Surah al-Balad 90 ~ Tafsir al-Azhar (3/3)

Dari Buku:
Tafsir al-Azhar
Oleh: Prof. Dr. HAMKA

Penerbit: PT. Pustaka Islam Surabaya

Rangkaian Pos: Surah al-Balad 90 ~ Tafsir al-Azhar

“Kemudian.” (pangkal ayat 17). Artinya di samping amalannya yang lahir kelihatan itu, “Adalah dia termasuk orang-orang yang beriman.” Bukan hanya semata-mata karena mencari pujian orang, karena riya’. Karena kalau hanya mencari pujian dan riya’, dia akan berhenti di tengah jalan. Tak ada yang memuji dia pun berhenti, diomeli sedikit dia pun merajuk, sebab dia merasa dirinya penting benar. “Dan pesan-memesan dengan kesabaran,” karena banyaknya percobaan hidup sebagai paceklik, kemiskinan, kelaparan dan keyatiman. Semua adalah percobaan, dan harus dihadapi dengan hati tabah; “Dan pesan-memesan dengan berkasih-kasihan.” (ujung ayat 17). Yaitu bahwa yang kuat mengasihi yang lemah, yang kaya menghibai yang miskin. Berkasih-kasihan, bersayang-sayangan, bantu membantu, tolong menolong; “Orang-orang begitu adalah golongan kanan.” (ayat 18). Dan di akhirat kelak surat keputusan nasibnya pun akan diterimanya dari sebelah kanan juga. (Lihat kembali Surat 84, Al-Insyiqaq; 7-8).

“Dan orang-orang yang kafir terhadap ayat-ayat Kami. (pangkal ayat 19). Yaitu yang tidak mau percaya segala keterangan dan bimbingan yang diberikan Allah dengan perantaraan Rasul-rasulnya; “Mereka itulah golongan kiri.” (ujung ayat 19). Dan dari kiri atau belakang pulalah mereka akan menerima surat keputusan nasibnya di hari akhirat kelak (lihat Surat 84; 10-11-12). “Untuk mereka adalah neraka yang dikunci rapat.” (ayat 20). Tak ada harapan buat keluar lagi, sampai secukupnya azab siksaan yang diterima.

Dari sini mengertilah kita bahwa dalam istilah Islam “golongan kanan” dan “golongan kiri” itu berbeda dengan istilah kaum politisi Barat yang telah diistilahkan orang pula di Indonesia ini. Padahal asalnya ialah dari tradisi parlemen di Negeri-negeri Barat. Wakil-wakil Rakyat yang menyokong pemerintah duduk di sebelah kanan dan yang menentang (oposisi) duduk di sebelah kiri Ketua Parlemen.

Orang-orang Komunis di negeri-negeri yang belum mereka kuasai, senantiasa mengadakan oposisi (bangkangan) kepada pemerintah yang ada, lalu mereka menyebut diri mereka “Kaum Kiri”. Demikian pandai mereka mempengaruhi masyarakat dengan semboyan-semboyan, sehingga orang merasa megah kalau menyebut diri “Golongan Kiri” dan apa yang disebut “Golongan Kanan” diartikan golongan borjuis atau kaum kapitalis, orang yang tidak progressif dan kata-kata ejekan yang lain, sehingga golongan beragama yang telah menerima tuntunan dari Wahyu Ilahi, yang hidup dalam bertakwa dan iman yang disebut Tuhan dalam wahyu-Nya itulah “Golongan Kanan” menjadi terdesak dan malu, sedang orang-orang keras kepala, yang selalu hanya membangkang, yang merebut kekuasaan dengan serba kekerasan, merasa bangga dengan menyebutkan dirinya “Kaum Kiri.”

***

Seketika hebat revolusi fisik di Bukittinggi di sekitar tahun 1947 ayat-ayat dari Surat Al-Balad inilah yang diselidiki lebih mendalam dan diambil nilai-nilainya untuk dasar perjuangan Partai Masyumi oleh pemimpin Masyumi di Sumatera Barat di waktu itu, saudara Darwis Thaib, yang setelah menyandang gelar adat pusaka, memakai gelar Datuk Sidi Bandoro.

Di zaman pergerakkan menentang penjajahan sebelum perang dunia ke-II, Darwis Thaib adalah salah seorang kader penting dari Partai Pendidikan Nasional Indonesia, yang didirikan dan dipimpin oleh Muhammad Hatta. Darwis Thaib mempelajari sosialisme dengan mendalam. Menurut beliau, ayat-ayat dari Surat Al-Balad ini adalah dasar yang teguh dari ajaran “Keadilan Sosial” yang bersumber dari wahyu. Orang dididik memperdalam iman dan sanggup menempuh jalan mendaki yang sukar (‘Aqabah), mengeluarkan hartabenda dan tenaga buat: (1) Memberantas segala macam perbudakan, pemerasan manusia atas sesama manusia, (2) Memberi makan pada saat orang sangat memerlukan makanan, baik terhadap anak-anak yatim karena ayah-ayahnya yang tewas sebagai korban perjuangan, atau orang-orang miskin dan melarat yang tidak mempunyai apa-apa. (3) Semuanya itu terlebih dahulu mesti timbul dari Iman dan keyakinan hidup sebagai Muslim, yang masyarakatnya dibentuk oleh jamaahnya sendiri. Yaitu jamaah yang hidup dalam gotong-royong, hidup pesan-memesan tentang kesabaran menderita dan pesan-memesan supaya selalu hidup dalam berkasih-sayang, bantu-membantu, tolong-menolong; itulah yang dinamai hidup dalam masyarakat MARHAMAH.

Dan oleh Darwis Thaib diberi nama sehingga kalimat MARHAMISME ini menjadi timbalan, jauh lebih populer di kalangan Kaum Muslimin daripada kalimat MARHAENISME ciptaan Sukarno.

Sayang sekali karena perhubungan se Indonesia belum lancar di waktu itu, maka doktrin MARHAMISME dari kalimat MARHAMAH ini belum sempat tersiar jauh, dan oleh gangguan kesihatan Darwis Thaib tidak dapat membawa nilai-nilai cita-cita dan kepuasannya terhadap Surat Al-Balad ini ke pusat Masyumi di waktu itu, yaitu di Jokja, atau di Jakarta, untuk diperdalam lagi setelah didiskusikan dengan pemimpin-pemimpin yang lain. Apakah lagi setelah selesai penyerahan kedaulatan, Partai Masyumi telah menghadapi perjuangan-perjuangan yang dahsyat menghadapi usaha-usaha lawan-lawannya buat menghancurkannya, yang dipelopori oleh Presiden Sukarno sendiri, yang akhirnya sampai membubarkan partai tersebut. Dan setelah itu pemimpin-pemimpinnya dihalaukan masuk penjara bertahun-tahun lamanya. Kemudian sekali barulah diketahui bahwa Presiden Sukarno memang sudah lama dibina dan digarap oleh Komunis; sampai dia jatuh tersungkur dari kemegahannya yang demikian teguh dipertahankannya.

Darwis Thaib penggali doktrin MARHAMISME itu di tahun 1947 menerbitkan brosur kecil bernama “Marhamisme”.

Dalam penggalian membentuk ajaran MARHAMISME untuk ideologi Masyumi ini Darwis Thaib telah menggabungkan penyelidikannya yang dalam terhadap Al-Qur’an dengan ajaran Kedaulatan Rakyat Keadilan Sosial yang diterimanya dari kursus-kursus yang diberikan Muhammad Hatta, yang ditekankan terlebih dahulu kepada PENDIDIKAN. Oleh karena kekecewaan yang dirasakan oleh Hatta setelah Gerakan Nasional dicoba menghancurkannya oleh Belanda, sampai Sukarno ditangkap dan dibuang (1930), lalu Partai Nasional Indonesia (P.N.I) dibubarkan oleh Mr. Sartono, diganti dengan Partai Indonesia. Hatta tak setuju dengan pembubaran dan menukar nama itu; lalu didirikannya PENDIDIKAN Nasional Indonesia. Karena menurut Hatta rasa kebangsaan itu bergantung juga kepada pembentukkan karakter.

Kalau karakter lemah, orang akan lari tumpang-siur apabila musuh datang menghalau. Sebab itu dalam Pendidikan Nasional, Hatta menitikberatkan kepada pendidikan politik, memperdalam kesadaran nasional dan kesediaan berkurban demi cita-cita. Karena untuk mencapai kemerdekaan tanah air tidaklah soal mudah. Penjajah pasti tidak bersedia menyerahkan kemerdekaan itu dalam dulang emas. Itulah yang ditanamkan Hatta dalam partainya tersebut. Temannya di waktu itu ialah Sutan Syahrir.

Belanda memandang partai yang tidak banyak berpidato itu amat berbahaya. Akhirnya Hatta dan Syahrir dibuang ke Digul, namun kader-kader yang mereka tinggalkan tetap menjadi teladan keteguhan pendirian.

Darwis Thaib adalah seorang di antara mereka.

