“Hai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu”; ayat ini ditujukan kepada Nabi s.a.w. Namun hukumnya berlaku bagi beliau dan umatnya. Secara khusus beliau disebutkan dalam ayat ini untuk menghormati beliau. Seperti halnya dikatakan kepada pemimpin sekelompok orang: “Hai Fulan, berbuatlah kalian.” Ma‘nanya, hai umat manusia dan hai kaum Muslimīn, jika kalian ingin menalak istri-istri: “maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) ‘iddahnya (yang wajar)”; ceraikanlah mereka ketika menghadapi ‘iddah mereka. Yaitu, ketika masa suci dan janganlah kalian menceraikan mereka ketika haidh. Mujāhid berkata: “Ya‘ni suci tanpa disenggama. Sebab, Nabi s.a.w. bersabda: “Maka hendaknya ia menalaknya dalam keadaan suci sebelum menyentuhnya. Maka itulah ‘iddah yang Allah ta‘ālā memerintahkan wanita diceraikan padanya.” (6161). ‘Ulamā’ tafsir berkata: “Dilarang menalak istri pada saat haidh, sebab hal itu menyebabkan ‘iddah menjadi lama, sehingga istri dirugikan. Di samping itu, keadaan haidh tidak disukai suami, sehingga mendorong suami segera menceraikan istri. Lain halnya jika istri dalam keadaan suci dan suami tidak menyenggama pada masa suci itu agar tidak menjadi kehamilan dari hubungan badan mereka setelah istri terceraikan. (6172) Sehingga ‘iddah haidh berubah menjadi ‘iddah melahirkan dan hal ini jelas merugikan. “dan hitunglah waktu ‘iddah itu”; hitunglah ‘iddah dan sempurnakanlah menjadi tiga quru’ agar nasab anak tidak bercampur. “serta bertaqwālah kepada Allah Tuhanmu”; takutlah kalian kepada Allah Tuhan semesta alam dengan menunaikan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.
“Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka”; janganlah kalian mengeluarkan mereka dari tempat tinggalnya setelah kalian berpisah dengannya sampai masa ‘iddah mereka selesai. “dan janganlah mereka (diidzinkan) keluar kecuali kalau mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang”; janganlah mereka keluar dari rumah sampai ‘iddah mereka selesai, kecuali jika istri yang diceraikan melakukan perbuatan yang keji. Misalnya, zina yang menyebabkannya dikeluarkan untuk menjalani hukuman.” (6183) Dalam at-Tasḥīlu li ‘Ulūm-it-Tanzīl disebutkan, Allah melarang lelaki mengeluarkan istri yang diceraikan dari rumah di mana dia menceraikannya dan melarang istri itu keluar sendiri. Maka istri yang dicerai tidak boleh menginap di luar rumahnya dan tidak boleh meninggalkan rumahnya di siang hari, kecuali karena darurat. Hal itu untuk menjaga nasab dan menjaga wanita. ‘Ulamā’ berbeda pendapat mengenai fāḥisyah yang menyebabkan seorang wanita boleh keluar rumah. Ada pendapat mengatakan bahwa fāḥisyah adalah zina. Dalam kondisi seperti ini istri yang dicerai dikeluarkan untuk menjalani hukuman. Pendapat lain, fāḥisyah adalah ucapan buruk kepada mertua dan tajamnya lidah. Maka istri yang dicerai dikeluarkan dan hilang haknya terhadap rumah. Hal ini didukung oleh bacaan sebagian ‘ulamā’ qirā’ah: (إِلَّا أَنْ يَفْحَشَنَّ عَلَيْكُمْ)
“Itulah hukum-hukum Allah”; hukum-hukum tersebut adalah syari‘at Allah dan hal-hal yang diharamkan-Nya. “dan barang siapa yang melanggar hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat zhālim terhadap dirinya sendiri”; barang siapa keluar dari hukum-hukum tersebut menuju hal lain, maka dia menganiaya dirinya sendiri. Sebab ia menjadikannya sebagai sasaran siksa, di mana dia memustahilkan kemungkinan ruju‘ dengan istrinya. Ar-Rāzī berkata: “Ini ancaman yang berat bagi orang yang tidak mau menalak dengan talak sunni dan orang yang menalak pada selain ‘iddah. “Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu suatu hal yang baru”; kamu tidak tahu hai manusia, apa yang diperbuat Allah setelah talak? Barang kali Allah mengubah hati suami dari benci menjadi cinta kepada bekas istrinya. Ibnu ‘Abbās berkata: “Ya‘ni, ia menyesal telah menalak istrinya dan ingin untuk meruju‘ istrinya dalam masa ‘iddah.”
“Apabila mereka telah mendekati akhir ‘iddahnya”; jika para istri itu mendekati selesainya ‘iddah, “maka rujū‘ilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik”; ruju‘lah mereka dan kembalikanlah mereka kepada ikatan pernikahan serta pergaulilah mereka dengan baik, sebagaimana diperintahkan oleh Allah, atau biarkanlah mereka sampai ‘iddah mereka habis, sehingga mereka menentukan nasib diri mereka sendiri. ‘Ulamā’ tafsir berkata: “Meruju‘ yang dimaksudkan adalah bergaul dengan baik dan menunaikan nafqah tanpa bertujuan merugikan pihak istri agar ‘iddahnya menjadi lama. Melepaskan dengan baik adalah membayar mas kawin, memberi mut‘ah setelah menceraikan, memenuhi syarat dan menunaikan seluruh hak istri. “dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu”; persaksikanlah talak atau ruju‘ kalian kepada dua orang yang adil dan terpercaya dari sisi agama dan amanah. Dalam al-Baḥr-ul-Muḥīth disebutkan, mempersaksikan ini hukumnya sunnah menurut Abū Ḥanīfah. Sebagaimana firman Allah: “Dan persaksikanlah apabila kamu berjual-beli.” (al-Baqarah [2]: 282), sedangkan menurut madzhab Syāfi‘ī, persaksian hukumnya wajib dalam ruju‘ dan sunnah dalam talak. (6194). “dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah”; bersaksilah kalian dengan benar tanpa berpihak kepada siapapun, ikhlas karena Allah, tanpa mengubah dan tanpa memperhatikan pihak pendakwa maupun terdakwa. “Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat”; hukum yang Kami syarī‘atkan ini hanyalah bermanfaat bagi mu’min yang takut kepada Allah dan takut hisab serta siksa di negeri akhirat.
“Barang siapa yang bertaqwā kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya”; barang siapa murāqabah kepada Allah dan berhenti di batas-batasNya, maka Allah memberi dia kelonggaran dari setiap kesedihan, memberi dia solusi dari tiap kesempitan dan memberi dia rezeki tanpa terlintas di hatinya. Mujāhid berkata: “Kami berada di dekat Ibnu ‘Abbās, lalu seorang lelaki menghadap dan berkata: “Dia menceraikan istrinya dengan talak tiga.” Ibnu ‘Abbās diam, sampai kami mengira beliau akan mengembalikan istri itu kepada suaminya. Kemudian Ibnu ‘Abbās berkata: “Salah satu dari kalian melakukan hal bodoh,” lalu berkata: “Hai Ibnu ‘Abbās, hai Ibnu ‘Abbās. Padahal Allah berfirman: “Barang siapa yang bertaqwā kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar”. Kamu tidak bertaqwā kepada Allah, maka aku tidak mendapat jalan keluar untukmu. Kamu durhaka kepada Tuhanmu dan istrimu tertalak bā’in darimu.” (6205) ‘Ulamā’ tafsir berkata: “Ayat ini bersifat umum. Sasaran turunnya adalah ‘Auf bin Mālik al-Asyja‘ī. Orang kafir menawan putranya, lalu dia menghadap Nabi s.a.w. dan mengadukan kemelaratan serta berkata: “Musuh menawan putraku dan ibunya mengeluh. Apa yang anda perintahkan kepadaku?” Nabi s.a.w. bersabda kepadanya: “Bertaqwālah kepada Allah dan bersabarlah. Kami perintahkan kamu dan istrimu untuk banyak mengucapkan “Lā ḥaula wa lā quwwata illā billāh.” ‘Auf dan istrinya menunaikan perintah itu. Ketika dia berada di rumahnya, tiba-tiba putranya mengetuk pintu sambil membawa seratus ekor unta. Musuh lupa unta-unta itu, lalu dia mengambilnya. Maka turunlah ayat ini: “Barang siapa yang bertaqwā kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya” (6216) “Dan barang siapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya”; barang siapa bergantung kepada Allah dan yakin kepada-Nya dalam apa yang menimpanya, maka Allah mencukupinya. Ash-Shāwī berkata: “Barang siapa menyerahkan urusannya kepada Allah, maka Dia mencukupi apa yang penting baginya. Berusaha dan berikhtiar tidak bertentangan dengan tawakkal kepada Allah dengan tawakkal yang sebenarnya kepada-Nya, niscaya Dia memberi kalian rezeki sebagaimana Dia memberi rezeki burung yang berangkat pagi lapar dan pulang sore kenyang.” (6227) (6238) “Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki)-Nya”; urusan Allah terlaksana pada seluruh makhlūq-Nya. Dalam at-Tasḥīlu li ‘Ulūm-it-Tanzīl disebutkan: “Firman ini mendorong untuk tawakkal, sebab jika hamba yakin bahwa segala urusan di tangan Allah, maka dia hanya tawakkal kepada Allah dan tidak bergantung kepada selain Dia. (6249) “Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu”; Allah menentukan kadar dan waktu tertentu untuk tiap urusan sesuai hikmah-Nya. Al-Qurthubī berkata: “Maksudnya Allah menentukan sebuah akhir bagi tiap kesulitan dan hidup enak.” (62510)
“Dan perempuan-perempuanmu yang tidak haidh lagi (menopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa ‘iddahnya)”; perempuan-perempuan yang sudah tidak mengalami menstruasi lagi karena usia tua, jika kalian bimbang dan tidak tahu bagaimana ‘iddah mereka, maka inilah hukum bagi mereka “maka ‘iddah mereka adalah tiga bulan”; ‘iddah salah seorang dari mereka adalah tiga bulan, masing-masing bulan menempati kedudukan menstruasi “dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haidh”; demikian juga perempuan-perempuan yang belum pernah mengalami menstruasi karena masih kecil, maka ‘iddahnya adalah tiga bulan. “Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu ‘iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya”; perempuan yang hamil ‘iddahnya habis karena melahirkan anak, baik dia dicerai suaminya atau suaminya mati. “Dan barang siapa yang bertaqwā kepada Allah niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya”; barang siapa takut kepada Allah dalam ucapan dan perbuatannya serta menjauhi apa yang diharamkan-Nya, maka Dia memudahkan urusannya dan memberinya taufīq kepada segala kebaikan. “Itulah perintah Allah yang diturunkan-Nya kepada kamu”; itulah hukum Allah dan syarī‘at Islam yang Dia turunkan kepada kalian wahai kaum Muslimīn agar kalian menunaikannya. “dan barang siapa yang bertaqwā kepada Allah niscaya Dia akan menghapus kesalahan-kesalahannya dan akan melipat-gandakan pahala baginya”; barang siapa takut kepada Allah, maka Dia menghapus dosa-dosanya dan melipatgandakan pahalanya. Ash-Shāwī berkata: “Allah mengulangi taqwā, sebab Allah tahu bahwa kaum wanita kurang pandai dan kurang agamanya. Karena itu, yang sabar terhadap kaum wanita hanyalah orang yang bertaqwā.” (62611) Dalam al-Baḥr-ul-Muḥīth disebutkan: “Karena yang dibicarakan adalah istri-istri yang ditalak karena suami mereka membenci mereka, kadang suami menuduh istri mempunyai cacat yang membuat lelaki tidak mau, maka Allah mengulangi perintah untuk taqwa dengan bentuk syarat jawab: “dan barang siapa yang bertaqwā kepada Allah….” (62712)