Surah al-Balad 90 ~ Tafsir Syaikh Fadhlallah

Tafsir Juz ‘Amma
(Judul Asli: Beams of Illumination)
Oleh: Syaikh Fadhlallah Haeri

SURAH AL-BALAD

“Negeri”

 

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

Dengan Nama Allah, Yang Maha Pengasih, Lagi Maha Penyayang.

 

لَا أُقْسِمُ بِهَذَا الْبَلَدِ

  1. Tidak! Aku bersumpah demi kota ini.

وَأَنتَ حِلٌّ بِهَذَا الْبَلَدِ

  1. Dan engkau tinggal di kota ini.

وَوَالِدٍ وَمَا وَلَدَ

  1. Dan demi yang beranak dan yang diperanakkan.

Ayat pembuka dari surah ini bersumpah demi kota Makkah, yakni, titik sentral arah setiap orang bersujud dalam salat; dan demi kenyataan bahwa Nabi Muḥammad, penutup para nabi, datang untuk memadukan realitas (hakikat) batin dan hukum lahir (syariat); demi kehidupan yang sangat mungkin di bumi ini, dan demi orang yang lahir di kota ini dengan mebawa pesan bahwa manusia hendaknya mengagungkan Penciptanya!

Ḥill dikaitkan dengan halal (boleh, sah), dalam konteks ini berarti ‘penduduk sah kota ini.’ Ayat kedua bisa juga berbunyi, ‘Wahai Nabi Allah! Apa pun yang ada di kota ini adalah untukmu, ia terbuka untukmu.’ Walaupun ucapan tersebut ditujukan kepada Nabi Muḥammad, namun ia berlaku kapan saja bagi siapa saja. Allah, Wujud Ilahiah, sedang bersumpah demi kemunculan Islam di Makkah pada waktu itu, dan juga demi kemunculannya sekarang di seluruh dunia. Ayat ini juga mengumandangkan kemunculan Nabi, dan pada beliaulah munculnya kembali kenabian. Allah sedang berkata kepada Nabi, ‘Ini adalah ajaran yang sama dengan yang datang sebelum engkau; ini adalah pengulangan ajaran yang sama.’ Ajaran ini merupakan kelanjutan dari jalur Ādam; Ādam dan anak lelakinya yang saleh, serta Ādam dan anak lelakinya yang membangkang; anak yang terbunuh, dan anak yang melanggar batas. Kekuatan yang membunuh Qābil adalah ketamakan dan keirihatian, yang pertama merupakan sebab dan yang kedua adalah akibat. Dari sebab timbul akibat, dan dari akibat timbul sebab lain. Sebagai manusia, kita semua adalah anak Ādam, dan masing-masing kita adalah yatim, begitu juga Ādam, begitu juga Nabi Muḥammad. Kita semua terputus dari sumber kita.

لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنسَانَ فِي كَبَدٍ

  1. Sesungguhnya, Kami menciptakan manusia untuk mengatasi kesukaran.

Inilah makna dari keadaan manusia; ia berada dalam kabad, ‘kesukaran, penderitaan, kerja keras dan cobaan’. Kabad juga berarti ‘hati (liver)’, dan tugas hati adalah terus-menerus menderita untuk membersihkan darah. Kewajibannya adalah bekerja keras tanpa henti.

Keadaan manusia adalah keadaan yang kacau serta bingung, dan dalam keadaan tersebut ia terus-menerus berjuang; tidak ada kedamaian atau jalan untuk melarikan diri dari keadaan itu. Kehidupan merupakan dinamisme yang konstan. Sebutir atom tidak bisa dilihat kalau tidak berada dalam keadaan bergerak secara tidak beraturan, maka bagaimana makhluk yang paling menakjubkan dan kompleks ini bisa benar-benar berada dalam kedamaian? Berada dalam kedamaian mutlak itu tak ubahnya laksana sebuah batu, mati.

أَيَحْسَبُ أَن لَّن يَقْدِرَ عَلَيْهِ أَحَدٌ

  1. Apakah dia mengira bahwa tidak ada yang memiliki kekuasaan melebihi dia?

Pada saat menyandang Atribut Penciptanya—seperti keagungan, kemuliaan, atau salah satu lainnya yang bisa disandang manusia—pernahkah manusia membayangkan sekalipun sedetik bahwa tak ada orang yang dapat melebihinya? Apakah ia mengira bahwa dirinya adalah entitas yang tidak bergantung secara total?

يَقُولُ أَهْلَكْتُ مَالًا لُّبَدًا

  1. Ia berkata: “Aku telah menghambur-hamburkan banyak harta”.

Ini khusus mengenai orang yang menggunakan hartanya sebagai topangan utama dalam eksistensi ini. Orang yang memiliki banyak sekali harta dan kekuasaan duniawi cenderung beranggapan bahwa dunia ini adalah tempat tinggal dan perlindungan terakhirnya.

أَيَحْسَبُ أَن لَّمْ يَرَهُ أَحَدٌ

  1. Apakah ia mengira bahwa tidak ada yang melihatnya?

Apakah manusia mengira bahwa ia tidak diawasi? Apakah dia mengira bahwa bisa saja dalam eksistensi ini ada yang melarikan diri tak kelihatan? Tidak bisakah ia melihat keesaan di dalam dan di luar eksistensi ini? Sejauh mana dia terputus, sehingga tidak bisa melihat kenyataan bahwa ada satu benang yang merentang ke seluruh penciptaan?

أَلَمْ نَجْعَل لَّهُ عَيْنَيْنِ

  1. Bukankah telah Kami buatkan baginya dua mata,

Bagaimana mungkin ada dua tanpa satu? Bagaimana kita dapat melihat ke-dua-an kalau di dalam diri kita tidak ada satu bidang yang menyatukan? Bagaimana bisa ada dua mata lahir dengan mana kita melihat dunia nyata, kalau di dalam diri kita tidak ada satu mata batin, mata roh kita, mata qalb (hati) kita, mata rahasia di dalam diri kita yang bermanifestasi melalui hati kita (‘ayn-ul-qalb, mata hati). Apakah kita tidak memiliki dua pandangan, apakah kita tidak memiliki dua kehidupan, atau dua kesadaran, yakni bangun dan tidur?

وَلِسَانًا وَشَفَتَيْنِ

  1. Dan lidah dan dua bibir?

Dari satu lidah melalui dua bibir, menjelmalah sebuah kalimat. Melalui daya pandang batin, dengan menggunakan dua mata, terbentuklah daya lihat. Dari Satu Sumber, melalui dua hal berlawanan, mewujudlah Realitas. Selalu ada satu di belakang dua. Tanpa dua, tidak akan terwujud Realitas.

Perhatikan contoh yang kami berikan! Seseorang membutuhkan dua bibir untuk berbicara, sekalipun hanya ada satu lidah di belakangnya. Ia tidak bisa mengatakan bahwa salah satu lidahnya mengatakan sesuatu, tapi ia bisa mengatakan bahwa mata batinnya melihat sesuatu yang tidak terlihat oleh mata lahirnya, atau sebaliknya. Ia tidak bisa mengklaim bahwa lidahnya tidak mengatakan sesuatu yang telah diucapkannya. Dari sudut pandang syariat ia mesti mengatakan bahwa lidahnya mengatakan itu. Namun, lidah tidak bisa berfungsi kalau tidak melalui penggunaan dua bibir. Masih banyak kemungkinan penafsiran lainnya.

وَهَدَيْنَاهُ النَّجْدَيْنِ

  1. Dan menunjukkan kepadanya dua jalan?

Najd berarti ‘jalan raya, tanah tinggi atau dataran tinggi’. Najdayn dan tharīqayn sama-sama berarti ‘dua jalan’, yaitu jalan hidup yang benar, kemerdekaan jiwa, ketundukan, kesiapan untuk mati dan pergi, dan jalan di mana seseorang menuntut dan berusaha untuk memiliki, menguasai, dan bergantung pada dunia ini seakan-akan dunia ini adalah satu-satunya tempat tinggal. Kedua jalan tersebut juga menunjukkan cara memandang eksistensi yang sepenuhnya bersifat lahiriah atau permukaan dan, lainnya, cara yang lebih batiniah dalam keinginan untuk mencapai makna halus dari berbagai hal. Keduanya merupakan jalan yang memiliki bentuk dan makna, tharīq-ush-shalāḥ (jalan kebenaran) dan tharīq-ul-kharāb (jalan kehancuran).

Dalam surah ini pertama-tama kita melihat keadaan manusia, kerusuhannya, kesulitannya, dan penderitaannya (kabad). Keadaan-keadaan ini terjadi guna meringankan kesulitan batinnya dan juga membersihkan darahnya. Selanjutnya kita ditunjukkan pada dua pilihan yang diberikan pada manusia, dan dalam ayat berikutnya kita sampai pada persoalan kunci.

فَلَا اقْتَحَمَ الْعَقَبَةَ

11.Tetapi ia tidak berusaha nntuk mendaki jalan naik yang curam.

وَمَا أَدْرَاكَ مَا الْعَقَبَةُ

  1. Dan apakah yang membuat engkau tahu apa jalan naik yang curam itu?

‘Aqabah, yang berarti ‘pendakian yang curam atau rintangan’, berhubungan dengan ‘aqb, yang berarti ‘punggung, belakang, konsekuensi atau hasil’. Maka, aqabah adalah rintangan yang, meskipun ada di hadapan kita, tidak serta merta kelihatan.

Mengenai makna batin, ‘aqabah di sini menunjuk kepada nafs manusia. Yaitu, rintangan yang menyebabkan kurangnya daya lihat manusia, kurangnya kesadaran manusia, dan kurangnya kepercayaan dan ketergantungan pada Allah. Apakah ia tidak ingin mengatasi rintangan ini? Lantas mengapa ia tidak melakukannya? Apa yang sesungguhnya kita ketahui tentang makna dari rintangan ini?

فَكُّ رَقَبَةٍ

  1. [Yaitu] membebaskan budak,

Ini berkenaan dengan rintangan manusia yang tidak ber-‘ubūdiyah (ibadah, penghambaan). Ibadah dan ketundukan yang sebenarnya, yang mengatasi lapisan pertama jiwa (nafs), dilakukan dengan menerima lā ilāha illallāh, Muḥammad rasūlullāh. Ini merupakan pembebasan leher seseorang. Jika kita tidak bisa membebaskan leher kita sendiri, setidaknya yang dapat kita lakukan adalah membebaskan seorang budak, makna yang kadang-kadang diterjemahkan dan ditafsirkan dari ayat ini. Fakka berarti ‘membuka, membongkar, melepaskan’. Maka, fakku raqabah dapat diartikan membebaskan orang yang telah diperbudak secara lahiriah, membebaskan orang yang secara lahiriah sedang diperbudak oleh kebutuhannya, atau orang yang lehernya telah dijerat oleh hal yang tidak cocok untuk manusia.

أَوْ إِطْعَامٌ فِي يَوْمٍ ذِي مَسْغَبَةٍ

  1. Atau memberi makan pada hari kelaparan

يَتِيمًا ذَا مَقْرَبَةٍ

  1. Kepada anak yatim yang ada pertalian keluarga,

Ayat ini berkenaan dengan pemberian makanan atau pemberian pada masa-masa sulit dan ketika nyaris tidak cukup tersedia makanan untuk kelanjutan hidup seseorang. Pada masa senang, setiap orang bermurah hati, tapi ketika kita mengalami paceklik kehidupan dunia ini, ketika kita dicekik oleh genggamannya, kita harus menjaga diri agar jangan sampai mementingkan diri sendiri. Sebaliknya, jika setiap orang memanjakan kita, jika setiap orang bersikap baik, di manakah ‘aqabah untuk kita? Dengan kata lain, kita harus mengawasi diri kita pada saat kita sedang tidak seimbang, karena memang mudah untuk mencapai keseimbangan di tempat yang terlindung di mana tidak ada masalah yang menguji kita.

أَوْ مِسْكِينًا ذَا مَتْرَبَةٍ

  1. Atau orang miskin yang berbaring dalam debu.

Matrabah, ‘berbaring dalam debu, kemelaratan, kemiskinan’, dari kata tariba (menjadi berdebu). Orang miskin (melarat, orang yang benar-benar kehilangan) dianggap sebagai debu; ia tidak memiliki apa-apa, tidak juga sekadar harapan.

ثُمَّ كَانَ مِنَ الَّذِينَ آمَنُوا وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ وَتَوَاصَوْابِالْمَرْحَمَةِ

  1. Lalu ia adalah golongan orang yang beriman dan saling menasihati untuk bersabar, dan saling menasihati untuk menunjukkan rasa belaskasih.

Makna dari mendaki ‘aqabah adalah mengatasi berbagai kecenderungan negatif yang rendah dari nafs kita. Kemudian, bila kita sudah mengatasi segala rintangan diri kita, dan bila kita menyadarinya, maka kita harus ‘saling menasihati untuk bersabar, dan saling menasihati untuk menunjukkan rasa belaskasih’.

Dengan demikian apabila manusia menerima petunjuk dari Sang Pencipta dan tahu bahwa alam ciptaan-Nya berada dalam qabdh (penyempitan), apabila ia mengetahui sifat dualitas dan keesaan yang meliputinya, dan mengetahui makna dari rintangan utama, yakni nafs, dan mengetahui bahwa dalam segala tindakan lahiriahnya ia harus memberi dan bersikap belaskasih pada masa-masa sulit, maka ia akan tergolong kaum beriman, golongan orang-orang yang saling menasihati dalam kesabaran, kesetiaan, dan menunjukkan kasih sayang.

أُوْلَئِكَ أَصْحَابُ الْمَيْمَنَةِ

  1. Mereka adalah golongan tangan kanan.

Golongan tangan kanan adalah orang-orang yang beramal saleh sehingga akan diberi kitab amal mereka di tangan kanan pada hari pengadilan, yang menandakan bahwa mereka ditetapkan masuk surga. Mereka adalah orang-orang yang bertindak positif untuk menyelematkan diri mereka.

وَالَّذِينَ كَفَرُوا بِآيَاتِنَا هُمْ أَصْحَابُ الْمَشْأَمَةِ

  1. Tetapi orang-orang yang mengingkari wahyu kami, mereka adalah golongan tangan kiri.

Ayat ini berkenaan dengan orang-orang yang menyangkal ayat-ayat, yang menyangkal Kitab realitas, dan yang pada akhirnya menyangkal Realitas, Allah s.w.t.

Syu’m, yang berhubungan dengan kata masy’amah (tangan kiri), berarti ‘pertanda buruk atau malapetaka’. Mereka adalah golongan kiri, kaum yang merugi, yang terperangkap dalam api yang mereka nyalakan sendiri.

عَلَيْهِمْ نَارٌ مُّؤْصَدَةٌ

  1. Api akan menjadi tenda yang mengurung mereka!

Mereka akan terkunci dalam neraka, karena mengingkari kebenaran yang ada pada mereka, padahal kebenaran itu nampak jelas di sekitar mereka. Mereka akan terperangkap dalam nerakanya sendiri dan akhirnya akan dilahap oleh neraka itu.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *