Surat Ke-95
Surat at-Tīn bermakna buah Tin. Diturunkan di Makkah sesudah surat al-Burūj, terdiri dari 8 ayat.
Surat ini mengandung sumpah Allah bahwa Dia telah menciptakan manusia dalam keadaan dan bentuk rupa yang sangat indah. Tetapi, Allah mungkin pula akan mengembalikan mereka ke dalam keadaan yang sangat rendah (hina).
Allah telah menciptakan manusia dengan fithrah (sifat dasar) yang sangat baik. Namun, karena mengikuti hawa nafsu, manusia terjerumus ke dalam derajat yang rendah. (11) Hanya orang yang ber‘amal shalih-lah, yang terlepas dari derajat yang hina itu. Mereka akan mendapat pahala, dan Allah-lah hakim yang Maha ‘Adil.
Dalam surat yang telah lalu dijelaskan bahwa manusia adalah makhlūq yang amat sempurna, sedangkan dalam surat ini Allah menerangkan keadaan manusia dan apa yang akan dihadapinya, serta apa yang Dia sediakan untuk para mu’min yang mengimani Rasūl-Nya.
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ
Bismillāhirraḥmānirraḥīm
Dengan (menyebut) nama Allah Yang Maha Pemurah, yang senantiasa mencurahkan rahmat-Nya.
وَ التِّيْنِ وَ الزَّيْتُوْنِ.
Wat tīni waz zaitūn.
“Demi tīn dan zaitūn”. (At-Tīn [95]: 1).
Allah bersumpah dengan tin, nama sejenis buah yang terkenal atau nama suatu tempat di Syiria (Suriah). Menurut al-Imām Muḥammad ‘Abduh, yang dimaksud dengan tin di sini adalah periode manusia pertama, ketika bernaung dengan daun tin dan mendiami taman yang indah. Jika demikian halnya, maka ma‘na ayat ini adalah: Demi masa, ketika Ādam dan Ḥawwā’ menutupi auratnya dengan daun tin.
Allah bersumpah dengan zaitun, sejenis buah-buahan yang terkenal atau nama suatu tempat di Syiria. Menurut al-Imām Muḥammad ‘Abduh, yang dimaksud dengan zaitun di sini adalah masa zaitun, yaitu masa kehidupan Nabi Nūḥ dan keturunannya, ketika Allah membinasakan kaun Nūḥ dan keturunannya, ketika Allah membinasakan kaum Nūḥ dengan bencana angin topan, namun Allah menyelamatkan Nūḥ bersama pengikutnya yang naik perahu.
Setelah beberapa waktu bencana berlalu, datanglah burung membawa sehelai daun zaitun. Melihat hal itu. Nūḥ bergembira karena mengetahui bahwa Allah telah mengidzinkan bumi meresap air bah, sehingga bumi kembali dapat dihuni oleh manusia. Sesudah itu Nūḥ pun menurunkan jangkar (anchor) perahunya dan kembali turun ke darat.
Ringkasnya, tin dan zaitun ini mengingatkan kita terhadap masa Ādam sebagai bapak manusia yang pertama dan masa Nūḥ sebagai bapak manusia yang kedua.
وَ طُوْرِ سِيْنِيْنَ.
Wa thūri sinīn.
“Demi gunung Sinai”. (At-Tīn [95]: 2).
Allah bersumpah dengan Sinai, tempat Nabi Mūsā bermunajat kepada Allah..
وَ هذَا الْبَلَدِ الْأَمِيْنِ.
Wa hādzal baladil amīn. (22)
“Dan negeri yang aman ini.” (At-Tīn [95]: 3).
Allah bersumpah dengan negeri tempat kelahiran Muḥammad (Makkah) yang telah dimuliakan oleh Allah dengan menempatkan al-Bait-ul-Ḥarām di kota itu.
لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ فِيْ أَحْسَنِ تَقْوِيْمٍ.
Laqad khalaqnal insāna fī aḥsani taqwīm.
“Demi Allah, sungguh Kami telah menjadikan manusia dalam bentuk yang paling indah.” (At-Tīn [95]: 4).
Sungguh Allah telah menjadikan manusia dalam keadaan yang sempurna. Mereka diberi kemampuan menundukkan binatang dan tumbuh-tumbuhan ke bawah kekuasaannya. Bahkan, akal manusia dan pikirannya dapat menundukkan tabiat alam seberapapun kerasnya, untuk beberapa maksud dan memenuhi kebutuhannya. Manusia makan dengan tangannya, tidak seperti binatang yang makan dan minum langsung menggunakan mulutnya. Allah pun menjadikan manusia dengan perawakan (fisik) yang tegak, sehingga mampu menghasilkan karya yang menakjubkan.
Akan tetapi manusia tidak menyadari keistimewaannya itu, dan menyangka bahwa dirinya sama dengan makhlūq yang lain. Karenanya, mereka mengerjakan apa yang sesungguhnya tidak dibenarkan oleh akal sehatnya dan tidak disukai oleh fitrahnya.
ثُمَّ رَدَدْنَاهُ أَسْفَلَ سَافِلِيْنَ.
Tsumma radadnāhu asfala sāfilīn.
“Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat (derajat) yang paling rendah.” (33) (At-Tīn [95]: 5).
Oleh karena manusia tidak menyadari keistimewaannya dan menyangka dirinya sama seperti makhlūq-makhlūq yang lain, serta mengerjakan perbuatan-perbuatan yang hanya didasarkan pada dendam kesumat, dengki, pertikaian, dan nafsu-nafsu hewani, maka Allah mengembalikan manusia ke tempat (derajat) yang paling rendah.
Manusia dan tabiatnya, pada mulanya adalah baik, lurus, dan tidak tamak. Tetapi sesudah tergoda oleh nafsu-nafsu yang jahat, maka perilakunya lebih buruk daripada perilaku binatang. Itulah ma‘na “Allah mengembalikan manusia kepada derajat yang paling rendah.”
إِلَّا الَّذِيْنَ آمَنُوْا وَ عَمِلُوا الصَّالِحَاتِ فَلَهُمْ أَجْرٌ غَيْرُ مَمْنُوْنٍ.
‘Illal-ladzīna āmanū wa ‘amilush-shāliḥāti fa lahum ajrun ghairu mamnūn.
“Melainkan orang-orang yang beriman dan ber‘amal shalih. Mereka itu akan memperoleh pahala yang tiada putus-putusnya.” (At-Tīn [95]: 6).
Yang tidak dikembalikan kepada tingkat paling rendah hanyalah orang-orang yang jiwanya penuh dengan iman, mengetahui bahwa alam ini berada di bawah kekuasaan Allah, serta mengerjakan amalan-amalan yang shalih. Mereka ini mengetahui bahwa semua perbuatan yang dikerjakannya akan diakhiri dengan pembalasan oleh Allah. Mereka itulah yang memperoleh pahala yang tiada putus-putusnya, dan mereka itu adalah para pengikut Nabi s.a.w., serta orang-orang yang mendapat petunjuk.
Allah kemudian menghardik orang-orang musyrik yang mendustakan pembalasan, sebab dalil untuk itu sesungguhnya begitu kuat.
فَمَا يُكَذِّبُكَ بَعْدُ بِالدِّيْنِ.
Fa mā yakadzdzbuka ba‘du bid dīn,
“Apakah yang membuat kamu mendustakan adanya Hari Pembalasan setelah (ada keterangan yang nyata?). (44) (At-Tīn [95]: 7).
Apakah penyebab yang mendorong kamu, wahai manusia, untuk tetap mendustakan adanya pembalasan atas amalan-amalanmu? Padahal, bukti-bukti yang dapat dilihat dalam masalah itu telah begitu nyata. Allah yang telah menjadikan kamu dari setetes nuthfah (sperma dan sel telur) yang kemudian berproses menjadi manusia yang sempurna, tentu juga berkuasa menghidupkan kembali kamu setelah kematianmu dan menghisabmu dalam kehidupan yang kedua nanti (alam akhirat).
أَلَيْسَ اللهُ بِأَحْكَمِ الْحَاكِمِيْنَ
A laisallāhu bi’aḥkamil ḥākimin.
“Bukankah Allah yang paling kukuh keputusan-Nya dari semua hakim?” (At-Tīn [95]: 8).
Bukankah Allah adalah Tuhan yang paling baik perbuatan-Nya, paling baik pengaturan-Nya, serta paling adil dan paling tepat hukum-Nya? Oleh karena itu, Allah memberikan pembalasan pahala yang kekal kepada mereka yang taat dan memberikan pembalasan siksa yang sangat keras (berat) kepada mereka yang mendustakan kebenaran.
Dalam ayat-ayat ini Allah bersumpah dengan masa Ādam, masa Nūḥ, dan Sinai tempat Mūsā bermunajat dengan Allah, serta Makkah tempat Nabi Muḥammad dilahirkan. Bahwa Dia telah menjadikan manusia dalam bentuk yang paling indah dan rupa yang paling sempurna.
Tetapi Allah akan mengembalikan manusia menjadi makhlūq yang paling rendah (hina) derajatnya, apabila mereka menyamakan dirinya dengan binatang-binatang liar. Yaitu suka mendendam, bertengkar, dan bermusuh-musuhan. Orang-orang mu’min dan yang ber‘amal shalih-lah yang akan memperoleh pahala yang tiada putus-putusnya. Allah-lah yang paling adil dan paling tepat hukum-Nya (keputusan hukum-Nya).