بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang
Dalam kesia-siaan dan permainan, manusia berdiri rapi di balik harta, wibawa, citra dan nama, berusaha untuk menyanjung diri dalam lingkup keunggulan materi dan mengumpulkan harta dengan cara apa saja. Ketamakan ini terus saja menguasai perasaan mereka sepanjang hidup. Dua orang rakus yang tidak pernah puas; penuntut ‘ilmu dan pencari harta. Di berbagai kesempatan, al-Qur’ān-ul-Karīm mengingatkan agar tidak terpedaya oleh dunia, perhiasan dan godaannya, juga oleh godaan harta, anak dan istri, terlebih yang disebutkan dalam surah at-Takātsur, surah Makkiyyah tanpa perbedaan pendapat:
أَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ. حَتَّى زُرْتُمُ الْمَقَابِرَ. كَلَّا سَوْفَ تَعْلَمُوْنَ. ثُمَّ كَلَّا سَوْفَ تَعْلَمُوْنَ. كَلَّا لَوْ تَعْلَمُوْنَ عِلْمَ الْيَقِيْنِ. لَتَرَوُنَّ الْجَحِيْمَ. ثُمَّ لَتَرَوُنَّهَا عَيْنَ الْيَقِيْنِ. ثُمَّ لَتُسْأَلُنَّ يَوْمَئِذٍ عَنِ النَّعِيْمِ
“Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk ke dalam kubur. Sekali-kali tidak! Kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu), kemudian sekali-kali tidak! Kelak kamu akan mengetahui. Sekali-kali tidak! Sekiranya kamu mengetahui dengan yakin, niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka Jahīm, kemudian kamu benar-benar akan melihatnya dengan mata kepala sendiri, kemudian kamu benar-benar akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang megah di dunia itu).” (at-Takātsur [102]: 1-8).
Ibnu Abī Ḥātim meriwayatkan dari Ibnu Buraidah tentang firman Allah s.w.t.: “Bermegah-megahan telah melalaikan kamu” (at-Takātsur [102]: 1) ia berkata: “Ayat ini turun berkenaan dua kabilah Anshār; Bani Ḥāritsah dan Bani Ḥārits. Mereka saling membanggakan diri dan bermegah-megahan. Salah satu kabilah berkata pada yang lain: “Di antara kalian ada orang seperti fulan bin fulan?” yang lain menyahut dengan kata-kata senada. Mereka membangga-banggakan orang yang masih hidup. Mereka pun berkata: “Ayo kita pergi ke kuburan,” lalu salah satu di antara kedua kabilah berkata: “Di antara kalian ada orang seperti fulan bin fulan,” seraya menunjukkan kuburannya. Yang lain juga melakukan hal yang sama lalu Allah s.w.t. menurunkan: “Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk ke dalam kubur.” (at-Takātsur [102]: 1-2). Kalian memiliki pelajaran dan kesibukan pada sesuatu yang kalian lihat.
Ibnu Jarīr ath-Thabarī meriwayatkan dari ‘Alī r.a., ia berkata: “Kami meragukan adanya siksa kubur hingga turun: “Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk ke dalam kubur. Sekali-kali tidak! Kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu), kemudian sekali-kali tidak! Kelak kamu akan mengetahui.’ (at-Takātsur [102]: 1-4). Tentang siksa kubur”.
Kenikmatan, godaan, membanggakan harta, anak keturunan, pembela, memperbanyak dan mengumpulkan harta telah melalaikan kalian untuk taat pada Allah s.w.t. dan ber‘amal untuk akhirat hingga kematian menjemput sementara kalian berada dalam kondisi seperti itu. Berita ini menyiratkan celaan dan hinaan. Takatsur artinya membangga-banggakan harta, anak keturunan dan kwantitas secara garis besar. Inilah kegemaran, kebiasaan dan adat para pemuja dunia, baik bangsa ‘Arab ataupun yang lain, hanya mereka yang ber‘ilmu dan bertaqwa yang bisa melepaskan diri dari semua itu.
Bukhārī, Muslim, Aḥmad dan lainnya meriwayatkan, Nabi s.a.w. bersabda:
يَقُوْلُ ابْنُ آدَمُ: مَالِيْ مَالِيْ، وَ هَلْ لَكَ مِنْ مَالِكَ إِلَّا مَا أَكَلْتَ فَأَفْنَيْتَ، أَوْ لَبِسْتَ فَأَبْلَيْتَ، أَوْ تَصَدَّقْتَ فَأَمْضَيْتَ.
“Anak cucu Ādam berkata: “Hartaku, hartaku”. Kau tidak memiliki harta selain yang kau makan lalu kauu habiskan, yang kau kenakan lalu kau usangkan, atau yang kau sedekahkan lalu kau berlakukan”.”
Maka “Sampai kamu masuk ke dalam kubur”, (at-Takātsur [102]: 2) diperdebatkan. Sebagian ‘ulamā’ berpendapat sesuai dengan sebab turun ayat; hingga kalian menyebut-nyebut mereka yang sudah mati kala kalian membangga-banggakan leluhur dan para pendahulu, kalian memperbanyak tulang-belulang yang telah rusak. Yang lain berpendapat, ma‘nanya adalah hingga kalian mati dan memasuki kuburan bersama jasad-jasad kalian. Artinya, kalian habiskan usia dengan bermegah-megahan. Berdasarkan penafsiran ini, diriwayatkan bahwa seorang Badui mendengar ayat ini lalu berkata: “Kaum (orang-orang yang sudah mati) akan dibangkitkan pada hari kiamat demi Rabb Ka‘bah, karena orang yang berkunjung pasti akan pergi, tidak menetap.”
“Sekali-kali tidak! Kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu),” (at-Takātsur [102]: 3) artinya, berhentilah dari bermegah-megahan yang akan menyebabkan sikap saling memutus hubungan, saling membelakangi dan saling dengki, mengabaikan ‘amal untuk akhirat, menjaga maslahat dan kebaikan umat, membenahi perilaku dan akhlāq. Kelak kalian akan mengetahui akibatnya pada hari kiamat. Ini larangan dan ancaman.
Selanjutnya Allah s.w.t. menegaskan larangan dan ancaman itu agar dijadikan pelajaran. Artinya, berhentilah dari bermain-main dengan dunia, sebab andai kalian tahu tempat kembali yang akan kalian tuju secara meyakinkan pastilah kalian sibuk dan tidak sempat untuk bermegah-megahan dan membangga-banggakan diri, pasti kalian segera melakukan ‘amal shāliḥ, pasti sikap berbangga diri tidak melalaikan kalian untuk urusan akhirat dan mempersiapkan diri untuk itu. Ini larangan dan celaan lanjutan karena asyik-masyuk dalam dunia dan fenomena-fenomena kehidupan fana’.
Firman Allah s.w.t.: (كَلَّا لَوْ تَعْلَمُوْنَ) “Sekali-kali tidak! Sekiranya kamu mengetahui….,” (at-Takātsur [102]: 5) jawab (لَوْ) dibuang dan diperkirakan dalam rangkaian kalimat. Maksudnya, pasti kalian berhenti dan segera menyelamatkan diri dari kehancuran. Yakin adalah tingkat pengetahuan paling atas. Selanjutnya, Allah s.w.t. menjelaskan ancaman dan memberitahukan kepada manusia, kelak mereka akan mengetahui Jaḥīm. Allah s.w.t. berfirman: “Niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka Jaḥīm” (at-Takātsur [102]: 6) artinya, kelak kalian akan melihat neraka di akhirat, maksudnya merasakan siksanya. Inilah jawaban sumpah yang dibuang, yaitu ancaman berupa melihat neraka yang bila suara sambarannya terdengar sekali saja, setiap malaikat dan nabi pasti berlutut karena takut dan melihat hal besar yang menakutkan.
Allah s.w.t. menguatkan kembali ancaman tersebut melalui firman-Nya: “kemudian kamu benar-benar akan melihatnya dengan mata kepala sendiri” (at-Takātsur [102]: 7) artinya, kalian benar-benar akan melihatnya dengan mata telanjang, artinya sama seperti yakin, yaitu menyaksikan dan melihat dengan mata kepala kalian. Karena itu jangan sampai kalian melakukan apa pun yang menjurus ke neraka, seperti melakukan kemaksiatan dan keburukan-keburukan.
Selanjutnya Allah s.w.t. menegaskan pertanyaan atas ‘amal perbuatan yang mereka lakukan agar diwaspadai. Allah s.w.t. berfirman: “kemudian kamu benar-benar akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang megah di dunia itu).” (at-Takātsur [102]: 8). Artinya, kalian akan ditanya tentang nikmat-nikmat dunia yang melalaikan kalian untuk ber‘amal akhirat, kalian akan ditanya tentang berbagai nikmat dunia seperti nikmat rasa aman, sehat, waktu luang, makanan, minuman, tempat tinggal dan nikmat lainnya. Zamakhsyarī menjelaskan: “Tentang kenikmatan.” (at-Takātsur [102]: 8). Maksudnya tentang bermain-main dan menikmati berbagai kenikmatan yang menyibukkan kalian untuk menjalankan agama dan beban-beban taklifnya. Fakhr-ur-Rāzī menjelaskan, secara zhāhir yang ditanya tentang kenikmatan adalah orang-orang kafir. Pendapat lain menyebutkan, pertanyaan tentang nikmat berlaku secara umum bagi orang mu’min dan orang kafir. Dengan demikian, pertanyaan yang ditujukan untuk orang mu’min adalah agar ia tahu, ia menerima nikmat itu karena di dalamnya terdapat kebaikan lalu digunakan untuk sesuatu yang diridhai Allah s.w.t.