Surah at-Takwir 81 ~ Tafsir al-Qur’an-ul-Majid an-Nur

Judul Buku:
TAFSĪR AL-QUR’ĀNUL MAJĪD AN-NŪR

JILID 4

Penulis: Prof. Dr. Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy
Diterbitkan oleh: Cakrawala Publishing

Surat Ke-81
AT-TAKWĪR

Surat at-Takwīr bermakna menggulung. Diturunkan di Makkah sesudah surat al-Masad, dan terdiri dari 29 ayat.

A. KANDUNGAN ISI

Surat ini menjelaskan tentang bangkit dan huru-haranya yang terjadi pada hari itu. Dengan dikuatkan sumpah, surat ini menandaskan bahwa al-Qur’ān merupakan wahyu yang ḥaqq (benar) yang disampaikan kepada Muḥammad dengan perantaraan malaikat Jibrīl. Muḥammad sama sekali bukan orang yang kurang akal dan bukan pula orang yang terkena tuduhan.

Dalam surat ini diungkapkan beberapa bukti yang menetapkan kenabian Muḥammad dan bahwa al-Qur’ān itu adalah pelajaran bagi orang yang menginginkan petunjuk.

B. KAITAN DENGAN SURAT SEBELUMNYA

Persesuaian surat yang telah lalu (‘Abasa) dengan surat ini adalah, bahwa baik surat yang lalu maupun surat ini sama-sama menjelaskan tentang keadaan hari kiamat dan huru-haranya. Nabi Muḥammad bersabda: “Barang siapa ingin melihat sesuatu peristiwa pada hari kiamat, hendaklah dia memperhatikan isi kandungan surat at-Takwīr ini.” (HR. Aḥmad dari ‘Umar). (11).

C. TAFSĪR SURAT AT-TAKWĪR

1. Pada Waktu terjadinya Kiamat Manusia Sadar Apa yang telah Dikerjakannya. Orang ‘Arab Jahiliyyah Cenderung Menguburkan Anak Perempuan Hidup-hidup. Allah Hanya Menerima ‘Amalan Yang Dilakukan Oleh Hati Yang Penuh Iman.

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ

Bismillāhirraḥmānirraḥīm

Dengan (menyebut) nama Allah Yang Maha Pemurah, yang senantiasa mencurahkan rahmat-Nya.

إِذَا الشَّمْسُ كُوِّرَتْ.

Idzasy syamsu kuwwirat.
“Apabila matahari telah digulung.” (22) (at-Takwīr [81]: 1).

Tanda-tanda dan dalil terjadinya kiamat yang menjadi pendahuluan bagi hari bangkit adalah kehancuran dunia dan hukum-hukumnya berantakan. Hal itu terjadi pada tiupan sangkakala yang pertama. Pada hari itu matahari digulung dan dilipat, sehingga tidak lagi memberi sinar dan panas.

وَ إِذَا النُّجُوْمُ انْكَدَرَتْ.

Wa idzan nujūm-unkadarat.
“Apabila bintang-bintang jatuh berderai.” (at-Takwīr [81]: 2).

Pada hari itu bintang-bintang berhamburan dan hilang cahayanya.

وَ إِذَا الْجِبَالُ سُيِّرَتْ.

Wa idzal jibālu suyyirat.
“Apabila gunung-gunung telah diangkat dan diterbangkan ke udara.” (at-Takwīr [81]: 3).

Pada hari itu, semua gunung dicabut dari bumi dan diterbangkan ke udara yang tinggi seperti debu yang berhamburan.

وَ إِذَا الْعِشَارُ عُطِّلَتْ.

Wa idzal ‘isyāru ‘uththilat.
“Apabila unta-unta betina yang bunting sepuluh bulan ditinggalkan.” (at-Takwīr [81]: 4).

Pada hari itu, unta-unta yang telah bunting sepuluh bulan tidak lagi dihiraukan. Unta adalah ternak yang sangat dihargai oleh orang ‘Arab.

وَ إِذَا الْوُحُوْشُ حُشِرَتْ.

Wa idzal wuḥūsyu ḥusyirat.
“Apabila binatang-binatang liar dikumpulkan.” (at-Takwīr [81]: 5).

Ketika itu binatang-binatang liar mati karena huru-hara kiamat yang sangat dahsyat.

وَ إِذَا الْبِحَارُ سُجِّرَتْ.

Wa idzal biḥāru sujjirat,
“Apabila laut dijadikan lautan api.” (at-Takwīr [81]: 6).

Pada hari terjadi gempa amat hebat yang mengeringkan laut sehingga laut berubah menjadi lautan api. Pemeriksaan ilmiah sekarang pun membuktikan bahwa gunung-gunung berapi yang berada di dalam perut bumi selalu mendidih dan kerapkali menimbulkan gempa yang hebat, sebagaimana ketika meletusnya Gunung Krakatau.

Kata ar-Rāzī: “Enam tanda kiamat itu mungkin terjadi ketika dunia akan hancur dan mungkin sesudah kiamat.” Menurut Ubai ibn Ka‘ab, keenam peristiwa tersebut terjadi di dunia sebagai tanda kehancuran dunia.

Dalam ayat-ayat ini Allah menjelaskan peristiwa-peristiwa besar yang terjadi sebagai pendahuluan akan datangnya hari kiamat.

وَ إِذَا النُّفُوْسُ زُوِّجَتْ.

Wa idzan nufūsu zuwwijat.
“Apabila jiwa-jiwa (nyawa) manusia disatukan dengan tubuhnya, digolong-golongkan (masing-masing dengan golongannya).” (33) (at-Takwīr [81]: 7).

Sesudah Allah menjelaskan pendahuluan-pendahuluan kiamat, maka Dia menjelasan apa yang terjadi selanjutnya. Setelah dunia ini hancur-lebur dengan tiupan sangkakala yang pertama, maka Allah menyatukan kembali roh dan jasadnya masing-masing dan itulah kejadian manusia yang kedua, dan itu permulaan tempat manusia dihidupkan kembali.

Hal ini memberikan pengertian bahwa roh adalah kekal (lestari). Dia tetap ada sesudah bercerai dari tubuh sampai dia kembali menyatu dengan tubuh pada hari bangkit.

وَ إِذَا الْمَوْؤُوْدَةُ سُئِلَتْ. بِأَيِّ ذَنْبٍ قُتِلَتْ.

Wa idzal mau’ūdatu su’ilat. Bi’ayyi dzambin qutilat.
“Apabila ditanyai masalah anak perempuan yang dikuburkan hidup-hidup. (44) Karena dosa apakah dia dibunuh?” (at-Takwīr [81]: 8-9).

Ketika itu ditanyailah anak-anak perempuan yang dikubur hidup-hidup di depan orang yang menguburkannya, apa sebabnya dia dikubur dan dibunuh. Pertanyaan itu sebenarnya untuk menambah tekanan siksa bagi orang yang membunuhnya. Adat membunuh hidup-hidup anak (bayi) perempuan memang terdapat pada sebagian kabilah ‘Arab pada zaman Jahiliyyah. (55)

وَ إِذَا الصُّحُفُ نُشِرَتْ.

Wa idzash shuḥufu nusyirat.
“Apabila buku-buku disebarkan.” (at-Takwīr [81]: 10).

Apabila lembaran-lembaran catatan ‘amalan diperlihatkan kepada masing-masing pemiliknya pada waktu hari hisab, mereka tidak dapat lagi membantah kebenaran isinya. Kita sekarang tidak perlu membahas bagaimana lembaran-lembaran catatan ‘amalan itu, apakah berupa lembaran kertas atau berupa lauh. Tidak ada nash yang kuat yang menjelaskan bentuk catatan ‘amalan manusia itu.

وَ إِذَا السَّمَاءُ كُشِطَتْ.

Wa idzas samā’u kusyithat.
“Apabila langit dicabut dari tempatnya.” (at-Takwīr [81]: 11).

Ketika itu langit dilenyapkan hingga tidak ada lagi mana yang dapat kita katakan tinggi dan mana yang dapat dikatakan rendah. Pada hari itu tidak ada lagi yang tidak dapat dilihat, karena tabir telah diangkat.

وَ إِذَا الْجَحِيْمُ سُعِّرَتْ.

Wa idzal jaḥīmu su‘‘irat.
“Apabila neraka dinyalakan” (at-Takwīr [81]: 12).

Ketika itu api neraka pun dinyalakan untuk membakar (menghanguskan) tubuh orang-orang yang dijebloskan ke dalamnya.

وَ إِذَا الْجَنَّةُ أُزْلِفَتْ.

Wa idzal jannatu uzlifat.
“Apabila surga didekatkan.” (at-Takwīr [81]: 13).

Apabila surga-surga yang telah disediakan untuk tempat para muttaqīn didekatkan kepada mereka.

عَلِمَتْ نَفْسٌ مَّا أَحْضَرَتْ.

‘Alimat nafsum mā aḥdharat.
“Niscaya setiap diri mengetahui apa yang dia disediakan.” (at-Takwīr [81]: 14).

Apabila semua yang dijelaskan itu telah berwujud dalam alam kenyataan, barulah masing-masing jiwa (orang) mengetahui mana ‘amalannya yang diterima dan mana ‘amalannya yang ditolak. Allah hanya menerima ‘amalan-‘amalan yang tumbuh dari hati nurani yang penuh iman, yang dilakukan dengan tulus ikhlas.

Dalam tafsir al-Jāmi‘u li Aḥkām-il-Qur’ān dijelaskan bahwa masalah ini terjadi di akhirat.

2. Sifat-sifat Malaikat Jibrīl dan Nabi Muḥammad s.a.w.

فَلَا أُقْسِمُ بِالْخُنَّسِ. الْجَوَارِ الْكُنَّسِ.

Falā uqsimu bil khunnās. Al jawāril kunnas.
“Maka Aku bersumpah dengan bintang-bintang yang timbul tenggelam. Yang terbit dan terbenam.” (at-Takwīr [81]: 15-16).

Pernyataan ini dimaksudkan untuk sumpah. Disebutkan seperti itu untuk menjelaskan kebesaran makhlūq yang dijadikan sebagai penguat sumpah. Sedangkan perkataan “” (tidak) di sini hanya dipakai sebagai tambahan (zā’idah) belaka.

Ada yang mengatakan bahwa “” di sini bukan tambahan (zā’idah). Maksud Allah dengan perkataan “” ini adalah untuk menegaskan bahwa apa yang dijelaskan itu tidak memerlukan sumpah. Karena itu Allah berfirman: “Maka Aku tidak bersumpah.” Demikian ma‘nanya. Tetapi apabila kita memandang bahwa kata “” di sini adalah (zā’idah), ma‘nanya adalah: maka Aku bersumpah.

Allah bersumpah dengan bintang yang tersembunyi dari pandangan mata pada siang hari dan yang tampak di dalam falaknya masing-masing pada malam hari. Sebagian ‘ulamā’ berpendapat bahwa yang dimaksud dengan bintang-bintang di sini adalah bintang lima (menurut teks ‘Arab, ada tujuh, yaitu dihitung matahari dan bulan (الكواكب السيّارة السبعة: وهي الشمس، والقمر، وزحل، وعطارد، والمرّيخ، والزّهرة، والمشتري.) – SH.), yaitu: ‘Uthārid, Zahrah, Mirrikh, Mustarī, dan Zuḥal. Sebab, bintang-bintang itu beredar beserta matahari.

وَ اللَّيْلِ إِذَا عَسْعَسَ.

Wal laili idzā ‘as‘as.
“Demi malam ketika telah datang.” (at-Takwīr [81]: 17).

Allah bersumpah dengan malam, ketika malam telah menurunkan tabir gelapnya.

وَ الصُّبْحِ إِذَا تَنَفَّسَ.

Wash shubḥi idzā tanaffas.
“Demi shubuḥ apabila telah terang.” (at-Takwīr [81]: 18).

Allah bersumpah dengan waktu shubuḥ saat menyinarkan cahayanya yang menggembirakan semua manusia, yang membawa hidup baru pada hari baru. Dengan datangnya pagi, maka timbullah semangat baru untuk bekerja (berkarya) kembali.

إِنَّهُ لَقَوْلُ رَسُوْلٍ كَرِيْمٍ.

Innahū laqaulu rasūlin karīm.
“Sesungguhnya itu adalah ucapan utusan yang mulia.” (at-Takwīr [81]: 19).

Allah bersumpah dengan makhlūq-Nya itu untuk menandaskan bahwa apa yang diberitahukan oleh Muḥammad kepadamu, baik dari urusan kiamat ataupun hal-hal lainnya sama sekali bukanlah hasil renungan, tetapi semata-mata wahyu yang disampaikan oleh Jibrīl.

Jibrīl mempunyai tenaga hafalan yang sempurna dan terhindar dari sifat lupa.

ذِيْ قُوَّةٍ عِنْدَ ذِي الْعَرْشِ مَكِيْنٍ.

Dzī quwwatin ‘inda dzil ‘arsyi makīn.
“Yang mempunyai kekuatan, berkedudukan tinggi di sisi Tuhan yang mempunyai singgasana.” (at-Takwīr [81]: 20).

Jibrīl yang mempunyai kedudukan yang tinggi di sisi Allah, yang dapat memperoleh apa yang dimintanya.

مُطَاعٍ ثَمَّ أَمِيْنٍ.

Muthā‘in tsamma amīn.
“Yang dipatuhi dan dipercayai.” (at-Takwīr [81]: 21).

Jibrīl adalah pemimpin yang dipatuhi oleh para malaikat yang muqarrabīn (dekat dengan Allah).

Yang dipercayai dalam menyampaikan wahyu Allah dan risalah-risalahNya dan yang terpelihara (mustaḥīl) dari berkhianat.

وَ مَا صَاحِبُكُمْ بِمَجْنُوْنٍ.

Wa mā shāḥibukum bimajnūn.
“Dan kawannya itu sama sekali bukan orang gila.” (at-Takwīr [81]: 22).

Muḥammad bukanlah seorang yang gila, seperti yang dituduhkan oleh Quraisy ketika mereka mendengar Muḥammad menjelaskan masalah hari akhir yang belum mereka ketahui.

وَ لَقَدْ رَآهُ بِالْأُفُقِ الْمُبِيْنِ.

Wa laqad ra’āhu bil ufuqil mubīn.
“Demi Allah, sesungguhnya dia telah melihatnya di tepi langit yang terang sekali.” (66) (at-Takwīr [81]: 23).

Muḥammad telah melihat Jibrīl di ufuk tinggi yang menampakkan dirinya di dalam rupanya yang asli yang dapat dilihat oleh mata.

وَ مَا هُوَ عَلَى الْغَيْبِ بِضَنِيْنٍ.

Wa mā huwa ‘alal ghaibi bidhanīn.
“Dia sama sekali tidak kikir untuk menjelaskan sesuatu yang ghaib.” (at-Takwīr [81]: 24).

Muḥammad itu tidak berlaku kikir dalam menyampaikan wahyu Ilahi. Tegasnya, tidak ada wahyu yang tidak disampaikan oleh Muḥammad kepada umatnya. Ada yang mengatakan bahwa firman ini berma‘na: Muḥammad itu bukanlah orang yang dapat dituduh dusta dalam menyampaikan wahyu Ilahi. Dia seorang yang benar.

وَ مَا هُوَ بِقَوْلِ شَيْطَانٍ رَجِيْمٍ.

Wa mā huwa biqauli syaithānir rajīm.
“Itu bukanlah ucapan syaithan yang terkena rajam (lemparan).” (at-Takwīr [81]: 25).

Apa yang dituturkan Muḥammad juga bukan perkataan syaithan yang dimasukkan ke dalam hatinya adalah seorang yang benar dan kepercayaan. Maka, tentulah apa yang dia bicarakan mengenai urusan akhirat, surga, dan neraka bukanlah perkataan-perkataan syaithan.

فَأَيْنَ تَذْهَبُوْنَ.

Fa aina tadzhabūn.
“Maka ke mana kamu ingin pergi?”. (at-Takwīr [81]: 26).

Jalan mana yang akan kamu tempuh untuk berpaling dari hal ini, padahal semua jalan telah ditutup. Karena itu, kamu tidak dapat lari dari semua kebohongan-kebohonganmu itu.

إِنْ هُوَ إِلَّا ذِكْرٌ لِّلْعَالَمِيْنَ.

In huwa illā dzikrul lil ‘ālamīn.
“Itu tidak lain merupakan pelajaran bagi seluruh alam.” (at-Takwīr [81]: 27).

Qur’ān ini hanyalah peringatan dan pelajaran bagi segenap makhlūq.

لِمَنْ شَاءَ مِنْكُمْ أَنْ يَسْتَقِيْمَ.

Liman syā’a minkum ay yastaqīm.
“Bagi siapa saja di antara kamu yang ingin berjalan lurus.” (at-Takwīr [81]: 28).

Orang yang masuk Islam yaitu yang mau berjalan pada jalan yang lurus. Itulah orang yang dapat mengambil manfaat dari al-Qur’ān. Orang yang telah dikunci matahatinya, sedangkan di atas telinga dan matanya diletakkan penutup, tentulah tidak mampu melihat kebenaran.

وَ مَا تَشَاؤُوْنَ إِلَّا أَنْ يَشَاءَ اللهُ رَبُّ الْعَالَمِيْنَ

Wa mā tasyā’ūna illā ay yasyā’allahu rabbul ‘ālamīn.
“Dan kamu tidak menghendaki, melainkan jika Tuhan yang mempunyai alam menghendaki-Nya.” (77) (at-Takwīr [81]: 29).

Keinginanmu untuk memperoleh kebajikan dan tunduk kepada iradat Allah akan tumbuh setelah Allah menghendakinya. Karena hanya Allah-lah yang menempatkan kehendak kebajikan dalam diri seseorang, maka tertujulah himmah dan kemauan orang itu kepada kebajikan. Allah adalah Tuhan pemilik semesta alam. Segala apa yang kita inginkan tentulah tergantung pada kehendak Allah. Tegasnya, keinginan hamba berada dalam satu lingkungan kecil yang masuk ke dalam lingkungan daerah kehendak Allah yang besar.

Catatan:

  1. 1). Baca Aḥmad 11 No. 27, at-Tirmidzī 44: 81.
  2. 2). Kaitkan dengan awal QS. al-Ḥajj [22], QS. al-Infithār [82], dan QS. asy-Syūrā [91].
  3. 3). Kaitkan dengan QS. al-Wāqi‘ah [56].
  4. 4). Kaitkan dengan QS. an-Naḥl [16]: 58-59, QS. Muḥammad [47]: 36-37, QS. al-Aḥzāb [33]: 14-15.
  5. 5). Baca QS. an-Naḥl [16]: 59, QS. al-An‘ām [6].
  6. 6). Tentang Nabi melihat Jibrīl diterangkan dalam QS. an-Najm [53]: 13-15.
  7. 7). Kaitkan dengan QS. al-A‘rāf [7]: 41, QS. Āli ‘Imrān [3].

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *