Surah al-Balad 90 ~ Tafsir al-Azhar (2/3)

Dari Buku:
Tafsir al-Azhar
Oleh: Prof. Dr. HAMKA

Penerbit: PT. Pustaka Islam Surabaya

Rangkaian Pos: Surah al-Balad 90 ~ Tafsir al-Azhar

“Sesungguhnya telah Kami ciptakan manusia itu berada dalam susah payah.” (ayat 4).

Setelah berturut mengemukakan tiga macam sumpah peringatan, (1) Makkah sebagai kota terpenting tempat Ka’bah berdiri, (2) Muhammad yang begitu berat dan mulia tugasnya berdiam di Makkah itu, namun darahnya dipandang halal saja oleh kaumnya, (3) bersumpah lagi demi pentingnya, kedudukan ayah dan pentingnya pula anak-anak yang diturunkannya, masuklah Tuhan kepada yang dimaksudnya, memperingatkan bahwa Dia telah menciptakan manusia tidak terlepas daripada susah-payah. Susah-payah itulah bahagian yang tidak terpisah dari hidup itu. Tidak bernama hidup kalau tidak ada kesusahan dan kepayahan.

Berkata Al-Yaman: “Tak ada Allah menciptakan makhluk yang lebih banyak susah-payah dalam hidup ini, melebihi Anak Adam, padahal dia adalah makhluk yang paling lemah pula.”

Fikirkanlah; sejak dari dalam rahim ibu kepayahan itu sudah dimulai. Membalik-balikkan badan mencari jalan keluar sampai kepada tersumbur dari pintu. Setelah lahir dengan kepayahan, yang mula terdengar adalah tangis karena tak tahan dingin mula bertemu dengan udara luas, setelah berbulan lamanya merasa panas badan dalam rahim ibu. Setelah itu mulailah pusat dikerat, lalu menangis kesakitan. Mulailah menggerak-gerakkan tangan dan kaki; mulai menangis minta menyusu, menangis kedinginan karena telah basah oleh kencing, menangis karena telah berak, menangis minta digendong minta dibawa. Beransur badan besar, beransur besar kepayahan. Setelah itu bapa memandang telah kuat, mulailah merasa sakit dikhitan. Setelah selesai dikhitan, mulailah dimasukkan ke sekolah. Sejak dari kelas satu sekolah rendah sampai sekolah tinggi bertemu kesusahan mengahapal, kepayahan mengulang pelajaran, ketakutan mendapat angka “merah”. Dan kalau maju sekolah, orang tua susah dan melarat, susah payah mencari akal bagaimana melanjutkan sekolah. Dan setelah tammat sekolah yang tinggi, menggondol titel dan gelar Sarjana Hukum, Insinyur, dan Doktorandus, timbul lagi kesusah-payahan mencari pekerjaan. Dan setelah sampai berumahtangga, timbul lagi kesusahan menafkahi isteri, kemudian mengemudikan anak, timbul lagi kesusah-payahan lantaran umur yang lanjut.

Setelah isteri dan anak berdiri berkeliling, timbul lagi kesusahan menyediakan rumah yang layak tempat diam, kendaraan yang layak untuk perhubungan. Setelah rumah tempat tinggal siap dan kendaraan telah sedia, timbul lagi kesusah-payahan memperjodohkan anak-anak. Yang perempuan supaya bersuami, yang laki-laki supaya beristeri. Setelah semuanya itu selesai; rumah sudah ada, anak-anak sudah kawin, yang laki-laki telah keluar bersama isterinya, yang perempuan telah keluar dibawa suaminya, tinggallah awak telah tua dalam kesepian ditinggalkan anak cucu. Setelah datang usia tua, segala penat, payah, mulailah terasa. Kaki mulai penat, tangan mulai pegal, mata mulai kabur, gigi mulai goyah dan gugur, uban mulai bertabur, telinga mulai pekak, kepala sakit-sakit dan pening; akhirnya ditutup semuanya dengan mati.

Oleh sebab itu maka kepayahan dan kesusahan adalah bahagian dari hidup, dalam itulah Tuhan menciptakan kita. Sehingga walau pekerjaan baik atau pekerjaan buruk, semuanya meminta kepayahan. Sehingga memberikan nafkah batin kepada isteri pun meminta tenaga dan kepayahan!

Oleh sebab itu sia-sialah, semata-mata orang yang menghabiskan usia, yang segala sesuatu, baik dan buruk, pasti payah, kalau kepayahan itu karena yang buruk.

Termidzi menyimpulkan usia habis dalam kepayahan itu dalam sepatah dan dua patah kata: “Sudah payah, tidak memperhatikan apa yang perlu, menghabiskan masa pada yang tidak perlu.”

Sebagai telah dikatakan di atas tadi, manusia pun berpayah-payah menghabiskan usianya pada perkara yang tidak berfaedah. Bahkan orang musyrikin Quraisy pun berpayah-payah menghabiskan tenaga dan harta menghambat dan menghalangi segala seruan Nabi Muhammad SAW. Maka datanglah ayat selanjutnya; “Apakah dia menyangka bahwa tidak seorang pun yang berkuasa atas dirinya?” (ayat 5). Apakah disangkanya bahwa Tuhan tidak melihat dan memperhatikannya? Apakah dia menyangka bahwa Tuhan akan membiarkan saja dia berleluasa berbuat sesuka hati?

“Dia mengatakan: “Aku telah menghabiskan harta yang bertumpuk.” (ayat 6). Ayat ini menyatakan bagaimana orang yang telah bersusah-payah menghabiskan tenaga dan hartabendanya untuk perkara yang tidak berfaedah, membanggakan kepada orang sudah berapa hartanya habis. Sebagaimana membangganya si tukang judi sekian ribu dia menang atau sekian ribu dia kalah. Sebagaimana membangganya orang-orang yang mubazzir membuang harta karena menunjukkan dia orang kaya, bahwa sekian juta telah habis untuk berfoya-foya. Ataupun orang yang pada lahirnya berbuat baik, seka berderma dan membantu orang lain, padahal cuma semata-mata untuk mereklamekan dirinya. Sebagaimana tersebut di dalam sebuah Hadis yang dirawikan daripada Abu Hurairah, bahwa di hari kiamat kelak semua orang akan ditanyai: “Apa yang engkau perbuat dengan hartamu yang banyak itu?” Orang itu menjawab: “Aku belanjakan untuk kebajikan dan aku zakatkan!” Lalu datanglah sambutan: “Engkau bohong! Padahal engkau mengeluarkan harta itu hanya semata-mata supaya engkau dipuji orang lain dan dikatakan bahwa engkau seorang yang dermawan.” Lalu dilemparkanlah orang itu ke dalam neraka.”

“Apakah dia menyangka bahwa tiada seorang yang melihatnya?” (ayat 7).

Apakah mereka menyangka bahwa perbuatannya, membuang-buang harta pada yang tidak berfaedah, atau mengeluarkan harta menolong orang lain, hanya semata-mata ingin disanjung dipuji, bahwa semuanya itu tidak ada orang yang tahu? Apakah dia tidak sadar bahwa perbuatannya itu tidak lepas dari tilikan Allah Ta’ala?

Di samping itu: “Bukanlah telah Kami jadikan baginya dua mata?” (ayat 8). “Dan lidah dan dua bibir?” (ayat 9).

Diberi Tuhan dua mata buat melihat jauh; jangan hanya merumbu-rubu dalam semak dan rimba kehidupan ini, dengan tidak tentu arah. Diberi lidah dan dua buah bibir, bibir sebelah atas dan sebelah bawah. Gunanya ialah untuk bercakap yang baik, untuk bertanya kepada yang pandai, karena kalau malu bertanya sesat di jalan.

Berkata Sayid Al-Murtadha: “Dengan ayat-ayat ini Allah memperingatkan betapa besar nikmat yang dianugerahkan-Nya kepada hamba-Nya. Dengan dua mata untuk melihat, satu lidah untuk bercakap dan membolak-balikkan makanan dalam mulut. Dua bibir adalah bertalian dengan lidah. Bibir menghambat lidah itu sendiri ketika akan bercakap yang tidak berketentuan. Apabila agak lain rasanya, kedua bibir dapat dikatupkan saja. Dan makanan yang sedang dikunyah-kunyah dengan gigi, dihambat keluar oleh kedua bibir sehingga tidak berhamburan keluar.

“Dan telah Kami tunjukkan kepadanya dua jalan.” (ayat 10). An-Najdain artinya ialah dua jalan yang mendaki. Dua mata menghadap kemuka. Di muka terentang dua jalan yang mendaki; menandakan bahwa dua jalan yang terentang itu mesti ditempuh dengan perjuangan dan mengeluarkan tenaga juga. Kesatu ialah jalan kebajikan. Kedua ialah jalan yang buruk. Pilihlah dengan akal budi yang telah dianugerahkan Tuhan dan bimbingan Taufiq hidayat Ilahi jalan yang baik dan jauhi jalan yang membawa celaka.

Pada ayat 10 telah diterangkan bahwa di muka kita ada dua jalan terentang, yaitu jalan kebajikan dan jalan kecelakaan. Sedang keduanya itu sama saja sukarnya. Maka dalam ayat 11 ini diterangkanlah malang dan dangkalnya berfikir orang yang kurang iman; “Tetapi tidak ditempuhnya jalan mendaki yang sukar.” (ayat 11). Dilihatnya di muka ada kesukaran, (‘aqabah), sebab itu dijauhinya. Dia takut dan cemas melihat kesukaran itu. Padahal jalan kepada kebajikan, walaupun ada kesukarannya, namun bila ditempuh, selamatlah jiwa sendiri dan selamatlah masyarakat dan mendapatlah ridha dari Tuhan.

“Tahukah engkau, apakah jalan mendaki yang sukar itu?” (ayat 12). “(Ialah) melepaskan belenggu perbudakan.” (ayat 13).

Perbudakan dalam bahasa Arab disebut Raqabatin. Asal katanya berarti kuduk atau leher. Seorang yang telah jatuh ke dalam perbudakan samalah keadaannya dengan orang yang telah terbelenggu lehernya. Dia tidak bebas lagi. Lehernya telah dibelenggu oleh kekuasaan tuannya atas dirinya. Maka mendapat pahala besarlah orang yang sudi membeli budak-budak untuk memerdekakannya. Inilah yang disebut “tahriru raqabatin”; memerdekakan budak!

Memerdekakan budak itu adalah salah satu dari yang disebut ‘aqabah, jalan mendaki yang sukar menempuhnya, sebab mesti keluar uang. Dibelanjakan harta sendiri buat membeli orang. Harga manusia yang sudah menjadi “barang dagangan” itu kadang-kadang mahal. Dan kalau sudah dibeli, dia sudah menjadi kepunyaan yang empunya; boleh disuruhnya, boleh dicegahnya, bahkan lebih lagi rendahnya dari khadam atau orang gajian. Dan kalau budak itu perempuan, kalau cantik boleh dipakai, disetubuhi dengan tidak usah dibayar maharnya, asal dimaklumkan saja bahwa dia telah dijadikan gundik dan anak yang lagir dari hubungan dengan budak itu diakui sah oleh agama menjadi anak dari yang memperbudak ibunya itu. Dan tidak ada batas misalnya mesti berempat; seratus orang pun boleh kalau sanggup. Dan kalau dia telah beranak, dia tidak boleh dijual lagi.

Maka dikatakanlah dalam ayat ini bahwa memerdekakan budak yang telah dibeli itu adalah “jalan mendaki yang sukar.” Kalau dia dimerdekakan, niscaya dia sudah duduk sama rendah tegak sama tinggi dengan tuannya, dan uang untuk pembelinya tadi hilang habis saja. Rugi pada benda, tetapi tinggi pada pahala dan penghargaan di sisi Allah. Itulah “Jalan mendaki.”

“Atau memberi makan pada hari kelaparan.” (ayat 14). Memberi orang makan, membagi-bagikan beras atau gandum atau apa saja makanan mengenyang yang lain di musim paceklik, di musim rusak hasil bumi. Kalau ada orang kaya yang sanggup berbuat begini, memanglah dia telah melalui jalan mendaki yang sukar. Sebab tidak akan ada balasan dari orang-orang lapar yang ditolong itu lain dari “ucapan terimakasih.”

Di dalam Surat 76, Al-Insan ayat 8 dan 9 dipujikan orang ini oleh Allah setinggi-tingginya: “Mereka memberi makanan, dalam keadaan dia pun sangat memerlukannya, kepada orang miskin, dan anak yatim dan orang yang tengah tertawan. Kami beri makan kamu ini, lain tidak, hanyalah karena mengharap wajah Allah semata-mata; tidaklah kami menghendaki daripada kamu suatu balasan pun, dan tidak pula terimakasih.”

Yang diberi makan itu ialah; “Anak yatim yang ada hubungan qirabat.” (ayat 15).

Dalam ayat ini Allah menyebut anak yatim yang pantas ditolong itu; disebutkan bahwa yang utama ditolong ialah anak yatim yang ada hubungan qirabat. Ditekankan qirabat, supaya orang merasa bahwa mengasuh dan memelihara anak yatim itu adalah kewajiban. Ini pun adalah “jalan mendaki yang sukar”, karena anak yatim itu adalah beban baru yang tadinya tidak disangka-sangka.

Taruklah anak perempuan kita sendiri yang telah bersuami dan telah beranak-anak. Tiba-tiba suami anak kita itu, tegasnya menantu kita itu mati. Syukur kalau menantu kita itu meninggalkan harta yang banyak, sehingga kita hanya tinggal mengasuh dan mengawasi. Bagaimana kalau miskin? Ke mana anak isterinya itu akan pulang? Siapa orang lain yang akan memikul beban itu kalau bukan kita sebagai neneknya? Demikian juga kematian saudara kandung kita. Anaknya mau tidak mau adalah tanggungan kita. Beban tersandang ke bahu. Tidak ada jalan buat nafsi-nafsi, kalau hendak beragama.

“Atau orang miskin yang telah tertanah.” (ayat 16).

Matrabah saya artikan tertanah; telah melarat, sehingga kadang-kadang rumah pun telah berlantai tanah. Di Minangkabau orang yang sudah sangat melarat itu memang disebutkan juga telah “tertanah” tak dapat bangkit lagi. Maka datanglah hari paceklik, semua orang kelaparan, harga makanan sangat naik, pertanian tak menjadi, banyak orang melarat. Maka tibalah seorang hartawan-dermawan membeli beras itu banyak-banyak lalu membagikannya dengan segala kerendahan hati, tidak memperdulikan “jalan mendaki yang sukar” karena uang kekayaannya akan berkurang lantaran itu. Sebab dia telah memupuk Imannya sendiri. Sebab kalau tidak ‘aqabah yang baik itu yang ditempuhnya, tentu jalan kepada kecelakaan jiwa karena bakhil. Dalam keadaan bakhil itu dia pun mati. Maka harta yang disembunyikannya itu habis porak-poranda dibagi orang yang tinggal atau dipertipukan orang.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *