106
Sūratu Quraisy membicarakan nikmat-nikmat Allah yang besar kepada penduduk Makkah. Mereka dua kali melakukan bepergian; pada musim hujan ke Yaman dan pada musim kemarau bepergian ke Syam untuk berdagang. Allah memuliakan kaum Quraisy dengan dua nikmat besar di antara nikmat yang besar berupa keamanan, tinggal menetap, kaya dan hidup tentram. “Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan Pemilik rumah ini (Ka‘bah). Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan”.
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ.
لِإِيْلَافِ قُرَيْشٍ. إِيْلَافِهِمْ رِحْلَةَ الشِّتَاءِ وَ الصَّيْفِ. فَلْيَعْبُدُوْا رَبَّ هذَا الْبَيْتِ. الَّذِيْ أَطْعَمَهُمْ مِّنْ جُوْعٍ وَ آمَنَهُمْ مِّنْ خَوْفٍ.
106:1. Karena kebiasaan orang-orang Quraisy,
106:2. (Yaitu) kebiasaan mereka bepergian pada musim dingin dan musim panas.
106:3. Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan Pemilik rumah ini (Ka‘bah).
106:4. Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan.
“Karena kebiasaan orang-orang Quraisy, (yaitu) kebiasaan mereka”; karena Allah memberi kemudahan kepada kaum Quraisy untuk melakukan kebiasaan mereka, yaitu pergi ke Yaman pada musim penghujan dan pergi ke Syam pada musim kemarau. Allah berfirman: “bepergian pada musim dingin dan musim panas”; di mana mereka bepergian untuk berdagang. Mereka datang dengan membawa makanan dan pakaian dan memperoleh keuntungan dalam pergi maupun pulang. Mereka menjalankannya dengan aman dan tenang serta tidak seorang pun mengganggu mereka, sebab umat manusia berkata: “Mereka adalah tetangga Baitullah dan penduduk tanah suci-Nya. Mereka adalah “keluarga” Allah, sebab mereka penguasa Ka‘bah. Maka janganlah kalian menyakiti maupun menzalimi mereka. Ketika Allah menghancurkan pasukan Gajah dan menggagalkan rencana mereka, maka penduduk Makkah semakin berwibawa dan para penguasa semakin menghormati mereka. Sehingga perdagangan mereka semakin besar untungnya. Itulah sebabnya Allah mengungkit-ungkit kepada kaum Quraisy dan mengingatkan nikmat yang Dia berikan kepada mereka agar mereka mengesakan-Nya dan bersyukur kepada-Nya.
“Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan Pemilik rumah ini (Ka‘bah)”; karena itu, hendaknya mereka menyembah Allah Maha Agung. Tuhan Ka‘bah yang kuno ini dan hendaknya mereka menjadikan penyembahan itu sebagai rasa syukur atas nikmat yang besar tersebut yang secara khusus diberikan kepada mereka. Ulama tafsir berkata: “Dalam ayat ini ada huruf fā’, sebab redaksi ayat sebelumnya mengandung makna syarat. Seolah Allah berfirman: “Jika mereka tidak menyembah Allah karena nikmat-nikmat yang lain, maka hendaknya mereka menyembah Allah karena nikmat berdagang mereka dua kali tersebut yang termasuk nikmat paling tampak. Sebab, mereka berada di negeri yang tidak bertanaman dan tidak ada air susu binatang. Itulah karenanya, Allah berfirman setelahnya. “Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan”; itulah Tuhan yang memberi mereka makan setelah mereka sangat lapar dan memberi mereka keamanan setelah mereka sangat takut. Mereka bepergian dengan aman tanpa ada seorang pun mengganggu mereka. Tidak seorangpun menyerang mereka, baik di rumah maupun ketika bepergian. Sebagaimana firman Allah: “Dan apakah mereka tidak memperhatikan, bahwa sesungguhnya Kami telah menjadikan (negeri mereka) tanah suci yang aman, sedang manusia sekitarnya rampok-merampok.” (al-‘Ankabūt [29]: 67). Itu adalah berkat doa Ibrāhīm al-Khalīl di mana beliau berkata: “Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini negeri yang aman sentosa” (al-Baqarah [2]: 126) dan: “Dan beri rezekilah mereka dari buah-buahan” (Ibrāhīm [14]: 37). Bukankah kaum Quraisy harus dan wajib untuk hanya menyembah Allah yang memberi mereka makan menghilangkan lapar dan memberi keamanan menghilangkan takut?
Dalam surat Quraisy terdapat sejumlah keindahan bahasa dan sastra sebagaimana berikut ini:
Pertama, thibāq antara (الشِّتَاءِ) (musim dingin) dan (الصَّيْفِ) (musim kemarau), antara (أَطْعَمَهُمْ مِّنْ جُوْعٍ) (memberikan mereka makan) dan: (وَ آمَنَهُمْ مِّنْ خَوْفٍ) (memberikan mereka keamanan dari ketakutan).
Kedua, idhāfah (penisbatan) untuk memuliakan: (رَبَّ هذَا الْبَيْتِ)
Ketiga, mendahulukan kata yang semestinya diakhirkan:
لِإِيْلَافِ قُرَيْشٍ
Asalnya adalah:
لِيَعْبُدُوْا رَبَّ هذَا الْبَيْتِ، لِإِيْلَافِهِمْ رِحْلَةَ الشِّتَاءِ وَ الصَّيْفِ
Keempat, nakirah pada kata (جُوْعٍ) dan (خَوْفٍ) untuk menjelaskan bahwa keduanya berat. Yakni lapar yang berat dan takut yang berat.
Imām-ur-Rāzī berkata: “Ketahuilah, bahwa nikmat ada dua. Pertama, terhalaunya musibah, yaitu apa yang disebutkan Allah dalam sūrat-ul-Fīl. Kedua, datangnya nikmat yaitu apa yang disebut Allah dalam surat Quraisy ini. Ketika Allah menolak musibah dari mereka dan mendatangkan nikmat bagi mereka, sedangkan keduanya merupakan nikmat yang besar, maka Allah menyuruh mereka menyembah-Nya dan bersyukur kepada-Nya. “Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan Pemilik rumah ini (Ka‘bah)”.