Surah at-Tin 95 ~ Tafsir Ibni ‘Arabi

Dari Buku:
Isyarat Ilahi
(Tafsir Juz ‘Amma Ibn ‘Arabi)
Oleh: Muhyiddin Ibn ‘Arabi

Penerjemah: Cecep Ramli Bihar Anwar
Penerbit: Iiman
Didistribusikan oleh: Mizan Media Utama (MMU)

التِّيْنُ

AT-TĪN

Surah Ke-95: 8 ayat

 

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ

Dengan nama Allah, Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

 

وَ التِّيْنِ وَ الزَّيْتُوْنِ.

وَ طُوْرِ سِيْنِيْنَ.

وَ هذَا الْبَلَدِ الْأَمِيْنِ.

لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ فِيْ أَحْسَنِ تَقْوِيْمٍ.

ثُمَّ رَدَدْنَاهُ أَسْفَلَ سَافِلِيْنَ.

095:1. Demi (buah) Tin dan (buah) Zaitun,

095:2. dan demi bukit Sinai,

095:3. dan demi kota (Mekah) ini yang aman,

095:4. sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.

095:5. Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka),

Wat-tīn (Demi [buah] Tin – ayat 1). Yang dimaksud buah tīn adalah makna-makna universal yang ditarik dari hal-hal parsial, yang tak lain adalah sasaran-sasaran penangkapan hati. Allah mentamsilkan makna universal itu dengan buah tīn karena makna universal itu bukan materi, hal-hal rasional-murni yang mencakup hal-hal parsial, menguatkan jiwa, dan lezat seperti buah tīn yang tak memiliki biji. Buah tin itu daging semua yang mencakup biji-bijian, seperti halnya hal-hal parsial yang sudah tercakup dalam hal-hal universal, menggemukkan badan, mengandung zat-zat makanan dan rasa buah-buahan.

Waz-zaitūn (dan demi [buah] Zaitun – ayat 1). Yang dimaksud zaitun adalah makna-makna parsial yang merupakan sasaran-sasaran penangkapan jiwa. Allah mentamsilkan makna-makna parsial itu dengan buah zaitun karena makna-makna parsial itu dengan buah zaitun karena makna-makna parsial itu bersifat materi, seperti halnya buah zaitun yang memiliki biji. Lagi pula, makna-makna parsial itu mempersiapkan jiwa untuk menangkap makna-makna universal, seperti halnya biji buah zaitun itu (lambang materi) yang menyerupai alat pembersih alat-alat makanan.

Wa thūri sīnīn (Dan demi bukit Sinai – ayat 2). Bukit Sinai adalah otak yang merupakan sumber indera dan imajinasi yang menjulang tinggi dari “bumi” tubuh layaknya gunung.

Wa hādz-al-balad-il-amīn (dan demi kota [Mekkah] ini yang aman – ayat 3). Yang dimaksud kota di sini adalah hati yang memelihara makna-makna universal yang ditangkapnya, yang tak akan pernah rusak dan punah karena kemurniannya dari perbedaan. Kata amīn dalam ayat ini diambil dari akar kata amānah (amanah) atau dari amn (keamanan).

Allah bersumpah dengan hal-hal yang mengantarkan pada kesempurnaan manusia, seperti makna-makna universal, parsial, hati dan jiwa. Atau lebih jelasnya, Ia bersumpah dengan dua alat-penangkapan/ “radar” (hati dan jiwa) dan dengan sasaran-sasaran penangkapan keduanya/ “sinyal” (makna universal dan makna parsial) karena Dia mengagungkan dan memuliakan manusia.

Dia bersumpah bahwa sesungguhnya Dia telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya (fī aḥsani taqwīm – ayat 4). Yang dimaksud dalam bentuk sebaik-baiknya adalah bahwa Dia menyeimbangkan kegelapan dan cahaya yang bergabung di dalam diri manusia; menggabungkan berbagai hal yang berlawanan dan menyusun secara harmonis dari hal-hal yang bertentangan itu; menjadikannya sebagai perantara (wasithah/barzakh) antara dua alam (jasmani dan ruhani) karena manusia mencakup jasmani dan ruhani; menyempurnakan bentuk paras dan akhlaknya serta memperindahkan bentuknya. Yang dimaksud memperindah bentuknya adalah bahwa manusia tersusun dari komposisi yang paling seimbang, spesies paling sempurna dan makhluk yang paling utama.

Tsumma radadnāhu asfala sāfilīn (Kemudian Kami kembalikan ia ke tempat yang serendah-rendahnya – ayat 5) karena keterhijaban manusia oleh kegelapan dari cahaya, tetap berpegang pada akhlak-akhlak tercela dan berpaling dari keutamaan. Yang dimaksud tempat serendah-rendahnya adalah tempat yang lebih rendah dari tempat tingkatan makhluk paling rendah (ahli darakāt) dan lebih buruk dari makhluk yang bentuk dan sosoknya paling buruk, paling keji rupa dan penampilannya. Itulah para penghuni neraka di dalam penjara tabiat rendah.

إِلَّا الَّذِيْنَ آمَنُوْا وَ عَمِلُوا الصَّالِحَاتِ فَلَهُمْ أَجْرٌ غَيْرُ مَمْنُوْنٍ.

فَمَا يُكَذِّبُكَ بَعْدُ بِالدِّيْنِ.

أَلَيْسَ اللهُ بِأَحْكَمِ الْحَاكِمِيْنَ

095:6. kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh; maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya.

095:7. Maka apakah yang menyebabkan kamu mendustakan (hari) pembalasan sesudah (adanya keterangan-keterangan) itu?

095:8. Bukankah Allah Hakim yang seadil-adilnya?

Ill-al-ladzīna āmanū (Kecuali orang-orang yang beriman – ayat 6) karena mereka memenangkan cahaya hati di atas kegelapan jiwa, makna-makna universal di atas makna-makna parsial, dan mereka mengupayakan berbagai keutamaan dan kebaikan. Jelasnya, mereka mencapai kesempurnaan ilmu dan amal, karena mereka berada di derajat yang tinggi di alam al-Quddūs.

Falahum ajrun (Maka bagi mereka pahala – ayat 6) dari pahala surga-surga hati dan jiwa (yang tiada putus-putusnya) karena keterpautannya dengan tinta alam al-Quddūs dan kebebasannya dari alam makhluk dan kerusakan, serta keabadian wujudnya. Lalu apa yang menyebabkan kamu mendustakan pahala, wahai manusia, sekiranya engkau mendustakan pahala, maka sungguh engkau pendusta setelah engkau tahu makhluk ajaib ini, yang mencakup seluruh wujud mulai dari yang paling rendah sampai yang paling tinggi, yang meliputi kesempurnaan jasmani dan ruhani, mulai dari yang paling mulia sampai yang paling hina.

Alaisa Allāhu bi aḥkam-il-ḥākimīn (Bukankah Allah hakim yang seadil-adilnya? – ayat 8). Maka, Allah akan menghakimi manusia dengan mengetahui di martabat mana manusia itu berkehendak. Jika manusia menghendaki martabat paling tinggi, maka Allah akan memberi pahala. Sebaliknya, jika yang diinginkannya adalah martabat paling rendah, maka Allah akan mengadzabnya.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *