Surah an-Nazi’at 79 ~ Tafsir al-Jalalain

Dari Buku:
Tafsir Jalalain.
(Jilid 4. Dari Sūrat-uz-Zumar sampai Sūrat-un-Nās)
Oleh: Imam Jalaluddin al-Mahalli dan Imam Jalaluddin as-Suyuthi

Penerjemah: Bahrun Abu Bakar L.C.
Penerbit: Sinar Baru Algensindo Bandung

080

SŪRAT-UN-NĀZI‘ĀT

Makkiyyah, 46 ayat

Turun sesudah Sūrat-un-Naba’.

 

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ

Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang

 

وَ النَّازِعَاتِ غَرْقًا.

1. (وَ النَّازِعَاتِ) “Demi yang mencabut nyawa” atau demi malaikat-malaikat yang mencabut nyawa orang-orang kafir (غَرْقًا) “dengan keras” atau mencabutnya dengan kasar.

وَ النَّاشِطَاتِ نَشْطًا.

2. (وَ النَّاشِطَاتِ نَشْطًا) “Dan demi yang mencabut nyawa dengan lemah lembut” maksudnya, demi malaikat-malaikat yang mencabut nyawa orang-orang mu’min secara pelan-pelan.

وَ السَّابِحَاتِ سَبْحًا.

3. (وَ السَّابِحَاتِ سَبْحًا) “Dan demi yang turun dari langit dengan cepat” yakni demi malaikat-malaikat yang melayang turun dari langit dengan membawa perintah-Nya.

فَالسَّابِقَاتِ سَبْقًا.

4. (فَالسَّابِقَاتِ سَبْقًا) “Dan demi yang mendahului dengan kencang” yaitu malaikat-malaikat yang mendahului dengan kencang membawa arwah orang-orang yang beriman ke surga.

فَالْمُدَبِّرَاتِ أَمْرًا.

5. (فَالْمُدَبِّرَاتِ أَمْرًا) “Dan yang mengatur urusan” dunia, yaitu malaikat-malaikat yang mengatur urusan dunia. Dengan kata lain, demi malaikat-malaikat yang turun untuk mengaturnya. Jawāb daripada semua qasam yang telah disebutkan di atas tidak disebutkan, lengkapnya, benar-benar kalian, hai penduduk Makkah yang kafir, akan dibangkitkan. Jawāb inilah yang menjadi ‘Āmil terhadap ayat berikutnya yaitu:

يَوْمَ تَرْجُفُ الرَّاجِفَةُ.

6. (يَوْمَ تَرْجُفُ الرَّاجِفَةُ) “Pada hari ketika terjadinya guncangan yang hebat” yakni tiupan pertama malaikat Israfil yang mengguncangkan segala sesuatu dengan hebatnya. Kemudian pengertian ini diungkapkan ke dalam bentuk kejadian yang timbul dari tiupan tersebut.

تَتْبَعُهَا الرَّادِفَةُ.

7. (تَتْبَعُهَا الرَّادِفَةُ) “Kemudian ia diiringi dengan yang mengikutinya” dengan tiupan yang kedua dari malaikat Israfil; jarak di antara kedua tiupan itu empat puluh tahun; dan jumlah ayat ini berkedudukan menjadi Ḥāl atau kata keterangan keadaan daripada lafal ar-Rājifah. Dan lafal al-Yauma dapat mencakup kedua tiupan tersebut, karena itu maka kedudukan Zharaf-nya dianggap sah. Tiupan yang kedua ini untuk membangkitkan semua makhluk yang mati menjadi hidup kembali, maka setelah tiupan yang kedua, mereka bangkit hidup kembali.

قُلُوْبٌ يَوْمَئِذٍ وَاجِفَةٌ.

8. (قُلُوْبٌ يَوْمَئِذٍ وَاجِفَةٌ) “Hati manusia pada waktu itu sangat takut” amat takut dan cemas.

أَبْصَارُهَا خَاشِعَةٌ.

9. (أَبْصَارُهَا خَاشِعَةٌ) “Pandangannya tunduk” yakni hina karena kedahsyatan apa yang disaksikannya.

يَقُوْلُوْنَ أَئِنَّا لَمَرْدُوْدُوْنَ فِي الْحَافِرَةِ.

10. (يَقُوْلُوْنَ) “Mereka berkata” yakni orang-orang kafir yang mempunyai hati dan pandangan itu mengatakan dengan nada yang memperolok-olokkan karena ingkar dan tidak percaya terhadap adanya hari berbangkit (أَئِنَّا) ““Apakah sesungguhnya kami” dapat dibaca secara Taḥqīq dan Tasḥīl, demikian pula lafal berikutnya yang sama (لَمَرْدُوْدُوْنَ فِي الْحَافِرَةِ) “benar-benar dikembalikan kepada kehidupan yang semula?”” maksudnya, apakah kami sesudah mati akan dikembalikan menjadi hidup seperti semula. Lafal al-Ḥāfirah menunjukkan makna permulaan sesuatu, antara lain dikatakan: Raja‘a Fulānun Fī Ḥāfiratihi, artinya, si Polan kembali lagi ke arah dia datang.

أَئِذَا كُنَّا عِظَامًا نَّخِرَةً.

11. (أَئِذَا كُنَّا عِظَامًا نَّخِرَةً) ““Apakah apabila kami telah menjadi tulang belulang yang hancur lumat” juga akan dihidupkan kembali?” Menurut suatu qiraat lafal Nakhiratun dibaca Nākhiratun, artinya yang lapuk dan hancur.

قَالُوْا تِلْكَ إِذًا كَرَّةٌ خَاسِرَةٌ.

12. (قَالُوْا تِلْكَ) “Mereka berkata, “Hal itu” maksudnya, dihidupkan-Nya kami kembali (إِذًا) “kalau begitu” atau seandainya hal itu benar terjadi (كَرَّةٌ) “adalah pengembalian” suatu pengembalian (خَاسِرَةٌ) “yang merugikan”” diri kami. Lalu Allah berfirman:

فَإِنَّمَا هِيَ زَجْرَةٌ وَاحِدَةٌ.

13. (فَإِنَّمَا هِيَ) “Sesungguhnya pengembalian itu hanyalah” maksudnya, tiupan yang kedua untuk membangkitkan semua makhluk (زَجْرَةٌ) “dengan tiupan” dengan hardikan (وَاحِدَةٌ) “sekali saja” apabila tiupan yang kedua ini telah dilakukan.

فَإِذَا هُمْ بِالسَّاهِرَةِ.

14. (فَإِذَا هُمْ) “Maka dengan serta-merta mereka” yakni semua makhluk (بِالسَّاهِرَةِ) “bangun” berada di permukaan bumi dalam keadaan hidup, yang sebelumnya mereka berada di perut bumi dalam keadaan mati.

هَلْ أَتَاكَ حَدِيْثُ مُوْسَى.

15. (هَلْ أَتَاكَ) “Sudahkah sampai kepadamu” hai Muḥammad (حَدِيْثُ مُوْسَى) “kisah Mūsā” lafal ayat ini menjadi ‘Āmil bagi lafal berikutnya, yaitu:

إِذْ نَادَاهُ رَبُّهُ بِالْوَادِ الْمُقَدَّسِ طُوًى.

16. (إِذْ نَادَاهُ رَبُّهُ بِالْوَادِ الْمُقَدَّسِ طُوًى) “Tatkala Rabbnya memanggilnya di lembah suci ialah lembah Thuwā” dapat dibaca dengan memakai Tanwīn, yaitu Thuwan, dapat pula dibaca tanpa Tanwīn, yaitu Thuwā, artinya nama sebuah lembah. Lalu Rabb berkata kepadanya:

اِذْهَبْ إِلَى فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَى.

17. (اِذْهَبْ إِلَى فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَى) ““Pergilah kamu kepada Fir‘aun sesungguhnya dia telah melampaui batas” kekafirannya telah melampaui batas.

فَقُلْ هَل لَّكَ إِلَى أَنْ تَزَكَّى.

18. (فَقُلْ هَل لَّكَ) “Dan katakanlah, “Adakah keinginan bagimu” artinya, aku mengajakmu (إِلَى أَنْ تَزَكَّى) untuk membersihkan diri”” dari kemusyrikan, seumpamanya kamu bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah. Menurut suatu qira’at lafal Tazakkā dibaca Tazzakkā, yang asalnya adalah Tatazakka, kemudian huruf Tā’ yang kedua di-idghām-kan kepada huruf Zā’, sehingga jadilah Tazzakkā.

وَ أَهْدِيَكَ إِلَى رَبِّكَ فَتَخْشَى.

19. (وَ أَهْدِيَكَ إِلَى رَبِّكَ) ““Dan kamu akan kupimpin kepada Rabbmu” maksudnya, aku akan tunjukkan kamu jalan untuk mengetahui-Nya melalui bukti-bukti yang ada (فَتَخْشَى) “supaya kamu takut kepada-Nya”” karena itu lalu kamu takut kepada-Nya.

فَأَرَاهُ الْآيَةَ الْكُبْرَى.

20. (فَأَرَاهُ الْآيَةَ الْكُبْرَى) “Lalu Mūsā memperlihatkan kepadanya mukjizat yang besar” di antara mu‘jizat-mu‘jizat yang dimilikinya, yang ada tujuh macam itu. Mu‘jizat yang diperlihatkan kepadanya pada saat itu ialah tangan atau tongkatnya.

فَكَذَّبَ وَ عَصَى.

21. (فَكَذَّبَ) “Tetapi Fir‘aun mendustakan” Nabi Mūsā (وَ عَصَى) “dan mendurhakai” Allah swt.

ثُمَّ أَدْبَرَ يَسْعَى.

22. (ثُمَّ أَدْبَرَ) “Kemudian dia berpaling” dari iman (يَسْعَى) “seraya berjalan” di muka bumi dengan menimbulkan kerusakan.

فَحَشَرَ فَنَادَى.

23. (فَحَشَرَ) “Maka dia mengumpulkan” para ahli sihir dan bala tentaranya (فَنَادَى) “lalu berseru.”

فَقَالَ أَنَا رَبُّكُمُ الْأَعْلَى.

24. (فَقَالَ أَنَا رَبُّكُمُ الْأَعْلَى) “Seraya berkata, “Akulah tuhan kalian yang paling tinggi”” tiada tuhan di atasku.

فَأَخَذَهُ اللهُ نَكَالَ الْآخِرَةِ وَ الْأُولَى.

25. (فَأَخَذَهُ اللهُ) “Maka Allah membinasakannya” yakni menenggelamkannya hingga binasa (نَكَالَ) “sebagai pembalasan” atau siksaan (الْآخِرَةِ) “atas yang terakhir ini” disebabkan perkataannya yang terakhir tadi (وَ الْأُولَى) “dan yang pertama” yaitu sebagaimana yang telah disitir oleh firman-Nya, ” …aku tidak mengetahui tuhan bagi kamu sekalian selain aku.” (Q.S. al-Qashash, 38) Jarak antara kedua perkataan yang telah dikatakannya itu empat puluh tahun.

إِنَّ فِيْ ذلِكَ لَعِبْرَةً لِّمَنْ يَخْشَى.

26. (إِنَّ فِيْ ذلِكَ) “Sesungguhnya pada yang demikian itu” hal yang telah disebutkan itu (لَعِبْرَةً لِّمَنْ يَخْشَى) “terdapat pelajaran bagi orang yang takut” kepada Allah swt.

أَأَنْتُمْ أَشَدُّ خَلْقًا أَمِ السَّمَاءُ بَنَاهَا.

27. (أَأَنْتُمْ) “Apakah kalian” hai orang-orang yang ingkar terhadap adanya hari berbangkit; lafal ayat ini dapat dibaca Taḥqīq dan Tasḥīl (أَشَدُّ خَلْقًا أَمِ السَّمَاءُ) “yang lebih sulit penciptaannya ataukah langit?” yang lebih rumit penciptaannya. (بَنَاهَا) “Allah telah membinanya” lafal ayat ini menjelaskan tentang cara penciptaan langit.

رَفَعَ سَمْكَهَا فَسَوَّاهَا.

28. (رَفَعَ سَمْكَهَا) “Dia meninggikan bangunannya” ayat ini menafsirkan pengertian yang terkandung di dalam lafal Banāhā; artinya, Dia menjadikan bangunannya berada di atas, maksudnya, dalam ketinggian yang sangat. Tetapi menurut pendapat lain dikatakan, bahwa yang dimaksud dengan Samkahā adalah atapnya (فَسَوَّاهَا) “lalu menyempurnakannya” yakni, Dia menjadikannya dengan sempurna tanpa cacat.

وَ أَغْطَشَ لَيْلَهَا وَ أَخْرَجَ ضُحَاهَا.

29. (وَ أَغْطَشَ لَيْلَهَا) “Dan Dia menjadikan malamnya gelap gulita” membuatnya gelap (وَ أَخْرَجَ ضُحَاهَا) “dan menjadikan siangnya terang benderang” Dia menampakkan cahaya matahari. Di dalam ungkapan ini lafal al-Lail atau malam hari di-mudhāf-kan kepada as-Samā’, karena malam hari merupakan kegelapan baginya. Dan di-mudhāf-kan pula kepada matahari, karena matahari merupakan cahaya baginya.

وَ الْأَرْضَ بَعْدَ ذلِكَ دَحَاهَا.

30. (وَ الْأَرْضَ بَعْدَ ذلِكَ دَحَاهَا) “Dan bumi sesudah itu dihamparkan-Nya” yakni dijadikan-Nya dalam bentuk terhampar, sebenarnya penciptaan bumi itu sebelum penciptaan langit, tetapi masih belum terhamparkan.

أَخْرَجَ مِنْهَا مَاءَهَا وَ مَرْعَاهَا.

31. (أَخْرَجَ مِنْهَا) “Ia memancarkan” berkedudukan menjadi Ḥāl dengan memperkirakan adanya lafal Qad sebelumnya; artinya Ia mengeluarkan (مَاءَهَا) “daripadanya mata air” yakni dengan mengalirkan air dari sumber-sumbernya (وَ مَرْعَاهَا) “dan menumbuhkan tumbuh-tumbuhannya” yakni, pohon-pohon dan rumput-rumputan yang menjadi makanan ternak, dan demikian pula tumbuh-tumbuhan yang menjadi makanan pokok manusia, serta buah-buahannya. Dikaitkannya istilah al-Mar‘ā kepada bumi hanyalah merupakan ungkapan Isti‘ārah,

وَ الْجِبَالَ أَرْسَاهَا.

32. (وَ الْجِبَالَ أَرْسَاهَا) “Dan gunung-gunung dipancangkan-Nya dengan teguh” yakni dipancangkan di atas bumi supaya bumi stabil dan tidak berguncang.

مَتَاعًا لَّكُمْ وَ لِأَنْعَامِكُمْ.

33. (مَتَاعًا لَّكُمْ) “Untuk kesenangan” lafal Matā‘an berkedudukan menjadi Maf‘ūl Lah bagi lafal yang tidak disebutkan, lengkapnya, Dia melakukan hal tersebut untuk kesenangan. Atau lafal Matā‘an ini dianggap sebagai Mashdar, artinya memberikan kesenangan (وَ لِأَنْعَامِكُمْ) “buat kalian dan buat binatang-binatang ternak kalian” lafal An‘ām ini adalah jama‘ dari lafal Na‘amun artinya binatang ternak mencakup unta, sapi, dan kambing.

فَإِذَا جَاءَتِ الطَّامَّةُ الْكُبْرَى.

34. (فَإِذَا جَاءَتِ الطَّامَّةُ الْكُبْرَى) “Maka apabila malapetaka yang sangat besar telah datang” yaitu tiupan sangkakala malaikat Israfil yang kedua.

يَوْمَ يَتَذَكَّرُ الْإِنْسَانُ مَا سَعَى.

35. (يَوْمَ يَتَذَكَّرُ الْإِنْسَانُ) “Pada hari ketika manusia teringat” lafal Yauma berkedudukan menjadi Badal daripada lafal Idzā (مَا سَعَى) “akan apa yang telah dikerjakannya” sewaktu ia masih di dunia, apakah itu perbuatan baik atau perbuatan buruk.

وَ بُرِّزَتِ الْجَحِيْمُ لِمَنْ يَرَى.

36. (وَ بُرِّزَتِ) “Dan diperlihatkan dengan jelas” ditampakkan dengan seterang-terangnya (الْجَحِيْمُ) “neraka” yakni neraka Jaḥīm yang membakar itu (لِمَنْ يَرَى) “kepada setiap orang yang melihat” kepada setiap orang yang melihatnya. Jawāb dari lafal Idzā ialah:

فَأَمَّا مَنْ طَغَى.

37. (فَأَمَّا مَنْ طَغَى) “Adapun orang yang melampaui batas” yakni orang kafir.

وَ آثَرَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا.

38. (وَ آثَرَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا) “Dan lebih mengutamakan kehidupan dunia” dengan cara selalu mengikuti kemauan hawa nafsunya.

فَإِنَّ الْجَحِيْمَ هِيَ الْمَأْوَى.

39. (فَإِنَّ الْجَحِيْمَ هِيَ الْمَأْوَى) “Maka sesungguhnya nerakalah tempat tinggal” bagi dia.

وَ أَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَ نَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَى.

40. (وَ أَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ) “Dan adapun orang yang takut kepada kebesaran Rabbnya” di kala ia berdiri di hadapan-Nya (وَ نَهَى النَّفْسَ) “dan menahan diri” menahan nafsu amarahnya (عَنِ الْهَوَى) “dari keinginan hawa nafsunya” yang menjerumuskan ke dalam kebinasaan disebabkan memperturutkan kemauannya.

فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَى.

41. (فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَى) “Maka sesungguhnya surgalah tempat tinggalnya” kesimpulan makna yang terkandung di dalam Jawāb syarat ini ialah, bahwasanya orang yang durhaka akan dimasukkan ke dalam neraka, dan orang yang taat akan dimasukkan ke dalam surga.

يَسْأَلُوْنَكَ عَنِ السَّاعَةِ أَيَّانَ مُرْسَاهَا.

42. (يَسْأَلُوْنَكَ) “Mereka bertanya kepadamu” yakni orang-orang kafir Makkah itu (عَنِ السَّاعَةِ أَيَّانَ مُرْسَاهَا) “tentang hari kiamat, kapan terjadinya” kapankah saat terjadinya.

فِيْمَ أَنْتَ مِنْ ذِكْرَاهَا.

43. (فِيْمَ) “Tentang apakah” atau mengenai apakah (أَنْتَ مِنْ ذِكْرَاهَا) “hingga kamu dapat menyebutkan waktunya?” maksudnya, kamu tidak memiliki ilmu mengenai kejadiannya sehingga kamu dapat menyebutkan waktunya.

إِلَى رَبِّكَ مُنْتَهَاهَا.

44. (إِلَى رَبِّكَ مُنْتَهَاهَا) “Kepada Rabbmulah dikembalikan kesudahannya” yaitu mengenai ketentuan waktunya, tiada seseorang pun yang mengetahuinya selain Dia.

إِنَّمَا أَنْتَ مُنْذِرُ مَنْ يَخْشَاهَا.

45. (إِنَّمَا أَنْتَ مُنْذِرُ) “Kamu hanyalah pemberi peringatan”, maksudnya sesungguhnya peringatanmu itu hanyalah bermanfaat (مَنْ يَخْشَاهَا) “bagi siapa yang takut kepadanya” yakni takut kepada hari kiamat.

كَأَنَّهُمْ يَوْمَ يَرَوْنَهَا لَمْ يَلْبَثُوْا إِلَّا عَشِيَّةً أَوْ ضُحَاهَا

46. (كَأَنَّهُمْ يَوْمَ يَرَوْنَهَا لَمْ يَلْبَثُوْا) “Pada hari mereka melihat hari itu, mereka merasa seakan-akan tidak tinggal” di dalam kubur mereka (إِلَّا عَشِيَّةً أَوْ ضُحَاهَا) “melainkan sebentar saja di waktu sore atau pagi hari” artinya, pada suatu sore hari atau pada suatu pagi hari. Di sini dianggap sah meng-idhāfah-kan lafal adh-Dhuḥā kepada lafal al-‘Asyiyyah, disebabkan di antara keduanya terdapat kaitan yang amat erat, sebab kedua-duanya merupakan permulaan dan penghujung suatu hari, dan Idhāfah di sini dianggap baik karena kedua kalimatnya terpisah.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *