Surah an-Nazi’at 79 ~ Tafsir al-Jailani

Dari Buku: TAFSIR al-Jaelani
Oleh: Syekh ‘Abdul-Qadir Jaelani
Penerjemah: Abdul Hamid

Penerbit: PT. SAHARA intisains

Surah ke 79; 46 ayat
an-Nāzi‘āt
(malaikat-malaikat yang mencabut).

 

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang

 

Pembuka Surah an-Nāzi‘āt

Orang yang sedang berada dalam perjalanan dan mengalami kematian dari sempitnya tabiat untuk menuju jagat raya kebenaran, berhijrah dari satu tempat dan kebutuhannya menuju berbagai kewajiban yang inti; pasti mengetahui bahwa untuk membebaskan diri dan selamat dari ikatan angan-angan dan belenggu harapan secara mutlak, itu tidak mudah. Hal ini tidak dapat dilakukan kecuali dengan adanya tarikan dari Allah s.w.t. dan wahyu-Nya yang dikuasakan kepada nama-nama dan sifat-sifatNya di alam wujud dan kerusakan, yang dinamai dengan malaikat yang mencabut dan membebaskan arwah manusia, di mana arwah ini merupakan bagian dari tentara-tentara alam ketuhanan yang dipenjara dalam watak kemanusiaan yang sempit, dalam istana identitas, dan dalam benteng tabiat dan kecenderungan.

Setelah arwah-arwah itu diturunkan dan ditempatkan di benteng tersebut, sebagian dari mereka ada yang melupakan negeri asal dan tempat tinggalnya yang hakiki, sebagian lagi menjadi arwah-arwah yang terpenjara seraya masih mengingat negeri asalnya dan berharap dapat terbebas dari posisi sulit yang membinasakan; sebagian lagi dalam kebingungan; dan sebagian yang lain terus bergerak untuk bisa keluar, namun tidak berhasil.

Ketika keadaan mereka dalam penjara tabiat dan alam kemungkinan seperti ini, Allah s.w.t. memerintahkan malaikat pencabut nyawa yang turun dari alam Jabarut untuk mengambil mereka – sebagai bentuk pertolongan dan keutamaan dari-Nya – sesuai dengan rintangan yang mereka alami, sampai malaikat itu membebaskan mereka dari watak kemanusiaan yang sempit dan mengantarkan mereka menuju jagat raya ketuhanan.

Allah s.w.t. bersumpah atas nama malaikat pencabut nyawa, untuk menguatkan adanya hari kebangkitan dan pembalasan yang pada saat hari tersebut terjadi, fatamorgana alam tabiat akan hilang sama sekali, supaya orang-orang yang mengingkari hari itu tidak bisa lagi mengingkarinya dan orang-orang kafir tercegah dari kekufurannya. Setelah memberi keberkahan, Allah s.w.t. berfirman: (بِسْمِ اللهِ) [Dengan menyebut nama Allah] yang menguasai semua urusan hamba-Nya sesuai dengan hikmah dan kemaslahatan yang dikehendaki-Nya, (الرَّحْمنِ) [Yang Maha Pemurah] kepada mereka di dunia dan menyadarkan mereka dari kelalaian, (الرَّحِيْمِ) [lagi Maha Penyayang] di akhirat dengan cara membebaskan mereka dari penjara tabiat.

Ayat 1.

(وَ النَّازِعَاتِ) [Demi (malaikat-malaikat) yang mencabut (nyawa)] dan membebaskan semua arwah hamba dari penjara tabiat dan kecenderungan, (غَرْقًا) [dengan keras] karena mereka tenggelam dalam watak kemanusiaan dan keperluannya serta terhalang dari alam ketuhanan yang murni.

Ayat 2.

(وَ النَّاشِطَاتِ) [Dan (malaikat-malaikat) yang mencabut (nyawa)] dan mengeluarkan jiwa ahli maḥabbah dan para wali yang rindu pada alam keesaan dan jagat raya ketuhanan (نَشْطًا) [dengan lemah-lembut], ramah, dan penuh simpati karena belas-kasih mereka yang sempurna dan kerinduan mereka pada kebebasan.

Ayat 3.

(وَ السَّابِحَاتِ) [Dan (malaikat-malaikat) yang turun dari langit] untuk mengeluarkan arwah orang-orang yang banyak melakukan kebaikan – dari penampakan mereka – dengan penuh kelembutan dan kehalusan. Mereka mencabutnya pelan-pelan, lalu membiarkannya untuk istirahat, kemudian mencabutnya kembali. Demikian seterusnya sampai mereka benar-benar membebaskannya, seperti halnya orang yang berenang di mana ia bergerak, lalu beristirahat, lalu bergerak (سَبْحًا) [dengan cepat] karena mereka berenang di lautan kebingungan hingga akhirnya mereka sampai di lautan keyakinan.

Ayat 4.

(فَالسَّابِقَاتِ) [Dan (malaikat-malaikat) yang mendahului] maksudnya: jiwa-jiwa yang membinasakan diri dalam diri Allah s.w.t., yang kekal dengan kekekalan-Nya, dan yang segera keluar sebelum turunnya malaikat pencabut nyawa; (سَبْقًا) [dengan kencang] karena kerinduan dan kesemangatan mereka yang sempurna, karena penelanjangan diri mereka dari pakaian alam watak kemanusiaan, dan karena pembebasan diri mereka dari tuntutan tabiat dan kecenderungan sebelum datangnya waktu kematian dan munculnya serangan yang membebaskan.

Ayat 5.

(فَالْمُدَبِّرَاتِ أَمْرًا) [Dan (malaikat-malaikat) yang mengatur urusan) yakni; malaikat yang diberi kekuasaan untuk mengatur semua urusan mulai dari rezeki, ajal, dan segala hal yang terjadi di alam dunia dan kerusakan. Sebab keberadaan mereka memang untuk diperintahkan dan diberi mandat mengurusi semua itu, sesuai dengan hikmah yang dikehendaki oleh Dzat Yang Maha Kuasa lagi Maha Mengetahui, untuk membangkitkan kalian dari kubur kalian dan menghisab amal kalian, wahai orang-orang mukallaf.

Ayat 6.

Ingatlah (يَوْمَ تَرْجُفُ الرَّاجِفَةُ) [(Sesungguhnya kamu akan dibangkitkan) pada hari ketika tiupan pertama menggoncangkan], menggerakkan, dan menggetarkan segala sesuatu yang diam dan tidak bergerak sama sekali, seperti bumi dan semua benda mati.

Ayat 7.

Setelah tiupan pertama ini menggerakkan semua benda mati yang ada, (تَتْبَعُهَا الرَّادِفَةُ) [tiupan pertama ini disusul oleh tiupan kedua] yang menggerakkan dan menggetarkan segala sesuatu yang ada di bagian atas, sehingga membuat langit-langit terbelah dan bintang-bintang bertebaran. Ringkasnya, segala sesuatu yang berada di bagian atas dan di bagian bawah menjadi bercampur-baur sehingga tidak ada lagi yang namanya bagian atas maupun bawah.

Ayat 8.

Dari kengerian dan bencana yang begitu besar ini, (قُلُوْبٌ يَوْمَئِذٍ وَاجِفَةٌ) [hati manusia pada waktu itu sangat takut], gelisah, bingung, dan sangat kacau.

Ayat 9.

Pada waktu itu, (أَبْصَارُهَا) [pandangannya] yakni pandangan orang-orang yang memiliki hati (خَاشِعَةٌ) [tertunduk] hina karena merasa sangat ketakutan dan ngeri.

Ayat 10.

Meskipun pandangan mereka tertunduk dan hati mereka berdebar-debar, mereka tetap (يَقُوْلُوْنَ أَئِنَّا) [bertanya: “Apakah kami] yang ketika di dunia diberitahu oleh para rasul tentang adanya hari kebangkitan dan padang Maḥsyar, namun justru malah menjauh dan mengingkarinya, (لَمَرْدُوْدُوْنَ فِي الْحَافِرَةِ) [benar-benar dikembalikan kepada kehidupan yang semula?”] Maksudnya: “Apakah kami akan dikembalikan pada keadaan yang kami alami sebelumnya? Apakah kami akan dihidupkan lagi seperti sebelumnya?”

Ayat 11.

Lalu keingkaran mereka semakin bertambah dengan bertanya: (أَئِذَا كُنَّا عِظَامًا نَّخِرَةً) [“Apakah jika telah menjadi tulang belulang yang hancur lumat] kami akan tetap dibangkitkan dan dihidupkan juga? Tidak, tidak mungkin! Bagaimana hal semacam ini terjadi pada kami?” Setelah mereka berlaku sombong dan menganggap semua itu tidak mungkin terjadi, yang tercermin dari pengingkaran mereka:

Ayat 12.

(قَالُوْا) [Mereka berkata] dengan nada mengejek dan mengolok-olok, (تِلْكَ) [kalau demikian] keadaannya di mana kami akan dihidupkan kembali setelah kami, sebagaimana yang dinyatakan para rasul, berarti kami akan mendapatkan (إِذًا كَرَّةٌ خَاسِرَةٌ) [suatu pengembalian yang merugikan] dan mengecewakan. Sebab kami mendustakannya dan tidak membenarkan orang yang memberitahukannya. Setelah yang diberitakan itu terjadi, kami pun mengalami kerugian yang sangat besar.”

Ayat 13.

Setelah mereka mempertanyakannya dengan penuh kesombongan dan keangkuhan, maka untuk mengetahui kesiapan mereka, Allah s.w.t. berkata: “Janganlah kalian coba-coba melarikan diri dari hari kiamat dan jangan pula menganggap hal tersebut sulit terjadi karena (فَإِنَّمَا هِيَ) [sesungguhnya pengembalian itu] yakni: terjadinya hari kiamat yang didasarkan pada kesempurnaan kekuasaan Kami yang besar, (زَجْرَةٌ وَاحِدَةٌ) [hanyalah dengan satu kali tiupan saja] dengan perintah Kami dan ketetapan Kami.

Ayat 14.

Lalu pada saat sangkakala yang kedua ditiupkan, (فَإِذَا هُمْ بِالسَّاهِرَةِ) [maka dengan serta merta mereka hidup kembali di permukaan bumi] maksudnya: semua manusia didatangkan ke permukaan bumi. Mereka menjadi hidup kembali di atas bumi dalam keadaan, bentuk, dan identitas yang sama seperti pada saat mereka berada dalam kehidupan yang pertama di dunia.

Ayat 15.

Kemudian Allah s.w.t. menghibur kekasih-Nya, Nabi Muḥammad s.a.w., dan menganjurkannya untuk bersabar dalam menghadapi berbagai tindakan menyakitkan yang berasal dari para pendusta dan orang-orang sombong, dengan berfirman: (هَلْ أَتَاكَ حَدِيْثُ مُوْسَى) [sudahkah sampai kepadamu (ya Muḥammad) kisah Mūsā?] maksudnya: dengan pendustaan kaummu yang membuatmu bimbang, dengan pengingkaran mereka, dan dengan berpalingnya mereka dari hidayah dan petunjuk yang kamu berikan, wahai Rasul yang paling sempurna; bukankah Aku telah mendatangkan kepadamu kisah saudaramu, Mūsā a.s., demi untuk menghiburmu, menghilangkan kesedihanmu, dan memberi petunjuk kepadamu untuk bersabar dan tekun, seperti halnya saudaramu sehingga kamu dapat mengalahkan musuh-musuhmu seperti halnya dirinya.

Ayat 16.

Hal ini terjadi (إِذْ نَادَاهُ رَبُّهُ) [tatkala Rabbnya memanggilnya] dengan tanpa perantaraan malaikat dan media apa pun karena pada waktu itu ia berada dalam perasaan cinta yang begitu besar, (بِالْوَادِ الْمُقَدَّسِ) [di lembah yang suci] dari berbagai perasaan cemburu yang hina dan keberpalingan kepada selain Penguasa Yang Maha Perkasa, yang bernama (طُوًى) [lembah Thuwā] di mana pada saat itu semua ketentuan dan gambaran yang tiba-tiba muncul di atas lautan wujud yang berasal dari angin pertolongan yang dianugerahkan; tersembunyi dari selain Nabi Mūsā a.s. Setelah ia bisa duduk dengan tenang di kursi kebenaran dan bermukim di kediaman ketuhanan, Allah s.w.t. menyuruhnya berpaling ke alam kemanusiaan dan kembali ke alam tersebut untuk memberi petunjuk dan kesempurnaan, demi untuk menyempurnakan hikmah Ilahi yang begitu besar, dengan berfirman:

Ayat 17.

(اِذْهَبْ إِلَى فِرْعَوْنَ) [Pergilah kamu kepada Fir‘aun] yang mengaku paling tinggi, paling kuat, dan berlaku sewenang-wenang, (إِنَّهُ طَغَى) [sesungguhnya ia telah melampaui batas] dan mengabaikan tuntutan ibadah dengan melakukan perbuatan zhalim dan keji, sampai ia mengaku sebagai tuhan.

Ayat 18.

(فَقُلْ) [Dan katakanlah (kepada Fir‘aun)] seraya mengajukan pertanyaan dengan cara yang lembut, yang sesuai dengan kedudukanmu sebagai Nabi dan pemberi petunjuk, (هَلْ لَّكَ) [adakah keinginan bagimu] setelah kamu berpaling dari jalan ketaatan dengan pengakuanmu yang dusta dan batil, (إِلَى أَنْ تَزَكَّى) [untuk membersihkan diri] dan menyucikannya dari kekufuran, kesewenang-wenangan, dan dari perbuatan zhalim dan penentangan?

Ayat 19.

(وَ أَهْدِيَكَ) [Dan kamu akan kupimpin] dan aku beri petunjuk dengan izin Allah s.w.t. dan wahyu-Nya (إِلَى) [ke jalan] yang mengesakan (رَبِّكَ) [Rabbmu], mensucikan pengasuhmu yang telah memunculkanmu dari ketiadaan, dan mendidikmu dengan berbagai macam kelembutan dan kemuliaan. Setelah kamu mengetahui keesaan Rabbmu, mengimani nama-namaNya yang baik dan sifat-sifatNya yang mulia, membenarkan kekuasaan-Nya yang sempurna dan kemampuan-Nya untuk menimpakan berbagai macam pembalasan dan kenikmatan, dan mengimani kebebasan-Nya dalam semua perbuatan dan tindakan-Nya; maka pada saat itu (فَتَخْشَى) [kamu akan merasa takut] pada kekerasan dan kekuatan-Nya. Lalu kamu pun akan menyibukkan diri dengan perbuatan menjalankan semua perintah, meninggalkan semua kemunkaran dan keharaman, dan menjauhi semua larangan. Singkatnya, kamu akan masuk ke dalam golongan orang-orang yang mendapatkan perlindungan dan kemuliaan serta terbebas dari api tabiat dan kehinaannya.”

Setelah Nabi Mūsā a.s. pergi menemui Fir‘aun yang tiran dan zhalim untuk menyampaikan perintah Allah s.w.t. dan wahyu-Nya, serta berdakwah padanya dengan cara lembut dan ramah:

Ayat 20.

(فَأَرَاهُ) [lalu Mūsā memperlihatkan kepadanya] untuk memberi penjelasan dan keterangan, (الْآيَةَ الْكُبْرَى) [mu‘jizat yang besar] berupa tongkat yang bisa diubah menjadi ular atau jenis mu‘jizat lain yang diturunkan kepadanya.

Ayat 21.

Setelah Fir‘aun mendengar dan melihat berbagai mu‘jizat yang dibawa Nabi Mūsā, ia tetap berlaku sombong dan sewenang-wenang. (فَكَذَّبَ) [Lalu Fir‘aun mendustakan] Nabi Mūsā a.s. (وَ عَصَى) [dan mendurhakai] Allah s.w.t.. Bahkan ia semakin bertambah keji dan zhalim.

Ayat 22.

(ثُمَّ) [Kemudian], setelah Nabi Mūsā a.s. datang kepada Fir‘aun dengan membawa petunjuk dan demi menyempurnakan perintah Allah s.w.t., (أَدْبَرَ) [ia berpaling] dari menyambut Nabi Mūsā a.s. dan malah berbalik melakukan kekejian dan kesesatan. Karena itu, Fir‘aun (يَسْعَى) [berusaha menantang (Mūsā)] dan membatalkan dakwahnya.

Ayat 23.

(فَحَشَرَ) [Maka ia mengumpulkan] balatentara dan para tukang sihir negerinya, (فَنَادَى) [lalu berseru memanggil kaumnya] melalui pembesar-pembesarnya dengan nada yang congkak dan sombong.

Ayat 24.

Manusia yang melampaui batas-batas kesombongan dan kecongkakan ini (فَقَالَ أَنَا رَبُّكُمُ) [berkata: “Akulah Rabbmu”] dan pengatur ajalmu (الْأَعْلَى) [yang paling tinggi] dibandingkan penguasa lainnya yang menguasai urusan kalian, wahai sekalian manusia.”

Ayat 25.

Setelah ia melakukan kekejian, kesewenang-wenangan, kezhaliman, dan penentangan yang melampaui batas dan tidak termaafkan: (فَأَخَذَهُ اللهُ) [Allah mengazabnya] sesuai dengan nama-Nya yang dapat menyesatkan dan menghinakan orang-orang yang menentang-Nya karena ia telah menjadikan-Nya sebagai lawan dan musuhnya, (نَكَالَ الْآخِرَةِ وَ الْأُولَى) [dengan azab di akhirat dan azab di dunia]. Maksunya, azab yang dapat menyebabkannya terbelenggu dan terantai di kehidupan yang kedua (di akhirat), dan menyebabkannya berada dalam kebinasaan dan ketenggelaman di kehidupan yang pertama (di dunia).

Ayat 26.

(إِنَّ فِيْ ذلِكَ) [Sesungguhnya pada yang demikian itu], yakni berbagai macam bencana yang menimpa Fir‘aun di dunia dan akhirat, (لَعِبْرَةً) [terdapat pelajaran] dan nasehat yang berharga serta peringatan yang besar (لِّمَنْ يَخْشَى) [bagi orang yang takut] kepada kemarahan, keperkasaan, dan kebesaran Allah s.w.t.

Kemudian Allah s.w.t. mencela orang-orang yang mengingkari kehidupan akhirat, mengecam mereka, dan membodoh-bodohi mereka sesuai akal pikiran mereka dengan berfirman:

Ayat 27.

(أَأَنْتُمْ) [Apakah kamu] wahai orang-orang yang mengingkari dan melampaui batas, (أَشَدُّ خَلْقًا) [yang lebih sulit penciptaannya] dan pembentukannya untuk kedua kalinya, (أَمِ السَّمَاءَ) [ataukah langit] yang merupakan bangunan paling tinggi, paling sulit susunannya, dan paling kuat pondasinya? Sebab (بَنَاهَا) [Allah telah membangunnya] dengan kekuasaan-Nya yang sempurna dan memperbagus bangunannya di mana:

Ayat 28.

(رَفَعَ سَمْكَهَا) [Dia meninggikan bangunannya] dan atapnya dengan tanpa tiang penyangga maupun pilar sama sekali, (فَسَوَّاهَا) [lalu menyempurnakannya] dan menyeimbangkannya tanpa ada kekurangan maupun kelemahan sama sekali.

Setelah Allah s.w.t. menyempurnakannya, Dia mengontrol peredarannya dan mengatur gerakannya yang baru.

Ayat 29.

Lalu (وَ أَغْطَشَ لَيْلَهَا) [Dia menjadikan malamnya gelap gulita] yang dihasilkan dari gerakannya, (وَ أَخْرَجَ) [dan menjadikan] serta memunculkan waktu (ضُحَاهَا) [siangnya terang-benderang] oleh sinar matahari di siang hari yang dihasilkan dari gerakan-gerakan tersebut.

Ayat 30.

(وَ) [Dan] setelah Allah s.w.t. mengatur langit dengan sedemikian rupa, Dia menciptakan (الْأَرْضَ بَعْدَ ذلِكَ) [bumi sesudah itu], yaitu setelah menciptakan langit. Penciptaan-Nya atas bumi juga memunculkan kekaguman di mana bumi itu (دَحَاهَا) [dihamparkan-Nya], diratakan-Nya, dan dibentangkan-Nya bagi orang-orang yang tinggal dan bermukim di atasnya.

Ayat 31.

Setelah dibentangkan, Allah s.w.t. menjadikan bumi dapat (أَخْرَجَ مِنْهَا مَاءَهَا) [memancarkan mata airnya] dan mengalirkannya melalui sungai-sungai; (وَ) [dan] menumbuhkan (مَرْعَاهَا) [tumbuh-tumbuhannya] sebagai sumber makanan bagi orang dan makhluk hidup yang berada di atasnya.

Ayat 32.

(وَ) [Dan] Allah s.w.t. juga mengatur (الْجِبَالَ) [gunung-gunung] yang tinggi, sebagai penguat bagi bumi, sehingga gunung-gunung tersebut (أَرْسَاهَا) [dipancangkan-Nya dengan teguh].

Ayat 33.

Tujuan Allah s.w.t. meratakan dan membentangkan bumi, lalu menumbuhkan tumbuh-tumbuhan dan mengalirkan airnya, adalah demi (مَتَاعًا لَّكُمْ) [untuk kesenanganmu] di atas bumi (وَ لِأَنْعَامِكُمْ) [dan untuk binatang-binatang ternakmu]. Sebab binatang ternak juga bisa menjadi penyempurna dan pelengkap hidupmu.

Ayat 34.

Setelah Allah s.w.t. memberikan anugerah kepada kalian dengan berbagai macam kebaikan dan keberkahan, (فَإِذَا جَاءَتِ الطَّامَّةُ الْكُبْرَى) [maka apabila malapetaka yang sangat besar telah datang] dan demikian pula halnya dengan bencana terbesar, di mana semua ini merupakan penjabaran untuk hari kiamat yang telah dijanjikan.

Ayat 35.

(يَوْمَ يَتَذَكَّرُ الْإِنْسَانُ مَا سَعَى) [Pada hari (ketika) manusia teringat akan apa yang telah dikerjakannya] di mana mereka akan diberi buku yang berisi semua catatan amal mereka secara rinci, sehingga mereka dapat melihat isinya dan mengingat semua amal-amal yang baik dan buruk yang telah mereka kerjakan. Lalu mereka diberi balasan sesuai dengan catatan amal tersebut.

Ayat 36.

(وَ بُرِّزَتِ الْجَحِيْمُ لِمَنْ يَرَى) [Dan diperlihatkan neraka dengan jelas kepada setiap orang yang melihat] yakni: kepada setiap orang yang diberi kemampuan untuk melihat. Dengan kata lain, neraka ini dapat terlihat dengan jelas oleh setiap orang.

Selanjutnya Allah s.w.t. membagi manusia, pada waktu itu, menjadi dua kelompok:

Ayat 37.

Kelompok pertama adalah (فَأَمَّا مَنْ طَغَى) [orang yang melampaui batas] saat berada di dunia:

Ayat 38.

(وَ آثَرَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا) [Dan lebih mengutamakan kehidupan dunia]. Maksudnya: orang yang lebih memilih kehidupan dunia yang palsu dengan kelezatan dan syahwatnya yang fana’, dibandingkan memilih kehidupan akhirat yang kekal;

Ayat 39.

(فَإِنَّ الْجَحِيْمَ) [maka sesungguhnya nerakalah] yang kobaran apinya berasal dari kemarahan dan syahwat mereka, akan menjadi (هِيَ الْمَأْوَى) [tempat tinggal] bagi mereka, di mana tidak ada tempat tinggal yang lain bagi mereka selain neraka ini.

Ayat 40.

Sedangkan kelompok kedua adalah (وَ أَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ) [orang-orang yang takut kepada kebesaran Rabbnya]. Maksudnya, orang yang merasa takut saat berdiri di hadapan Allah s.w.t., saat berada di padang Maḥsyar untuk menghadapi penghisaban, dan saat Allah s.w.t. memperlihatkan amalnya kepadanya lalu membalas amalan tersebut. (وَ) [Dan] bersamaan dengan ketakutan dan kekhawatirannya itu, ia (نَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَى) [menahan diri dari keinginan hawa nafsunya], maksudnya: ia mencegah dirinya dari mengikuti kehendak hawa nafsu yang dapat membinasakan dan menyesatkannya.

Ayat 41.

(فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَى) [Maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal] mereka. Mereka akan berada dalam surga selamanya, dan tidak akan pindah ke tempat yang lebih utama dan lebih tinggi derajat maupun kedudukannya dari surga.

Ayat 42.

Kemudian Allah s.w.t. berfirman: (يَسْأَلُوْنَكَ) [(orang-orang kafir) bertanya kepadamu], wahai Rasul yang paling sempurna, (عَنِ السَّاعَةِ) [tentang hari berbangkit] dan kejadiannya yang termasuk dalam perkara gaib, di mana Kami tidak memperlihatkan tingkatan dan maqamnya kepada seorang pun, (أَيَّانَ مُرْسَاهَا) [“Kapankah terjadinya?”] Maksudnya: “Kapan hari berbangkit itu terjadi? Tunjukkanlah waktunya kepada kami?”

