Surah al-Falaq 113 ~ Tafsir al-Mishbah

Tafsir al-Mishbāḥ
(Jilid ke-15, Juz ‘Amma)
Oleh: M. Quraish Shihab

Penerbit: Penerbit Lentera Hati

Rangkaian Pos: Surah al-Falaq 113 ~ Tafsir al-Mishbah

Surah al-Falaq

Surah al-Falaq terdiri dari 5 ayat.

Kata AL-FALAQ, yang berarti “Yang terbelah”,

diambil dari ayat pertama.

 

Surah al-Falaq

Mayoritas ulama berpendapat bahwa surah ini Makkiyyah, yakni turun sebelum Nabi s.a.w. berhijrah ke Madīnah. Pendapat ini berdasarkan Sabab Nuzūl yang menyatakan bahwa kaum musyrikin Makkah berusaha mencederai Nabi dengan apa yang dinamai ‘ain (mata), yakni pandangan mata yang merusak. Ada kepercayaan di kalangan masyarakat tertentu bahwa mata melalui pandangannya dapat membinasakan, dan ada orang-orang tertentu yang matanya demikian. Surah ini dan surah an-Nās – menurut riwayat itu – turun mengajari Nabi menangkalnya. Yang berpendapat bahwa surah ini Madaniyyah mengemukakan riwayat Sabab Nuzūl – yang lain – yakni bahwa surah ini merupakan pengajaran kepada Nabi Muḥammad s.a.w. untuk menangkal sihir yang dilakukan oleh Labīd Ibn al-A‘sham, seorang Yahudi yang tinggal di Madīnah. Riwayat tersebut, walaupun banyak sekali dikemukakan oleh para pengarang kitab tafsir, sebagian ulama menolak ke-shaḥīḥ-annya. Tidak semua yang menerimanya pun menjadikannya sebagai alasan untuk menetapkan bahwa surah ini turun di Madīnah.

Surah ini dinamai Nabi s.a.w. dengan nama surah Qul A‘ūdzu bi Rabb-il-Falaq. Ada juga yang mempersingkat dengan menamainya surah al-Falaq. Surah ini bersama dengan surah sesudahnya, yaitu an-Nās, dinamai juga surah al-Mu‘awwidzatain. Nama itu terambil dari kata kedua surah tersebut yang menggunakan kata A‘ūdzu yang berarti: Aku berlindung sehingga al- Mu‘awwidzatain berarti dua surah yang menuntun pembacanya kepada tempat perlindungan atau memasukkannya ke dalam arena yang dilindungi. Dari nama tersebut, sementara ulama menamai surah ini dengan surah al- Mu‘awwidzatain-ul-Ulā (yang pertama) dan surah an-Nās dengan surah al- Mu‘awwidzatain ats-Tsāniyah (yang kedua).

Kedua surah itu juga dinamai al-Muqasyqisyatain, yang menurut al-Qurthubī berarti yang membebaskan manusia dari kemunafikan.

Tema utama surah ini adalah pengajaran untuk menyandarkan diri dan memohon perlindungan hanya kepada Allah dalam menghadapi aneka kejahatan. Sayyidatinā ‘Ā’isyah r.a., istri Rasūlullāh s.a.w., berkata: “Rasūl meniupkan untuk dirinya al- Mu‘awwidzatain saat menderita sakit menjelang wafatnya, dan ketika keadaan beliau sudah amat parah aku membaca untuknya dan mengusapkan dengan tangan beliau kiranya memeroleh berkat surah ini.” (HR. Bukhārī dan Muslim).

Surah ini dinilai oleh sementara ulama sebagai surah yang ke-20 atau 21 dari segi tertib turunnya. Jumlah ayat-ayatnya sebanyak 5 ayat.

 

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang

 

KELOMPOK 1

AYAT 1-5

قُلْ أَعُوْذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ. مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ. وَ مِنْ شَرِّ غَاسِقٍ إِذَا وَقَبَ. وَ مِنْ شَرِّ النَّفَّاثَاتِ فِي الْعُقَدِ. وَ مِنْ شَرِّ حَاسِدٍ إِذَا حَسَدَ.

ATAT 1

Katakanlah: aku berlindung dengan Tuhan segala yang terbelah.”

Allah s.w.t. memulai kitab-Nya dengan menyebut hidāyah-Nya dan mengajarkan untuk memohonkannya pada surah al-Fātiḥah, Ihdin-ash-Shirāth-al-Mustaqīm, dan firman-Nya pada awal surah al-Baqarah: Huda(n) Lil-Muttaqīn. Ini adalah awal peringkat pejalan menuju Allah, lalu diakhiri-Nya dengan menegaskan persoalan Tauḥīd dalam bentuk yang sangat jelas sambil menetapkan perlunya keikhlasan dan bentuk yang sangat sempurna, sebagaimana dikesankan pada awal surah al-Ikhlāsh dengan kata qul. Ini adalah puncak maqāmāt di kalangan orang-orang ‘Ārif dan, dengan demikian, sempurnalah agama dan berakhirlah perjalanan para pejalan menuju Allah dan ditutuplah surah al-Ikhlāsh itu dengan menetapkan bahwa tiada yang serupa dengan Allah dan ini mengantar seseorang untuk mengarah kepada-Nya serta berkosentrasi penuh dengan-Nya. Dari sini, Allah memerintahkan untuk memohon perlindungan kepada-Nya dari segala macam kejahatan dan keburukan lahir dan batin, sebagaimana dinyatakan pada awal surah ini: Katakanlah, wahai Nabi Muḥammad, kepada siapa pun yang dapat menangkap ucapan, katakanlah sebagai pengajaran dan perintah bahwa aku berlindung dengan Tuhan Pencipta dan Pemelihara segala sesuatu yang terbelah dengan mewujudkannya dari kegelapan ketiadaan. Demikian lebih kurang al-Biqa‘ī menghubungkan ayat di atas dengan surah sebelumnya.

Kata (أَعُوْذُ) a‘ūdzu terambil dari kata (عَوْذ) ‘audz, yakni menuju kepada sesuatu untuk menghindar dari sesuatu yang ditakuti, baik yang dituju itu makhluk hidup, seperti manusia atau jin, atau tak bernyawa, seperti benteng atau gunung, maupun kepada al-Khāliq Allah s.w.t.

Memang, boleh saja seseorang meminta bantuan pihak selain Allah, tetapi pada saat yang sama ia harus menyadari bahwa pada hakikatnya pihak yang dimohonkan bantuan atau perlindungannya itu hanya sebagai sebab (sarana) yang diciptakan Allah untuk membantu dan melindunginya.

Dalam konteks ini, Ibn ‘Abbās menceritakan bahwa: “Suatu ketika aku berjalan di belakang Nabi s.a.w., lalu beliau berkata kepadaku: “Hai anak, kuajarkan kepadamu beberapa kalimat: peliharalah (perhatikanlah) (tuntunan) Allah, niscaya Dia memelihara/memerhatikanmu; peliharalah tuntunan Allah, niscaya engkau akan mendapatkan-Nya selalu di hadapanmu. Apabila engkau bermohon, mohonlah kepada Allah; apabila engkau meminta bantuan, mintalah kepada Allah. Ketahuilah bahwa bila seandainya umat (makhluk) berkumpul untuk memberimu sesuatu manfaat, mereka tidak akan mampu memberimu, kecuali apa yang telah ditetapkan Allah bagimu. Dan seandainya mereka berkumpul untuk menimpakan kepadamu satu mudharat, mereka tidak akan mampu menimpakan atasmu sesuatu, kecuali apa yang telah ditetapkan Allah, pena telah diangkat dan lembaran telah kering.” (HR. at-Tirmidzī).

Al-Qur’ān memperumpamakan orang-orang yang meminta perlindungan kepada selain Allah dengan firman-Nya:

مَثَلُ الَّذِيْنَ اتَّخَذُوْا مِنْ دُوْنِ اللهِ أَوْلِيَاءَ كَمَثَلِ الْعَنْكَبُوْتِ اتَّخَذَتْ بَيْتًا وَ إِنَّ أَوْهَنَ البُيُوْتِ لَبَيْتُ الْعَنْكَبُوْتِ.

Perumpamaan orang-orang yang mengambil perlindungan selain Allah adalah bagaikan laba-laba yang membuat rumah. Sesungguhnya serapuh-rapuh rumah adalah rumah laba-laba.” (QS. al-‘Ankabūt [29]: 41).

Sarang laba-laba adalah tempat perlindungan yang paling rapuh. Betapa tidak, sedang setiap serangga yang masuk ke dalamnya terjerat dan dibinasakan oleh laba-laba pembuat sarang itu, bahkan jangankan serangga, jantan laba-laba begitu selesai melakukan hubungan seks dengan betinanya, sang betina berusaha membinasakannya dan telur laba-laba begitu menetas saling menindih sehingga tidak sedikit yang binasa. Demikian Allah memberi perumpamaan.

Kata (الْفَلَقِ) al-falaq terambil dari akar kata (فَلَق) falaqa yang berarti membelah. Kata ini dapat berarti subjek sehingga berarti pembelah dan dapat juga berarti objek, yakni yang dibelah.

Berbeda-beda pendapat ulama tentang maksud kata tersebut dalam surah ini. Ada yang memahaminya dalam arti sempit dan mengartikannya dengan pagi. Malam dengan kegelapannya diibaratkan sesuatu yang tertutup rapat. Kehadiran cahaya pagi dari celah-celah kegelapan malam menjadikannya bagaikan terbelah. Keadaan demikian menjadikan pagi hari dinamai falaq atau sesuatu yang membelah atau terbelah. Rabb-ul-Falaq adalah Allah s.w.t. karena Dia yang menetapkan dan mengatur sebab-sebab (hukum-hukum alam) yang menjadikan pagi yang membawa terang itu muncul di tengah kegelapan. Sementara ulama yang mendukung pendapat ini menjelaskan lebih jauh bahwa surah ini menyifati Allah dengan Rabb-ul-Falaq/Tuhan Pembelah (gelap dengan cahaya benderang) karena biasanya kejahatan atau kesulitan muncul di malam hari dan atau direncanakan dalam keadaan gelap, baik kejahatan itu dari manusia, binatang, dan sebagainya maupun kesulitan yang diakibatkan oleh kelamnya malam itu sendiri. Nah, dengan meyakini bahwa Allah kuasa membelah kegelapan malam dengan terangnya pagi, seseorang akan yakin pula bahwa Allah juga kuasa menyingkirkan kejahatan dan kesulitan kapan dan di mana pun dengan memunculkan pertolongan dan menyingkirkan kesulitan. Bukankah kejahatan muncul dari kegelapan sampai-sampai ada yang percaya bahwa malam (kegelapan) adalah Tuhan kejahatan?

Ulama yang memahami kata al-falaq dalam pengertian luas memahaminya dalam arti segala sesuatu yang terbelah; tanah dibelah oleh tumbuhan dan oleh mata air, biji-bijian juga terbelah, dan masih amat banyak lainnya. Allah menyifati diri-Nya (فَالِقُ الْحَبِّ وَ النَّوَى) fāliq-ul-ḥabbī wan-nawā/pembelah butir tumbuh-tumbuhan dan biji buah-buahan (QS. al-An‘ām [6]: 95) serta (فَالِقُ الْإِصْبَاحِ) fāliq-ul-ishbāḥ/pembelah kegelapan malam dengan cahaya pagi (QS. al-An‘ām [6]: 96). Dengan merujuk kepada kedua ayat ini, agaknya tidak menyimpang jika Rabb-ul-Falaq dipahami bukan hanya dalam pengertian sempit, tetapi dalam pengertian luas, mencakup segala sesuatu yang dapat dicakup oleh kata falaq.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *