(وَ قَدْ أَضَلُّوْا كَثِيْرًا) “Dan sesudahnya mereka telah menyesatkan kebanyakan (manusia);” yakni para pembesar dan para pemimpin mereka telah menyesatkan banyak manusia. Ada yang mengatakan bahwa dhamīr pada ayat di atas kembali kepada berhala-berhala, yakni banyak manusia yang tersesat karena berhala-berhala itu. Seperti perkataan Ibrāhīm a.s. di dalam al-Qur’ān: (رَبِّ إِنَّهُنَّ أَضْلَلْنَ كَثِيْرًا مِنَ النَّاسِ.) “Ya Tuhanku, sesungguhnya berhala-berhala itu telah menyesatkan kebanyakan daripada manusia.” (QS. Ibrāhīm [14]: 36).
Dan di sini digunakan dhamīr untuk yang berakal karena orang-orang kafir yang menyembahnya berkeyakinan bahwa berhala-berhala itu berakal.
(وَ لَا تَزِدِ الظَّالِمِيْنَ إِلَّا ضَلاَلًا.) “dan janganlah Engkau tambahkan bagi orang-orang yang zhalim itu selain kesesatan.” Di-‘athaf-kan pada kalimat (رَّبِّ إِنَّهُمْ عَصَوْنِيْ) “Ya Tuhanku, sesungguhnya mereka telah mendurhakaiku.” Penempatan sesuatu yang zhahir pada sesuatu yang samar untuk melekatkan sifat kezhaliman pada mereka. Abū Ḥayyān berkata: “Kalimat ini di-‘athaf-kan kepada (وَ قَدْ أَضَلُّوْا) “Dan sesudahnya mereka telah menyesatkan.” Dan makna (إِلَّا ضَلاَلًا) “selain kesesatan” adalah (إِلَّا عَذَابًا) “selain adzab”. Demikianlah yang dinyatakan oleh Ibnu Baḥr, dan dia berdalil dengan firman Allah: (إِنَّ الْمُجْرِمِيْنَ فِيْ ضَلَالٍ وَ سُعُرٍ) “Sesungguhnya orang-orang yang berdosa berada dalam kesesatan (di dunia) dan dalam neraka.” (QS. al-Qamar [54]: 47).
Ada pendapat lain yang mengatakan maknanya (إِلَّا خُسْرَنًا) “selain kerugian”. Pendapat lain, selain cobaan dengan harta dan anak. Pendapat lain lagi, selain kesesatan dalam tipu-daya mereka.
(مِمَّا خَطِيْئَاتِهِمْ أُغْرِقُوْا) “Disebabkan kesalahan-kesalahan mereka, mereka ditenggelamkan.” Partikel (مَا) di sini adalah tambahan untuk penguatan, dan maknanya (مِنْ خَطِيْئَاتِهِمْ) “dari kesalahan-kesalahan mereka”, yakni lantaran kesalahan-kesalahan mereka dan disebabkan olehnya, mereka ditenggelamkan dengan banjir bah. (فَأُدْخِلُوْا نَارًا) “lalu dimasukkan ke neraka.” Setelah itu, yaitu api di akhirat. Ada yang mengatakan maksudnya siksa kubur. Jumhur ulama membaca (خَطِيْئَاتِهِمْ) dengan bentuk jama‘ sālim. Abū ‘Amr membaca (خَطَايَاهُمْ) dengan bentuk jama‘ taksīr, dan al-Jahdarī, ‘Amr bin ‘Ubaid, al-A‘masy, Abū Haiwah, dan Asyhab al-‘Uqailī membaca (خَطِيْئَتِهِمْ) dengan bentuk mufrad. Adh-Dhaḥḥāk berkata: “Mereka disiksa dengan api di dunia berbarengan dengan tenggelam, pada satu sisi mereka tenggelam dalam banjir bah dan di sisi lain mereka terbakar. Jumhur ulama membaca (أُغْرِقُوْا) dari akar kata (أَغْرَقَ), sementara Zaid bin ‘Alī membaca (غَرَّقُوْا) dengan tasydīd.
(فَلَمْ يَجِدُوْا لَهُمْ مِّنْ دُوْنِ اللهِ أَنْصَارًا.) “maka mereka tidak mendapat penolong-penolong bagi mereka selain dari Allah.” Yakni tidak menemukan seorang pun yang dapat mencegah dan melindungi mereka dari siksa Allah.
(وَ قَالَ نُوْحٌ رَّبِّ لَا تَذَرْ عَلَى الْأَرْضِ مِنَ الْكَافِرِيْنَ دَيَّارًا.) “Nūḥ berkata: “Ya Tuhanku, janganlah Engkau biarkan seorang pun di antara orang-orang kafir itu tinggal di atas bumi.” Ayat ini di-‘athaf-kan pada ayat: (قَالَ نُوْحٌ رَّبِّ إِنَّهُمْ عَصَوْنِيْ) “Nūḥ berkata: “Ya Tuhanku, sesungguhnya mereka telah mendurhakaiku.” Tatkala Nūḥ a.s. telah hilang harapan dari keimanan mereka dan berhenti dari kekafiran mereka, maka Nūḥ a.s. mendoakan kehancuran atas mereka. Qatādah berkata: Nūḥ a.s. mendoakan kebinasaan atas mereka setelah beliau menerima wahyu bahwa: (أَنَّهُ لَنْ يُؤْمِنَ مِنْ قَوْمِكَ إِلَّا مَنْ قَدْ آمَنَ.) “Bahwasanya sekali-kali tidak akan beriman di antara kaummu, kecuali orang yang telah beriman (saja).” (QS. Hūd [11]: 36) maka Allah mengabulkan doa beliau menenggelamkan mereka. Muḥammad bin Ka‘b, Muqātil, ar-Rabī‘ bin Anas, Ibnu Zaid, dan ‘Athiyyah berkata: “Sesungguhnya beliau berkata (berdoa) demikian ketika Allah telah mengeluarkan semua orang mu’min dari tulang rusuk mereka dan rahim istri-istri mereka, kemudian Allah memandulkan kaum laki-laki dan perempuan mereka sebelum datangnya adzab selama tujuh puluh tahun, atau ada yang mengatakan empat puluh tahun.
Qatādah berkata: “Tidak ada bayi pada saat adzab itu diturunkan.” Al-Ḥasan dan Abul-‘Ālī berkata: “Kalau saja Allah membinasakan anak-anak kecil mereka bersama mereka, maka itu adalah hukuman (adzab) dari Allah kepada mereka, dan itu adil bagi mereka, akan tetapi Allah membinasakan keturunan mereka dan anak-anak mereka tanpa siksaan, kemudian Allah menghancurkan mereka dengan adzab.”
Makna (دَيَّارًا) adalah orang yang menempati rumah tinggal. Asalnya adalah (دَيْوَار) dengan wazan (فَيْعَال) dari akar kata (دَارَ – يَدُوْرُ), kemudian huruf wāu diubah menjadi yā’ dan dimasukkan salah satunya kepada yang lainnya. Seperti lafazh (الْقِيَام) asalnya adalah (قَيْوَام).
Al-Qurthubī berkata: “Asal katanya dari (الدَّار) yaitu (نَازِلٌ بِالدَّارِ) “orang yang menempati rumah”, sebagaimana biasa dikatakan, (مَا بِالدَّارِ دَيَّارٌ) yakni tidak seorang pun di rumah. Pendapat lain mengatakan (الدَّيَّارُ) adalah pemilik rumah. Dengan demikian maknanya “Janganlah Engkau biarkan seorang pun melainkan Engkau binasakan.”
(إِنَّكَ إِنْ تَذَرْهُمْ يُضِلُّوْا عِبَادَكَ) “Sesungguhnya jika Engkau biarkan mereka tinggal, niscaya mereka akan menyesatkan hamba-hambaMu” yakni jika Engkau biarkan mereka hidup di bumi maka mereka akan menyesatkan hamba-hambaMu dari jalan kebenaran. (وَ لَا يَلِدُوْا إِلَّا فَاجِرًا كَفَّارًا.) “dan mereka tidak akan melahirkan selain anak yang berbuat maksiat lagi sangat kafir.” Yakni kecuali seorang yang berakhlak rendah, tidak mentaati-Mu dan mengingkari nikmat-Mu, yakni sangat mengingkarinya. Maknanya adalah, kecuali orang yang akan berbuat maksiat dan kufur.
Kemudian tatkala Nūḥ a.s. mendoakan kebinasaan atas orang-orang kafir, beliau menyertakan doa kebaikan untuk dirinya, kedua orang tuanya, dan semua orang-orang mu’min. Beliau berkata: (رَبِّ اغْفِرْ لِيْ وَ لِوَالِدَيَّ) “Ya Tuhanku! Ampunilah aku, ibu bapakku.” Dan kedua orang tua beliau adalah orang yang beriman, ayah berliau adalah Lāmik bin Matūsyalakh, sebagaimana diawal pembahasan, dan ibu beliau adalah Samḥā’ binti Anūsy, ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud dalam doa beliau itu adalah Ādam dan Ḥawwa’. Sa‘īd bin Jubair berkata: Yang dimaksud kedua orang tuanya adalah ayahnya dan kakeknya. Dan Sa‘īd bin Jubair membaca (وَ لِوَالِدِيْ) dengan harakat kasrah pada dāl sebagai bentuk mufrad.
(وَ لِمَنْ دَخَلَ بَيْتِيَ) “dan orang yang masuk ke rumahku” Adh-Dhaḥḥāk dan al-Kalbī berkata: “Yakni masjidnya.” Ada yang mengatakan rumah yang ditinggalinya, ada yang mengatakan kapalnya, ada juga yang mengatakan maksudnya orang yang masuk agamanya. Manshūb-nya (مُؤْمِنًا) “dengan beriman” sebagai hal (keterangan kondisi), yakni bagi orang yang masuk ke rumahku yang bersifat dengan keimanan, maka tidak termasuk di dalamnya orang yang tidak bersifat dengan sifat ini, seperti istri beliau, dan anak beliau yang mengatakan: (سَئَاوِيْ إِلَى جَبَلٍ يَعْصِمُنِيْ مِنَ الْمَاءِ) “Aku akan mencari perlindungan ke gunung yang dapat memeliharaku dari air bah!” (Qs. Hūd [11]: 43).
Kemudian beliau berdoa secara umum dan berkata: (وَ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَ الْمُؤْمِنَاتِ) “dan semua orang yang beriman laki-laki dan perempuan.” Yakni, ampunilah semua orang yang menyandang keimanan dari semua kalangan laki-laki dan perempuan. Kemudian beliau kembali mendoakan kebinasaan atas orang-orang kafir, dan berkata: (وَ لَا تَزِدِ الظَّالِمِيْنَ إِلَّا تَبَارًا.) “Dan janganlah Engkau tambahkan bagi orang-orang yang zhalim itu selain kebinasaan.” Yakni, janganlah Engkau tambahkan bagi orang-orang yang menyandang kezhaliman kecuali kebinasaan, kerugian, dan kehancuran. Doa beliau ini menyeluruh dan mencakup semua orang yang zhalim hingga hari kiamat, sebagaimana doa beliau: “dan semua orang yang beriman laki-laki dan perempuan” menyeluruh dan mencakup semua orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, hingga hari kiamat.
Diriwayatkan oleh Ibnu Jarīr dan Ibnu Mundzir dari Ibnu ‘Abbās tentang firman Allah: (وَ لَا تَذَرُنَّ وَدًّا وَ لَا سُوَاعًا وَ لَا يَغُوْثَ وَ يَعُوْقَ وَ نَسْرًا.) “dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) wadd, dan jangan pula suwā‘, yaghūts, ya‘ūq dan nasr.” Ibnu ‘Abbās mengatakan: “Berhala-berhala ini telah disembah pada zaman Nūḥ a.s.”
Al-Bukhārī, Ibnu Mundzir, dan Ibnu Mardawaih meriwayatkan darinya (Ibnu ‘Abbās), ia berkata: Berhala-berhala yang dulu disembah pada masa Nūḥ a.s. ada di kalangan ‘Arab; adapun Wadd adalah berhala milik suku al-Kalb di Daumah al-Jundal, Suwā‘ adalah milik suku Hudzail, Yaghūts milik Murād yang kemudian ke anak-anak suku Ghuthaif, Ya‘ūq miliki suku Hamdān, dan Nasr milik suku Ḥimyar. Keturunan suku Dzul-Kilā’ memiliki nama-nama orang-orang baik dari kaum Nūḥ a.s., dan ketika mereka telah tiada, syaithan menggoda kaumnya dan memerintahkan mereka membuat patung-patung yang diletakkan di tempat perkumpulan mereka. Kemudian patung-patung itu diberi nama dengan nama-nama orang-orang baik itu, kaumnya pun melaksanakan perintah syaithan ini. Dan patung-patung itu tidak disembah hingga satu kaum itu telah tiada, kemudian ilmu diangkat, maka patung-patung itu pun dijadikan sesembahan.