yang disebutkan dalam firman Allah s.w.t.: “Perbuatlah apa yang kamu kehendaki.” (Fushshilat: 40).

Ayat-ayat senada banyak terdapat dalam al-Qur’ān, seperti firman Allah s.w.t.: “Jika mereka mendustakan kamu, maka katakanlah: “Bagiku pekerjaanku dan bagimu pekerjaanmu. Kamu berlepas diri terhadap apa yang aku kerjaan dan akupun berlepas diri terhadap apa yang kamu kerjakan.” (Yūnus: 41).

Batas pemisah antara para pemeluk agama ini melegakan setiap umat dan membuat setiap orang bertanggungjawab atas apa pun yang disuka dan dipilih, yang diyakini dan dikerjakan karena tidak ada paksaan dalam agama. Agama berdiri di atas asas penerimaan dengan rela hati, kebebasan dan pilihan. Dan itulah landasan tanggunjawab setiap orang atas apa pun yang dikerjakan, dan setiap orang akan tahu akibat perbuatan, keyakinan dan ucapannya. Ketika penerimaan dengan rela hati, penggunaan akal yang bebas tanpa fanatisme, kedengkian atau tradisi yang diwarisi secara turun-temurun tidak lagi membawa guna, maka setiap orang dituntut untuk meninggalkan pilihan atau keyakinannya, dan beralih kepada yang lain.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *