Surat ath-Thāriq bermakna yang datang malam hari. Diturunkan di Makkah sesudah surat al-Balad, terdiri dari 17 ayat.
Surat ini menetapkan bahwa masing-masing orang mempunyai satu malaikat penjaga (ḥafazhah), dan menetapkan ada hidup yang kedua. Pada akhirnya surat ini menyebutkan kedudukan al-Qur’ān dan tipu daya kaum musyrik.
Persesuaian antara surat yang telah lalu (al-Burūj) dengan surat ini adalah:
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ
Bismillāhirraḥmānirraḥīm
Dengan (menyebut) nama Allah Yang Maha Pemurah, yang senantiasa mencurahkan rahmat-Nya.
وَ السَّمَاءِ وَ الطَّارِقِ.
Was samā’i wath thāriq.
“Demi langit dan yang datang pada malam hari.” (11). (ath-Thāriq [86]: 1)
Allah bersumpah dengan langit serta dengan semua bintang dan falaknya, yang tidak diketahui banyaknya, selain oleh Allah sendiri.
Allah bersumpah dengan langit, matahari, bulan, dan malam, karena dalam peredaran matahari dan bulan, dalam terbit dan terbenamnya telah mewujudkan berbagai keajaiban dan keganjilan yang menjadi tanda-tanda yang kuat bagi orang yang suka memperhatikan bahwa langit, matahari, bulan, dan malam itu terdapat penciptanya yang mengatur dan mengendalikan peredarannya.
Demi bintang yang muncul pada malam hari. Ayat ini bertujuan menarik perhatian kita untuk memahami alam langit dan semua yang berada di ruang angkasa yang tinggi.
وَ مَا أَدْرَاكَ مَا الطَّارِقُ.
Wa mā adrāka math thāriq.
“Dan mengertikah kamu, apakah yang datang pada malam hari itu?” (ath-Thāriq [86]: 2)
Mengertikah kamu tentang hakikat bintang yang muncul pada malam hari? Tidak ada yang mengetahui sifatnya dengan sempurna, selain apa yang telah dijelaskan oleh Allah.
النَّجْمُ الثَّاقِبُ.
An najmuts tsāqib.
“Yaitu bintang yang terang cahayanya.” (ath-Thāriq [86]: 3)
Bintang yang muncul pada malam hari adalah bintang yang cemerlang cahayanya dan menjadi pedoman (kompas) bagi mereka yang menempuh perjalanan dalam kegelapan malam, baik di darat ataupun di laut. Selain itu, juga menjadi petunjuk untuk mengetahui waktu-waktu turun hujan. Itulah bintang Surya, menurut pendapat kebanyakan ‘ulamā’, atau semua bintang yang mempunyai cahaya cemerlang.
إِنْ كُلُّ نَفْسٍ لَّمَّا عَلَيْهَا حَافِظٌ.
In kullu nafsil lammā ‘alaihā ḥāfizh.
“Tiadalah setiap jiwa melainkan ada penjaganya.” (ath-Thāriq [86]: 4)
Allah bersumpah dengan langit dan bintang yang cemerlang cahayanya dan menembus kegelapan malam bahwa masing-masing orang dipelihara dan diawasi oleh satu malaikat yang senantiasa memperhatikan semua urusannya, sampai saat tiba ajalnya. Tidak seorang pun manusia yang dibiarkan tanpa hisab dan tanpa pengawasan. Tetapi Pengawas dan Pemelihara tertinggi adalah Allah. (22)
Sebagian ‘ulamā’ mengatakan: “Yang dimaksud dengan yang memelihara dan mengawasi di sini adalah malaikat yang sengaja ditugaskan untuk memelihara manusia.”
فَلْيَنْظُرِ الْإِنْسَانُ مِمَّ خُلِقَ.
Falyanzhuril insānu mimma khuliq.
“Karena itu hendaklah manusia memperhatikan, dari apakah dia diciptakan?.” (ath-Thāriq [86]: 5)
Hendaklah manusia dengan akalnya memperhatikan dan memikirkan permulaan kejadian dirinya, supaya nyatalah baginya tentang betapa besar kudrat (kekuasaan) Allah. Allah yang berkuasa menciptakan manusia dari unsur-unsur yang tidak berbau, yang padanya tidak ada bau hidup, tentu Allah berkuasa menghidupkan kembali kelak. Oleh karena itu hendaklah manusia berusaha mengerjakan sesuatu yang akan membahagiakan pada hidupnya yang kedua nanti.
خُلِقَ مِنْ مَّاءٍ دَافِقٍ. يَخْرُجُ مِنْ بَيْنِ الصُّلْبِ وَ التَّرَائِبِ.
Khuliqa mim mā’in dāfiq. Yakhruju mim bainish shulbi wat tarā’ib.
“Dia diciptakan dari air yang termancar. Yang keluar dari antara tulang punggung dan tulang dada.” (ath-Thāriq [86]: 6-7)
Manusia dijadikan dari air yang dipancarkan dari tulang-tulang sulbi orang lelaki (sperma) dan tulang dada perempuan (sel telur). Air yang terpancar ini menjadi unsur penciptaan manusia, apabila keluar dari orang lelaki dan perempuan, yang kemudian terjadilah pembuahan dalam rahim orang perempuan.
إِنَّهُ عَلَى رَجْعِهِ لَقَادِرٌ.
Innahū ‘alā raj‘ihī laqādir.
“Sesungguhnya Allah benar-benar berkuasa untuk menghidupkan kembali. (33) (ath-Thāriq [86]: 8)
Allah yang berkuasa menjadikan manusia pada permulaannya dari air yang terpancar, kuasa pula mengembalikan manusia hidup sekali lagi sesudah mati.
يَوْمَ تُبْلَى السَّرَائِرُ.
Yauma tublas sarā’ir.
“Pada hari ketika semua rahasia dibuka.” (ath-Thāriq [86]: 9)
Allah berkuasa menghidupkan kembali manusia, mengungkapkan semua rahasia dan menjadi jelaslah perbedaan antara yang baik dengan yang buruk. Tidak ada yang ditunggu oleh orang-orang yang telah ber‘amal di dunia, selain pembalasan, baik yang berupa kenikmatan ataupun kesengsaraan.
فَمَا لَهُ مِنْ قُوَّةٍ وَ لَا نَاصِرٍ.
Famā lahū min quwwatin wa lā nāshir.
“Tidak ada seorang pun yang mempunyai kekuasaan dan penolong.” (ath-Thāriq [86]: 10)
Pada hari kiamat itu, tidak ada seorang pun yang memiliki kekuatan untuk melepaskan diri dari apa yang telah ditakdirkan oleh Allah. Tidak ada pula penolong yang dapat melindunginya dari ‘adzab yang ditimpakan oleh Allah.
وَ السَّمَاءِ ذَاتِ الرَّجْعِ.
Was samā’i dzātir raj‘.
“Demi awan yang mengandung hujan.” (ath-Thāriq [86]: 11)
Demi awan yang membawa hujan, yang menumbuhkan tanaman-tanaman dan menghidupkan tanah yang kering.
وَ الْأَرْضِ ذَاتِ الصَّدْعِ.
Wal ardhi dzātish-shad‘.
“Dan bumi yang mempunyai belahan.” (ath-Thāriq [86]: 12).
Demi bumi yang terbelah karena keluarnya tumbuh-tumbuhan dan tanaman yang menjadi sumber penghidupan manusia dan penghidupan binatang-binatang mereka.
إِنَّهُ لَقَوْلٌ فَصْلٌ. وَ مَا هُوَ بِالْهَزْلِ.
Innahū laqaulun fashl. Wa mā huwa bil hazl.
“Sesungguhnya al-Qur’ān itu benar-benar perkataan yang memisahkan. Dan bukan senda-gurau.” (ath-Thāriq [86]: 14)
Allah bersumpah dengan langit yang berhujan dan bumi yang mempunyai tumbuh-tumbuhan bahwa al-Qur’ān itu adalah pemisah antara sesuatu yang benar (hak) dan yang salah (batal), sama sekali bukan senda-gurau. Al-Qur’ān adalah wahyu yang disampaikan oleh Jibrīl dari Allah, Tuhan yang Maha Tinggi. Al-Qur’ān bukanlah sya‘ir dan bukan pula sihir.
إِنَّهُمْ يَكِيْدُوْنَ كَيْدًا.
Innahum yakīdūna kaida.
“Sesungguhnya mereka membuat tipu-daya untuk menantang agama Allah.” (ath-Thāriq [86]: 15)
Mereka memperdayakan manusia dan menjerumuskannya ke dalam kebinasaan dengan jalan mengajak mereka untuk menyalahi seruan al-Qur’ān. Mereka menanamkan berbagai macam keraguan dalam hati umat Islam. Mereka mencela Rasūl, bahkan juga bermaksud membunuhnya.
وَ أَكِيْدُ كَيْدًا.
Wa akīdu kaida.
“Aku juga membuat rencana.” (ath-Thāriq [86]: 16)
Aku (Allah) melawan tipu-daya mereka dengan memberikan pertolongan kepada Rasūl dan meninggikan agamanya.
فَمَهِّلِ الْكَافِرِيْنَ أَمْهِلْهُمْ رُوَيْدًا
Fa mahhilil kāfirīna amhilhum ruwaida.
“Karena itu, berilah tangguh kepada orang-orang yang kafir. Berilah mereka penangguhan barang sejenak.” (44) (ath-Thāriq [86]: 17)
Jalankan tugasmu menyeru (mengajak) manusia kepada jalan kebenaran, hai Muḥammad. Janganlah kamu menginginkan agar ‘adzab disegerakan kepada orang-orang kafir. Sebab, Kami memang telah menangguhkan pemberian ‘adzab kepada mereka, agar dosa dan keingkaran mereka bertambah-tambah.
Allah menangguhkan pemberian ‘adzab kepada mereka untuk sementara waktu, dan kelak kamu akan melihat ‘adzab yang ditimpakan kepada mereka.
Dalam ayat-ayat ini dijelaskan bahwa Allah berkuasa menghidupan kembali manusia sekali lagi pada hari kiamat. Manusia tidak memiliki kekuatan untuk menolak ‘adzab dan tidak pula mempunyai penolong untuk melepaskan diri dari ‘adzab. Setelah itu, Allah menjelaskan bahwa al-Qur’ān ini adalah wahyu Ilahi, bukan dongengan orang-orang musyrik. Pada akhirnya, Allah menerangkan bahwa Dia akan memberikan pembalasan kepada orang-orang yang ingin melenyapkan Nabi Muḥammad dan menghancurkan agama Islam dengan ‘adzab yang berat, yang kedatangannya tidak mereka sadari.