Setelah Masyui berdiri di Sumatera Barat di permulaan kemerdekaan, tidak ayal lagi, Darwis Thaib mendapat didikan Islam yang mendalam yang terus memasuki partai tersebut. Sebagai seorang pemikir, dialah yang menimbulkan citra MARHAMISME yang dikorek dari Surat Al-Balad itu.

MARHAMISME menjadi populer sehingga hilanglah pengaruh MARHAENISME dan MURBAISME yang suku-suku katanya hampir sembunyi dari daerah Sumatera Tengah. Demi perjuangan politik Islam, Masyumi mesti membentuk Kader dan memberikan pendidikan kehidupan MARHAMISME itu. Pendidikan yang dia maksudkan ialah supaya pemimpin dan calon-calon pemimpin benar-benar dididik atau mendidik diri, dilatih atau melatih diri agar benar-benar hidup secara Islami. Mendidik diri menerima dan menjalankan secara mutlak ayat dan bunyi Hadis Rasulullah SAW.

Darwis Thaib mendapat dalam renungannya bahwa apabila kemerdekaan ini telah tercapai dengan sempurna kelak, dan kita telah mendapat “De Jure” akan tiba masanya kaum yang tidak terdidik dalam Islam, kaum Komunis atau Kaum Nasionalis menyingkirkan Islam dari arena perjuangan. Walaupun secara curang. Karena suatu politik yang tidak berurat tunggang kepada agama berpendapat bahwa “kecurangan” adalah salah satu alat untuk mencapai tujuan politik. Tujuan politik ialah kekuasaan.

Sebab itu Darwis Thaib memperingatkan bahaya masuknya kaum oportunis, sarjana-sarjana dan cendekiawan yang tertarik masuk partai karena melihat partai mendapat dukungan massa yang amat hebat. Yang mereka harapkan ialah mendapat kedudukan yang empuk dengan perantaraan Masyumi. Padahal kehidupan peribadi mereka tidaklah menurut Islam. Rukun Islam tidak pernah mereka kerjakan, mereka tidak sembahyang. Tidak nampak Islam, baik pada dirinya ataupun dalam rumahtangganya.

Soal sembahyang lima waktu, puasa, zakat fithrah, zakat harta, pendidikan agama pada kanak-kanak bagi Darwis Thaib adalah syarat mutlak untuk mencapai masyarakat Marhamisme.

Darwis Thaib percaya, kalau satu waktu kelak Partai ini dikejar-kejar pula dan pemimpin-pemimpinnya dihina, disiksa dan dibuang, ataupun dibunuh, mana yang batinnya tidak kuat, niscaya akan lari tumpang-siur pula.

Waktu dia membuka soal ini di kantor Masyumi “Jalan Lurus” Bukitinggi, banyak orang yang tertawa saja, dan menuduh bahwa semuanya itu hanyalah “berkatai-katai” orang sakit demam panas!

Bagi beliau waktu itu, kerjasama di antara Masyumi dengan Muhammadiyah mestilah sangat dieratkan. Sebab Muhammadiyah itu adalah salah satu alat penting untuk membentuk kader perjuangan Islam, yang mesti selalu ditingkatkan untuk mencapai Marhamisme. Dia tertarik kepada pergerakkan Muhammadiyah, terutama di bawah pimpinan Abuya Ahmad Rasyid Sutan Mansyur, karena Muhammadiyah telah dapat menghasilkan pemimpin-pemimpin partai yang gigih memperjuangkan Islam dalam Masyumi, terutama di Sumatera. Sebab Abuya Sutan Mansyur memang sejak lama telah membentuk kader-kader Islam. Dan pada masa itu (1945-1948) Abuya Sutan Mansyur membentuk gerakan Jihad yang giat mengadakan amal, mengerjakan sawah ladang, membangun madrasah, surau, langgar dan lain-lain yang berkenaan juga dengan pertanian dan ekonomi. Semua digerakkan setelah selesai sembahyang Subuh, dan hanya dikerjakan satu jam saja.

Menurut teori beliau, kemenangan politik Islam mesti dimulai dan ditanamkan dari bawah, dari satu jamaah kecil di satu surau kecil, dengan imamnya yang merangkap jadi pemimpin. Ini beliau dasarkan kepada ayat 38 dari Surat 42, Asy-Syura:

“Dan orang-orang yang mematuhi seruan Tuhan mereka, dan mendirikan sembahyang, sedang urusan mereka dipermusyawaratkan di antara mereka, dan sebahagian daripada rezeki yag Kami anugerahkan, mereka belanjakan.”

Di ayat ini terdapat 4 pokok pendidikan:

(1) Kesadaran beragama, (2) Membentuk jamaah dari sebab sembahyang, (3) Latihan selalu musyawarat (demokrasi), (4) Latihan berkurban harta.

Dengan sendirinya dari dasar yang di bawah itu, kepada jamaah, keyakinan politik Islam sudah mulai ditanamkan. Karena sudah nyata bahwa dalam Islam tidak ada pemisahan di antara politik atau kenegaraan dengan agama. Langgar ataupun mesjid adalah lembaga tempat pertumbuhan politik.

Beliau pandang pula pembahagian isi Surat Al-Balad itu dengan kacamata perjuangan politik. Al-Balad berarti Negeri; dan dia akan meningkat menjadi Negara. Tiap jamaah mempunyai Imam, bahkan dalam perjalanan musafir, bila bilangan anggota safari itu telah sampai tiga orang, sudah mesti seorang dijadikan imam. Imam atau pemimpin yang di atas sekali ialah Muhammad SAW. Muhammad sebagai pemimpin tertinggi mesti melalui pengalaman-pengalaman peribadi yang pahit, sampai dipandang orang halal darahnya di negerinya sendiri, sehingga terpaksa hijrah. Namun hijrah bukanlah lari, tetapi pergi menyusun kekuatan lahir dan batin, untuk merebut Negeri itu kembali, yaitu Makkah Al-Mukarramah. Karena dari sana, dari Makkah, yang bernama juga “Ummul Qura” artinya ibu dari negeri-negeri akan dipancarkan kelak pimpinan ke seluruh dunia. Sebab Muhammad diutus ialah untuk menjadi Rahmat bagi seluruh alam (Rahmatan lil ‘Aalamin).

Ketika diadakan “Ulang Tahun ke-II” berdirinya Partai Politik Islam Masyumi di Gedong Nasional (Bekas gedong Belvedere) pada 7 November 1947, di Bukittinggi Wakil Presiden Muhammad Hatta hadir dan turut mendengarkan keterangan dan uaraian bekas murid atau kadernya itu dalam ceramahnya yang brilian tentang MARHAMISME. Dalam memberikan keterangan yang luar biasa mengagumkan saya itu, kelihatan bahwa beliau agak payah karena sakit. Dalam sakitnya itu pidatonya bertambah indah; ada-ada saja penemuan baru tentang ideologi Islam yang ditemuinya. Sehabis dia berpidato seketika akan pulang, Wakil Presiden mengatakan kepada saya rasa sayang karena ideolog yang “Genius” itu sakit.

Sayangnya cita-cita dan penelitian yang indah itu belum sampai diratakan ke seluruh Indonesia. Penyerbuan Belanda yang kedua terjadi. Kami kucar-kacir, Darwis Thaib pun pulang ke Maninjau kampung halamannya. Dan kami pun berserak-serak. Teringat saya Failasuf Jerman yang besar Friedrich Nietsche dengan filsafatnya yang terkenal “superman”. Buah-buah fikirannya yang indah itu pun banyak yang timbul di waktu dia sakit.

Setelah perang berhenti dan sampai pada penyerahan kedaulatan, terbukalah segala hubungan. Jalan ke Jawa telah terbuka. Tetapi Masyumi telah masuk ke dalam lapangan praktis politik yang hebat. Bergolak menegakkan cita-cita di dalam hebatnya pukulan lawan-lawannya.

Apa yang dikira-kirakan oleh Darwis Thaib seketika di Jalan Lurus Bukittinggi yang ketika itu ada yang menertawakan atau menyangka “katai-katai” orang sakit yang tengah mengigau, benar-benar terjadi; Masyumi sesudah tiga kali memegang perdana menteri dan dua kali menjadi Wakil Perdana Menteri, akhirnya dibubarkan oleh Presiden Sukarno.

Tetapi pokok dan dasar faham Marhamisme yang digali oleh Darwis Thaib dari dalam Surat Al-Balad ini masih tercantum dengan baik dan segar, dan masih dapat saja memberikan inspirasi perjuangan untuk tiap-tiap masa, untuk keturunan (generasi) demi keturunan.

Pokok bercatur yang dimainkan Sukarno ialah yang dalam sejarah politik Indonesia dinamai “Kabinet Kaki Empat”. Yaitu Koalisi Empat Partai Besar; (1) Masyumi (2) P.N.I. (3) P.K.I (4) Nahdhatul Ulama. Sukarno pun tahu bahwa mustahil Masyumi akan mau kerjasama dengan Komunis. Dengan ajakan yang mustahil inilah Sukarno lawan politik yang hebat itu mempermain Caturnya, mulai menyisihkan Masyumi.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *