Surah at-Takwir 81 ~ Tafsir Ibni ‘Arabi

Dari Buku:
Isyarat Ilahi
(Tafsir Juz ‘Amma Ibn ‘Arabi)
Oleh: Muhyiddin Ibn ‘Arabi

Penerjemah: Cecep Ramli Bihar Anwar
Penerbit: Iiman
Didistribusikan oleh: Mizan Media Utama (MMU)

التَّكْوِيْرُ

AT-TAKWĪR

Surah Ke-81: 29 Ayat

 

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ

Dengan nama Allah, Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

 

إِذَا الشَّمْسُ كُوِّرَتْ. وَ إِذَا النُّجُوْمُ انْكَدَرَتْ. وَ إِذَا الْجِبَالُ سُيِّرَتْ. وَ إِذَا الْعِشَارُ عُطِّلَتْ. وَ إِذَا الْوُحُوْشُ حُشِرَتْ. وَ إِذَا الْبِحَارُ سُجِّرَتْ. وَ إِذَا النُّفُوْسُ زُوِّجَتْ. وَ إِذَا الْمَوْؤُوْدَةُ سُئِلَتْ. بِأَيِّ ذَنْبٍ قُتِلَتْ.

81: 1. Apabila matahari digulung,

81: 2. dan apabila bintang-bintang berjatuhan,

81: 3. dan apabila gunung-gunung dihancurkan,

81: 4. dan apabila unta-unta yang bunting ditinggalkan (tidak diperdulikan),

81: 5. dan apabila binatang-binatang liar dikumpulkan,

81: 6. dan apabila lautan dipanaskan,

81: 7. dan apabila ruh-ruh dipertemukan (dengan tubuh),

81: 8. apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya,

81: 9. karena dosa apakah dia dibunuh,

Idz-asy-syamsu kuwwirat (Apabila matahari digulung – ayat 1). Jelasnya, ketika “matahari” ruh digulung dengan digulungkannya cahayanya serta dicabut dari jasad;

dan ketika “bintang-bintang” pancaindra berjatuhan (wa idz-al-nujūm-unkadarat – ayat 2) karena lenyapnya cahaya ruh itu;

dan ketika “gunung-gunung” anggota tubuh dihancurkan (wa idz-al-jibālu suyyirat – ayat 3) berkeping-keping menjadi debu;

dan ketika unta-unta kendaraan yang sedang ditungganggi dilepaskan begitu saja (wa idz-al-‘isyāru ‘uththilat – ayat 4) – bisa juga unta di sini berarti harta yang berharga, karena bagi orang ‘Arab unta adalah harta yang paling berharga. Jika demikian, maka ayat itu bisa pula diartikan: ketika harta-harta yang berharga ditinggalkan begitu saja – ;

dan ketika “binatang-binatang liar” daya-daya hewani dikumpulkan dalam arti dihancurkan dan dibinasakan (wa idz-al-wuḥūsyu ḥusyirat – ayat 5) – Kata dikumpulkan (ḥusyirat) diartikan menjadi dibinasakan didasarkan atas (kebiasaan) perkataan orang-orang ‘Arab: Tahun paceklik telah mengumpulkan ternak (ḥasyarat, bentuk aktif dari kata kerja pasif ḥusyirat), dengan maksud bahwa tahun paceklik telah membinasakan mereka. Atau bisa juga ayat itu berarti: ketika daya-daya hewani itu dikumpulkan dengan cara dihidupkan kembali – ;

dan ketika “laut-laut” berbagai unsur dijadikan meluap (wa idz-al-biḥāru sujjirat – ayat 6) karena setiap “lautan” unsur saling membanjiri satu sama lainnya dan setiap bagian bergabung pada asalnya, begitu rupa sehingga “laut-laut” unsur itu bergabung menjadi satu lautan (besar);

dan ketika jiwa-jiwa itu dipertemukan (wa idz-an-nufūsu zuwwijat – ayat 7) dengan cara setiap jiwa yang sama dikelompok-kelompokkan sehingga terbentuklah kelompok orang yang bahagia dan malang….

Dan ketika ditanya jiwa nalar yang “dikubur hidup-hidup” (mau’ūdah) oleh “pengubur” (wā‘idah) jiwa hewani dan dibinasakannya di dalam “kuburan” tubuh (ayat 8);

Karena dosa apakah dia dibunuh? (bi ayyi dzanbin qutilat – ayat 9). Jelasnya, Allah meminta manusia untuk menampakkan berbagai dosa, seperti dosa amarah dan dosa syahwat ataupun yang lainnya, yang menyebabkan jiwa hewaninya begitu menguasai jiwa nalarnya sehingga mencegah kewarasan (khawash) dan buah penalarannya (berbagai amal berdasarkan nalar sehat), dan akhirnya membinasakannya. Lalu Allah menampakkan berbagai dosa itu. Maka, pertanyaan (dalam ayat di atas) sebenarnya merupakan ungkapan kiasan (kināyah) yang dimaksudkan-Nya untuk meminta orang bersangkutan agar menampakkan berbagai dosanya itu. Karena itu, Nabi s.a.w. bersabda: “Pengubur dan yang dikubur hidup-hidup sama-sama masuk neraka.” Sebab, siksaan jiwa nalar (yang dikubur hidup-hidup) sama beratnya dengan siksaan jiwa hewani (yang mengubur hidup-hidup jiwa nalar). Dalam hadis ini juga sebenarnya ada rahasia lain yang di sini bukan tempatnya untuk dibahas.

وَ إِذَا الصُّحُفُ نُشِرَتْ. وَ إِذَا السَّمَاءُ كُشِطَتْ. وَ إِذَا الْجَحِيْمُ سُعِّرَتْ. وَ إِذَا الْجَنَّةُ أُزْلِفَتْ. عَلِمَتْ نَفْسٌ مَّا أَحْضَرَتْ. فَلَا أُقْسِمُ بِالْخُنَّسِ. الْجَوَارِ الْكُنَّسِ. وَ اللَّيْلِ إِذَا عَسْعَسَ. وَ الصُّبْحِ إِذَا تَنَفَّسَ. إِنَّهُ لَقَوْلُ رَسُوْلٍ كَرِيْمٍ. ذِيْ قُوَّةٍ عِنْدَ ذِي الْعَرْشِ مَكِيْنٍ. مُطَاعٍ ثَمَّ أَمِيْنٍ. وَ مَا صَاحِبُكُمْ بِمَجْنُوْنٍ.

81: 10. dan apabila catatan-catatan (amal perbuatan manusia) dibuka,

81: 11. dan apabila langit dilenyapkan,

81: 12. dan apabila neraka Jahim dinyalakan,

81: 13. dan apabila surga didekatkan,

81: 14. maka tiap-tiap jiwa akan mengetahui apa yang telah dikerjakannya.

81: 15. Sungguh, Aku bersumpah dengan bintang-bintang,

81: 16. yang beredar dan terbenam,

81: 17. demi malam apabila telah hampir meninggalkan gelapnya,

81: 18. dan demi subuh apabila fajarnya mulai menyingsing,

81: 19. sesungguhnya al-Qur’ān itu benar-benar firman (Allah yang dibawa oleh) utusan yang mulia (Jibril),

81: 20. yang mempunyai kekuatan, yang mempunyai kedudukan tinggi di sisi Allah yang mempunyai ‘Arasy,

81: 21. yang ditaati di sana (di alam malaikat) lagi dipercaya.

81: 22. Dan temanmu (Muḥammad) itu bukanlah sekali-kali orang yang gila.

Dan ketika catatan-catatan [amal perbuatan manusia] dibuka (wa idz-ash-shuḥufu nusyirat – ayat 10). Yang dimaksud catatan-catatan itu (shuḥuf) adalah “lembaran-lembaran” daya-daya jiwa (al-quwā wan-nufūs) yang di atasnya tertuliskan berbagai bentuk amal mereka. Lembaran-lembaran itu dilipat ketika ajal tiba, ketika “matahari” ruh digulung, dan disebarkan ketika “matahari” ruh itu dikembalikan kepada jasad pada hari kebangkitan;

Wa idz-as-samā’u kusyithat (dan ketika langit dilenyapkan – ayat 11). Maksudnya, ketika “langit” ruh hewani atau akal disirnakan;

Wa idz-al-jaḥīmu su‘‘irat (dan apabila neraka Jaḥīm dinyalakan – ayat 12). Jelasnya, ketika neraka efek-efek kemarahan dan kemurkaan-Nya (qahar – kejalalan-Nya yang berwenang untuk menjatuhkan hukuman atas hamba-Nya yang berpaling dari-Nya) di dalam jahannam tabiat rendah dinyalakan bagi orang-orang yang terhijab;

Wa idz-al-jannatu uzlifat (ketika surga didekatkan – ayat 13). Jelasnya, ketika surga efek-efek ridha dan kasih sayang-Nya (kelathifan – kehalusan dan kelemah-lembutan) didekatkan pada orang-orang yang bertakwa…

Maka, tiap-tiap jiwa akan mengetahui apa yang telah diperbuatnya (‘alimat nafsun mā ahdharat – ayat 14). Jelasnya, (pada waktu itu) setiap jiwa jadi menyadari (kembali) apa yang telah mereka kerjakan, yang sebelumnya telah mereka lupakan dan abaikan.

Falā uqsimu bil-khunnās, al-jawār-il-kunnās (Sungguh Aku bersumpah dengan bintang-bintang yang beredar dan terbenam – ayat 15-16). Yang dimaksud bintang-bintang (khunnās) adalah bintang-bintang yang kembali dari peredarannya. Sedangkan yang dimaksud dengan yang terbenam (al-kunnās) adalah bahwa bintang-bintang itu memasuki gugusan-gugusannya seperti masuknya binatang-binatang liar pada kandangnya (al-kanas, seakar kata dengan al-kunnās). Atau bisa juga, yang dimaksud dengan al-khunnās adalah jiwa-jiwa yang kembali kepada jasad dan menelusup ke tempat-tempatnya semula.

Wal-laili idzā ‘as‘as (demi malam yang apabila hampir meninggalkan gelapnya – ayat 17). Jelasnya, demi “malam” gelapnya jasad mayat apabila hampir meninggalkan kegelapannya dengan cahaya kehidupan, ketika ruh dipertautkan kembali pada jasad itu dan ketika cahaya “matahari” ruh itu terbit kembali kepadanya.

Wash-shubḥi idzā tanaffas (dan demi subuh apabila fajarnya mulai menyingsing – ayat 18). Yang dimaksud dengan subuh adalah efek cahaya dari terbitnya “matahari” ruh itu (layaknya subuh sebagai efek dari akan terbitnya matahari). Sedangkan yang dimaksud “apabila fajarnya menyingsing” adalah apabila “fajar” subuh itu telah menyinsing dan menjalar ke seluruh tubuh untuk menghidupkannya kembali.

Innahu la qaulu rasūlin karīm (sesungguhnya al-Qur’ān itu benar-benar firman [Allah yang dibawa oleh] utusan yang mulia [Jibril] – ayat 19). Yang dimaksud utusan yang mulia adalah rūḥ al-Quddūs yang suka meniupkan (ilham dari Allah) ke dalam hati manusia. (11).

وَ لَقَدْ رَآهُ بِالْأُفُقِ الْمُبِيْنِ. وَ مَا هُوَ عَلَى الْغَيْبِ بِضَنِيْنٍ. وَ مَا هُوَ بِقَوْلِ شَيْطَانٍ رَجِيْمٍ. فَأَيْنَ تَذْهَبُوْنَ. إِنْ هُوَ إِلَّا ذِكْرٌ لِّلْعَالَمِيْنَ. لِمَنْ شَاءَ مِنْكُمْ أَنْ يَسْتَقِيْمَ. وَ مَا تَشَاؤُوْنَ إِلَّا أَنْ يَشَاءَ اللهُ رَبُّ الْعَالَمِيْنَ.

81: 23. Dan sesungguhnya Muḥammad itu melihat Jibril di ufuk yang terang.

81: 24. Dan Dia (Muḥammad) bukanlah seorang yang bakhil untuk menerangkan yang gaib.

81: 25. Dan al Qur’ān itu bukanlah perkataan setan yang terkutuk,

81: 26. maka ke manakah kamu akan pergi?

81: 27. Al-Qur’ān itu tiada lain hanyalah peringatan bagi semesta alam,

81: 28. (yaitu) bagi siapa di antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus.

81: 29. Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam.

Wa laqad ra’ahu bil-ufuq-il-mubīn (dan sesungguhnya Muḥammad itu melihat Jibril di ufuq yang terang – ayat 23). Yang dimaksud ufuq yang terang (al-ufuq-ul-mubīn) adalah ujung-perkembangan hati yang menyambung ke ruh. Itulah tempat ditiupkannya tiupan suci.

Wa mā huwa ‘alal-ghaibi bi dhanīn (dan dia [Muḥammad] bukanlah orang bakhil untuk menerangkan yang gaib – ayat 24). Yakni, Muḥammad tidaklah sekadar menduga-duga tentang berita gaib yang diberitakan kepadanya. Sebab, ia tidak dirasuki setan wahm (dugaan) ataupun diliputi jin khayalan yang menyebabkannya bicara ngawur dan bercampur baurnya makna suci dengan wahm dan khayal. Sebab, sekali lagi, akal Muḥammad tidak dirasuki tapi bersih dari noda wahm itu.

Wa mā huwa (dan al-Qur’ān itu bukanlah – ayat 25) berasal dari setan wahm yang dikutuk oleh cahaya ruh, sehingga al-Qur’ān seluruhnya menjadi bersifat wahm. Hal ini mustahil karena alasan-alasan tadi.

Fa aina tadzhabūn (maka ke manakah kamu akan pergi – ayat 26). Maksudnya, mustahillah al-Qur’ān itu berasal dari setan wahm, mustahil pula ia tercampurbaurkan dengan wahm, juga mustahil penerimanya (Muḥammad) terkena gila atau ‘ayan (jinnah) karena alasan-alasan tadi yang sudah begitu terang bagi siapapun. Maka, barang siapa menempuh “jalan” sangkaan ini, menuduhkan tiga hal (sangkaan) yang mustahil itu kepada Nabi s.a.w., maka ia sungguh telah jauh dari kebenaran karena ia disesatkan oleh sangkaan yang tak berdasar (lā yadhbutu) dan menjauhkannya dari kebenaran itu; layaknya orang yang menempuh jalan yang menyesatkannya dari arah tujuannya. Maka, (sebagai sindiran atas kesesatannya), kepada orang yang sesat itulah dikatakan: Ke manakah kamu akan pergi?

In huwa illā dzikrun lil-‘ālamīn. Li man syā’a minkum an yastaqīm (al-Qur’ān itu tiada lain hanyalah peringatan bagi semesta alam. [Yaitu] bagi siapa di antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus – ayat 27-28). Tegasnya, bagi siapa saja di antara kalian yang mau istiqāmah (konsisten) di dalam menempuh jalan ruhani (tharīq-us-sulūk), Yang dimaksud jalan yang lurus (shirāt-ul-mustaqīm) adalah jalan yang di atasnya adalah al-Ḥaqq (Allah), karena Allah berfirman: [Kata Nabi Hūd a.s.]: Sesungguhnya Tuhanku di atas jalan yang lurus (Hūd [11]: 56). Dengan demikian, maka tak seorang pun mau menempuh jalan lurus itu kecuali atas kehendak-Nya. Sebab, jalan-Nya tak akan pernah bisa ditempuh kecuali atas kehendak-Nya. Wallāhu a‘lam.

Catatan:


  1. 1). Jibril a.s. disebut juga sebagai rūḥ-ul-Quddūs – pen. 

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *