كَلَّا لَمَّا يَقْضِ مَا أَمَرَهُ.
Kallā lammā yaqdhī mā amarah.
“Tidak seperti yang dikatakan, dia belum menjalankan apa yang diperintahkan.” (‘Abasa [80]: 23).
Keadaan manusia sungguh sangat mengherankan. Walaupun dia melihat berbagai tanda kebesaran Allah di jagat raya yang luas ini, dia tetap tidak mau memperhatikan kudrat (kekuasaan)-Nya dan tidak mau mengakui keesaan-Nya serta terus-menurus mengingkari nikmat-Nya. Dia mengaku telah melaksanakan hukum-hukum Allah, sedangkan sebenarnya dia belum menunaikan tugas-tugas itu.
فَلْيَنْظُرِ الْإِنْسَانُ إِلَى طَعَامِهِ.
Falyanzhuril insānu ilā tha‘āmih.
“Hendaklah manusia itu memperhatikan makanannya.” (‘Abasa [80]: 24).
Hendaklah manusia memperhatikan urusan makanannya, supaya makanan itu menjadi makanan yang baik, yang menjaga kesehatan badannya dan menimbulkan kelezatan bagi yang memakannya. Hendaklah diperhatikan bagaimana Allah telah menjadikan makanan untuk dimakan.
أَنَّا صَبَبْنَا الْمَاءَ صَبًّا.
Annā shababnal mā’a shabbā.
“Sesungguhnya Kami mencurahkan air yang melimpah-limpah.” (‘Abasa [80]: 25).
Allah telah menurunkan air sesudah beberapa waktu ditempatkan di udara yang tinggi.
ثُمَّ شَقَقْنَا الْأَرْضَ شَقًّا.
Tsumma syaqaqnal ardha syaqqā.
“Kemudian Kami belah bumi.” (‘Abasa [80]: 26).
Allah lalu membelah bumi dengan keluarnya tumbuh-tumbuhan, padahal sebelumnya bumi itu keras padat, sehingga udara dan sinar dapat masuk ke dalam perut bumi dan bumi dapat memberikan makanan kepada tumbuh-tumbuhan dan makhlūq di bawah permukaan tanah.
فَأَنْبَتْنَا فِيْهَا حَبًّا.
Fa ambatnā fīhā ḥabbā.
“Lalu Kami tumbuhkan biji-bijian di muka bumi.” (‘Abasa [80]: 27).
Maka Allah menumbuhkan beberapa macam biji-bijian di bumi, seperti gandum dan padi yang menjadi makanan pokok manusia.
وَ عِنَبًا وَ قَضْبًا.
Wa ‘inabaw wa qadhbā.
“Dan buah anggur, dan buah sejenis mentimun.” (31) (‘Abasa [80]: 28).
Allah juga menjadikan buah anggur yang dapat dipergunakan untuk menjadi makanan pokok dan juadah.
Allah menjadikan berbagai macam tanaman (sayuran) yang buahnya dapat dimakan tanpa perlu harus dimasak terlebih dahulu, seperti mentimun, semangka, dan sejenisnya.
وَ زَيْتُوْنًا وَ نَخْلًا.
Wa zaitūnaw wa nakhlā,
“Dan zaitūn dan pohon kurma.” (‘Abasa [80]: 29).
Allah menjadikan buah zaitūn dan buah kurma yang memang banyak sekali manfaatnya.
وَ حَدَائِقَ غُلْبًا.
Wa ḥadā’iqa ghulbā.
“Dan kebun-kebun yang berpohon besar.” (‘Abasa [80]: 30).
Allah menjadikan kebun-kebun yang mempunyai pohon yang besar-besar dan yang berbuah banyak, dengan dikelilingi pagar yang kuat. Hal ini memberikan pengertian bahwa pepohonan itu sendiri sudah dipandang sebagai suatu nikmat Allah, walaupun pepohonan itu tidak berbuah. Sebab, pohon-pohon itu dapat memberikan banyak manfaat untuk manusia.
وَ فَاكِهَةً وَ أَبًّا.
Wa fākihataw wa abbā.
“Dan buah-buahan, dan rerumputan.” (‘Abasa [80]: 31).
Allah menjadikan pula buah-buahan yang lezat rasanya, seperti rambutan dan sebagainya. Allah menjadikan pula rumput dan tumbuh-tumbuhan untuk makanan binatang.
مَّتَاعًا لَّكُمْ وَ لِأَنْعَامِكُمْ.
Matā‘al lakum wa li’an‘āmikum.
“Sebagai bahan kesenangan bagimu dan ternakmu.” (‘Abasa [80]: 32).
Allah telah menumbuhkan rumput-rumput (bunga) supaya kamu dapat menikmati keindahannya dan mengambil kemanfaatkannya, baik untuk dirimu sendiri atau untuk ternak-ternakmu.
Dalam ayat-ayat ini, Allah menjelaskan hidayah yang Allah berikan kepada manusia dengan perantaran rasul. Hidayah itu merupakan peringatan yang dimaksudkan untuk membangkitkan kesadaran orang-orang yang lalai. Orang yang membelakangnya berarti melawan pancainderanya sendiri dan menentang hatinuraninya. Hidāyah itu Allah tempatkan di dalam kitab-kitab ketuhanan yang mulia.
Setelah itu, Allah menjelaskan bahwa manusia tidak boleh menyombongkan diri, walaupun banyak hartanya dan tinggi kedudukannya. Sebab, manusia sesungguhnya hanya sebentar saja berdiam di muka bumi. Manusia selanjutnya kembali ke dalam tanah (dikubur setelah mati) dan di akhirat akan menerima pembalasan yang setimpal dengan ‘amalannya. Pada akhirnya Allah menjelaskan tanda-tanda kekuasaan-Nya yang berkembang di alam ini.
فَإِذَا جَاءَتِ الصَّاخَّةُ.
Fa idzā jā’atish shākhkhah.
“Apabila datang pekikan yang memekakkan telinga, niscaya datanglah penyesalan.” (42) (‘Abasa [80]: 33).
Apabila hari kiamat telah datang, yaitu ketika terdengar suara pekikan kedua yang sangat memekakkan telinga, niscaya tampaklah penyesalan orang-orang kafir dan kegelisahan mereka.
يَوْمَ يَفِرُّ الْمَرْءُ مِنْ أَخِيْهِ. وَ أُمِّهِ وَ أَبِيْهِ. وَ صَاحِبَتِهِ وَ بَنِيْهِ. لِكُلِّ امْرِئٍ مِّنْهُمْ يَوْمَئِذٍ شَأْنٌ يُغْنِيْهِ.
Yauma yafirrul mar’u min akhīh. Wa ummihī wa abīh. Wa shāḥibatihī wa banīh. Likullimri’im minhum yauma’idzin sya’nuy yughnīh.
“Yaitu pada hari (ketika) manusia lari dari saudaranya. Dan dari ibu- bapaknya. Dan dari istri serta anak-anaknya. Pada hari itu, setiap orang mempunyai urusan yang mengganggunya.” (53). (‘Abasa [80]: 34-37).
Pada hari bangkit, masing-masing manusia hanya memikirkan dirinya sendiri. Mereka melupakan dan menghindari orang-orang yang disangkanya akan meminta pertolongan. Karena itu, dia menghindari saudaranya, ibunya, ayahnya, bahkan dia juga menghindarkan diri dari istrinya, yaitu orang yang paling erat perhubungannya dengan dia. Walaupun sewaktu masih hidup di dunia, dia memberikan semua apa yang mungkin bisa diberikan untuk membela istrinya.
وُجُوْهٌ يَوْمَئِذٍ مُّسْفِرَةٌ. ضَاحِكَةٌ مُّسْتَبْشِرَةٌ.
Wujūhuy yauma’idzim musfirah. Dhāḥikatum mustabsyirah.
“Pada hari itu beberapa muka tampak berseri-seri. Tertawa dan riang.” (‘Abasa [80]: 38-39).
Pada hari kiamat, kita mendapati orang-orang yang berwajah gembira. Mereka meyakini bahwa dirinya akan memperoleh pembalasan yang sempurna atas imannya dan terhadap semua ‘amalan shāliḥnya. Itulah muka-muka orang mu’min yang telah beriman kepada Allah dan Rasūl-Nya, serta mengerjakan ‘amalan-‘amalan shāliḥ.
وَ وُجُوْهٌ يَوْمَئِذٍ عَلَيْهَا غَبَرَةٌ. تَرْهَقُهَا قَتَرَةٌ. أُولئِكَ هُمُ الْكَفَرَةُ الْفَجَرَةُ
Wa Wujūhuy yauma’idzin ‘alaihā ghabarah. Tarhaquhā qatarah. Ulā’ika humul kafaratul fajarah.
“Pada hari itu, beberapa muka terkena debu. Ditutupi oleh warna hitam. Itulah orang-orang yang kafir dan membuat kebohongan terhadap Allah.” (‘Abasa [80]: 40-42).
Pada hari itu kita lihat pula muka-muka yang berdebu dan hitam pekat karena diselubungi oleh kecemasan yang tidak terperikan. Itulah orang-orang kafir yang tidak beriman kepada Allah dan Rasūl-Nya serta tidak mengimani hari akhir, sedangkan di dunia mereka menyimpang dari batas-batas syara‘ dan mengerjakan kejahatan (kemaksiatan).
Dalam ayat-ayat ini, Allah menjelaskan sebagian keadaan hari kiamat yang mendukung bukti-bukti keesaan-Nya dan kekuasaan-Nya serta kepada hari bangkit dan kiamat. Pada akhirnya Allah menjelaskan bahwa pada hari kiamat manusia terbagi dalam dua golongan orang yang bergembira ria dan orang yang berdukacita.