Surah al-Falaq 113 ~ Tafsir al-Mishbah (Bagian 3)

Tafsir al-Mishbāḥ
(Jilid ke-15, Juz ‘Amma)
Oleh: M. Quraish Shihab

Penerbit: Penerbit Lentera Hati

Rangkaian Pos: Surah al-Falaq 113 ~ Tafsir al-Mishbah

AYAT 4

Dan dari kejahatan peniup-peniup pada buhul-buhul.

Ayat yang lalu merupakan permohonan perlindungan dari kejahatan (keburukan) yang terjadi pada waktu tertentu, dan kini melalui ayat di atas yang dimohonkan adalah perlindungan dari ulah sementara orang yang dapat menjerumuskan kepada kesulitan, mudharat, dan penyakit. Yakni, dari kejahatan dan keburukan peniup-peniup pada buhul-buhul.

Kata (النَّفَّاثَاتُ) an-naffātsāt adalah bentuk jama‘ dari kata (النَّفَّاثَةُ) an-naffātsah yang terambil dari akar kata (نَفَثَ) nafatsa yang pada mulanya berarti meniup sambil menggerakkan lidah namun tidak mengeluarkan ludah. Ulama berbeda pendapat tentang fungsi (ـــة) tā’ marbūthah pada kata ini. Sebagian besar memahaminya sebagai tā’ ta’nīts dalam arti ia menunjuk kepada pelaku perempuan sehingga (النَّفَّاثَاتُ) an-naffātsāt adalah perempuan-perempuan yang meniup-niup. Syaikh Muḥammad ‘Abduh menjadikan fungsi tā’ sebagai menunjuk kepada mubālaghah sehingga ia memahami kata tersebut dalam arti orang-orang (baik lelaki maupun perempuan) yang memiliki kemampuan tinggi dan atau sering kali meniup-niup.

Sementara ulama berpendapat bahwa bentuk ma‘rifah (definite) atau dengan kata lain huruf alif dan lām pada kata (النَّفَّاثَاتُ) an-naffātsāt dimaksudkan untuk mengisyaratkan bahwa kejahatan tersebut bukannya lahir dari tiupan itu, tetapi lahir dari pelaku-pelakunya, dan bahwa an-naffātsāt adalah profesi orang-orang yang telah dikenal oleh mitra bicara pada masa turunnya ayat ini.

Kata (الْعُقَد) al-‘uqad adalah bentuk jama‘ dari (عُقْدَة) ‘uqdah yang terambil dari kata (عَقَدَ) ‘aqada yang berarti mengikat. Kata ini dapat dipahami dalam arti harfiah, dan ketika itu ‘aqad berarti tali yang mengikat dan dapat juga dalam arti majāzī, yakni kesungguhan dan tekad untuk mempertahankan isi kesepakatan.

Dalam al-Qur’ān, bentuk jama‘ dari kata ‘uqdah, yakni ‘uqad, hanya ditemukan sekali, yaitu pada ayat 4 al-Falaq ini, sedang bentuk tunggalnya ditemukan pada tiga ayat masing-masing pada QS. al-Baqarah [2]: 235 dan 237, keduanya dengan redaksi ‘uqdat-un-Nikāḥ dan pada QS. Thāhā [20]: 27 yaitu:

قَالَ رَبِّ اشْرَحْ لِيْ صَدْرِيْ، وَ يَسِّرْ لِيْ أَمْرِيْ، وَ احْلُلْ عُقْدَةً مِنْ لِسَانِيْ.

Berkata (Mūsā), Ya Tuhanku, lapangkanlah untukku dadaku, mudahkanlah untukku urusanku dan lepaskanlah ikatan dari lidahku.” (QS. Thāhā [20]: 25-27).

Sepanjang pengamatan penulis, al-Qur’ān tidak menggunakan kata tersebut dalam arti hakiki, tetapi banyak ulama tafsir memahami kata ‘uqad pada ayat ini dalam arti hakiki sehingga mereka berpendapat bahwa (النَّفَّاثَاتِ فِي الْعُقْدِ) an-naffātsāti fil-‘uqad adalah perempuan-perempuan tukang sihir yang meniup-niup pada buhul-buhul dalam rangka menyihir.

Ayat ini dijadikan dasar oleh mereka – di samping ayat-ayat lain – untuk membuktikan bahwa al-Qur’ān mengakui adanya sihir. Mayoritas ulama memahami demikian berdasarkan riwayat tentang Sabab Nuzūl-nya ayat ini, yaitu bahwa Nabi s.a.w. pernah disihir dan merasa terganggu dengan sihir tersebut sehingga Allah s.w.t. mengajarkan beliau untuk menampiknya dengan surah ini dan surah an-Nās.

Syaikh Muḥammad ‘Abduh memahami kata al-‘uqad dalam arti majāzī. Pendapat ini dapat dikuatkan dengan memerhatikan penggunaan al-Qur’ān terhadap kata tersebut sebagaimana penulis kemukakan di atas. Menurut ‘Abduh, an-naffātsāt adalah mereka yang sering kali membawa berita bohong untuk memutuskan hubungan persahabatan dan kasih-sayang antara sesama. Redaksi ini, menurutnya, dipilih al-Qur’ān karena Allah bermaksud mempersamakan mereka dengan para penyihir yang apabila ingin memutuskan ikatan kasih-sayang antara suami istri, mereka mengelabui masyarakat awam dengan jalan mengikat satu ikatan kemudian meniup-niupnya lalu melepaskan ikatan itu sebagai tanda terlepasnya ikatan kasih-sayang yang terjalin antara suami istri. Memang – tulis ‘Abduh lebih jauh – membawa berita bohong untuk memutuskan hubungan baik mirip dengan sihir karena yang demikian itu menjadikan kasih-sayang yang tadinya terjalin berubah menjadi permusuhan, melalui cara licik tersembunyi. ‘Abduh dengan tegas menolak pendapat ulama yang mengaitkan Sabab Nuzūl-nya surah ini dengan disihirnya Nabi Muḥammad s.a.w.: Bagaimana mungkin dinyatakan demikian, sedang surah ini turun di Makkah dan apa yang mereka katakan tentang disihirnya Nabi terjadi di Madīnah?

Pendapat ‘Abduh di atas benar jika dipahami pengertian Sabab Nuzūl dalam arti peristiwa yang terjadi menjelang turunnya suatu ayat. Tetapi, ulama-ulama al-Qur’ān memperkenalkan makna kedua dari Sabab Nazūl, yaitu peristiwa yang dapat dicakup hukum atau kandungannya oleh ayat al-Qur’ān, baik peristiwa tersebut terjadi sebelum maupun sesudah turunnya ayat.

Walaupun ‘Abduh menolak hadits tentang disihirnya Nabi s.a.w., dengan hati-hati ulama ini menekankan bahwa yang menolak riwayat itu tidak otomatis dapat dikatakan menolak pengaruh sihir terhadap orang lain. Walaupun, tulisnya lebih jauh: “Orang yang tidak mempercayai adanya sihir tidak dapat dinilai keluar dari agama karena Allah s.w.t. telah menyebutkan dalam sekian banyak ayat hal-hal yang harus dipercayai oleh orang-orang mu’min dan tidak ada ayat yang menyebutkan sihir sebagai sesuatu yang harus dipercayai sebagaimana kepercayaan penyembah berhala.”

Sementara ulama, yang memahami al-‘uqad dalam pengertian majāzī, berpendapat bahwa an-naffātsāt adalah istri-istri atau perempuan-perempuan yang berusaha memengaruhi pendapat-pendapat lelaki atau suami mereka yang telah kukuh dan benar. Pendapat ini tidak mempunyai dasar kebahasaan, apalagi argumen keagamaan, walaupun harus diakui bahwa memang ada saja istri atau perempuan yang melakukan hal demikian.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *