فَالْمَاضِيْ مَفْتُوْحُ الْآخِرِ أَبَدًا، وَ الْأَمْرُ مَجْزُوْمُ أَبَدًا، وَ الْمُضَارِعُ مَا كَانَ فِيْ أَوَّلِهِ إِحْدَى الزَّوَائِدِ الْأَرْبَعِ الَّتِيْ الَّتِيْ يَجْمَعُهَا قَوْلُكَ “أَنَيْتُ”، وَ هُوَ مَرْفُوْعٌ أَبَدًا، حَتَّى يَدْخُلَ عَلَيْهِ نَاصِبٌ أَوْ جَازِمٌ.
“Fi‘il mādhī, huruf akhirnya selalu di-fatḥah, fi‘il amr senantiasa di-jazm-kan, dan fi‘il mudhāri‘ – yaitu fi‘il yang diawali oleh salah satu dari empat huruf tambahan yang terangkum dalam ucapan (أَنَيْتُ) – senantiasa marfū‘, kecuali jika ada ‘āmil yang dapat me-nashab-kan atau men-jazm-kan masuk pada fi‘il mudhāri.”
Setelah penulis menjelaskan berbagai macam fi‘il maka beliau mulai menjelaskan berbagai hukum yang terkait dengan masing-masing fi‘il.
Hukum i‘rāb fi‘il mādhī adalah mabnī dengan harakat fatḥah. Harakat fatḥah tersebut bisa berupa harakat fatḥah yang zhāhirah (tampak) dan bisa juga harakat fatḥah muqaddarah (hanya diperkirakan keberadaannya).
Adapun harakat fatḥah zhāhirah terdapat pada:
– Fi‘il shaḥīḥ akhir yang tidak bersambung dengan huruf wāwu jamā‘ah. Contoh: (أَكْرَمَ), (قَدِمَ), (سَافَرَ).
– Fi‘il shaḥīḥ akhir yang tidak bersambung dengan dhamīr rafa‘ mutaḥarrik (dhamīr fā‘il yang berharakat).
Contoh: (سَافَرَتْ زَيْنَبُ), dan (حَضَرَتْ سُعَادُ).
– Setiap fi‘il yang diakhiri huruf wāwu. Contoh: (سَرُوَ) dan (بَذُوَ).
– Setiap fi‘il yang diakhiri huruf yā’. Contoh: (رَضِيَ) dan (شَقِيَ).
Adapun harakat fatḥah yang muqaddarah terbagi menjadi tiga:
– Bisa jadi hal itu terjadi karena ta‘adzdzur, yaitu (pada) setiap fi‘il yang diakhiri huruf alif. Contoh: (دَعَا) dan (سَعَى). Kedua kata tersebut adalah fi‘il mādhī yang mabnī dengan ḥarakat fatḥah muqaddarah (yang diperkirakan berada) di atas huruf alif. Faktor yang menghalangi munculnya harakat fatḥah secara zhāhir adalah ta‘adzdzur.
– Bisa jadi harakat fatḥah itu muqaddarah karena munāsabah (untuk mencocokkan dengan harakat huruf yang terletak setelahnya). Hal itu terjadi pada fi‘il mādhī yang bersambung dengan huruf wāwu jamā‘ah. Contoh: (كَتَبُوْا) dan (سَعِدُوْا). Kedua kata itu adalah fi‘il mādhī yang mabnī dengan ḥarakat fatḥah muqaddarah (yang diperkirakan berada) pada huruf akhirnya. Faktor yang menghalangi munculnya harakat fatḥah secara zhāhir adalah karena huruf yang mesti ditempatinya harus menyesuaikan harakatnya. Adapun huruf wāwu jamā‘ah yang terdapat pada masing-masing fi‘il tersebut merupakan fā ‘il, mabnī dengan harakat sukūn dan menempati kedudukan rafa‘.
– Bisa jadi harakat fatḥah itu muqaddarah untuk menghindari 4 harakat yang berjajar secara berurutan, karena hal ini tidak layak. Contoh untuk hal ini terdapat pada setiap fi‘il mādhī yang bersambung dengan dhamīr rafa‘ yang mutaḥarrik, seperti tā’ fā‘il dan nūn niswah. Contohnya (كَتَبْتُ) “aku telah menulis”, (كَتَبْتَ) “kamu (seorang laki-laki) telah menulis”, (كَتَبْتِ) “kamu (seorang perempuan) telah menulis”, (كَتَبْنَا) “kami telah menulis”, (كَتَبْنَ) “kalian (banyak perempuan) telah menulis”.
Fi‘il-fi‘il tadi adalah fi‘il mādhī yang mabnī dengan ḥarakat fatḥah muqaddarah (yang diperkirakan berada) di atas huruf akhirnya. Faktor yang menghalangi munculnya adalah karena huruf yang ditempatinya harus di-sukūn untuk menghalangi bertemunya 4 huruf yang berharakat yang seolah-olah menampakkan hal tersebut adalah satu kata. Adapun tā’, (نَا), dan nūn adalah fā‘il mabnī dengan harakat dhammah, fatḥah, kasrah, atau sukūn yang menempati kedudukan rafa‘.
Hukum fi‘il amr adalah mabnī yang sesuai dengan tanda jazm bagi fi‘il mudhāri‘-nya.
– Jika fi‘il mudhāri‘-nya adalah fi‘il shaḥīḥ akhir yang di-jazm-kan dengan sukūn, maka fi‘il amr dari fi‘il tersebut mabnī dengan harakat sukūn. Harakat sukūn tersebut bisa zhāhir dan bisa juga muqaddar.
Harakat sukūn yang zhāhir terdapat pada dua tempat, yaitu pada fi‘il shaḥīḥ akhir yang tidak bersambung dengan sesuatu apa pun di akhirnya dan pada fi‘il yang bersambung dengan nūn niswah. Contoh (اِضْرِبْ) dan (اُكْتُبْ). Demikian pula (اِضْرِبْنَ) dan (اُكْتُبْنَ) diiringi penyandaran fi‘il tersebut pada nūn niswah.
Adapun sukūn yang muqaddar hanya terdapat pada satu tempat, yaitu jika fi‘il itu bersambung dengan nūn taukīd yang khafīfah atau yang tsaqīlah. Contohnya: (اِضْرِبَنَّ), (اُكْتُبَنَّ) dan (اِضْرِبْنَ), (اُكْتُبْنَ).
– Jika fi‘il mudhāri‘-nya merupakan fi‘il mu‘tall akhir, yaitu fi‘il yang di-jazm-kan dengan membuang huruf ‘illah-nya, maka fi‘il amr dari fi‘il tersebut di-mabnī-kan dengan membuang huruf ‘illah-nya.
Contohnya: (اِقْضِ), (اِسْعَ), dan (اُدْعُ).
– Jika fi‘il mudhāri‘–nya adalah af‘āl-ul-khamsah, yaitu fi‘il- fi‘il yang di-jazm-kan dengan membuang huruf nūn-nya, maka fi‘il amr dari af‘āl-ul-khamsah adalah di-mabnī-kan dengan membuang huruf nūn-nya. Contohnya: (اُكْتُبَا), (اُكْتُبُوْا), dan (اُكْتُبِيْ).
Fi‘il mudhāri‘ tandanya adalah diawali dengan salah satu huruf tambahan yang berjumlah 4, yang terangkum dalam kata (أَنَيْتُ) atau (نَأَيْتُ) atau (أَتَيْنَ) atau (نَأْتِيْ).
– Huruf hamzah digunakan sebagai kata ganti orang pertama (saya), baik yang jenisnya laki-laki ataupun perempuan, contohnya (أَفْهَمُ) “saya telah paham”.
– Huruf nūn sebagai kata ganti orang pertama yang digunakan untuk memuliakan diri sendiri atau digunakan oleh orang pertama beserta orang lain yang menyertainya, contohnya (نَفْهَمُ) “kami telah paham”.
– Huruf yā’ sebagai kata ganti orang ketiga, contohnya (يَقُوْمُ) “dia sedang berdiri”.
– Huruf tā’ sebagai kata ganti orang kedua (laki-laki) atau orang ketiga (perempuan satu orang), contohnya:
(أَنْتَ تَفْهَمُ يَا مُحَمَّدُ وَاجِبَكَ) “Wahai Muḥammad anda paham akan tugas anda”.
(تَفْهَمُ زَيْنَبُ وَاجِبَهَا) “Zainab sedang memahami tugasnya”.
Jika huruf-huruf tersebut bukan huruf-huruf tambahan tetapi huruf asli dari fi‘il tersebut, seperti (يَنَعَ), (تَفَلَ), (نَقَلَ), (أَكَلَ) atau huruf itu adalah huruf tambahan tetapi tidak menunjukkan pada ma‘na yang telah kami sebutkan, seperti (أَكْرَمَ) “memuliakan”, (تَقَدَّمَ) “mendahulukan”, maka itu adalah fi‘il mādhī bukan fi‘il mudhāri‘.
Fi‘il mudhāri‘ hukumnya mu‘rab jika tidak bersambung dengan nūn niswah atau nūn taukīd yang tsaqīlah maupun yang khafīfah.
– Jika fi‘il tersebut bersambung dengan nūn taukīd maka fi‘il yang diiringi nūn taukīd itu di-mabnī-kan dengan harakat fatḥah. Contohnya adalah firman Allah s.w.t.:
(لَيُسْجَنَنَّ وَ لِيَكُوْنًا مِنَ الصَّاغِرِيْنَ.) “Niscaya dia akan dipenjarakan dan dia akan termasuk golongan orang-orang yang hina” (Yūsuf: 32).
– Jika fi‘il tersebut bersambung dengan nūn niswah maka fi‘il itu di-mabnī-kan dengan harakat sukūn. Contohnya adalah firman Allah ta‘ālā:
(وَ الْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلَادَهُنَّ) “Para ibu hendaklah menyusui anak-anaknya”. (al-Baqarah: 233).
– Jika fi‘il itu mu‘rab maka hukumnya marfū‘ selama belum dimasuki ‘āmil yang me-nashab-kan atau men-jazm-kan. Contohnya:
(يَفْهَمُ مُحَمَّدٌ) “Muḥammad faham”.
(يَفْهَمُ) merupakan fi‘il mudhāri‘ yang marfū‘ karena fi‘il ini tidak dimasuki ‘āmil yang me-nashab-kan atau me-jazm-kan. Tanda rafa‘-nya adalah harakat dhammah yang zhāhirah. (مُحَمَّدٌ) adalah fā‘il dalam keadaan marfū‘ dengan harakat dhammah yang zhāhirah.
– Jika fi‘il itu dimasuki ‘āmil yang me-nashab-kan, maka fi‘il itu menjadi manshūb. Contoh:
(لَنْ يَخِيْبَ مُجْتَهِدُ.) “Orang yang bersungguh-sungguh tidak akan mengalami kegagalan”.
(لَنْ) adalah huruf nafi, berfungsi me-nashab-kan fi‘il dan menunjukkan ma‘na yang akan datang (istiqbāl). (يَخِيْبَ) merupakan fi‘il mudhāri‘ manshūb oleh (لَنْ). Tanda nashab-nya adalah harakat fatḥah yang zhāhirah. (مُجْتَهِدُ) merupakan fā‘il dalam keadaan marfū‘. Tanda rafa‘-nya adalah harakat dhammah yang zhāhirah.
– Jika fi‘il itu dimasuki ‘āmil yang me-jazm-kan, maka fi‘il itu menjadi majzūm. Contoh:
(لَمْ يَجْزَعْ إِبْرَاهِيْمُ) “Ibrāhīm tidak berkeluh-kesah”.
(لَمْ) adalah huruf nafi, berfungsi men-jazm-kan fi‘il dan dapat mengubah ma‘na fi‘il mudhāri‘ yang sebelumnya berma‘na sekarang atau yang akan datang menjadi bentuk lampau (qalb). (يَجْزَعْ) adalah fi‘il mudhāri‘ yang di-jazm-kan oleh (لَمْ). Tanda jazm-nya adalah harakat sukūn. (إِبْرَاهِيْم) adalah fā‘il-nya, marfū‘. Tanda rafa‘-nya adalah harakat dhammah yang zhāhirah.
******