Suratu Nuh 71 ~ Tafsir al-Mishbah (4/4)

Tafsir al-Mishbāḥ
(Jilid ke-15, Juz ‘Amma)
Oleh: M. Quraish Shihab

Penerbit: Penerbit Lentera Hati

Rangkaian Pos: Suratu Nuh 71 ~ Tafsir al-Mishbah

AYAT 25.

71: 25. Disebabkan dosa-dosa mereka, mereka ditenggelamkan lalu mereka dimasukkan (ke) neraka, maka mereka tidak mendapat buat mereka – selain Allah – penolong-penolong.

Allah menyambut doa Nabi Nūḥ a.s. itu – sambil menjelaskan mengapa mereka dijatuhi siksa. Allah berfirman: Hanya disebabkan dosa-dosa mereka sehingga mereka ditenggelamkan oleh topan dan banjir besar yang dikirim Allah kepada para pendurhaka itu – bukan karena doa Nabi Nūḥ – lalu, segera setelah mereka ditenggalamkan, mereka telah, yakni pasti akan, dimasukkan ke api neraka yang amat besar, maka mereka tidak mendapat buat mereka – selain Allah – penolong-penolong yang dapat menyelamatkan bahkan meringankan siksa mereka.

Didahulukannya kalimat (مِمَّا خَطِيْئَاتِهِمْ) mimmā khathī’ātihim/disebabkan oleh dosa-dosa mereka bertujuan membatasi sebab jatuhnya siksa itu. Memang, Nabi Nūḥ a.s. berdoa, tetapi ayat ini bagaikan menyatakan bahwa mereka disiksa bukan karena doa – ada atau tidak ada doa sama saja – karena siksa itu adalah akibat kedurhakaan mereka. Ini juga mengesakan bahwa seseorang hendaknya tidak perlu mendoakan bencana bagi orang lain. Dengan demikian, ayat di atas tidak dapat dijadikan alasan untuk mendoakan keburukan bagi orang lain.

Penggunaan bentuk kata kerja masa lampau pada kata (فَأُدْخِلُوْا) fa udkhilū/maka mereka dimasukkan bertujuan memastikan hal tersebut karena hingga kini Fir‘aun beserta pengikut-pengikutnya belum lagi dimasukkan ke neraka. Mereka semua sedang menanti di alam Barzakh dan sedang memperoleh panjar (advance payment) siksa tetapi belum dimasukkan ke neraka. Dalam konteks ini, Allah berfirman menyangkut Fir‘aun dan regimnya bahwa:

النَّارُ يُعْرَضُوْنَ عَلَيْهَا غُدُوًّا وَ عَشِيًّا وَ يَقُوْمُ السَّاعَةُ أَدْخِلُوْا آلَ فِرْعَوْنَ أَشَدَّ الْعَذَابِ.

Kepada mereka ditampakkan neraka pada pagi dan petang, dan pada hari terjadinya kiamat. (Dikatakan kepada malaikat): “Masukkanlah Fir‘aun dan kaumnya ke dalam adzab yang sangat keras.” (QS. Mu’min [40]: 46). Al-Qur’ān sering kali menggunakan bentuk kata kerja masa lampau untuk peristiwa yang pasti akan terjadi. Bacalah antara lain QS. an-Naḥl [16]: 1.

Ada juga yang memahami bentuk kata kerja masa lalu itu dalam pengertiannya yang sebenarnya. Sayyid Quthub tidak menutup kemungkinan memahaminya sebagai siksa yang memang sedang dan telah mereka rasakan di kubur. Thabāthabā’ī memahaminya dalam arti siksa yang sedang mereka alami di alam Barzakh/kubur. Ulama ini menulis bahwa: “Api yang dimaksud adalah api alam barzakh di mana para pendurhaka disiksa, yaitu masa antara kematian dan kebangkitan dari kubur, bukannya api neraka di alam akhirat. Ayat ini merupakan salah satu dalil adanya alam barzakh (yakni siksa serta kenikmatan di sana). Pandangan ini dapat diperkuat dengan penggunaan huruf (فَــــ) fā’ yang mendahului kata (أُدْخِلُوْا) udkhilū karena huruf tersebut menggambarkan singkatnya waktu antara apa yang disebut sebelumnya, dalam hal ini penenggelaman mereka, dan apa yang disebut sesudahnya, yaitu dimasukkannya mereka ke neraka.

 

AYAT 26-27.

71: 26. Dan Nūḥ berkata: “Tuhanku, janganlah Engkau biarkan di atas bumi ini di antara orang-orang kafir seorang pun.

71: 27. Sesungguhnya jika Engkau membiarkan mereka tinggal, niscaya mereka akan menyesatkan hamba-hambaMu, dan mereka tidak akan melahirkan selain fājir lagi sangat kafir.

Ayat yang lalu menjelaskan mengapa kaum Nabi Nūḥ a.s. disiksa Allah, kini ayat di atas kembali menlanjutkan uraian tentang doa Nabi Nūḥ a.s. sebelum jatuhnya siksa itu. Memang, Anda boleh berkata bahwa seyogianya ayat yang berbicara tentang jatuhnya siksa itu ditempatkan setelah selesainya uraian tentang doa Nabi Nūḥ atas kaumnya sehingga benar-benar terlihat bahwa siksa jatuh karena permohonan Nabi agung itu. Agaknya, penempatan ayat yang lalu sebelum ayat di atas untuk mengisyaratkan bahwa tanpa doa Nabi Nūḥ a.s. pun, mereka akan mengalami siksa sebab siksa itu adalah buah amal-amal buruk mereka sendiri. Siksa itu pasti mereka rasakan, baik Nabi Nūḥ a.s. berdoa maupun tidak berdoa.

Ayat-ayat di atas bagaikan menyatakan: Dan akhirnya, setelah Nabi Nūḥ a.s. yakin akan kebejatan kaumnya yang tidak dapat diperkaiki lagi, bahkan bila dibiarkan akan merusak generasi sesudahnya, maka Nūḥ berdoa dengan berkata: “Tuhan – Pemelihara dan Pembimbingku dan yang selama ini selalu berbuat baik kepada-ku, janganlah Engkau biarkan di atas permukaan bumi ini di antara orang-orang kafir yang mantap kekufurannya – seorang manusia pun yang bergerak dan lalu-lalang, yakni binasakanlah semua manusia yang kafir. Sesungguhnya jika Engkau, wahai Tuhanku, membiarkan mereka tinggal hidup di bumi ini dalam keadaan kafir, niscaya mereka akan menyesatkan hamba-hambaMu yang taat atau yang berdosa tetapi mulai sadar dan ingin bertaubat, dan mereka jika Engkau biarkan tinggal hidup di dunia, tidak akan melahirkan anak keturunan selain anak-anak yang akan mereka didik meneladani mereka sehingga anak-anak mereka pun setelah mereka dewasa akan menjadi manusia fājir, yakni orang yang selalu berbuat maksiat, lagi sangat kafir, yakni selalu menutupi kebenaran dan durhaka kepada Allah.

Kalimat (عَلَى الْأَرْضِ) ‘alal-ardh/di atas permukaan bumi dapat dipahami dalam arti wilayah tempat pemukiman kaum Nabi Nūḥ a.s. dan dapat juga dalam arti seluruh persada bumi – timur, barat, utara dan selatan. Sementara ulama yang merujuk ke Perjanjian Lama memahami topan dan banjir besar yang terjadi pada masa Nabi Nūḥ itu melanda seluruh penjuru. Tetapi, bila merujuk kepada al-Qur’ān, kita tidak menemukan informasi yang pasti menyangkut jangkauan banjir itu.

Kata (دَيَّارًا) dayyāran terambil dari kata (دَار) dār/rumah. Ad-dayyār adalah siapa yang menempati rumah. Ada juga yang memahaminya terambil dari kata (الدَّوْرَان) ad-daurān yang berarti bergerak berkeliling. Apa pun alasannya, yang jelas maksud kata tersebut di sini adalah seorang pun.

Nabi Nūḥ a.s. dalam doanya di atas menegaskan bahwa anak-anak orang-orang kafir itu akan menjadi kafir dan durhaka pula. Sementara ulama menyatakan bahwa hal itu diketahui Nabi Nūḥ a.s. melalui informasi Allah. Hemat penulis, hal tersebut tidak harus demikian, apalagi di sini justru Nabi Nūḥ yang “menyampaikannya” kepada Allah. Penulis lebih cenderung memahami penyampaian Nabi Nūḥ a.s. itu berdasar pengalaman beliau ratusan tahun hidup di tengah generasi masyarakatnya. Ketika itu terbukti betapa besar pengaruh orangtua dalam mendidik anak-anaknya sehingga jika orangtua yang demikian mantap kekufurannya dibiarkan hidup dan mendidik anak-anaknya, tentulah sang anak tidak akan jauh berbeda dari orangtua yang mendidiknya. Dengan demikian, kita dapat berkata bahwa ucapan Nabi Nūḥ a.s. yang direkam ayat di atas merupakan salah satu isyarat tentang besarnya pengaruh orangtua dalam mendidik dan membentuk kepribadian anak. Ini sejalan pula dengan informasi Rasūl s.a.w. yang menyatakan bahwa “Setiap anak dilahirkan atas fitrah (kesucian). Lalu, kedua orangtuanyalah yang meyahudikannya, atau memajusikannya, atau mengkristenkannya.” Di sisi lain, pengaruh gen orangtua yang dominan pun diisyaratkan oleh kisah keluarga Nabi Nūḥ a.s. Putra sang Nabi itu yang rupanya lebih banyak dipengaruhi oleh gen ibunya yang kafir pada akhirnya menjadi seorang anak durhaka sehingga ikut tenggelam bersama para pendurhaka lainnya. (Baca QS. at-Taḥrīm [66]: 10 tentang istri Nabi Nūḥ a.s. (391) dan QS. Hūd [11]: 42-43 tentang nasib anak beliau). (402)

Ayat di atas menunjukkan bahwa seseorang hendaknya tidak hanya memperhatikan anggota masyarakatnya saja, tetapi hendaknya memperhatikan jauh ke depan melampaui batas generasinya. Setiap tindakan harus diperhitungkan dampaknya bukan hanya untuk generasi masa kini, tetapi hendaknya memperhitungkan pula kepentingan masa datang. Pertimbangan inilah yang menjadi – misalnya – ‘Umar ibn-ul-Khaththāb tidak membagikan tanah yang diduduki pasukan kaum muslimin di ‘Irāq untuk anggota pasukan berdasar firman-Nya dalam QS. al-Ḥasyr [59]: 10. Rujuklah ke sana. (413).

 

AYAT 28.

71: 28. Tuhanku! Ampunilah aku, dan kedua ibu-bapakku, serta orang yang masuk ke rumahku dalam keadaan mu’min dan orang-orang yang mu’min laki-laki dan mu’min perempuan dan janganlah Engkau tambahkan bagi orang-orang zhalim selain kebinasaan”.

Setelah Nabi Nūḥ a.s. berdoa agar para pendurhaka dibinasakan Allah demi keselamatan generasi berikut – sebagaimana terbaca pada ayat-ayat yang lalu – kini beliau berdoa untuk orang-orang yang taat. Dan karena konteksnya adalah permohonan ampun, beliau memulai dengan diri beliau sendiri guna menunjukkan bahwa diri beliau pun tidak dapat luput dari kekurangan. Beliau berdoa menyatakan: Tuhanku! Ampunilah aku, dan kedua ibu-bapakku atau kedua anakku yang beriman, serta orang yang masuk ke rumahku dalam keadaan mu’min karena tiada tamu yang masuk ke rumah kecuali membawa rezeki dan yang keluar membawa pengampunan bagi tuan rumah, dan ampuni juga orang-orang yang mu’min laki-laki dan mu’min perempuan dan janganlah Engkau tambahkan buat mereka kecuali kebahagiaan, dan janganlah Engkau tambahkan bagi orang-orang zhalim yang telah mendarah daging kezhalimannya selain kebinasaan”.

Kata (لِوَالِدَيَّ) li walidayya, yakni dengan huruf (يَا) yang pertama setelah huruf dāl, merupakan bentuk dual dari kata (وَالِد) wālid/ayah yang dimaksud adalah ayah dan ibu. Ada juga yang membacanya (لِوَلَدَيَّ) li waladayya (Tanpa huruf alif setelah huruf wāw). Ini merupakan bentuk dual dari kata (وَلَدَ) walad/anak. Yang dimaksud adalah kedua anak beliau yang beriman yang konon bernama Sām dan Ḥām.

Awal surah ini menampilkan nasihat dan tuntunan Nabi Nūḥ a.s. kepada kaumnya agar mereka beriman sehingga Allah tidak menjatuhkan siksa atas mereka. Akhir surah berbicara tentang penyiksaan kaum Nabi Nūḥ a.s. setelah terbukti keengganan mereka beriman. Uraian akhir surah ini serta doa keselamatan bagi yang taat dan kebinasaan bagi yang durhaka, merupakan penegasan tentang uraian awalnya. Demikian bertemu awal surah dan akhirnya. Maha Benar Allah dan sungguh serasi firman-firmanNya. Wa Allāhu A‘lam.

Catatan:

  1. 39). Baca kembali halaman 184.
  2. 40). Baca kisahnya pada volume 5 halaman 631-634.
  3. 41). Baca volume 13 halaman 539-540.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *