Hati Senang

Surah at-Takwir 81 ~ Tafsir al-Jailani

Dari Buku: TAFSIR al-Jaelani Oleh: Syekh ‘Abdul-Qadir Jaelani Penerjemah: Abdul Hamid Penerbit: PT. SAHARA intisains

Surah ke 81; 29 ayat
At-Takwīr
(menggulung).

 

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang

 

Pembuka Surah at-Takwīr

Orang yang diperlihatkan besarnya kekuasaan Allah s.w.t. dan keperkasaan-Nya pasti mengetahui bahwa terjadinya kiamat dan berlangsungnya bencana terbesar yang dapat memaksa semua makhluk tunduk dalam kekuasaan ilahiyah yang sempurna, adalah sesuatu yang sangat mudah dan gampang bagi-Nya. Sedangkan orang yang mengingkari dan menolak adanya hari kiamat dan perkara-perkara yang dijanjikan akan terjadi pada hari tersebut, berarti telah membantah akalnya sendiri, apalagi setelah turunnya wahyu Ilahi yang berbicara tentang hari tersebut. Ringkasnya, semua bentuk pengingkaran – setelah adanya berbagai ayat dan bukti yang sangat jelas – tidak lain adalah karena orang yang mengingkari biasa bergumul dengan berbagai macam angan-angan dan khayalan, di mana keduanya merupakan faktor terkuat yang menyebabkan kekufuran dan kesesatan. Orang yang dapat membebaskan diri (dari) guna-guna dua kekuatan ini dan dapat selamat dari kerusakan dan tipuan keduanya, berarti telah menguatkan semua kejadian yang disampaikan dan dipaparkan Allah s.w.t. dalam surah ini secara rinci, tanpa ada keraguan dan kebimbangan sedikit pun dalam dirinya. Setelah memberi keberkahan, Allah s.w.t. berfirman: (بِسْمِ اللهِ) [Dengan menyebut nama Allah] yang menampakkan diri dengan kesempurnaan-Nya di dunia dan di akhirat, (الرَّحْمنِ) [Yang Maha Pemurah] di dunia dengan membuka dan membentangkan naungan-Nya kepada segala sesuatu, (الرَّحِيْمِ) [lagi Maha Penyayang] di akhirat dengan cara mengembalikan semuanya pada keadaan yang semula ketika diciptakan.

Ayat 1.

(إِذَا الشَّمْسُ كُوِّرَتْ) [Apabila matahari digulung] maksudnya: ketika kiamat terjadi, ketika matahari zat keesaan membakar tempat persembunyian awan, dan ketika kehidupan ketuhanan mengalahkan kehidupan kemanusiaan; maka wujud pelengkap – yang merupakan kebalikan dari wujud mutlak Ilahi yang dibentangkan di atas lembaran-lembaran pantulan dan bayang-bayangNya – akan digulung dan dilipat sehingga tidak meninggalkan bekas sedikit pun saat munculnya matahari hakikat.

Ayat 2.

(وَ إِذَا النُّجُوْمُ انْكَدَرَتْ) [Dan apabila bintang-bintang berjatuhan] maksudnya: pada saat bintang identitas dan pondasi inti yang berasal dari berbagai macam keadaan, sifat relatifitas, dan pelengkap yang sebenarnya tidak ada; masa berlakunya sudah habis dan lenyap, sehingga tidak menyisakan gambaran dan bekas sedikit pun saat munculnya identitas zat ilahiyah yang sebenarnya.

Ayat 3.

(وَ إِذَا الْجِبَالُ سُيِّرَتْ) [Dan apabila gunung-gunung dihancurkan] maksudnya: pada saat berbagai macam dan jenis gunung yang berada di alam keterbatasan berhamburan, beterbangan, dan tercabut dari tempatnya.

Ayat 4.

(وَ إِذَا الْعِشَارُ) [Dan apabila unta-unta yang bunting] maksudnya: pada saat awan yang mencurahkan air pengetahuan dan hakikat yang mengalir di atas bumi yang siap menerima dan memang layak menjadi alirannya, (عُطِّلَتْ) [ditinggalkan] dan di biarkan karena tempatnya sudah lenyap dan waktu penerimaannya sudah berakhir dengan berakhirnya kehidupan dunia yang menjadi tempat cobaan.

Ayat 5.

(وَ إِذَا الْوُحُوْشُ) [Dan apabila binatang-binatang liar] maksudnya pada saat jiwa-jiwa yang menjijikkan, angkuh, buas, dan tersesat di lembah tabiat dan tanah tandus berpasir; (حُشِرَتْ) [dikumpulkan] dan digabungkan kembali seperti pada saat pertama jiwa itu diciptakan.

Ayat 6.

(وَ إِذَا الْبِحَارُ) [Dan apabila lautan] maksudnya: pada saat lautan yang berasal dari kedudukan wujud dan keadaannya, baik secara zhahir maupun bathin, dalam keadaan gaib maupun terlihat, dan berada di dunia maupun di akhirat; (سُجِّرَتْ) [dipanaskan], digabungkan, diisi sampai penuh, dan disatukan sehingga lautan wujud ini menjadi satu lautan yang berombak besar dan tanpa bertepi sama sekali.

Ayat 7.

(وَ إِذَا النُّفُوْسُ) [Dan apabila roh-roh] maksudnya: pada saat arwah-arwah yang mengalir dalam bentuk seperti hantu dari alam perintah Ilahi, (زُوِّجَتْ) [dipertemukan] dan dihubungkan pada waktu itu dengan berbagai faktornya, di mana faktor itu adalah nama-nama dan sifat-sifat ilahiyah serta sumber-sumber ketuhanan.

Ayat 8.

(وَ إِذَا الْمَوْؤُوْدَةُ سُئِلَتْ) [Apabila bayi-bayi perumpuan yang dikubur hidup-hidup ditanya] maksudnya: pada saat makna-makna asal dan pengetahuan ilahiyah yang dititipkan dan dipendam di bumi tabiat dan pilar-pilarnya – seraya masih tetap disifati dengan kehidupan azali yang abadi -, ditanya tentang penduduknya dan tentang tempat tinggal yang baik:

Ayat 9.

(بِأَيِّ ذَنْبٍ) [karena dosa] dan kejahatan (قُتِلَتْ) [apakah ia dibunuh], ditinggalkan, dan dipendam? Padahal ia datang ke negeri tabiat dan persiapan, dihidupkan, dan dimatikan di negeri tersebut hanya untuk melakukan berbagai macam kebaikan dan mencari berbagai kebahagiaan dan kemuliaan.

Ayat 10.

(وَ إِذَا الصُّحُفُ) [Dan apabila catatan-catatan (amal perbuatan manusia)] maksudnya: pada saat catatan-catatan amal yang rinci, yang berisi semua bentuk angan-angan, harapan, dan berbagai keadaan yang berasal dari orang-orang yang lalai dan sesat; (نُشِرَتْ) [dibuka], dipilah-pilah, dan diperlihatkan kepada pemiliknya.

Ayat 11.

(وَ إِذَا السَّمَاءُ) [Dan apabila langit] maksudnya: pada saat langit nama-nama dan sifat-sifat ilahiyah yang begitu jelas terlihat pada saat muncul dan turun; (كُشِطَتْ) [dilenyapkan], dilipat, dan dihilangkan dari keadaan ini menuju pada keadaan yang tersembunyi dan tersamar.

Ayat 12.

(وَ إِذَا الْجَحِيْمُ) [Dan apabila neraka jahim] yang dipersiapkan bagi orang-orang yang lalai, menyimpang dari kebenaran, dan tersesat di lembah kebodohan karena mengikuti hawa nafsu mereka yang batil dan pendapat mereka yang rusak; (سُعِّرَتْ) [dinyalakan], dihidupkan, dan dipanaskan dengan api kemarahan dan syahwat mereka yang muncul pada saat mereka berada di dunia.

Ayat 13.

(وَ إِذَا الْجَنَّةُ) [Dan apabila surga] yang dipersiapkan bagi orang-orang yang mendapatkan perlindungan dan memiliki hubungan dengan Allah s.w.t., yang disifati sebagai orang-orang yang menjauhkan diri dari segala bentuk keharaman dan berbuat sesuai dengan perintah, larangan, dan semua hukum yang tersurat dalam kitab-kitab ilahiyah yang terkait dengan petunjuk dan kesempurnaan mereka; (أُزْلِفَتْ) [didekatkan], dibarengkan, dan dihubungkan dengan mereka, di mana mereka meraih semua hal yang telah dijanjikan Allah s.w.t. kepada mereka.

Ayat 14.

(عَلِمَتْ نَفْسٌ مَّا أَحْضَرَتْ) [Maka tiap-tiap jiwa akan mengetahui apa yang telah dikerjakannya] maksudnya: pada waktu itu, setiap jiwa yang dititipkan di raga identitas atas dasar hikmah ma‘rifat dan tauhid, pasti akan mengetahui kenapa semua perkara yang diperintahkan kepadanya dihadirkan pada saat ia dihisab hingga ia diberi balasan sesuai dengan hasil penghisaban tersebut.

Setelah Allah s.w.t. memaparkan keadaan hari kiamat dan kengeriannya, Dia menyebutkan berbagai tanda yang menunjukkan bahwa hari kiamat akan benar-benar terjadi dengan berfirman:

Ayat 15.

(فَلَا أُقْسِمُ) [Sungguh, Aku tidak bersumpah] maksudnya: untuk menegaskan bahwa semua perkara yang sudah disebutkan di atas akan terjadi, tidak memerlukan sumpah karena semua itu adalah perkara yang sangat mudah bagi kekuasaan ilahiyah. Namun Aku bersumpah (بِالْخُنَّسِ) [dengan bintang-bintang], yakni dengan jiwa-jiwa yang bersih dari keburukan watak manusia, yang kembali ke alam ketuhanan dan hadir di hadapan Sang Raḥmān sebelum terjadinya kiamat karena jernihnya minuman mereka dan bersihnya tanah liat mereka.

Ayat 16.

(الْجَوَارِ الْكُنَّسِ) [Yang beredar dan terbenam] maksudnya: Aku juga bersumpah dengan jiwa-jiwa cerdas yang terbang menuju Allah s.w.t., yang bersembunyi di bawah kubah keagungan-Nya dan matahari zat-Nya di mana tidak ada seorang pun yang mengetahui mereka selain diri-Nya.

Ayat 17.

(وَ) [Dan] demi waktu (اللَّيْلِ) [malam], yakni alam kegelapan Ilahi, (إِذَا عَسْعَسَ) [apabila telah bergerak] dan kegelapannya mulai datang menyeruak sehingga semua yang tampak dan tidak tampak akan menjadi semakin tersembunyi.

Ayat 18.

(وَ) [Dan] demi waktu (الصُّبْحِ) [subuh], yakni alam kejelasan yang merupakan kebalikan dari alam kegelapan Ilahi, (إِذَا تَنَفَّسَ) [apabila fajarnya mulai menyingsing], menerangi, dan menyinari orang-orang yang berada dalam kefana’an, yang membinasakan diri dari kefana’an dan begitu merasa rindu dengan hilangnya kekekalan.

Ayat 19.

(إِنَّهُ) [Sesungguhnya al-Qur’an itu] maksudnya: Allah s.w.t. telah bersumpah dengan bagian-bagian yang agung ini bahwa al-Qur’an (لَقَوْلُ رَسُوْلٍ) [benar-benar firman (Allah yang dibawa oleh) utusan] yang dikirim dari sisi-Nya, (كَرِيْمٍ) [yang mulia], dan penuh tanggungjawab. Yang dimaksud dengan utusan di sini adalah akal umum yang diberi nama Jibril a.s.

Ayat 20.

Jibril a.s. inilah (ذِيْ قُوَّةٍ) [yang mempunyai kekuatan] besar untuk membawa wahyu Ilahi dan (عِنْدَ ذِي الْعَرْشِ) [di sisi Allah yang mempunyai ‘Arasy] yang agung dan meliputi semua singgasana zhahir, Jibril a.s. juga (مَكِيْنٍ) [mempunyai kedudukan tinggi] dan posisi serta kedudukan yang terhormat.

Ayat 21.

(مُطَاعٍ) [Yang dita‘ati di sana] maksudnya: Jibril a.s. ditaati di alam nama dan sifat. Sebab semua pemahaman dan kekuatan, tunduk dan taat kepada akal umum ini, di mana ia merupakan manifestasi dari ilmu Ilahi dan lembaran qadha-Nya; (ثَمَّ أَمِيْنٍ) [lagi dipercaya] dan terjaga oleh taufiq Ilahi saat membawa wahyu di mana tidak ada satu pun perintah maupun larangan-Nya yang disimpangkan oleh Jibril a.s. dari wahyu tersebut.

Ayat 22.

(وَ) [Dan] Allah s.w.t. juga bersumpah dengan bagian-bagian tersebut bahwa (مَا صَاحِبُكُمْ) [temanmu] yang menjadi tujuan diturunkannya wahyu ini kepadanya, yakni Muḥammad s.a.w. adalah orang yang dapat dipercaya menerima kitab al-Qur’an ini. Nabi Muḥammad s.a.w. (بِمَجْنُوْنٍ) [bukanlah sekali-kali orang yang gila], berpikiran kacau, dan tukang khayal, sebagaimana yang kalian sangkakan, wahai orang-orang kafir. Sebab persangkaan kalian yang terkait dengan diri Nabi s.a.w. tidak lain karena rendahnya derajat kalian dibandingkan dengan derajat beliau, dan karena ketidaktahuan kalian akan posisinya. Sebab beliau berada di tingkat pemahaman yang paling tinggi.

Ayat 23.

(وَ) [Dan] bagaimana Nabi Muḥammad s.a.w. tidak berada di tingkat pemahaman dan pengetahuan yang tertinggi, sedang (لَقَدْ رَآهُ) [ia melihat Jibril], yakni mengetahui dan mengenal Jibril a.s. yang merupakan akal umum, (بِالْأُفُقِ الْمُبِيْنِ) [di ufuk yang terang] yang menjadi tempat datangnya ilmu Ilahi dan lembaran qadha-Nya.

Ayat 24.

(وَ مَا هُوَ) [Dan ia], yakni Nabi Muḥammad s.a.w., (عَلَى الْغَيْبِ) [untuk menerangkan perkara gaib] yang telah diperlihatkan oleh Allah s.w.t. kepada beliau dari berbagai macam pengetahuan, hakekat, tanda-tanda, dan isyarat-isyarat yang berkaitan dengan pembersihan zhahir maupun bathin serta pencegahan sirr maupun hati supaya tidak berpaling kepada selain-Nya; beliau itu (بِضَنِيْنٍ) [bukanlah seorang yang bakhil]. Apalagi setelah Dia memerintahkan beliau untuk menyebarkan dan menyampaikan pengetahuan tersebut. Beliau bukanlah orang yang kikir dalam menyampaikan perkara gaib yang ditunjukkan oleh wahyu Ilahi dan ilham-Nya sehingga tidak seorang pun yang pantas menuduh dan menganggapnya telah melakukan kebohongan. Sebab tuduhan semacam ini sangat jauh sekali dari keadaannya yang agung dan kedudukannya yang lebih tinggi beberapa derajat di atas manusia lainnya.

Ayat 25.

(وَ مَا هُوَ) [Dan al-Qur’an] yang digunakan Nabi s.a.w. untuk berbicara dan yang diturunkan kepadanya (بِقَوْلِ شَيْطَانٍ رَجِيْمٍ) [bukanlah perkataan setan yang terkutuk]. Maksudnya: al-Qur’an itu bukanlah syair maupun mantra yang berasal dari angan-angan dan khayalan setan, sebagaimana yang disangkakan oleh orang-orang sesat dan zhalim, oleh para peragu yang terjerumus dalam lembah kebodohan dan kelalaian, dan oleh orang yang berada dalam jurang penentangan dan perdebatan.

Setelah Alalh s.w.t. memaparkan keagungan, kemuliaan, dan kedudukan al-Qur’an yang tinggi, Dia bertanya:

Ayat 26.

(فَأَيْنَ تَذْهَبُوْنَ) [Maka ke manakah kamu akan pergi], berpaling, dan lari dari jalan keadilan Ilahi, wahai orang-orang yang sesat lagi menyesatkan?

Ayat 27.

Sebab (إِنْ هُوَ إِلَّا ذِكْرٌ) [al-Qur’an itu tiada lain hanyalah peringatan] dan nasehat yang agung (لِّلْعَالَمِيْنَ) [bagi semesta alam], yakni bagi semua manusia yang diciptakan untuk menerima peringatan, petunjuk, dan kesempurnaan:

Ayat 28.

(لِمَنْ شَاءَ مِنْكُمْ أَنْ يَسْتَقِيْمَ) [Bagi siapa saja di antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus]. Maksudnya: al-Qur’an adalah nasehat dan peringatan bagi orang yang ingin istiqamah di jalan keadilan Ilahi sehingga ia pun menjadi orang yang selalu diperingati dan ternasehati oleh petunjuk dan hidayah Al-Qur’an.

Ayat 29.

(وَ) [Dan] tujuan utama yang terkandung dalam topik ini adalah, (مَا تَشَاؤُوْنَ) [kamu tidak dapat menghendaki] dan memilih jalan hidayah dan petunjuk bagi dirimu sendiri (إِلَّا أَنْ يَشَاءَ اللهُ) [kecuali apabila Allah menghendaki] untuk memberi hidayah dan karunia-Nya kepadamu untuk bisa beristiqamah, sebagai bentuk pertolongan dan fadhilah dari-Nya. Sebab semua perbuatanmu pada dasarnya disandarkan kepada Allah s.w.t. dan bersumber dari-Nya, sebab Dia adalah (رَبُّ الْعَالَمِيْنَ) [Rabb semesta alam]. Tidak ada pemelihara di alam wujud selain diri-Nya dan tidak ada pula pengatur di alam penyaksian selain Dia. Adapun tujuan pemeliharaan dan penyempurnaan yang dilakukan-Nya adalah untuk memberi petunjuk dan karunia kepada hamba-hambaNya supaya mereka dapat meraih sesuatu yang lebih baik dan lebih layak dengan keadaan mereka.

“Semoga Engkau memberi petunjuk kepada kami dengan keutamaan dan kedermawanan-Mu untuk menuju pada sesuatu yang Engkau sukai dan Engkau ridhai, wahai Tuhan kami.”

 

Penutup Surah at-Takwir

Wahai para pencari karunia dan pemeliharaan Allah s.w.t. demi meraih kondisi yang lebih baik dan lebih layak; kamu harus mempercayakan dan menyerahkan semua urusan, perbuatan, dan keadaanmu pada kehendak Allah s.w.t. dengan penuh ketaatan dan kesungguhan tanpa membayangkan adanya kebebasan untuk mewujudkan sebagian atau seluruh urusan yang kamu kehendaki. Sebab tidak ada satu pun urusan yang berada dalam kekuasaanmu. Semua urusan yang terjadi, berada di tangan Allah s.w.t. dan sesuai dengan qadha dan qadar-Nya. Tidak ada yang dapat kamu lalukan selain menerima dan ridha terhadap segala ketentuan yang berlaku pada dirimu.

Berhati-hatilah kamu! Jangan sampai kamu terpedaya oleh kehidupan dunia. Larilah kamu darinya dan dari semua perhiasannya yang menipu. Dunia adalah tempat untuk bermukim dan meraih ketenangan. Adapun yang sesuai dengan keadaan orang yang cerdas dan pandai adalah, ia tidak bermukim di dunia melainkan karena dalam keadaan darurat dan terpaksa, bukan atas dasar kerelaan dan pilihannya sendiri.

Semoga Allah s.w.t. mengelompokkan kita semua ke dalam golongan orang-orang yang bersikap hati-hati terhadap kesia-siaan dunia yang hina dan terhadap semua yang ada di dalamnya, serta tidak menjadi orang yang bermukim dan merasa nyaman dengannya.

Alamat Kami
Jl. Zawiyah, No. 121, Rumah Botol Majlis Dzikir Hati Senang,
RT 06 RW 04, Kp. Tajur, Desa Pamegarsari, Parung, Jawa Barat. 16330.