Ayat 43.

(فِيْمَ أَنْتَ مِنْ ذِكْرَاهَا) [Siapakah kamu (sehingga) dapat menyebutkan (waktunya)] Maksudnya, apa hakmu atas hari berbangkit sehingga kamu berani menyebutkan waktunya atau menentukannya kepada mereka? Padahal Kami tidak memberitahukan kepadamu tentang waktunya. Kami hanya mewahyukan kepadamu tentang keadaan, bukti, dan tanda-tanda kejadiannya. Dengan demikian, kewajibanmu hanyalah menyampaikan apa yang diwahyukan kepadamu.

Ayat 44.

Tapi (إِلَى رَبِّكَ مُنْتَهَاهَا) [kepada Rabbmulah dikembalikan kesudahannya] yakni, pengetahuan akhir dan ketentuan waktunya. Semua yang berkaitan dengan pengetahuan dan ketentuan waktu hari kiamat dikuasakan kepada ilmu Allah s.w.t., diserahkan kepada lembaran qadha-Nya.

Ayat 45.

(إِنَّمَا أَنْتَ مُنْذِرُ مَنْ يَخْشَاهَا) [Kamu hanya memberi peringatan bagi siapa yang takut kepadanya (hari berbangkit)] maksudnya, kamu tidak diutus selain hanya untuk memperingatkan orang-orang yang takut pada kengerian hari berbangkit, bukan untuk memperkirakan dan menentukan waktunya. Sebab bagaimana mungkin kamu boleh menentukan dan memperkirakannya, padahal hari berbangkit itu perkara gaib yang menjadi hak prerogatif Allah s.w.t. dan Dia tidak memberitahukannya kepada seorang pun?

Lalu sebagai bentuk intimidasi kepada orang-orang yang mengingkarinya, Allah s.w.t. berfirman:

Ayat 46.

(كَأَنَّهُمْ يَوْمَ يَرَوْنَهَا) [pada hari mereka melihat hari berbangkit itu] dan menyaksikan kejadiannya dengan mata kepala mereka sendiri, barulah mereka benar-benar yakin kalau (لَمْ يَلْبَثُوْا) [mereka seakan-akan tidak tinggal] dan tidak bermukim di dunia (إِلَّا عَشِيَّةً أَوْ ضُحَاهَا) [melainkan (sebentar saja) di waktu sore atau pagi]. Maksudnya: keberadaan mereka di dunia waktunya sangat sebentar dibandingkan dengan kengerian hari kiamat yang waktunya sangat panjang.

“Kami memohon perlindungan kepada-Mu dari neraka dan dari hal-hal yang dapat mendekatkan kami kepadanya, wahai Dzat Yang Maha Pengampun.”

 

Penutup Surah an-Nazi‘at

Wahai orang yang mengikuti ajaran Nabi Muḥammad s.a.w. yang meyakini dan mengimani adanya hari berbangkit beserta pahala, hukuman, surga, dan neraka yang ada di dalamnya; kamu harus menanami ladangmu ini dengan berbagai amal-shaleh, akhlak yang baik, keadaan yang terpuji, dan semua amalan Sunnah yang diwariskan dari Nabi pilihan – Muḥammad s.a.w. – dan dari keturunannya yang suci agar kamu dapat memanennya nanti saat berada di akhirat. Kamu juga harus selalu mengingat keberadaan hari kiamat beserta kengeriannya, dalam semua keadaan yang kamu jalani.

Waspadailah! Jangan sampai kamu terpedaya oleh kehidupan palsu dan berpaling kepada perhiasan dunia yang menipu dan menjijikkan. Sebab perhiasan dunia itu dapat menipu, membujuk, dan menyesatkanmu dari jalan kebenaran, serta dapat pula membinasakanmu.

Waspadailah! Jangan sampai kamu mengikuti kejelekannya dan tertipu oleh kesombongannya supaya kamu tidak masuk ke dalam golongan orang-orang merugi yang membinasakan diri dan keluarga mereka pada hari kiamat. Bukankah hal yang demikian itu merupakan suatu bentuk kerugian yang nyata?

Semoga Allah s.w.t. memasukkan kita semua ke dalam golongan orang-orang yang beriman, meraih kemenangan, dan mendapat kabar gembira di mana mereka semua tidak merasa takut dan tidak pula bersedih.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *