Hati Senang

‘Amil-‘amil yang Me-nashab-kan Fi‘il Mudhari‘ – Ilmu Nahwu Tuhfat-us-Saniyah

Dari Buku:
Ilmu Nahwu Terjemah Tuhfat-us-Saniyah
(Judul Asli: Tuḥfat-us-Saniyati Syarḥu Muqaddimat-il-Ajurrumiyyah)
Oleh: Muhammad Muhyidin ‘Abdul Hamid
Penerjemah: Muhammad Taqdir
Penerbit: Media Hidayah

‘Āmil-‘āmil yang Me-nashab-kan Fi‘il Mudhāri‘

 

MATAN

فَالنَّوَاصِبُ عَشَرَةٌ وَ هِيَ أَنْ وَ لَنْ وَ إِذَنْ وَ كَيْ وَ لَامُ كَيْ وَ لَامُ الْجُحُوْدِ وَ حَتَّى وَ الْجَوَابُ بِالْفَاءِ وَ الْوَاوِ وَ أَوْ.

‘Āmil-‘āmil yang me-nashab-kan fi‘il mudhāri‘ ada 10, yaitu: (أَنْ), (لَنْ), (إِذَنْ), (كَيْ), (لَامُ كَيْ), (لَامُ الْجُحُوْدِ), (حَتَّى), (الْجَوَابُ بِالْفَاءِ), (الْجَوَابُ الْوَاوِ), dan (أَوْ).”

 

SYARAḤ

‘Āmil-‘āmil yang me-nashab-kan fi‘il mudhāri‘ yang tetletak setelahnya ada 10 huruf. Huruf-huruf tersebut terbagi menjadi 3 macam:

  1. Huruf yang me-nashab-kan fi‘il mudhāri‘ dengan sendirinya.
  2. Huruf yang me-nashab-kan fi‘il mudhāri‘ dengan perantaraan (أَنْ) yang tersembunyi (mudhmarah) dan hukumnya boleh disembunyikan atau boleh juga ditampakkan.
  3. Huruf yang me-nashab-kan dengan (أَنْ) mudhmarah yang hukumnya wajib diperkirakan atau disembunyikan.

 

  1. Huruf yang me-nashab-kan fi‘il mudhāri‘ dengan sendirinya ada empat, yaitu (أَنْ), (لَنْ), (إِذَنْ) dan (كَيْ).
  2. (أَنْ) adalah huruf mashdar, pe-nashab, dan huruf istiqbāl. Contohnya adalah firman Allah s.w.t.:

(أَطْبَعُ أَنْ يَغْفِرَ لِيْ) – “Yang amat kuinginkan akan mengampuni kesalahanku” (asy-Syu‘arā’: 82).

(وَ أَخَافُ أَنْ يَأْكُلَهُ الذِّئْبُ) – “Aku khawatir kalau dia dimakan serigala” (Yūsuf: 13).

(إِنِّيْ لَيَحْزُنُنِيْ أَنْ تَذْهَبُوْا بِهِ) – “Sesungguhnya kepergian kalian bersama Yūsuf amat menyedihkanku” (Yūsuf: 13).

(وَ أَجْمَعُوْا أَنْ يَجْعُلُوْهُ فِيْ غَيَابَتِ الْحُبِّ) – “Mereka sepakat untuk memasukkannya ke dasar sumur”. (Yūsuf: 15).

 

  1. (لَنْ) adalah huruf nafi, huruf pe-nashab, dan huruf istiqbāl. Contohnya adalah firman Allah ta‘ālā:

(لَنْ نُؤْمِنَ لَكَ) – “Kami tidak akan beriman kepadamu” (al-Isrā’: 90).

(لَنْ نَبْرَحَ عَلَيْهِ عَاكِفِيْنَ) – “Kami akan tetap menyembah patung anak lembu itu” (Thāhā: 91).

(لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ) – “Kalian sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan” (Āli ‘Imrān: 92).

  1. (إِذَنْ) adalah huruf jawāb (71), jazā’ (82), dan nashab. Fi‘il mudhāri‘ dapat di-nashab-kan dengan huruf ini dengan tiga syarat:

– Huruf (إِذَنْ) harus berada pada permulaan kalimat jawāb.

Fi‘il mudhāri‘ yang terletak sesudah huruf ini harus menunjukkan ma‘na istiqbāl (yang akan datang).

– Antara huruf (إِذَنْ) dan fi‘il mudhāri‘-nya tidak dipisah oleh pemisah apa pun kecuali huruf qasam (sumpah) atau huruf nidā’ (huruf yang digunakan untuk memanggil) atau huruf (لَا) nāfiyah.

Beberapa contoh penggunaan kata yang memenuhi berbagai syarat di atas adalah ucapan salah seorang saudara lelakimu kepadamu:

(سَأَجْتَهِدُ فِيْ دُرُوْسِيْ) – “Saya akan bersungguh-sungguh dalam pelajaranku”.

lalu anda mengatakan kepadanya:

(إِذَنْ تَنْجَحَ) – “Kalau begitu anda akan lulus”.

Contoh penggunaan (إِذَنْ) dengan fi‘il mudhāri‘ yang dipisahkan oleh huruf qasam adalah ucapan anda untuk menjawab pertanyaan saudara anda tadi:

(إِذَنْ وَ اللهِ تَنْجَحَ) – “Jika demikian – demi Allah – anda akan lulus”.

Contoh penggunaan (إِذَنْ) dengan fi‘il mudhāri‘ yang dipisahkan oleh huruf nidā’ adalah ucapan anda:

(إِذَنْ يَا مُحَمَّدُ تَنْجَحَ) – “Jika demikian – wahai Muḥammad – anda akan lulus”.

Contoh penggunaan (إِذَنْ) dengan fi‘il mudhāri‘ yang dipisahkan oleh huruf (لَا) nāfiyah adalah ucapan anda:

(إِذَنْ لَا يَخِيْبَ سَعْيُكَ) – “Kalau begitu tidak akan gagal usahamu”.

(إِذَنْ وَ اللهِ لَا يَذْهَبَ عَمَلُكَ ضِيَاعًا) – “Kalau begitu – demi Allah – amalanmu tidak akan hilang percuma.”

  1. Adapun huruf (كَيْ) “supaya/agar/untuk” adalah huruf mashdar (93) dan nashab. Fi‘il mudhāri‘ dapat di-nashab-kan dengan huruf ini dengan syarat fi‘il tersebut harus didahului lām ta‘līl (yang menunjukkan ma‘na alasan/penjelasan), baik secara lafazh seperti contoh berikut:

(لِكَيْلَا تَأْسَوْا) – “Supaya kalian tidak berduka-cita” (al-Ḥadīd: 29).

atau secara taqdīr seperti contoh berikut:

(كَيْ لَا يَكُوْنَ دُوْلَةً) – “Supaya harta itu jangan beredar” (al-Ḥasyr: 7).

Jika fi‘il mudhāri‘ itu tidak didahului oleh huruf lām ini, baik secara lafazh maupun secara taqdīr, maka fi‘il mudhāri‘ itu di-nashab-kan dengan perantaraan (أَنْ) mudhmarah, sedangkan huruf (كَيْ) adalah huruf ta‘līl.

  1. Jenis yang kedua yaitu huruf yang me-nashab-kan fi‘il mudhāri‘ dengan perantaraan (أَنْ) mudhmarah yang hukumnya boleh diperkirakan/disembunyikan atau boleh pula ditampakkan. Jenis ini ada satu huruf yaitu lām ta‘līl (لَامُ التَّعْلِيْلِ) yang diistilahkan oleh penulis dengan lām kay (لَامُ كَيْ). Hal ini dikarenakan kesamaan fungsi kedua kata tersebut dalam menunjukkan ma‘na ta‘līl (alasan/sebab terhadap lafazh sebelumnya – pent.). Contohnya adalah firman Allah ta‘ālā:

(لِيَغْفِرَ لَكَ اللهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِكَ وَ مَا تَأَخَّرَ.) – “Supaya Allah memberikan ampunan kepadamu terhadap dosamu yang telah lalu dan yang akan datang”. (al-Fatḥ: 2).

(لِيُعِذِّبَ اللهُ الْمُنَافِقِيْنَ.) – “Sehingga Allah meng‘adzāb orang-orang munāfiq laki-laki dan perempuan” (al-Aḥzāb: 73).

  1. Jenis yang ketiga adalah huruf-huruf yang me-nashab-kan fi‘il mudhāri‘ dengan perantaraan (أَنْ) yang wajib disembunyikan, tidak boleh ditampakkan. Jenis ini ada 5 huruf, penjelasannya adalah sebagai berikut:
  2. Lām juḥūd (لَامُ الْجُحُوْدِ). Ketentuannya adalah huruf (لَامُ) tersebut harus didahului oleh (مَا كَانَ) atau (لَمْ يَكُنْ).

Contoh yang pertama, yaitu yang didahului oleh (مَا كَانَ), adalah firman Allah ta‘ālā:

(مَا كَانَ اللهُ لِيَذَرَ الْمُؤْمِنِيْنَ عَلَى مَا أَنْتُمْ عَلَيْهِ) – “Allah sekali-kali tidak akan membiarkan orang-orang yang beriman dalam keadaan seperti yang kamu alami sekarang ini” (Āli ‘Imrān: 179).

(وَ مَا كَان اللهُ لِيُعَذِّبَهُمْ) – “Alah sekali-kali tidak akan meng‘adzāb mereka” (al-Aḥzāb: 33).

Adapun contoh yang kedua, yaitu didahului oleh (لَمْ يَكُنْ), adalah firman Allah ta‘ālā:

(لَمْ يَكُنِ اللهُ لِيَغْفِرَ لَهُمْ وَ لَا لِيَهْدِيَهُمْ سَبِيْلًا.) – “Allah tidak akan memberikan ampunan kepada mereka, tidak pula menunjuki mereka pada jalan yang lurus” (an-Nisā’: 137).

  1. Huruf kedua adalah (حَتَّى) yang mengandung ma‘na ghāyah atau ta‘līl (alasan).

Ma‘na ghāyah adalah apa yang disebutkan sebelum huruf (حَتَّى) akan berakhir dengan terwujudnya apa yang disebutkan sesudah huruf (حَتَّى). Hal ini seperti firman Allah ta‘ālā:

(حَتَّى يَرْجِعَ إِلَيْنَا مُوْسَى.) – “Hingga Mūsā kembali kepada kami” (Thāhā: 91).

Adapun ma‘na ta‘līl adalah apa yang disebutkan sebelum huruf (حَتَّى) menjadi sebab (‘illah) diperolehnya apa yang disebutkan sesudah huruf (حَتَّى). Hal ini seperti yang anda ucapkan kepada saudara lelakimu:

(ذَاكِرْ حَتَّى تَنْجَحَ) – “Belajarlah kamu, dengan sebab itu kamu akan lulus”.

  1. Huruf yang ke-3 dan yang ke-4 adalah huruf fā’ sababiyyah (فَاءُ السَّبَبِيَّةِ) dan huruf wāwu ma‘iyyah (وَاوُ الْمَعِيَّةِ) dengan syarat kedua hal tersebut terletak pada jawaban dari nafi (penafian) atau thalab (permintaan).

Adapun (yang merupakan jawaban dari) nafi, seperti pada firman Allah ta‘ālā:

(لَا يُقْضَى عَلَيْهِمْ فَيَمُوْتُوْا) – “Mereka tidak dibinasakan sehingga mereka mati” (Fāthir: 36).

Adapun thalab ada 8 jenis, yaitu: amr (perintah), du‘ā’ (doa, permohonan), nahyi (larangan), istifhām (pertanyaan), ‘aradh (penawaran), tahdīdh (dorongan/anjuran), tamannī (keinginan yang sulit atau mustahil terjadi), dan rajā’ (harapan terhadap sesuatu yang mungkin terjadi).

 

  • Amr adalah permintaan yang muncul dari pihak yang berkedudukan kepada pihak yang berada di bawahnya. Contohnya ucapan seorang ustadz kepada muridnya:

(ذَاكِرْ فَتَنْجَحَ) – “Belajarlah maka kamu akan berhasil”.

(ذَاكِرْ وَ تَنْجَحَ) – “Belajarlah maka bersamaan dengan itu kamu akan berhasil”.

 

  • Du‘a adalah permohonan yang berasal dari pihak yang berkedudukan rendah kepada pihak yang berkedudukan lebih tinggi. Contohnya:

(اللهُمَّ اهْدِنِيْ فَأَعْمَلَ الْخَيْرَ) – “Ya Allah, tunjukilah aku sehingga dengan sebab itu aku dapat berbuat kebaikan

(اللهُمَّ اهْدِنِيْ وَ أَعْمَلَ الْخَيْرَ.) – “Ya Allah, tunjukilah aku dan bersamaan dengan itu aku akan berbuat kebaikan”.

 

  • Nahyu (larangan), contohnya adalah:

(لَا تَلْعَبْ فَيَضِيْعَ أَمَلُكَ) – “Jangan main-main sehingga dengan sebab itu harapanmu sia-sia nantinya”.

(لَا تَلْعَبْ وَ يَضِيْعَ أَمَلُكَ) – “Jangan main-main yang bersamaan dengan itu harapanmu akan sia-sia.

 

  • Istifhām (pertanyaan), contohnya adalah:

(هَلْ حَفِظْتَ دُرُوْسَكَ فَأَسْمَعَهَا لَكَ) – “Apakah kamu telah menghafal pelajaran-pelajaranmu sehingga dengan sebab itu saya bisa memperdengarkannya kepadamu?

(هَلْ حَفِظْتَ دُرُوْسَكَ وَ أَسْمَعَهَا لَكَ) – “Apakah kamu telah menghafal pelajaran-pelajaran yang bersamaan dengan itu saya akan memperdengarkannya kepadamu?

 

  • Al-‘Aradh (penawaran) yaitu permintaan dengan cara yang halus seperti:

(أَلَا تَزُوْرُوْنَا فَنُكْرِمَكَ) – “Tidakkah kalian mengunjungiku sehingga dengan sebab itu kami dapat memuliakanmu”.

(أَلَا تَزُوْرُوْنَا وَ نُكْرِمَكَ) – “Tidakkah kalian mengunjungiku yang bersamaan dengan itu kami dapat memuliakanmu”.

  • Tahdīdh (dorongan/anjuran) yaitu permintaan disertai penekanan atau pengusikan, seperti:

(هَلَّا أَدَّيْتَ وَاجِبَكَ فَيَشْكُرَكَ أَبُوْكَ) – “Mengapa kamu tidak menunaikan kewajibanmu sehingga dengan sebab itu bapakmu akan berterima-kasih kepadamu?

(هَلَّا أَدَّيْتَ وَاجِبَكَ وَ يَشْكُرَكَ أَبُوْكَ) – “Mengapa kamu tidak menunaikan kewajibanmu bersamaan dengan itu bapakmu akan berterima-kasih kepadamu?

 

  • Tamannī yaitu meminta sesuatu yang mustahil akan terjadi atau meminta sesuatu yang sulit terealisasi; seperti ucapan penyair:
لَيْتَ الْكَوَاكِبَ تَدْنُوْ لِيْ فَأَنْظِمَهَا عُقُوْدَ مَدْحٍ فَمَا أَرْضَى لَكُمْ كَلِمِيْ

(Duhai kiranya bintang-bintang itu mendekatiku maka dengan sebab itu aku akan merangkaikan kalungan pujian baginya, maka tidaklah anda meridhā’i kata-kataku ini).

Yang semisal dengan itu adalah ucapan penyair lainnya:

أَلَا لَيْتَ الشَّبَابَ يَعُوْدُ يَوْمًا فَأُخْبِرَهُ بِمَا فَعَلَ الْمُشِيْبُ.

(Andai saja masa muda itu kembali barang sehari, maka dengan sebab itu aku akan kabarkan kepadanya tentang apa-apa yang dilakukan oleh orang-orang yang telah beruban (orang tua).)

Contoh lain:

(لَيْتَ لِيْ مَالًا فَأَحُجَّ مِنْهُ.) – (Duhai kiranya aku memiliki harta yang banyak, sehingga aku dapat naik haji dengannya).

 

  • Rajā’ yaitu meminta sesuatu hal yang mudah diperoleh/dicapai, seperti:

(لَعَلَّ اللهُ يَشْفِيْنِيْ فَأَزُوْرَكَ) – “Mudah-mudahan Allah menyembuhkan aku, sehingga dengan sebab itu aku dapat mengunjungimu

Sebagian ‘ulamā’ telah menghimpun sembilan perkara yang mendahului fā’ dan wāwu dalam sebuah bait syair:

مُرْ، وَ ادْعُ، وَ انْهَ، وَ سَلْ وَ اعْرِضْ لِحَضِهِمْ تَمَنَّ، وَ ارْجُ، كَذَاكَ النَّفْيُ، قَدْ كَمُلَا.

Penulis di sini hanya menyebut 8 hal karena beliau menganggap rajā’ (harapan) tidak termasuk ke dalam pembagian di atas.

 

  1. Huruf yang kelima adalah (أَوْ). Untuk huruf ini dipersyaratkan harus berma‘na (إِلَّا) atau berma‘na (إِلَى).

Batasan yang pertama bagi huruf (أَوْ) “yang berma‘na illā”, kata-kata yang berada setelah huruf itu harus selesai secara sekaligus, seperti:

(لَأَقْتُلَنَّ الْكَافِرَ أَوْ يُسْلِمَ) – “Saya benar-benar akan membunuh orang kafir itu, kecuali ia masuk Islam”.

Batasan untuk yang kedua (yang berma‘na ilā), hendaknya apa yang berada setelah huruf tersebut selesai sedikit demi sedikit; seperti ucapan seorang penyair:

لَأَسْتَسْهِلَنَّ الصَّعْبَ أَوْ أُدْرِكَ الْمُنَى فَمَا انْفَقَادَتِ الْآمَالُ إِلَّا لِصَابِرِ.

(Benar-benar saya anggap mudah kesulitan itu, sampai aku memperoleh cita-cita, karena cita-cita itu tidaklah tunduk kecuali kepada orang yang sabar).

 

******

Pertanyaan:

Jawablah dari masing-masing pertanyaan berikut ini dengan dua kalimat yang masing-masing terdapat fi‘il mudhāri‘!

  1. ما الذي يؤخرك من القرآن؟
  2. هل تسافر غدا؟
  3. كيف تصنع إذا أردت المذاكرة؟
  4. أي الأطعمة تحب؟
  5. أين يسكن خليل؟
  6. في أي متنزه تقضي يوم العطلة؟
  7. من الذي ينفق عليك؟
  8. كم ساعة تقضيها في المذاكرة.

Isilah titik-titik di bawah ini dengan fi‘il mudhāri‘, kemudian jelaskan kedudukan i‘rāb-nya berikut tanda i‘rāb-nya!

  1. جئت أمس ….. فلم أجدك.
  2. يسرني أن …..
  3. أحببت عليا لأنه……
  4. لن …… عمل اليوم إلى غد.
  5. أنتما …… خالدا.
  6. زورتكما لكي…… معي إلى المتنزه.
  7. ها أنتم هؤلاء……الواجب.
  8. لا تكونوا مخلصين حتى …… أعمالكم.
  9. من أراد …… نفسه فلا يقصر في واجبه.
  10. يعز على أن…..
  11. أسرع السير كي …… أول العمل.
  12. لن …… المسيء من العقاب.
  13. ثابري على عملك كي……
  14. أدوا واجباتكم كي …… على رضا الله.
  15. اتركوا اللعب……..
  16. لو لا أن ……. عليكم لكلفتكم إدمان العمل.

Pertanyaan:

  1. Apa saja (huruf) yang me-nashab-kan fi‘il mudhāri‘ dengan sendirinya?
  2. Apa ma‘na (أَنْ)?
  3. Apa ma‘na (لَنْ)?
  4. Apa ma‘na (إِذَنْ)?
  5. Apa ma‘na (كَيْ)?
  6. Apa saja yang disyaratkan untuk me-nashab-kan fi‘il mudhāri‘ yang datang setelah (إِذَنْ) dan setelah (كَيْ)?
  7. Hal-hal apa saja yang tidak mempengaruhi pemisahan antara (إِذَنْ) sebagai ‘āmil yang me-nashab-kan dengan fi‘il mudhāri‘?
  8. Kapan (أَنْ) yang boleh hukumnya untuk disembunyikan dapat me-nashab-kan? Kapan pula (أَنْ) yang me-nashab-kan wajib untuk disembunyikan?
  9. Apa batasan (لَامُ الْجُحُوْدِ)?
  10. Apa ma‘na (حَتَّى) yang me-nashab-kan?
  11. Hal-hal apa saja yang wajib mendahului (فَاءُ السَّبَبِيَّةِ) atau (وَاوُ الْمَعِيَّةِ)?

Berilah contoh dari apa-apa yang telah anda sebutkan?

Catatan:

  1. 7). Dikatakan huruf jawāb karena berfungsi sebagai jawaban terhadap kalimat sebelumnya. (ed.)
  2. 8). Dikatakan huruf jazā’ karena kalimat yang dimasukinya berfungsi sebagai jazā’ (balasan) terhadap isi yang dikandung kalimat sebelumnya. (ed.)
  3. 9). Huruf ini dan apa yang setelahnya dapat di-ta’wīl mashdar. (ed.)
Alamat Kami
Jl. Zawiyah, No. 121, Rumah Botol Majlis Dzikir Hati Senang,
RT 06 RW 04, Kp. Tajur, Desa Pamegarsari, Parung, Jawa Barat. 16330.