Suratu ‘Abasa 80 ~ Tafsir al-Qur’an-ul-Majid an-Nur (1/2)

Judul Buku:
TAFSĪR AL-QUR’ĀNUL MAJĪD AN-NŪR

JILID 4

Penulis: Prof. Dr. Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy
Diterbitkan oleh: Cakrawala Publishing

Rangkaian Pos: Suratu 'Abasa 80 ~ Tafsir al-Qur'an-ul-Majid an-Nur

Surat Ke-80
‘ABASA

Surat ‘Abasa bermakna ia bermasam muka. Diturunkan di Makkah sesudah surat an-Najm, dan terdiri dari 42 ayat.

 

A. SEJARAH TURUN

Surat ini juga dinamai surat ash-Shāḥibah. Isinya mengenai kisah Ibun Ummi Maktūm dan menjelaskan bahwa al-Qur’ān adalah pelajaran untuk mereka yang menerima petunjuk kebenaran. Sesudah itu menjelaskan asal kejadian manusia, masalah makanan dan minuman, serta menganjurkan manusia memperhatikan kehidupan akhirat.

B. KAITAN DENGAN SURAT SEBELUMNYA

Persesuaian antara surat yang telah lalu (an-Nāzi‘āt) dan surat ini, bahwa dalam surat yang telah lalu, Tuhan menjelaskan bahwa Muḥammad adalah seorang Mundzir (pemberi peringatan). Sedangkan surat ini, Tuhan menjelaskan orang-orang yang mengambil manfaat dari peringatan itu.

C. TAFSĪR SURAT ‘ABASA

1. Allah Mencela Nabi karena Memalingkan Mukanya dari Orang Buta.

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ

Bismillāhirraḥmānirraḥīm

Dengan (menyebut) nama Allah Yang Maha Pemurah, yang senantiasa mencurahkan rahmat-Nya.

عَبَسَ و َتَوَلَّى. أَنْ جَاءَهُ الْأَعْمَى.

‘Abasa wa tawallā. An jā’ahul a‘mā.

“Dia mengerutkan mukanya dan membelakangi. Karena datang orang buta kepadanya.” (‘Abasa [80]: 1-2).

Rasūl s.a.w. mengerutkan mukanya dan memalingkan diri dari seorang buta yang datang kepadanya dengan memotong pembicaraan. Ada riwayat yang menyebutkan, pada suatu hari Ibnu Ummi Maktūm, seorang buta yang juga putra pamannya Khadījah datang kepada Nabi untuk menanyakan masalah al-Qur’ān dan meminta supaya diajari tentang kitab suci itu. Ketika itu, Nabi tengah mengadakan pertemuan dengan para pemimpin Quraisy, seperti ‘Uthbah ibn Rabī‘ah, Syaibah ibn Rabī‘ah, Abū Jahal, Umayyah ibn Khalaf, al-Walīd ibn Mughīrah. Nabi tengah berbicara yang bertujuan mengajak mereka untuk memeluk Islam. Nabi merasa kurang senang ketika tiba-tiba datang Ibnu Ummi Maktūm yang memotong pembicaraan dengan mengajukan pertanyaan. Nabi memalingkan mukanya dan tidak menjawab pertanyaan si buta itu.

Berkenaan dengan sikap Nabi tersebut, Allah menurunkan ayat ini, yang isinya menegur Nabi yang tidak melayani orang fakir dan buta, sewaktu Nabi melayani orang-orang terkemuka dan kaya-kaya. Menerima ayat berisi teguran dari Allah, Nabi pun langsung menyampaikan ayat itu kepada para sahabatnya. Ini merupakan bukti bahwa apa yang disampaikan oleh Nabi adalah wahyu Tuhan. Semua wahyu yang diterima dari Allah, Nabi selalu menyampaikan kepada para sahabat. Sama sekali tidak ada yang disembunyikan, meskipun isinya menegur perilaku Nabi sendiri.

وَ مَا يُدْرِيْكَ لَعَلَّهُ يَزَّكَّى. أَوْ يَذَّكَّرُ فَتَنْفَعَهُ الذِّكْرَى.

Wa mā yudrīka la‘allahū yazzakkā. Au yadzdzakkaru fa tanfa‘hudz dzikrā.

“Dan apakah kamu mengetahui, kemungkinan dia akan menyucikan diri. Atau dia dapat menerima pelajaran, lalu pelajaran itu berguna baginya.” (‘Abasa [80]: 3-4).

Siapa yang memberi tahu kamu, hai Muḥammad, tentang orang buta itu? Boleh jadi dia akan menjadi orang yang bersih jiwanya dengan mendengar pembacaan al-Qur’ān dan dengan menerima pelajaran-pelajaran darimu.

Hal ini memberikan pengertian bahwa Ibnu Ummi Maktūm telah menerima baik ajaran Nabi, sedangkan orang-orang yang dihadapi Nabi itu belum tentu mau beriman.

أَمَّا مَنِ اسْتَغْنَى. فَأَنْتَ لَهُ تَصَدَّى.

Ammā manistaghnā. Fa anta lahū tashaddā.

“Adapun orang-orang yang merasa dirinya serba berkecukupan. Engkau menghadapinya (memperhatikan pembicaraannya).” (‘Abasa [80]: 5-6).

Kamu hanya melayani orang-orang yang berada dan mempunyai harta, sedangkan mereka sebenarnya tidak memerlukan iman dan ‘ilmu pengetahuan yang terkandung dalam al-Qur’ān, kitab yang diturunkan kepadamu. Kamu memberikan perhatian yang besar kepada orang-orang itu, karena ingin agar mereka memeluk Islam dan beriman.

وَ مَا عَلَيْكَ أَلَّا يَزَّكَّى.

Wa mā ‘alaika allā yazzakkā.

“Dan tidak ada celaan kepadamu, seandainya dia tidak menyucikan diri.” (‘Abasa [80]: 7).

Apakah ruginya bagi kamu, seandainya orang-orang yang sombong itu tetap dalam kondisinya tidak beriman atau tidak menjadi suci jiwanya. Kamu tidak akan mendapat celaan atau kecaman dari Allah. Sebab, kamu hanyalah seorang yang menyampaikan perintah Allah. Tugas itu telah kamu tunaikan.

Jelasnya, janganlah karena keinginan yang tinggi agar orang-orang yang sombong itu masuk Islam, maka kamu memalingkan mukamu dari orang buta yang sebenarnya Allah menggolongkan dia ke dalam golongan orang yang berbuat kebajikan.

وَ أَمَّا مَنْ جَاءَكَ يَسْعَى. وَ هُوَ يَخْشَى. فَأَنْتَ عَنْهُ تَلَهَّى.

Wa ammā man jā’aka yas‘ā. Wa huwa yakhsyā. Fa anta ‘anhu talahhā.

“Dan adapun orang yang datang kepadamu. Dan dia takut kepada Allah. Maka engkau mengabaikannya.” (‘Abasa [80]: 8-10).

Orang yang datang kepadamu dengan cepat-cepat untuk mencari petunjuk dan dalam ketakutan, ya‘ni takut terjerumus ke dalam kesesatan, tetapi justru kamu mengabaikannya. Kamu tidak segera memberi perhatian kepadanya.

Dalam ayat ini Tuhan mendorong kita agar melayani orang kafir, sebagaimana halnya melayani orang jutawan, baik dalam pertemuan-pertemuan ilmiah ataupun dalam menyelesaikan suatu masalah.

2. Hidayah adalah Peringatan untuk Menyadarkan Orang yang Lalai.

كَلَّا إِنَّهَا تَذْكِرَةٌ.

Kallā innahā tadzkirah.

“Janganlah engkau berbuat seperti itu lagi. Sesungguhnya ayat-ayat al-Qur’an itu adalah pelajaran.” (11) (‘Abasa [80]: 11).

Tidaklah patut kamu bermuka masam terhadap orang yang datang kepadamu, sedangkan dia takut terjerumus kesesatan. Di sisi lain, kamu lebih suka melayani orang-orang yang merasa sudah cukup dengan harta dan kekayaan daripada mengikuti kamu.

Sesungguhnya al-Qur’ān, demikian pula perintah Kami, yang menyuruhmu supaya memperlakukan semua manusia sama adalah suatu pelajaran yang wajib kamu perhatikan. Hidāyah dan petunjuk ketuhanan merupakan pelajaran dan peringatan bagi orang-orang yang tidak mempedulikan ayat-ayat Tuhannya.

فَمَنْ شَاءَ ذَكَرَهُ.

Fa man syā’a dzakarah.

“Barang siapa yang mau, niscaya dia mengambilnya sebagai pelajaran.” (‘Abasa [80]: 12).

Peringatan ini adalah jelas dan nyata. Orang yang mau memperhatikannya, mau memahami ma‘nanya, dan mengerjakan kandungan perintahnya, tentulah dapat berbuat seperti yang diperintahkan. Hanya sikap takabbur sajalah yang menyebabkan manusia tidak mau mengambil pelajaran dari ayat-ayat al-Qur’ān.

فِيْ صُحُفٍ مُّكَرَّمَةٍ. مَّرْفُوْعَةٍ مُّطَهَّرَةٍ. بِأَيْدِيْ سَفَرَةٍ. كِرَامٍ بَرَرَةٍ.

Fī shuḥufim mukarramah. Marfū‘atim muthahharah. Bi’aydī safarah. Kirāmim bararah.

“Berada di dalam lembaran-lembaran kitab yang dimuliakan. Yang ditinggikan dan disucikan. Melalui tangan utusan-utusan (nabi). Yang mulia dan berbakti.” (‘Abasa [80]: 13-16).

Pelajaran dan peringatan Allah tersebut telah ditempatkan di dalam kitab-kitab Tuhan yang mulia dan tinggi serta bersih (bebas) dari segala kekurangan. Kitab-kitab itu diturunkan oleh malaikat kepada para nabi, dan kemudian nabi menyampaikan kepada umatnya masing-masing.

Baik malaikat ataupun nabi adalah utusan Allah yang mulia. Malaikat adalah utusan Allah yang berhubungan dengan nabi, sedangkan nabi menjadi utusan Allah yang berhubungan dengan manusia (umatnya).

قُتِلَ الْإِنْسَانُ مَا أَكْفَرَهُ.

Qutilal insānu mā akfarah.

“Celakalah manusia itu, alangkah sangat dalam kekafirannya.” (22) (‘Abasa [80]: 17).

Alangkah buruknya manusia yang kafir dan juga alangkah sombongnya, sehingga tidak patutlah mereka yang sombong dan berperilaku buruk itu dibiarkan hidup di dunia.

Alangkah kikirnya manusia yang kafir itu untuk bersyukur kepada Tuhan yang memberikan berbagai nikmat yang tiada terhitung jumlahnya kepada dia.

مِنْ أَيِّ شَيْءٍ خَلَقَهُ.

Min ayyi syai’in khalaqah.

“Dari benda apakah Tuhan menciptakannya (manusia)?” (‘Abasa [80]: 18).

Tuhan menjadikan manusia dari benda yang sederhana. Karena itu dia tidak patut menyombongkan diri.

مِنْ نُّطْفَةٍ خَلَقَهُ فَقَدَّرَهُ.

Min nuthfatin, khalaqahū fa qaddarah.

“Dari setetes mani, Tuhan menciptakannya dan menyiapkannya untuk hal-hal yang berpadanan dengan dia.” (‘Abasa [80]: 19).

Allah menjadikan manusia dari air yang tidak berharga, kemudian berproses menjadi makhlūq yang tegap sempurna, sehingga dapat menjalankan tugas dalam hidupnya di alam ini.

Para ḥukamā’ berkata: “Bagaimana mungkin manusia berlaku sombong? Bukankah dia berasal dari setetes air mani yang anyir baunya dan berakhir seperti bangkai yang hancur, sedangkan ketika hidup dia menjadi pembawa najis yang kotor?”

Pendapat yang sama disampaikan oleh sahabat ‘Alī r.a.: “Bagaimana mungkin manusia bermegah-megahan? Bukankah dia dua kali keluar dari saluran kencing?”

ثُمَّ السَّبِيْلَ يَسَّرَهُ.

Tsummas sabīla yassarah.

“Kemudian Tuhan memudahkan dia menempuh jalannya.” (‘Abasa [80]: 20).

Allah menjadikan manusia sebagai makhlūq yang mampu melaksanakan jalan kebajikan dan jalan kejahatan. Manusia juga diberi kekuatan fisik dan akal yang dapat dipergunakan untuk menimbang dan meneliti suatu perkara. Selain itu, Allah mengutus para rasūl yang dilengkapi dengan kitab yang mengandung hikmah, pelajaran dan da’wah tentang kebajikan untuk menunjuki manusia menjalankan ‘amal perbuatan yang diridhāi oleh Allah.

ثُمَّ أَمَاتَهُ فَأَقْبَرَهُ. ثُمَّ إِذَا شَاءَ أَنْشَرَهُ.

Tsumma amātahū fa aqbarah. Tsumma idzā syā’a ansyarah.

“Kemudian Tuhan mematikannya dan meletakkannya di dalam kubur. Kemudian apabila Tuhan menghendaki, Dia membangkitkannya.” (‘Abasa [80]: 21-22).

Kemudian Allah menggenggam nyawanya dan mengubur jenazahnya (mayatnya) ke dalam tanah. Jika Allah menghendaki, maka Dia akan membangkitkan atau menghidupkan kembali untuk dihisab dan diberi pembalasan pada waktu yang telah ditentukan.

Catatan:

  1. 1). Kaitkan dengan QS. al-Wāqi‘ah [56], QS. al-Bayyinah [98], QS. al-Qadr[97].
  2. 2). Kaitkan dengan QS. al-Insān [76], QS. al-A‘lā [87].

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *