Surah an-Nas 114 ~ Tafsir Ibni ‘Arabi

Dari Buku:
Isyarat Ilahi
(Tafsir Juz ‘Amma Ibn ‘Arabi)
Oleh: Muhyiddin Ibn ‘Arabi

Penerjemah: Cecep Ramli Bihar Anwar
Penerbit: Iiman
Didistribusikan oleh: Mizan Media Utama (MMU)

Surah Ke-114; 6 Ayat.

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ

قُلْ أَعُوْذُ بِرَبِّ النَّاسِ. مَلِكِ النَّاسِ. إِلهِ النَّاسِ. مِنْ شَرِّ الْوَسْوَاسِ الْخَنَّاسِ. الَّذِيْ يُوَسْوِسُ فِيْ صُدُوْرِ النَّاسِ. مِنَ الْجِنَّةِ وَ النَّاسِ

Dengan nama Allah, Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

114:1. Katakanlah: Aku berlindung kepada Tuhan (yang memelihara dan menguasai) manusia.
114:2. Raja manusia.
114:3. Sembahan manusia.
114:4. dari kejahatan (bisikan) syaithan yang biasa bersembunyi,
114:5. yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia.
114:6. dari (golongan) jin dan manusia.

Qul A‘ūdzu birabb-in-nās (Katakanlah: “Aku berlindung kepada Tuhan – ayat 1). Yang dimaksud dengan Tuhan manusia adalah Dzat berikut seluruh sifat-Nya. Kenapa Tuhan manusia berarti demikian? Karena manusia sesungguhnya adalah makhluk yang mencakup seluruh tingkatan wujud. Ini berarti bahwa Tuhan Pencipta manusia pun adalah Dzat berikut seluruh nama-nama yang menjadi pangkal segala ciptaan. Dzat berikut seluruh nama itu diungkapkan dengan nama Allah. Karena itu Allah berkata (kepada Iblis): “Apa yang membuatmu enggan bersujud dengan apa yang Aku ciptakan dengan kedua tangan-Ku?” Yang dimaksud dengan “kedua tangan-Ku” adalah dengan sifat-sifat yang saling berlawanan, seperti sifat kelembutan dengan kemurkaan, sifat keindahan dengan keagungan, yang kedua-duanya meliputi nama-nama Tuhan itu. Allah memerintahkan agar berlindung dengan wajah-Nya setelah berlindung dengan sifat-sifatNya. Karena itu surah ini diletakkan setelah surah Al-Mu‘awwidzah pertama (al-Falaq). Sebab, di dalam surah Al-Mu‘awwidzah pertama itu Nabi memohon perlindungan di dalam maqam sifat dengan nama-Nya Yang Maha Pemberi petunjuk (al-Hādī), lalu Allah menunjukinya ke arah Dzat-Nya.

Kemudian Allah menjelaskan kata Tuhan manusia (rabb-in-nās yang terdapat dalam ayat 1) dengan kata raja manusia (malik-in-nās yang terdapat dalam ayat 2). Ini menunjukkan bahwa kata kedua sebenarnya adalah penjelas (‘athaf bayān) bagi kata pertama. Ketika yang namanya raja adalah Dialah yang menguasai nyawa dan urusan-urusan mereka dilihat dari segi kefanaan mereka di dalam Tuhan. Ini dijelaskan oleh firman-Nya: “Kepunyaan siapakah kerajaan hari ini? Kepunyaan Allah yang Maha Esa dan Perkasa.” Sebab, raja pada hakikatnya adalah yang Esa dan Perkasa yang menguasai segala wujud sesuatu, kemudian menyayanginya.

Ilāh-in-nās (Sembahan manusia – ayat 3). Ayat ini untuk menjelaskan keadaan baqa’ mereka setelah fana’. Karena kata Ilāh (Tuhan) adalah yang disembah secara mutlak. Itulah Dzat berikut seluruh sifat-Nya dilihat dari sudut pandang akhir perjalanan ruhani (Nabi s.a.w.). Nabi berlindung dengan sisi mutlak Tuhan lalu ia fana’ di dalam-Nya, dan tampaklah Dia sebagai raja. Kemudian Tuhan mengembalikan Nabi kepada wujud (semula) untuk menyembah-Nya, sehingga Tuhan selamanya adalah yang disembah. Dengan demikian, sempurnalah permohonan perlindungan Nabi kepada Tuhan.

Min syarr-il-waswās-il-khannās (dari kejahatan (bisikan) syaitan – ayat 4). Sebab, bisikan menuntut adanya tempat yang bersifat wujud, seperti disebutkan dalam ayat selanjutnya: Yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia (alladzī yuwaswisu fī shudūr-in-nās – ayat 5). Sedangkan dalam keadaan fana’ tidak ada wujud, tidak ada dada, tidak ada bisikan, tidak ada pembisik, tetapi yang muncul di sana adalah ketergoyahan (talwīn) karena adanya wujud egoisme. Karena itu, katakanlah (wahai Muhammad): Aku berlindung kepada-Mu dari-Mu. Maka ketika Tuhan menjadi Sembahan dengan adanya penyembah, maka syaitan pun muncul dengan munculnya penyembah, seperti halnya syaitan pertama kali ada karena adanya penyembah.

Kata al-waswās adalah kata benda (bisikan). Sang pembisik (al-Muwaswis) disebut bisikan karena godaannya yang terus-menerus, sedemikian melekat godaan itu pada dirinya sehingga ia adalah bisikan itu sendiri. Nabi memohon pertolongan dari bisikan itu dengan kata Ilah, dan bukan dengan sebagian nama-Nya seperti dalam surah al-Mu‘awwidzah pertama (al-Falaq), semata-mata karena syaitan bisa menentang Yang Maha Pengasih (ar-Raḥmān) serta menguasai seluruh nama-nama Tuhan (seperti akan ditunjukkan di bawah) kecuali nama Allah. Nabi berlindung dari bisikan itu tidak cukup dengan nama Ar-Hādī, Al-‘Alīm, Al-Qadīr dan sebagainya, melainkan langsung dengan Ilah yang mencakup Dzat berikut seluruh sifat-Nya. Jadi, jika dalam surah al-Mu‘awwidzah pertama (al-Falaq) Nabi berlindung kepada Tuhan manusia (rabb-in-nās). Dari sini bisa dipahami makna sabdanya: “Siapa yang bermimpi bertemu denganku, maka ia benar-benar bertemu denganku, karena syaitan tidak bisa menjelma menyerupaiku.” (Artinya, karena beliau telah sempurna berlindung dengan Nama yang tak bisa ditiru syaitan – yakni nama Allah, maka syaitan pun tak bisa menyerupai Nabi s.a.w.).

Al-Khannās (Yang biasa bersembunyi – ayat 4), Jelasnya adalah yang kembali (setelah mundur). Sebab, syaitan tidak bisa membisikkan kecuali kalau yang terbisik dalam keadaan lupa. Karena itu setiap kali seseorang sadar dan mengingat Allah, maka syaitan pun akan terpukul mundur – sebab kata khannās (yang seakar kata dengan khannas) adalah kata benda yang menunjukkan kebiasaan, seperti kata waswas juga. Dari Sa‘id bin Jabir: “Jika seorang manusia mengingat Tuhannya, maka syaitan akan terpukul mundur dan kabur, dan jika ia lupa maka syaitan kembali membisikkannya.” Kalimat: “Dari jin dan manusia.” (Min-al-jinnati wan-nās) adalah penjelas untuk kalimat: “yang membisikkan (kejahatan) dalam ayat 5). Sebab, sesungguhnya pembisik dari kalangan syaitan itu ada dua macam: Pertama, tersembunyi dan tidak kasat mata seperti wahm; kedua bersifat manusiawi, berbentuk manusia yang kasat mata, seperti individu-individu yang menyesatkan.

Celakanya, syaitan bisa menggoda dengan menjelma seperti orang yang memberi petunjuk – dalam bentuk nama al-Hādī. Ini misalnya terlukiskan dalam firman-Nya: Sesungguhnya engkau datang kepada kami dari sebelah kanan.” Karena itu, terhadap syaitan yang menjelma dalam bentuk nama lahirnya (selain al-Hādī dari nama-nama Tuhan), maka permohonan perlindungan dari syaitan itu tidaklah sempurna kecuali dengan nama Allah. Sebab Allahlah Yang Maha Melindungi.

Unduh Rujukan:

  • [download id="12737"]

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *