“Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertampat tinggal menurut kemampuanmu”; tempatkanlah istri-istri yang diceraikan itu pada tempat tinggal di mana kalian tinggal sesuai dengan kemampuan kalian. Jika suami mampu, maka dia memberi keleluasaan kepada istrinya dalam tempat tinggal dan nafqah. Jika suami miskin, maka sesuai dengan kemampuannya. “dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka”; janganlah kalian menyempitkan mereka dalam hal tempat tinggal dan nafqah, sebab hal itu menyebabkan mereka terpaksa keluar atau meminta khulū‘. “Dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalak) itu sedang hamil”; jika istri yang ditalak hamil, “maka berikanlah kepada mereka nafqahnya hingga mereka bersalin”; maka suami berkewajiban memberikan nafqah kepada istri, meskipun waktunya lama, sampai ia melahirkan bayi. “kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak) mu untukmu”; jika istri itu melahirkan dan setuju untuk menyusui anak suaminya, “maka berikanlah kepada mereka upahnya”; maka suami harus menyerahkan upah menyusui kepada istrinya, sebab anak adalah anak suami. Dalam at-Tasḥīlu li ‘Ulūm-it-Tanzīl disebutkan, jika istri-istri yang diceraikan itu menyusui anak-anak kalian, maka berilah mereka upah menyusui, yaitu nafqah dan biaya hidup lain. (6281) “dan musyāwarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu), dengan baik”; dan hendaklah masing-masing dari suami istri menyuruh pihak yang lain untuk melakukan kebaikan, yaitu bersikap lunak, lemah-lembut dan berbuat baik. Al-Qurthubī berkata: “Ya‘ni hendaklah sebagian dari kalian menerima perintah kebaikan dari pihak lain. Termasuk kebaikan dari pihak istri adalah menyusui anak tanpa upah, sedangkan dari pihak suami adalah memberikan upah yang banyak atas penyusuan itu.” (6292) “dan jika kamu menemui kesulitan”; jika kalian mengalami kesempitan dan kesulitan mendamaikan antara suami dan istri, lalu suami menolak untuk menyerahkan upah kepada yang diinginkan oleh istri dan istri menolak untuk menyusui anak dengan upah yang minim, “maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya”; hendaknya suami menyewa perempuan lain untuk menyusui. Abū Ḥayyān berkata: “Ayat ini mengandung kritikan yang lembut kepada istri. Seperti anda katakan kepada orang yang anda minta sesuatu, namun dia tidak mau memenuhinya: “Orang lain akan memenuhinya. (6303) Adh-Dhaḥḥāk berkata: “Jika ibu tidak mau menyusui, maka ayah menyewa wanita lain untuk menyusui anaknya. Jika ayah tidak mau, maka ibu dipaksa untuk menyusui dengan bayaran.” (6314).
“Hendaklah orang yang mampu memberi nafqah menurut kemampuannya”; ini menjelaskan berapa kadar nafqah. Ya‘ni suami hendaknya memberi nafqah kepada istrinya dan anaknya yang masih kecil sesuai kemampuannya. Dalam at-Tasḥīlu li ‘Ulūm-it-Tanzīl disebutkan, ini perintah agar tiap orang memberikan nafqah sesuai dengan kemampuannya. Suami tidak dipaksa di atas kemampuannya sehingga istri tidak disia-siakan dan hukumnya adil. Ayat di atas menunjukkan, bahwa nafqah berbeda sesuai perbedaan status ekonomi seseorang.” (6325) “Dan orang yang disempitkan rezekinya”; barang siapa rezekinya sempit, sehingga kurang dari mencukupi, “hendaklah memberi nafqah dari harta yang diberikan Allah kepadanya”; hendaknya dia memberikan nafqah sesuai kadar kemampuannya dengan harta yang diberikan Allah kepadanya. “Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekedar) apa yang Allah berikan kepadanya”: Allah akan memberikan kekayaan setelah sempit rezeki dan memberikan keleluasaan setelah kesulitan. Firman ini mengandung berita gembira bagi orang-orang melarat, bahwa Allah akan membuka pintu-pintu rezeki bagi mereka.
(*missing 6336)
Kemudian Allah memperingatkan agar tidak durhaka kepada-Nya dan melewati batas-batasNya serta membuat gambaran berupa umat-umat terdahulu. “Dan berapalah banyaknya (penduduk) negeri yang mendurhakai perintah Tuhan mereka dan rasūl-rasūlNya”; banyak penduduk negeri di antara umat-umat terdahulu yang durjana dan menentang perintah-perintah Allah dan Rasūlullāh. “maka Kami hisab penduduk negeri itu dengan hisab yang keras”; Kami balas mereka dengan bermacam-macam siksa karena durhaka dengan kelaparan, paceklik dan pembinasaan. “dan Kami ‘adzāb mereka dengan ‘adzāb yang mengerikan”; siksa yang besar di atas bayangan. “Maka mereka merasakan akibat yang buruk dari perbuatannya”; lalu mereka merasakan akibat kekafiran mereka dan menentang perintah Allah. “dan adalah akibat perbuatan mereka kerugian yang besar”; kesudahan dari kedurhakaan mereka adalah kehancuran dan kebinasaan serta kerugian yang tiada tara.
Setelah menuturkan apa yang menimpa umat-umat yang durhaka, Allah menyuruh kaum Muslimīn untuk bertaqwā kepada Allah agar mereka terhindar dari siksa-Nya seperti apa yang menimpa orang-orang durhaka tersebut. “Allah menyediakan bagi mereka ‘adzāb yang keras”; bagi mereka di akhirat Allah telah menyiapkan siksa Jahannam yang berat dan abadi. “maka bertaqwālah kepada Allah hai orang-orang yang mempunyai akal”; karena itu, takutlah kepada Allah dan hati-hatilah terhadap siksa-Nya, hai orang-orang yang berakal sehat. “(yaitu) orang-orang yang beriman”; hai kaum Muslimīn, kalian yang percaya kepada Allah dan Rasūlullāh: “Sesungguhnya Allah telah menurunkan peringatan kepadamu”; Allah telah menurunkan kepada kalian sebuah wahyu yang dibaca, yaitu al-Qur’ān. (6347) “seorang rasūl yang membacakan kepadamu ayat-ayat Allah yang menerangkan (bermacam-macam hukum)”; dan Allah mengutus kepada kalian seroang rasūl yaitu Muḥammad s.a.w. yang membaca ayat-ayat kepada kalian yang jelas, menjelaskan halal haram dan menjelaskan hukum-hukum yang kalian perlukan. Dalam al-Baḥr-ul-Muḥīth disebutkan, hal yang jelas adalah bahwa yang dimaksudkan dzikr dalam ayat ini adalah al-Qur’ān dan yang dimaksudkan rasūl adalah Muḥammad s.a.w. (6358) “supaya Dia mengeluarkan orang-orang yang beriman dan mengerjakan ‘amal-‘amal yang shāliḥ dari kegelapan kepada cahaya”; agar Allah mengeluarkan orang mu’min yang bertaqwā dari kesesatan menuju hidāyah dan dari kegelapan kafir serta bodoh menuju cahaya keimanan dan ‘ilmu. “Dan barang siapa beriman kepada Allah dan mengerjakan ‘amal yang shāliḥ”; barang siapa membenarkan Allah berbuat taat kepada-Nya. “niscaya Allah akan memasukkannya ke dalam surga-surga yang mengalir di bawanya sungai-sungai”; di akhirat, Allah akan memasukkan dia ke dalam surga keni‘matan yang dibawah istana-istananya mengalir sungai-sungai surga-surga itu selamanya. Mereka tidak akan keluar darinya dan tidak akan mati. “Sesungguhnya Allah memberikan rezeki yang baik kepadanya”; Allah memberikan rezeki yang baik bagi mereka di surga dan melapangkannya bagi mereka, sebab keni‘matan surga terus-menerus tanpa henti. Ath-Thabarī berkata: “Maksudnya, Allah membuat rezeki mereka lapang di dalam surga.” Rezeki itu berupa makanan, minuman hal lainnya yang disiapkan Allah untuk para wali-Nya di dalam surga. Allah membuatnya baik untuk mereka.” (6369) Ayat ini mengandung kekaguman dan pengagungan pahala yang diberikan Allah kepada mu’min.
Kemudian Allah mengisyaratkan bukti-bukti kekuasaan-Nya dan besarnya kerajaan-Nya. “Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi”; Allah Yang Maha Besar dan Agung dengan kekuasaan-Nya telah menciptakan tujuh tingkat langit. (63710) Dari bumi, Allah juga menciptakan demikian, ya‘ni bumi ada tujuh dan sebagian di atas yang lain tanpa ada belahan. Lain halnya langit. “Perintah Allah berlaku padanya”; wahya Allah turun dan keputusan serta perintah-Nya berlaku di langit dan bumi. “agar kamu mengetahui bahwasanya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”; agar kalian tahu, bahwa yang mampu menciptakan hal itu adalah mampu atas segala sesuatu, yaitu Allah. “dan sesungguhnya Allah, ‘ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu”; dan agar kalian tahu bahwa Allah Maha Tahu segala sesuatu serta tidak ada yang samar bagi-Nya.
Aspek Balāghah
Dalam surat ini terdapat sejumlah keindahan bahasa sebagai berikut ini:
Pertama, thibāq (kesesuaian rangkaian ma‘na kalimat dari dua lafazh):
فَأَمْسِكُوْهُنَّ بِمَعْرُوْفٍ أَوْ فَارِقُوْهُنَّ
“Maka ruju‘ilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik.”
Demikian juga:
بَعْدَ عُسْرٍ يُسْرًا
“Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.”
Kedua, menempatkan isim zhāhir (nama jelas) pada tempat dhamīr (kata ganti) untuk membuat takut:
وَ تِلْكَ حُدُوْدُ اللهِ وَ مَنْ يَتَعَدَّ حُدُوْدَ اللهِ
“Itulah hukum-hukum Allah dan barang siapa yang melanggar hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat zhālim terhadap dirinya sendiri.”
Ketiga, iltifāt agar untuk menarik perhatian:
لَا تَدْرِيْ لَعَلَّ اللهَ يُحْدِثُ بَعْدَ ذلِكَ أَمْرًا.
(“Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu suatu hal yang baru.”)
Mestinya tidak menggunakan mukhāthab (kamu) namun menggunakan ghā’ib (dia).
Keempat, majaz dengan membuang:
وَ اللَّائِيْ لَمْ يَحِضْنَ
Khabarnya dibuang, yaitu: “‘iddahnya juga tiga bulan.”
Kelima, mengulang-ulang ancaman agar lebih mengerikan dan menakutkan:
فَحَاسَبْنَاهَا حِسَابًا شَدِيْدًا وَ عَذَّبْنَاهَا عَذَابًا نُّكْرًا. فَذَاقَتْ وَ بَالَ أَمْرِهَا
“Maka Kami hisab penduduk negeri itu dengan hisab yang keras, dan Kami ‘adzāb mereka dengan ‘adzāb yang mengerikan”
Keenam, majaz mursal;
وَ كَأَيِّنْ مِّنْ قَرْيَةٍ
“Dan berapalah banyaknya (penduduk) negeri yang mendurhakai perintah Tuhan”
Yang dimaksudkan adalah penduduk negeri, termasuk menyebut tempat dan yang dimaksudkan penduduknya.
Ketujuh, isti‘ārah yang lembut:
لِّيُخْرِجَ الَّذِيْنَ آمَنُوْا وَ عَمِلُوا الصَّالِحَاتِ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّوْرِ
“Dia mengeluarkan orang-orang yang beriman dan ber‘amal shāliḥ dari kegelapan kepada cahaya.”
Kata gelap dipinjam untuk menunjukkan kesesatan dan kekafiran dan kata cahaya dipinjam untuk menunjukkan petunjuk dan keimanan.
Ini termasuk bayān yang mengagumkan.
Kedelapan, sajak yang tersusun bagaikan mutiara dan intan. Misalnya:
قَدْ جَعَلَ اللهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْرًا.
يَجْعَلْ لَّهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا.
وَ يُعْظِمْ لَهُ أَجْرًا.
وَ كَانَ عَاقِبَةُ أَمْرِهَا خُسْرًا.
Catatan:
- 628). At-Tashīlu li ‘Ulūm-it-Tanzīl, 4/ 129.
- 629). Tafsīr-ul-Qurthubī, 18/169.
- 630). Tafsīr-ul-Baḥr-il-Muḥīth, 8/258.
- 631). Tafsīr-ul-Qurthubī, 18/169.
- 632). At-Tashīlu li ‘Ulūm-it-Tanzīl, 4/ 129.
- 633). Tafsīru Abī Su‘ūd, 5/172.
- 634). Sebagian ‘ulamā’ tafsir berpendapat, bahwa yang dimaksudkan dzikr adalah Nabi s.a.w., buktinya firman selanjutnya: “seorang rasūl yang membacakan….” Pendapat ini didukung oleh ath-Thabarī dan Su‘ūd. Namun pendapat yang kami sebutkan lebih rājiḥ, bahwa yang dimaksudkan dzikr adalah al-Qur’ān dan yang dimaksudkan rasūl adalah Muḥammad s.a.w. Ini pendapat yang didukung Ibnu ‘Athiyyah dan Abū Ḥayyān.
- 635). Al-Baḥr-ul-Muḥīth, 8/286.
- 636). Tafsīr-uth-Thabarī 28/98.
- 637). Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ‘ulamā’, bahwa langit ada tujuh. Namun mereka berbeda pendapat mengenai bumi. Ada pendapat, bahwa bumi juga tujuh lapis sebagaimana ditunjukkan lahir ayat ini dan ditunjukkan sabda Nabi s.a.w.: Barang siapa menganiaya kira-kira sejengkal bumi, maka dikalungkan kepadanya dari tujuh bumi. Pendapat lain, bumi itu hanya satu lapis dan bahwa persamaan langit bumi bukan dalam jumlahnya, namun dalam hal diciptakan dan dikuatkan. Pendapat pertama lebih kuat. Wallāhu a‘lam.