Surah ath-Thariq 86 ~ Tafsir al-Jailani

Dari Buku: TAFSIR al-Jaelani
Oleh: Syekh ‘Abdul-Qadir Jaelani
Penerjemah: Abdul Hamid

Penerbit: PT. SAHARA intisains

Surah ke 86; 17 ayat
Ath-Thāriq
(yang datang di malam hari).

 

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang

 

Pembuka Surah ath-Thāriq

Orang yang mengakui adanya penjagaan, pemeliharaan, dan pengawasan Allah s.w.t. kepada semua hamba-Nya; pasti mengetahui bahwa segala sesuatu yang muncul dari seseorang, dan dengan cara apa pun sesuatu itu muncul, pasti berada dalam pengawasan-Nya. Dia akan menjaga dan mengawasinya, baik sesuatu itu baik maupun buruk, bermanfaat maupun membahayakan, berbentuk amalan maupn keyakinan, berwujud keadaan maupun kedudukan.

Rahasia di balik itu semua adalah, hendaknya seorang hamba tidak melupakan Allah s.w.t. dalam kondisi apa pun. Sebab bagaimana mungkin ia boleh melupakan-Nya sedang ia sendiri – dalam semua keadaan dan waktu yang dilaluinya serta dari setiap tarikan nafas yang dihembuskan – selalu mengambil dari-Nya.

Karena itulah, untuk menguatkan tujuan yang mulia ini, Allah s.w.t. bersumpah dengan benda-benda yang digunakan-Nya untuk bersumpah supaya manusia selalu berada dalam keadaan mengingat-Nya dan merasa hadir di sisi-Nya. Sebab tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi dari diri-Nya – meskipun itu hanya pandangan yang sekilas – supaya tidak ada sesuatu pun yang keluar dari diri si hamba yang tidak diridhai-Nya, karena si hamba mengikuti setan yang memerintahkan pada keburukan. Setelah memberikan keberkahan, Allah s.w.t. berfirman: (بِسْمِ اللهِ) [Dengan menyebut nama Allah] yang mengawasi keadaan semua hamba-Nya agar setan tidak bisa membisiki hati mereka, (الرَّحْمنِ) [Yang Maha Pemurah] kepada mereka dengan melindungi mereka dari berbagai macam hal yang bisa membuat mereka menjadi orang-orang yang menyesal dan kecewa, (الرَّحِيْمِ) [lagi Maha Penyayang] kepada mereka dengan memberikan petunjuk jalan menuju surga.

Ayat 1.

(وَ السَّمَاءِ) [Demi langit] maksudnya: demi langit nama ketuhanan yang terjaga dari segala macam pengubahan dan penghilangan, dan yang tidak bisa dijangkau oleh semua bentuk angan-angan dan khayalan: (وَ) [dan] demi (الطَّارِقِ) [yang datang pada malam hari] yang menyilaukan sekelompok manusia setelah mereka berhijrah dari sifat kemanusiaannya seraya berjalan – dengan kebulatan tekad yang suci – menuju jagat raya ketuhanan berdasarkan tarikan alami dan kecenderungan fitrah yang bersifat maknawi.

Kemudian Allah s.w.t. menyamarkan sesuatu yang datang pada malam hari itu kepada Nabi Muḥammad s.a.w., demi untuk mengagungkan dan memuliakannya, dengan berfirman:

Ayat 2.

(وَ مَا أَدْرَاكَ) [Tahukah kamu] wahai makhluk paling sempurna yang layak mendapat limpahan berbagai jalan ketuhanan, (مَا الطَّارِقُ) [apa yang datang pada malam hari itu] pada saat kamu terbelenggu di alam watak kemanusiaan? Setelah Allah s.w.t. membebaskanmu dari belenggu watak kemanusiaan, barulah kamu mengetahui kalau yang datang pada malam hari, yang mendatangimu dari alam ketuhanan dan jabarut adalah:

Ayat 3.

(النَّجْمُ الثَّاقِبُ) [Bintang yang cahayanya menembus], yakni tarikan yang memancarkan keesaan dengan sinar berkilau yang berasal dari alam kegelapan, di mana alam tersebut adalah tempat munculnya kilauan zat yang sempurna dan bara api membara yang jatuh dari api kerinduan dan kecintaan Ilahi menuju pohon watak kemanusiaanmu, di mana setelah Dia memerintahkanmu untuk melepaskan diri dari pakaian watak kemanusiaanmu, Dia berkata kepadamu: “Sesungguhnya Aku inilah Rabbmu, maka tanggalkanlah kedua terompahmu, (Thāhā [20]: 12) dan campakkanlah segala hal yang diperlukan oleh dirimu setelah kamu mendengarkannya, wahai rasul yang paling sempurna. Lalu beristirahatlah kamu di kursi kebenaran yang ada di sisi Rabbmu: sesungguhnya kamu berada di lembah yang suci, Thuwā. Dan Aku telah memilih kamu. (Thāhā [20]: 12-13) untuk mempertunjukkan semua pengetahuan dan hakikat, maka dengarkanlah apa yang akan diwahyukan (Thāhā [20]: 13) kepadamu dari ayat-ayat yang menjelaskan tauhid dan keimanan.”

Ayat 4.

Ringkasnya, dengan bersumpah menggunakan dua hal yang agung ini (yakni dengan langit dan sesuatu yang datang di malam hari), Allah s.w.t. ingin menyatakan bahwa (إِنْ كُلُّ نَفْسٍ) [tidak ada suatu jiwa pun] baik yang suci maupun yang kotor (لَّمَّا عَلَيْهَا حَافِظٌ) [melainkan ada penjaga] yang berasal dari sisi-Nya. Penjaga itu mengawasi semua perkataan, perbuatan, keadaan, dan maqam jiwa, supaya si penjaga tidak mengirim dan menyerahkan jiwa itu kepada ketentuan-ketentuan yang dihasilkan dari jiwa itu sendiri dan berasal dari wataknya, sehingga jiwa dibahas sesuai dengan ketentuan yang ada.

Setelah manusia mendengarkan hikmah ilahiyah yang tinggi:

Ayat 5.

(فَلْيَنْظُرِ الْإِنْسَانُ) [Maka hendaklah manusia memperhatikan] dan merenungkan asal mula kejadiannya di mana ia tersusun dari kebodohan dan kelupaan, (مِمَّ خُلِقَ) [dari apakah ia diciptakan?] Maksudnya: hendaknya manusia memeriksa kembali keberadaan diri dan memperhatikan awal mula penciptaannya sehingga tampak jelas pada dirinya dari mana ia berasal. Jika ia sudah mengetahui jatidirinya, ia tidak akan melampaui batasan takdirnya.

Ayat 6.

(خُلِقَ مِنْ مَّاءٍ) [Ia diciptakan dari air] hina (دَافِقٍ) [yang terpancar] dan tertuang ke dalam rahim yang secara umum memberikan kenikmatan kepada dua belah pihak, yaitu laki-laki dan perempuan.

Ayat 7.

Padahal air itu (يَخْرُجُ مِنْ بَيْنِ الصُّلْبِ وَ التَّرَائِبِ) [keluar dari antara tulang sulbi laki-laki dan tulang dada perempuan], yakni dari punggung laki-laki dan dada perempuan.

Setelah manusia merenungkan awal mula kejadian dirinya dan mengetahui asal penciptaannya, ia dapat memahami itu semua jika memang Allah s.w.t. memberi petunjuk kepadanya menuju kekuasaan Sang Pencipta Yang Maha Tahu lagi Maha Bijak, yang menciptakan dirinya dari dua cairan kotor dan mengasuhnya sampai menjadi manusia sempurna yang siap menerima limpahan berbagai macam pengetahuan dan hakikat, layak menjadi khalifah ketuhanan, dan menjadi obyek untuk menerima wahyu dan ilham. Ia juga memahami, bahkan meyakini, bahwa Dzat yang mampu menciptakan dan mewujudkannya pertama kali:

Ayat 8.

(إِنَّهُ عَلَى رَجْعِهِ لَقَادِرٌ) [Sesungguhnya Allah benar-benar Kuasa untuk mengembalikan] dan membangkitkannya dari kubur. Lalu mengapa manusia ingkar oleh kemampuan Allah s.w.t. dalam membangkitkan dan mengumpulkan mereka di Padang Maḥsyar. Padahal membangkitkan lebih mudah bagi-Nya dibandingkan dengan menciptakannya pada pertama kali.

Ayat 9.

Wahai manusia yang diciptakan sebagai makhluk yang dapat mengambil pelajaran dan menerima taklif, renungkanlah (يَوْمَ تُبْلَى السَّرَائِرُ) [hari dinampakkan segala rahasia], dibukanya semua tirai, dan ditampakkannya semua bentuk pengingkaran dan pembangkangan, serta niat dan amal rusak yang tersembunyi di dalam hati.

Ayat 10.

(فَمَا لَهُ) [Maka sekali-kali tidak ada bagi manusia] pada hari itu, (مِن قُوَّةٍ) [suatu kekuatan pun] yang dapat membentengi dirinya dari berbagai macam siksaan dan hukuman – sebagai balasan – yang diakibatkan oleh amal dan keadaannya: (وَ لَا نَاصِرٍ) [dan tidak ada (pula) seorang penolong] yang dapat melidungi dan menolongnya. Sebab pada hari itu semua manusia tertawan oleh usahanya sendiri dan disibukkan dengan balasan yang akan menimpa dirinya, baik itu pembalasan yang baik maupun yang buruk.

Selanjutnya Allah s.w.t. bersumpah atas nama makhluk-Nya yang lain untuk mengukuhkan kebenaran dan keutamaan al-Qur’an, serta membebaskannya dari celaan dan tuduhan orang-orang yang mengkritiknya, dengan berfirman:

Ayat 11.

(وَ السَّمَاءِ) [Demi langit] nama ketuhanan yang berada di derajat yang paling tinggi, (ذَاتِ الرَّجْعِ) [yang mengandung hujan] dan gerimis. Sebab ujung langit bergantung di struktur alam watak kemanusiaan, sedang efeknya langsung turun seketika seperti cahaya kilat yang menyambar. Kecuali terhadap orang-orang yang mendapat perlindungan dari kalangan abdāl, yang keperluan watak kemanusiaan mereka diganti dengan kekhususan yang berasal dari alam ketuhanan. Orang-orang ini tidak akan terus bersemayam di alam watak kemanusiaan.

Ayat 12.

(وَ الْأَرْضِ) [Demi bumi], yakni bumi tabiat dan substansi yang dapat menerima pantulan cahaya berkilau yang berasal dari langit nama: (ذَاتِ الصَّدْعِ) [yang mempunyai tumbuh-tumbuhan], yakni yang bisa terpengaruh dan terbelah dengan menerima efek yang berasal dari alam ketuhanan. Maksud kedua ayat ini adalah, atas nama langit dan bumi yang agung ini:

Ayat 13.

(إِنَّهُ لَقَوْلٌ فَصْلٌ) [Sesungguhnya al-Qur’an itu benar-benar firman yang memisahkan antara yang hak dengan yang batil] dan antara hidayah dengan kesesatan.

Ayat 14.

(وَ مَا هُوَ بِالْهَزْلِ) [Dan sekali-kali bukanlah ia (al-Qur’an) senda gurau], seperti yang disangkakan orang-orang yang melampaui batas. Bahkan sebaliknya, semua isi al-Qur’an adalah kebaikan. Ia berasal dari hikmah ilahiyah yang diturunkan sebagai hidayah dan petunjuk bagi semua hamba.

Ayat 15.

Ringkasnya, (إِنَّهُمْ) [sesungguhnya orang kafir itu], yakni kaum kafir Makkah yang sewenang-wenang, (يَكِيْدُوْنَ كَيْدًا) [merencanakan tipu daya yang jahat dengan sebenar-benarnya] dan melakukan konspirasi untuk memusnahkan al-Qur’an serta meredupkan cahayanya dengan penuh kecongkakan dan kesombongan. Mereka mencela al-Qur’an dengan berbagai macam tuduhan dan keraguan yang sangat berlebihan, dan mengaitkannya dengan sesuatu yang tidak pantas dengan keadaannya.

Ayat 16.

(وَ أَكِيْدُ) [Dan Aku-pun membuat rencana] pula untuk menghukum dan membalas mereka setelah tiba waktunya bagi mereka mendapat hukuman dan balasan – yang tidak mereka duga sama sekali – (كَيْدًا) [dengan sebenar-benarnya] melalui jalan istidrāj (mendekatkan kepada neraka setahap demi setahap) dan penangguhan. Namun pengangguhan Kami malah mendorong mereka untuk mengabaikannya. Karena itulah, mereka terpedaya dan semakin berani menuduh dan meragukan al-Qur’an.

Ayat 17.

Setelah kamu mendengarkan hal ini, wahai rasul yang paling sempurna, (فَمَهِّلِ الْكَافِرِيْنَ) [maka beri tangguhlah orang-orang kafir itu], janganlah kamu buru-buru membalas mereka, dan jangan pula kamu menyibukkan diri dengan mendoakan mereka agar secepatnya diberi balasan. Sebab, penangguhan Kami merupakan cobaan dan ujian yang akan menyeret mereka kepada bencana besar. Ketika kamu sudah memastikan apa yang Kami katakan kepadamu, wahai rasul yang paling sempurna, maka (أَمْهِلْهُمْ) [beri tangguhlah mereka itu], berpalinglah dari kaum munafik dan para pendebat yang ada bersama mereka, bersabarlah menghadapi kebencian mereka, dan tunggulah kebinasaan mereka (رُوَيْدًا) [barang sebentar]. Setelah itu, agamamu akan mengalahkan semua agama yang ada dan mereka pun akan dapat ditundukkan dan dibasmi.

Semoga Allah s.w.t. memasukkan kita semua ke dalam golongan orang-orang yang sabar dan meraih keinginannya dengan karunia dan kelembutan-Nya.

 

Penutup Surah ath-Thāriq

Wahai manusia yang bersandar kepada yang Ḥaqq dan meninggalkan kehidupan duniawi untuk beribadah kepada-Nya dengan niat yang tulus; kamu harus menyerahkan semua urusanmu kepada Rabbmu. Jangan sampai terbersit keinginan dalam hatimu untuk mengejar hasil dari urusanmu, lalu kamu menjadikannya sebagai penjamin yang mencukupi semua kebutuhan dan usahamu. Ringkasnya, jadilah kamu orang yang binasa dalam diri Allah s.w.t., maka Dia akan mencukupi semua kebutuhanmu. Sebab segala sesuatu itu ada karena diri-Nya, dari-Nya, dan akan kembali kepada-Nya. Sungguh, tiada daya maupun kekuatan kecuali milik-Nya. segala sesuatu pasti binasa kecuali wajah-Nya. Dialah yang memutuskan dan kepada-Nyalah kalian semua kembali.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *