Surah al-Ikhlash 112 ~ Tafsir al-Wasith

Dari Buku:

Tafsīr al-Wasīth
(Jilid 3, al-Qashash – an-Nās)
Oleh: Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili

Penerjemah: muhtadi, dkk.
Penerbit: GEMA INSANI

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang

 

SŪRAT-UL-IKHLĀSH

MENGESAKAN DAN MEMAHASUCIKAN ALLAH s.w.t.

Prinsip utama dalam akidah adalah memberitahukan tauḥīd (mengesakan Allah s.w.t.), memahasucikan-Nya dari apa pun yang tidak layak bagi-Nya, mengakui dengan lisan dan membenarkan dengan hati. Inilah titik tolak dan inti keimanan. Untuk itu, siapa pun yang tidak beriman pada keesaan Allah s.w.t., tidak beriman bahwa Ia adalah Tuhan dan Rabb yang tidak memiliki sekutu, padanan dan tandingan, berarti bukan termasuk orang yang beragama secara mutlak meski berusaha untuk menggantikan keyakinan-keyakinan tersebut dengan apa pun juga seperti dengan dugaan, ritual dan perkataan. Karena itulah surah al-Ikhlāsh, surah Makkiyyah juga disebut asas yang mencerminkan tiang akidah dan menyamai sepertiga al-Qur’ān karena asas peraturan syariat Ilahi ada tiga; tauhid, mengakui adanya batasan dan hukum dan menjelaskan amal perbuatan. Dengan kata lain; akidah, syariat dan tindakan. Bukhārī, Abū Dāwūd dan Nasā’ī meriwayatkan dari Abū Sa‘īd al-Khudrī r.a. seseorang membaca “Katakanlah (Muḥammad): “Dialah Allah, Yang Maha Esa.” (al-Ikhlāsh: 1) secara diulang-ulang. Di pagi hari, ia mendatangi Nabi s.a.w. dan menceritakan hal itu, lalu Nabi s.a.w. bersabda: “Demi Dzāt yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh ia (surah al-Ikhlāsh) menyamai sepertiga al-Qur’ān”.

Kandungan surah mengharuskan ikhlash dalam menyembah Allah s.w.t. semata, menghadap kepada-Nya semata. Ibnu ‘Abbās bertaka: “Renungkanlah Dzāt Allah ‘azza wa jalla.” Berikut surah al-Ikhlāsh:

قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ. اللهُ الصَّمَدُ. لَمْ يَلِدْ وَ لَمْ يُوْلَدْ. وَ لَمْ يَكُنْ لَّهُ كُفُوًا أَحَدٌ

112:1. Katakanlah (Muḥammad): “Dia-lah Allah, Yang Maha Esa.
112:2. Allah tempat meminta segala sesuatu.
112:3. (Allah) tidak beranak dan tiada pula diperanakkan,
112:4. Dan tidak ada sesuatu pun yang setara dengan Dia.

(al-Ikhlāsh: 1-4).

 

Aḥmad, Bukhārī, Tirmidzī dan lainnya meriwayatkan dari Ubai bin Ka‘b r.a., orang-orang musyrik bertanya kepada Rasūlullāh s.a.w. tentang nasab Rabbnya – Maha Luhur Allah atas apa yang dikatakan orang-orang bodoh – lalu turunlah surah ini. Ibnu Abī Ḥātim, Ibnu ‘Adī dan Baihaqī dalam al-Asmā’u wash-Shifāt meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbās, orang-orang Yahudi bertamu ke kediaman Nabi s.a.w., mereka berkata: “Wahai Muḥammad, sebutkan ciri-ciri dan nasab Rabbmu karena dalam Taurāt, Ia menyebutkan ciri-ciri dan nasab-Nya.” Tubuh Rasūlullāh s.a.w. bergetar hingga jatuh pingsan, Jibrīl datang membawakan surah ini padanya; surah al-Ikhlāsh.

Ibnu Jarīr meriwayatkan dari Abū ‘Āliyah, ‘Abd-ur-Razzāq dan Ibnu Mundzir meriwayatkan dari Qatādah, ia berkata: “Para sekutu berkata kepada Rasūlullāh s.a.w.: “Sebutkan nasab Rabbmu untuk kami.” Lalu wahyu surah ini turun.”

Makna: wahai rasūl, katakan kepada orang yang bertanya tentang sifat dan nasab Rabbmu; Dia adalah Allah Yang Esa, Tunggal dalam Dzāt dan sifat-sifatNya, tidak memiliki sekutu, tidak ada padanan dan tandingan, tidak sesuatu pun yang menyamai-Nya, tidak tersusun dan tidak berbilang. “Dialah,” (al-Ikhlāsh: 1) mubtada’ pertama, “Allah,” (al-Ikhlāsh: 1) mubtada’ kedua, “Yang Maha Esa,” (al-Ikhlāsh: 1) khabar mubtada’ pertama dan kedua, diawali dengan dhamīr sya’nDia,” (al-Ikhlāsh: 1) untuk mengingatkan pentingnya perkataan yang akan dijelaskan setelahnya, karena dhamīr ini mengajak untuk menanti penjelasan berikutnya. Setelah penafsiran dan penjelasannya tiba, jiwa akan mengusainya secara sempurna. Allah s.w.t. tidak menyebut: “Allah Yang Esa,” karena yang dimaksudkan adalah untuk menegaskan bahwa Allah jalla jalāluhu Maha Esa, tidak berbilang dalam Dzāt-Nya. Bila dinyatakan “Allah Yang Esa”, pasti muncul dugaan berbilang. Tapi yang dimaksud adalah untuk menafikan politheisme yang diyakini orang-orang musyrik.

Allah tempat meminta segala sesuatu” (al-Ikhlāsh: 2). Artinya, yang dituju semata untuk menuntaskan segala keperluan, karena Ia Kuasa untuk mewujudkannya: “Allah tempat meminta segala sesuatu” (al-Ikhlāsh: 2). Dialah yang dituju dalam segala keperluan. Shamada mengikuti pola kata nashara, artinya bermaksud.

Makna yang dimaksud: Allah-lah yang dituju seluruh makhluk, tidak bisa diabadikan oleh siapa pun, Ia Maha Kaya tidak memerlukan makhluk. Ini meruntuhkan keyakinan orang-orang musyrik ‘Arab dan orang-orang serupa tentang adanya para perantara dan penolong. Ibnu ‘Abbās menjelaskan tentang penafsiran kata “Tempat meminta segala sesuatu” (al-Ikhlāsh: 2) artinya, Dia-lah tempat semua makhluk bergantung untuk seluruh keperluan dan permintaan. Dia-lah Pemimpin. Maha Agung, Maha Penyabar, Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana secara sempurna, Ia Maha Sempurna di semua bentuk kepemimpinan. Dia-lah Allah s.w.t. Inilah sifat-sifatNya yang tidak layak dimiliki siapa pun selain-Nya, tidak ada bandingan-Nya dan tidak ada yang menyerupai-Nya. Maha Suci Allah Maha Esa, Maha Memaksa.

Allah s.w.t. tidak memiliki asal-usul dan keturunan, Ia: “Tidak beranak dan tiada pula diperanakkan” (al-Ikhlāsh: 3) Allah s.w.t. tidak memiliki anak atau apa pun juga karena tidak ada sesuatu pun yang menyerupai-Nya, karena Ia Maha Dahulu, bukan baru, tidak ada permulaan keberadaan-Nya, bukan materi. Ini menafikan kesamaan dan keserupaan. Allah s.w.t. menyandang sifat Azali dan Pertama, bukan baru. Bahkan Allah s.w.t. menafikan batas akhir dan kefanā’an seperti disebutkan dalam ayat lain: “Dialah Yang Awwal dan Yang Akhir, Yang Zhahir dan Yang Bathin, dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.” (al-Ḥadīd: 3).

Rangkaian kalimat pertama: “Tidak beranak,” (al-Ikhlāsh: 3) memiliki tujuan yang terselip, yaitu menafikan Allah s.w.t. memiliki anak, sebagai bantahan bagi orang-orang musyrik yang mengira malaikat anak-anak perempuan Allah s.w.t., Yahudi yang menyatakan ‘Uzair putra Allah s.w.t., orang-orang Nasrani yang memiliki faham trinitas dan ‘Īsā al-Masīḥ putra Allah s.w.t., kalangan yang memiliki paham tuhan cahaya dan tuhan kegelapan, juga sebagai bantahan bagi kalangan Shā’ibah yang menyembah bintang. Rangkaian kalimat berikutnya juga menyelipkan penjelasan menafikan keberadaan Allah s.w.t. sebagai bapak dan sebelumnya didahului ketiadaan. Artinya, sebelumnya tidak ada lagi lalu ada.

Selanjutnya Allah s.w.t. menafikan makhluk menyerupai-Nya, Allah s.w.t. berfirman: “Dan tidak ada sesuatu pun yang setara dengan Dia” (al-Ikhlāsh: 4). Artinya: tidak ada apa pun yang menyamai, setara dan bersekutu dengan-Nya. Ayat ini menyiratkan banyak sekali tujuan; menafikan adanya pendamping, menggugurkan keyakinan orang-orang musyrik ‘Arab bahwa Allah s.w.t. memiliki tandingan dalam perbuatan-perbuatanNya karena mereka mengangap malaikat sebagai sekutu-sekutu Allah s.w.t., berhala dan patung sebagai tandingan Allah s.w.t. Surah ini mengandung penjelasan bahwa Allah s.w.t. wajib ada, diperlukan oleh semua yang ada. Maha Suci dari apa pun yang tidak layak dan tidak ada sesuatu pun yang menyerupai-Nya.

Banyak ayat lain yang senada dengan surah ini, di antaranya: “Dia Pencipta langit dan bumi. Bagaimana Dia mempunyai anak padahal Dia tidak mempunyai istri. Dia menciptakan segala sesuatu; dan Dia mengetahui segala sesuatu.” (al-An‘ām: 101) Artinya: Ia Penguasa dan Pencipta segala sesuatu. Bagaimana Ia memiliki sekutu dari makhluk yang Ia ciptakan? Disebutkan dalam Shaḥīḥ Bukhārī:

لَا أَحَدَ أَصْبَرُ عَلَى أَذًى سَمِعَهُ مِنَ اللهِ، إِنَّهُمْ يَجْعَلُوْنَ لَهُ وَلَدًا، وَ هُوَ يَرْزُقُهُمْ وَ يُعَافِيْهِمْ.

Tidak ada siapa pun yang lebih sabar menghadapi luka yang didengar melebihi Allah; mereka mengira Allah memiliki anak, meski demikian Allah (tetap) memberi mereka rizki dan keselamatan.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *