Asbab-un-Nuzul Surah ath-Thalaq ~ Tafsir al-Jalalain

Dari Buku:
Tafsir Jalalain.
(Jilid 4. Dari Sūrat-uz-Zumar sampai Sūrat-un-Nās)
Oleh: Imam Jalaluddin al-Mahalli dan Imam Jalaluddin as-Suyuthi

Penerjemah: Bahrun Abu Bakar L.C.
Penerbit: Sinar Baru Algensindo Bandung

Rangkaian Pos: Surah ath-Thalaq 65 ~ Tafsir al-Jalalain

ASBĀB-UN-NUZŪL
SŪRAT-UTH-THALĀQ

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ

Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang

Imām Ḥākim telah mengetengahkan sebuah hadits melalui Ibnu ‘Abbās r.a. yang telah menceritakan, bahwa ‘Abdu Yazīd yang dikenal dengan nama panggilan Abū Rukānah telah menjatuhkan talak kepada istrinya yang bernama Ummu Rukānah, lalu ia kawin lagi dengan seorang wanita dari kalangan kabilah Muzayyanah. Ummu Rukānah mengadukan hal tersebut kepada Rasūlullāh s.a.w. untuk itu ia datang dan berkata kepadanya: “Wahai Rasūlullāh, tidak sekali-kali dia menceraikan aku melainkan karena demi si pirang itu.” Maka Allah menurunkan ayat ini, yaitu firman-Nya:

Hai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) ‘iddahnya (yang wajar).” (QS. ath-Thalāq [65]: 1).

Imām adz-Dzahabī memberikan komentarnya, bahwa sanad hadits ini berpredikat lemah, dan Matannya keliru, karena sesungguhnya ‘Abdu Yazīd tidak sempat masuk Islam.

Imām Ibnu Abī Ḥātim telah mengetengahkan sebuah hadits melalui jalur Qatādah bersumber dari Anas r.a. yang telah menceritakan, bahwa Rasūlullāh s.a.w. menceraikan Siti Ḥafshah, lalu Siti Ḥafshah kembali kepada keluarganya. Maka Allah menurunkan firman-Nya:

Hai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) ‘iddahnya (yang wajar)….” (QS. ath-Thalāq [65]: 1).

Kemudian ada yang berkata kepada Rasūlullāh s.a.w.: “Rujū‘lah dia karena sesungguhnya dia (Siti Ḥafshah) adalah wanita yang banyak bershaum dan bershalat.”

Imām Ibnu Jarīr telah mengetengahkan pula hadits ini secara Mursal melalui Qatādah.

Demikian pula Imām Ibn-ul-Mundzir mengetengahnya hadits ini secara Mursal melalui Ibnu Sīrīn.

Imām Ibnu Abī Ḥātim telah mengetengahkan sebuah hadits melalui Muqātil sehubungan dengan firman-Nya:

Hai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu….” (QS. ath-Thalāq [65]: 1).

Muqātil telah mengatakan, bahwa kami telah mendengar, bahwasanya ayat ini diturunkan berkenaan dengan ‘Abdullāh ibnu ‘Amr ibn-ul-‘Āsh, Thufail ibn-ul-Ḥārits, dan ‘Amr ibnu Sa‘īd ibn-ul-‘Āsh.

Imām Ḥākim telah mengetengahkan sebuah hadits yang bersumber dari Jābir r.a., yang telah menceritakan, bahwa ayat ini, yaitu firman-Nya:

Dan barang siapa yang bertaqwa kepada Alla niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar.” (QS. ath-Thalāq [65]: 2).

Berkenaan dengan seorang lelaki dari kalangan kabilah Asyja‘. Lelaki itu adalah orang yang miskin lagi tidak mampu berbuat banyak untuk berkasab (bekerja) dan ia banyak mempunyai tanggungan (anak-anak). Lalu ia datang menghadap kepada Rasūlullāh s.a.w. untuk menanyakan perihal dirinya (apakah boleh menalak istrinya). Maka Rasūlullāh s.a.w. bersabda kepadanya: “Bertaqwalah kepada Allah dan bersabarlah.” Ternyata tidak lama kemudian sesudah itu, datanglah salah seorang anak laki-lakinya dengan membawa sekumpulan kambing yang diperolehnya dari musuh. Lalu lelaki itu datang menghadap kepada Rasūlullāh s.a.w. dan menceritakan apa yang telah dialami anaknya itu, maka beliau bersabda: “Makanlah”.

Imām adz-Dzahabī memberikan komentarnya, bahwa hadits ini berpredikat Munkar, tetapi hadits ini mempunyai Syāhid (saksi) dari hadits lainnya.

Imām Ibnu Jarīr telah mengetengahkan pula hadits ini dengan melalui Sālim ibnu Abul-Ja‘d dan as-Suddī; disebutkan di dalam haditsnya itu bahwa lelaki tersebut bernama ‘Auf dari kabilah al-Asyja‘ī.

Imām Ḥākim telah mengetengahkan pula hadits yang serupa melalui haditsnya Ibnu Mas‘ūd r.a., ia menyebutkan bahwa lelaki itu bernama ‘Auf bin al-Asyja‘ī.

Imām Ibnu Mardawaih telah mengetengahkan sebuah hadits melalui jalur al-Kalbī yang ia terima dari Abū Shāliḥ dan bersumber dari Ibnu ‘Abbās r.a. yang telah menceritakan, bahwa ‘Auf bin Mālik al-Asyja‘ī datang menghadap kepada Rasūlullāh s.a.w. lalu ia berkata: “Wahai Rasūlullāh, sesungguhnya anak laki-laki telah ditahan oleh musuh, sedangkan ibunya sangat terkejut mendengar berita itu (dan tiada henti-hentinya ia menangis), maka apakah yang harus saya lakukan?”

Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Aku perintahkan kepadamu dan juga kepada istrimu supaya kamu berdua memperbanyak bacaan: “Lā Ḥaula Wa Lā Quwwata Illā Billāh” (Tiada daya dan tiada kekuatan melainkan dengan pertolongan Allah)”.

Setelah ‘Auf menyampaikan pesan Rasūlullāh s.a.w. itu kepada istrinya, maka istrinya menjawab: “Alangkah baiknya apa yang telah ia perintahkan kepadamu itu”. Lalu keduanya memperbanyak bacaan kalimah tersebut; sehingga pada suatu ketika pihak musuh lalai, maka anak lelaki ‘Auf itu segera kabur seraya menggiring kambing mereka, lalu kambing-kambing itu dibawanya ke hadapan ayahnya. Maka turunlah ayat ini, yaitu firman-Nya:

Dan barang siapa yang bertaqwā kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar (dari kesulitannya).” (QS. ath-Thalāq [65]: 2).

Hadits ini diketengahkan pula oleh Imām al-Khathīb di dalam kitab Tārīkh-nya melalui jalur Juwaibir dari adh-Dhaḥḥāk yang bersumber dari Ibnu ‘Abbās r.a.

Hadits ini diketengahkan pula Imām Tsa‘labī melalui jalur lain, hanya haditsnya ini berperdikat dha‘īf (lemah).

Dan Ibnu Abī Ḥātim telah mengetengahkan pula hadits ini melalui jalur yang lain secara Mursal.

Imām Ibnu Jarīr, Imām Isḥāq ibnu Rahawaih, Imām Ḥākim dan lain-lainnya telah mengetengahkan sebuah hadits melalui Ubay ibnu Ka‘b r.a. yang telah menceritakan, bahwa setelah ayat yang terdapat di dalam surat al-Baqarah turun, yaitu ayat yang menyangkut sebagian kaum wanita. Maka mereka (para sahabat) berkata: “Sungguh masih tertinggal di antara kaum wantia itu sebagian yang lainnya, yaitu mereka yang masih di bawah umur, wanita-wanita yang telah berusia tua, dan wanita-wanita yang sedang hamil”. Maka Allah menurunkan ayat ini, yaitu firman-Nya:

Dan perempuan-perempuan yang putus asa dari ḥaidh…..” (Q.S. ath-Thalāq [65]: 4).

Sanad hadits ini, shaḥīḥ.

Muqātil di dalam kitab tafsirnya telah mengetengahkan sebuah hadits, bahwasanya Khallād ibnu ‘Amr ibn-ul-Jamūḥ menanyakan kepada Nabi s.a.w. tentang ‘iddah wanita yang tidak berḥaidh lagi, maka turunlah ayat ini.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *