(وَ إِنِّيْ كُلَّمَا دَعَوْتُهُمْ لِتَغْفِرَ لَهُمْ) “Dan sesungguhnya setiap kali aku menyeru mereka (kepada iman) agar Engkau mengampuni mereka.” Yakni setiap kali aku menyeru dan mengajak mereka kepada penyebab pengampunan, yaitu beriman dan taat kepada-Mu.
(جَعَلُوْا أَصَابِعَهُمْ فِيْ آذَانِهِمْ) “mereka memasukkan anak jari mereka ke dalam telinganya” supaya tidak mendengar suaraku. (وَ اسْتَغْشَوْا ثِيَابَهُمْ) “dan menutupkan bajunya (ke mukanya)” yakni mereka menutupi wajah mereka dengan baju itu agar tidak melihatku. Pendapat lain menyebutkan bahwa mereka meletakkan baju mereka di atas kepala mereka sehingga tidak dapat mendengar ucapanku. Maka penutupan dengan baju ini sebagai tambahan dalam menutup telinga. Pendapat lain lagi menyatakan itu merupakan kinayah dari permusuhan, sering dikatakan: “Si fulan mengenakan pakaian permusuhan. Ada juga yang berpendapat bahwa mereka menutupi wajah mereka dengan baju supaya beliau tidak mengenali mereka.
(وَ أَصَرُّوْا) “dan mereka tetap (mengingkari)” yakni mereka terus-menerus dalam kekufuran, tidak melepaskan diri darinya, dan tidak bertobat darinya. (وَ اسْتَكْبَرُوا) “dan menyombongkan diri” untuk menerima kebenaran dan mematuhi apa yang diperintahkan olehnya. (اسْتِكْبَارًا.) “kesombongan” yang sangat.
(ثُمَّ إِنِّيْ دَعَوْتُهُمْ جِهَارًا.) “Kemudian sesungguhnya aku telah menyeru mereka (kepada iman) dengan cara terang-terangan” yakni membawa seruan itu secara terang-terangan kepada mereka.
(ثُمَّ إِنِّيْ أَعْلَنْتُ لَهُمْ) “kemudian sesungguhnya aku (menyeru) mereka (lagi) dengan terang-terangan” yakni menyeru mereka lagi secara terang-terangan kepada mereka dengan berdoa.
(وَ أَسْرَرْتُ لَهُمْ إِسْرَارًا.) “dan dengan diam-diam” yakni dan aku juga sering menyeru secara rahasia. Suatu pendapat menyatakan maknanya adalah seseorang menyeru tiap-tiap orang dengan cara berdua-duaan, maksudnya di sini bahwa beliau menyeru mereka dengan berbagai macam cara dan metode yang bervariasi, namun itu tetap tidak membuahkan hasil. Mujāhid mengatakan: makna “menyeru secara terang-terangan” telah jelas, dan menyeru secara diam-diam” adalah mendatangi mereka ke rumah masing-masing (door to door) dan menyeru mereka. Manshūb-nya lafazh (جِهَارًا) “terang-terangan” karena sebagai mashdariyyah, karena seruan/doa dapat dilakukan secara terang-terangan dan tidak terang-terangan. Cara terang-terangan merupakan salah satu jenis seruan/doa. Atau bisa juga (جِهَارًا) ini menjadi shifat dari mashdar yang dibuang, yakni (دُعَاءً جِهَارًا). Atau boleh juga menjadi mashdar dalam kedudukan ḥāl (keterangan kondisi), yakni (مُجَاهِرًا). Maknanya menunjukkan jauhnya usaha dari hasil yang diharapkan, karena cara terang-terangan lebih efektif daripada diam-diam, dan penggabungan antara keduanya lebih efektif daripada hanya dengan salah satunya. Jumhur ulama membaca (إِنِّيْ) dengan sukūn pada huruf yā’, sementara Abū ‘Amr dan ulama Ḥarām dengan fatḥah.
(فَقُلْتُ اسْتَغْفِرُوْا رَبَّكُمْ إِنَّهُ كَانَ غَفَّارًا.) “maka aku katakan kepada mereka: “Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun.” Yakni mohonlah ampunan dari dosa-dosa kalian yang telah lalu dengan niat yang tulus. (إِنَّهُ كَانَ غَفَّارًا) “sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun.” Yakni banyak memberi ampunan kepada orang-orang yang berdosa. Suatu pendapat menyatakan bahwa makna “mohonlah ampunan” yakni bertobatlah dari kekafiran, sesungguhnya Dia Maha Pengampun bagi orang-orang yang bertobat.
(يُرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْكُمْ مِّدْرَارًا.) “niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat dari langit kepadamu” yakni mengirimkan “air langit” (hujan) kepada kalian, di sini terdapat sesuatu yang disamarkan. Ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan (السَّمَاءَ) “langit” di sini adalah (الْمَطَر) “hujan”, sebagaimana perkataan seorang penyair:
إِذَا نَزَلَ السَّمَاءُ بِأَرْضِ قُوْمٍ | رَعَيْنَاهُ وَ إنْ كَانُوْا غِضَابَا |
“Jika langit (hujan) turun di tanah suatu kaum…..
Maka Kami akan memeliharanya sekalipun mereka dalam keadaan marah.”
Kata (الْمِدْرَار) berarti (الدرور), yaitu pancaran hujan dan curahannya, baik keberadaan (مِدْرَارًا) sebagai ḥāl dari (السَّمَاءَ), dan ini tidak di-mu’annats-kan, karena wazan (مِفْعَال) tidak dapat di-mu’annats-kan, sebagaimana kata (مِئْنَاث) dan (مِذْكَار), atau keberadaannya sebagai sifat untuk mashdar yang dihilangkan, yakni (إِرْسَالا مِدْرَارًا). Pembahasan mengenai hal ini telah dijelaskan sebelumnya dalam surah al-An‘ām.
Kemudian kata (يُرْسِل) di-jazam-kan karena keberadaannya sebagai penimpal perintah (jawāb-ul-amr). Dari ayat ini dapat diambil pelajaran bahwa istighfar (memohon ampunan) termasuk sebab terbesar diturunkannya hujan dan tercapainya berbagai macam karunia rezeki.
(وَ يُمْدِدْكُمْ بِأَمْوَالٍ وَ بَنِيْنَ وَ يَجْعَلْ لَّكُمْ جَنَّاتٍ) “dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun” Yakni perkebunan. (وَ يَجْعَلْ لَّكُمْ أَنْهَارًا.) “dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai.” Yang mengalir. ‘Athā’ mengatakan: Maknanya, akan memperbanyak harta dan anak-anak kalian. Nūḥ a.s. memberitahu mereka bahwa keimanan mereka kepada Allah menggabungkan antara keberuntungan berlimpah di akhirat dan kesuburan serta kekayaan di dunia.
(مَّا لَكُمْ لَا تَرْجُوْنَ للهِ وَقَارًا.) “Mengapa kamu tidak percaya akan kebesaran Allah?” yakni apa yang membuat kalian tidak berharap?, dan “harapan” (الرَّجَاء) di sini berarti takut (الْخَوْف), yakni mengapa kalian tidak merasa takut dan khawatir? (وَقَارًا) atau (الْوَقَار) berarti (الْعَظَمَة) “keagungan”, diambil dari istilah (التَّوْقِيْر) “penghormatan” yang berarti (التَّعْظِيْم) “pengagungan”, dan maknanya mengapa kalian tidak mempercayai kebenaran keagungan-Nya lantas kalian bertauhid kepada-Nya dan menaati-Nya. Lafazh (لَا تَرْجُوْنَ) dalam posisi nashab sebagai ḥāl, dari dhamīr mukhāthabīn, dan yang berfungsi padanya adalah makna istiqrār (ketetapan) pada (لَكُمْ). Di antara contoh pemutlakan makna (الرَّجَاء) “harapan” kepada (الْخَوْف) “takut” adalah perkataan al-Hadzalī:
إِذَا لَسَعَتْهُ النَّحْلُ لَمْ يَرْجُ لَسْعَهَا.
“Apabila seseorang pernah disengat lebah, maka ia tidak lagi takut (tidak lagi peduli) sengatannya.”
Sa‘īd bin Jubair, Abul-‘Āliyyah, dan ‘Athā’ bin Abī Rabāḥ berpendapat: “Mengapa kalian tidak mengharapkan pahala dari Allah dan tidak takut terhadap hukumannya.” Mujāhid dan adh-Dhaḥḥāk berkata: “Mengapa kalian tidak mempedulikan kebesaran Allah.” Quthrub mengatakan: Ini adalah bahasa yang biasa digunakan oleh suku Ḥijāz, Hudzail, Khuzā‘ah, dan Mudhar, mereka biasa mengatakan: (لَمْ أَرْجُ) “tidak berharap” dengan makna tidak takut/tidak peduli. Qatādah berkata: “Mengapa kalian tidak mengharapkan dari Allah konsekuensi keimanan.” Ibnu Kaisān berkata: Mengapa kalian tidak mengharapkan kebaikan dalam menyembah dan mematuhi Allah, serta dalam pengagungan kepada-Nya.” Ibnu Zaid berkata: “Mengapa kalian tidak menaati Allah.” Al-Ḥasan berkata: “Mengapa kalian tidak mengakui hak Allah dan tidak mensyukuri-Nya atas nikmat yang diberikan.”
Kalimat (وَ قَدْ خَلَقَكُمْ أَطْوَارًا.) “Padahal Dia sesungguhnya telah menciptakan kamu dalam beberapa tingkatan kejadian.” Dalam keadaan nashab sebagai ḥāl (keterangan kondisi), yakni keberadaannya bahwa Dia telah menciptakan kamu pada fase-fase yang berbeda; sperma, embrio, kemudian segumpal daging hingga sempurnanya penciptaan, sebagaimana telah dijelaskan dalam surah al-Mu’minūn. (الطُّوْر) secara bahasa berarti (الْمَرَّة) sekali/tahapan). Ibn-ul-Anbarī berkata: “(الطُّوْر) “fase” adalah (الْحَال) “kondisi” dan bentuk jama‘-nya adalah (أَطْوَارًا). Ada pendapat yang mengatakan fase-fase bayi, fase-fase remaja, kemudian fase-fase masa tua. Ada juga yang mengatakan fase-fase ini adalah fase-fase perbedaan mereka dalam perilaku, perkataan, dan akhlak. Dengan demikian maknanya: bagaimana kalian lalai mengagungkan Dzāt yang telah menciptakan kalian melalui fase-fase yang mengagumkan ini.
(أَلَمْ تَرَوْا كَيْفَ خَلَقَ اللهُ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ طِبَاقًا.) “Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah menciptakan tujuh langit bertingkat-tingkat?” pembicaraan ini ditujukan kepada siapa saja yang sesuai untuk menerimanya. Yang dimaksud di sini adalah mengambil dalil (bukti) dengan penciptaan langit-langit melalui sempurnanya kekuasaan-Nya dan keindahan penciptaan-Nya, yang berhak untuk disembah. (الطِّبَاق) “bertingkat-tingkat” adalah penerapan sebagian di atas sebagian yang lain, setiap langit diterapkan di atas langit lainnya, seperti kubah. Al-Ḥasan berkata: “Allah menciptakan tujuh langit di atas tujuh bumi, di antara satu bumi dan bumi lainnya ada makhluk dan perkara. Ketetapan masalah ini telah dijelaskan dalam firman Allah: (وَ مِنَ الْأَرْضِ مِثْلَهُنَّ) “Dan seperti itu pula bumi.” (Qs. ath-Thalāq [65]: 12). Dan manshūb-nya (طِبَاقًا) sebagai mashdariyyah, sebagaimana engkau mengatakan: (طِبَاقه مُطَابَقَة وَ طِبَاقًا) “deriwasi dari akar kata yang sama” atau keberadaannya sebagai ḥāl, yang bermakna (ذَاتَ طِبَاق) “memiliki tingkatan-tingkatan” kemudian (ذَاتَ) dihapus dan ditempatkan padanya lafazh (طِبَاقًا). Sementara al-Farrā’ pada selain al-Qur’ān membolehkan menempatkan (طِبَاقًا) sebagai kata shifat.