SŪRAH AN-NĀS
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ
قُلْ أَعُوْذُ بِرَبِّ النَّاسِ. مَلِكِ النَّاسِ. إِلهِ النَّاسِ. مِنْ شَرِّ الْوَسْوَاسِ الْخَنَّاسِ. الَّذِيْ يُوَسْوِسُ فِيْ صُدُوْرِ النَّاسِ. مِنَ الْجِنَّةِ وَ النَّاسِ
114:1. Katakanlah: “Aku berlindung kepada Tuhan (Yang memelihara dan menguasai) manusia.
114:2. Raja manusia.
114:3. Sembahan manusia.
114:4. Dari kejahatan (bisikan) syaithan yang biasa bersembunyi,
114:5. Yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia.
114:6. Dari (golongan) jin dan manusia.
(Sūrat-un-Nās [114]: 1-6).
Allah ta‘ala berkata kepada Nabi Muhammad s.a.w.: “Katakanlah, hai Muhammad (أَعُوْذُ بِرَبِّ النَّاسِ. مَلِكِ النَّاسِ) “Aku berlindung kepada Tuhan (Yang memelihara dan menguasai) manusia. Raja manusia.” Yaitu raja semua makhluk; jin, manusia, dan lainnya. Ini merupakan bentuk pemberitahuan dari Allah bagi orang yang mengagungkan manusia seperti kaum mu’min mengagungkan Tuhan mereka, bahwa Dialah rajanya orang yang diagungkan itu, dan itu berada di dalam kerajaan serta kekuasaan-Nya. Berlaku padanya segala ketentuan-Nya, dan Dia lebih layak untuk diagungkan dan lebih berhak untuk disembah daripada yang diagungkan, serta lebih berhak untuk disembah daripada selain-Nya dari kalangan manusia (atau yang lainnya).
Firman-Nya: (إِلهِ النَّاسِ) “Sembahan manusia,” maksudnya adalah Sesembahan manusia yang berhak diibadahi tanpa disertai sesuatu pun selain-Nya.
Firman-Nya: (مِنْ شَرِّ الْوَسْوَاسِ الْخَنَّاسِ.) “Dari kejahatan (bisikan) syaithan yang biasa bersembunyi,” maksudnya adalah “min syarr-isy-syaithān dari kejahatan syaithan”. Bersembunyinya dia adalah ketika seorang hamba mengingat Tuhannya. Riwayat-riwayat yang sesuai dengan pendapat ini adalah:
Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas r.a., ia berkata tentang itu, “Ayat (مِنْ شَرِّ الْوَسْوَاسِ) “Dari kejahatan (bisikan) syaithan”, maksudnya adalah yang mengganggu (membisiki) dada manusia, yang mengajak untuk mematuhinya, sampai ajakan untuk mematuhinya itu dipenuhi. Bila telah dipenuhi, ia pun bersembunyi. Riwayat yang sesuai dengan ini adalah:
Menurut saya, pendapat yang benar mengenai ini adalah, Allah memerintahkan Nabi Muhammad s.a.w. untuk memohon perlindungan kepada-Nya dari kejahatan syaithan yang kadang mengganggu (membisikkan gangguan) dan kadang bersembunyi. Allah tidak mengkhususkan jenis gangguannya (bisikannya) dengan bisikan (gangguan) tertentu dan mengesampingkan yang lain, juga tidak mengkhususkan cara bersembunyinya dengan cara tertentu dan mengesampingkan yang lain. Jadi, syaithan kadang membisiki untuk mengajak bermaksiat terhadap Allah, dan bila ajakannya telah dipenuhi, ia pun bersembunyi. Kadang juga membisiki untuk tidak menaati Allah. Bila seorang hamba teringat untuk menaati Allah, syaithan memerintahkan untuk mengikuti ajakannya (yakni tidak menaati Allah), dan bila sang hamba tetap menaati Allah dan menyelisihi syaithan, maka syaithan pun bersembunyi. Jadi, syaithan dalam semua kondisinya adalah membisiki dan bersembunyi. Sifat ini (membisiki dan bersembunyi) memang sifat syaithan.
Firman-Nya: (الَّذِيْ يُوَسْوِسُ فِيْ صُدُوْرِ النَّاسِ.) “Yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia,” maksudnya adalah, syaithan adalah pembisik yang selalu membisiki sesuatu ke dalam dada manusia, baik syaithan jin maupun syaithan manusia.
Jika ada yang berkata: “Jadi, jin itu manusia, sehingga dikatakan: (الَّذِيْ يُوَسْوِسُ فِيْ صُدُوْرِ النَّاسِ. مِنَ الْجِنَّةِ وَ النَّاسِ.) “Yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia, dari (golongan) jin dan manusia?”
Dikatakan bahwa di tempat ini Allah memang menyebut mereka manusia, sebagaimana di tempat lain Allah menyebut mereka rijāl (laki-laki) (وَ أَنَّهُ كَانَ رِجَالٌ مِنَ الْإِنْسِ يَعُوْذُوْنَ بِرِجَالٍ مِنَ الْجِنِّ) “Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di antara jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan.” (al-Jinn [72]: 6). Di sini Allah menyebut jin dengan sebutan rijāl (laki-laki), demikian juga ketika Allah menyebut mereka nās (manusia).
Diceritakan dari sebagian orang ‘Arab, bahwa ketika datang suatu kaum dari golongan jin, lalu berhenti, kemudian dikatakan: “Siapa kalian?” Mereka menjawab: “Nāsun min-al-jinn “manusia dari golongan jin”.” Mereka menetapkan diri mereka nās “manusia”, maka demikian juga pada ayat ini.
Alḥamdulillāh, segala puji bagi Allah, berkat taufik dan karunia-Nya jua-lah, penerbitan Tafsīr ath-Thabarī edisi Indonesia ini dapat diselesaikan. Semoga limpahan rahmat senantiasa tercurahkan bagi pengarang, dan kitab ini dapat bermanfaat bagi seluruh umat manusia sepanjang masa.
Āmīn, ya mujības-sā’ilīn.
Akhir kitab tafsir, alḥamdulillāh-il-‘aliyy-il-kabīr.
Catatan: