Surah al-‘Ashr 103 ~ Tafsir al-Wasith

Dari Buku:

Tafsīr al-Wasīth
(Jilid 3, al-Qashash – an-Nās)
Oleh: Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili

Penerjemah: muhtadi, dkk.
Penerbit: GEMA INSANI

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang

 

SŪRAT-UL-‘ASHR.

 

ASAS-ASAS KESELAMATAN.

Selamat di hadapan Allah ‘azza wa jalla bukan karena harta, wibawa, ‘ilmu, penemuan, ‘amal dunia semata, perhiasan hidup, fenomena kehidupan yang diperlombakan dan diinginkan manusia. Selamat di hadapan Allah s.w.t. hanyalah berdasarkan sikap mulia yang bersandar pada kaidah keimanan yang benar kepada Allah s.w.t. dan Rasūl-Nya, atau berdasarkan empat asas berikut: jembatan keselamatan di timbangan Ilahi, yaitu iman yang kokoh, ‘amal shāliḥ, saling menasihati berdasarkan kebenaran, keadilan dan kebaikan, saling menasihati untuk sabar menjalankan ketaatan dan menanggung musibah-musibah dunia, inilah putusan Allah s.w.t. dalam surah al-‘Ashr, surah Makkiyyah menurut kebanyakan mufassir:

وَ الْعَصْرِ. إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِيْ خُسْرٍ. إِلَّا الَّذِيْنَ آمَنُوْا وَ عَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَ تَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَ تَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ

Demi masa. Sungguh, manusia berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling menasihati untuk kebenaran dan saling menasihati untuk kesabaran.” (al-‘Ashr [103]: 1-3).

Surah ini menyatukan asas-asas kebaikan dan keselamatan di sisi Allah s.w.t. Imām Syāfi‘ī berkata: “Andai manusia merenungkan surah ini pasti mencukupi dan seandainya al-Qur’ān tidak diturunkan selain surah ini niscaya cukup bagi manusia, karena surah ini berisi seluruh ‘ilmu al-Qur’ān.”

Thabrānī dalam al-Mu‘jam-ul-Awsath, Baihaqī dalam Syu‘ab-ul-Īmān meriwayatkan dari Abū Ḥudzaifah, ia berkata: “Dua sahabat Rasūlullāh s.a.w. bila sudah bertemu tidak akan berpisah hingga salah satu dari keduanya membacakan surah al-‘Ashr, selanjutnya mengucapkan salam.”

Di dalam surah ini menyiratkan isyarat tentang kondisi orang yang tidak dilalaikan oleh sikap bermegah-megahan. Karena itulah surah ini diletakkan setelah surah at-Takātsur.

Ma‘na: Allah s.w.t. bersumpah demi masa, yaitu waktu atau zaman yang dilalui manusia, karena di sana terdapat berbagai pelajaran, pergantian siang dan malam, gelap dan terang silih berganti, beragam peristiwa, kejadian, kondisi dan kepentingan terjadi silih berganti, ini semua menunjukkan keberadaan Sang Pencipta, keesaan, kesempurnaan Dzāt, kuasa dan sifat-sifatNya. Allah s.w.t. bersumpah demi hal tersebut bahwa manusia berada dalam kerugian, kehancuran dan kondisi yang buruk dalam perdagangan, ‘amal perbuatan dan pekerjaan, selain mereka yang dikecualikan Allah s.w.t. selanjutnya.

Sumpah demi masa ini menunjukkan kemuliaan dan nilai penting waktu. Karena itu Nabi s.a.w. bersabda seperti yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abū Hurairah: “Jangan mencela masa karena Allah-lah (Pencipta) masa.”

Seperti yang dijelaskan Rāzī, ayat ini mengingatkan pada asalnya manusia berada dalam kerugian. Kerugian ini sangat jelas sekali pada orang kafir, ia rugi dunia dan akhirat, dan itulah kerugian yang nyata. Sementara orang mu’min, meski kadang rugi di dunia, seperti rugi dalam perdagangan, menghadapi masa tua dan kerasnya hidup, namun semua itu tidak ada nilainya bila dibandingkan dengan keberuntungannya yang ia dapatkan di akhirat dan keuntungannya yang tidak akan pernah lenyap.

Selanjutnya, Allah s.w.t. mengecualikan manusia yang menyandang empat sifat yang menyatukan seluruh kebaikan. Berikut sifat-sifat yang dimaksud:

Pertama; beriman kepada Allah ‘azza wa jalla dengan benar, para malaikat, kitab, rasūl, hari akhir, qadha dan qadar, baik dan buruknya, manis dan getirnya. Keburukan pada sesuatu yang ditaqdīrkan berdasarkan perkiraan manusia sesaat, sementara untuk masa depan atau menurut ‘ilmu Allah s.w.t. tidak ada keburukan dalam taqdir.

Kedua; senantiasa ber‘amal shāliḥ, yaitu menunaikan semua kewajiban dan ketaatan lain, melakukan ‘amal baik, meninggalkan larangan, senantiasa mengucapkan kalimat-kalimat baik yang pahalanya kekal abadi; subḥānallāhi wal-ḥamdulillāhi wa lā ilāha ilallāhu wallāhu akbaru wa lā ḥaula wa lā quwwata illā billāh-il-‘aliyy-il-‘azhīm (Maha Suci Allah, segala puji bagi Allah, tidak ada tuhan (yang berhak disembah) selain Allah, Allah Maha Besar, tidak ada daya dan kekuatan selain karena pertolongan Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Agung).

Ketiga; saling menasihati untuk kebenaran, yaitu semua hal benar, tidak bāthil, semuanya benar seperti beriman kepada Allah ‘azza wa jalla, mengikuti kitab-kitab dan para rasūl-Nya, kebaikan dalam transaksi dan ‘amal perbuatan. Zamakhsyarī menjelaskan, kebenaran adalah semua kebaikan seperti mengesakan Allah s.w.t., taat pada-Nya, mengikuti para rasūl-Nya, zuhud di dunia dan rakus akhirat.

Keempat; saling menasihati untuk bersabar menghindari kemaksiatan yang diinginkan jiwa berdasarkan watak manusia, bersabar menjalankan semua ketaatan yang pelaksanaannya berat bagi jiwa, dan bersabar menghadapi semua musibah yang diujikan Allah s.w.t.

Bersabar seperti tersebut di atas termasuk dalam kebenaran, disebutkan setelahnya dengan mengulangi huruf jarr dan fi‘il yang terkait bertujuan untuk memperlihatkan kesempurnaan perhatian terhadap kebenaran. Sabar bukan sekedar menahan jiwa untuk sesuatu yang diinginkan seperti melakukan atau meninggalkan sesuatu, tapi juga menerima putusan Allah ‘azza wa jalla dengan senang lahir dan bāthin.

Sebagian kalangan Mu‘tazilah menjadikan penjelasan surah ini sebagai dalil pelaku dosa besar kekal di neraka karena tidak ada yang dikecualikan dari kerugian selain orang-orang yang beriman, ber‘amal shāliḥ dan seterusnya. Tanggapan penulis; dalam surah ini tidak ada petunjuk melebihi yang tidak dikecualikan berarti rugi, sementara bila dinyatakan kekal di neraka, itu tidak benar, karena kerugian bersifat umum, mungkin saja mengekalkan seseorang bila mati dalam kondisi kafir, atau bisa saja masuk neraka bila mati dalam keadaan durhaka kemudian setelah itu beralih pada ampunan Allah s.w.t. Bila Allah s.w.t. mengampuni orang yang berbuat maksiat, yang bersangkutan tidak kekal di neraka. Diriwayatkan dalam hadits shaḥīḥ oleh Bazzār dari Abū Sa‘īd al-Khudrī r.a., Nabi s.a.w. bersabda:

مَنْ قَالَ: لَا إِلهَ إِلَّا اللهُ مُخْلِصًا، دَخَلَ الْجَنَّةَ.

Barang siapa mengucapkan “Tidak ada tuhan (yang berhak disembah) selain Allah s.w.t. dengan ikhlas, ia masuk surga.”

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *