Setelah menasihati para istri dengan nasihat khusus, Allah meneruskannya dengan nasihat yang umum bagi seluruh kaum Muslimīn. “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka”; hai orang-orang yang percaya kepada Allah dan Nabi dan tunduk kepada Allah, jagalah diri kalian dan jagalah istri serta anak kalian dari api yang panas dan menyala-nyala, yaitu dengan menjauhi maksiat, melakukan perintah, mengajarkan ‘ilmu serta tata krama kepada mereka. Mujāhid berkata: “Ya‘ni bertaqwalah kalian kepada Allah dan pesanlah keluarga kalian untuk bertaqwa kepada-Nya.” Al-Khāzin berkata: “Ya‘ni perintahkanlah kebaikan kepada mereka, cegahlah mereka dari kejelekan dan ajarkanlah etika serta ‘ilmu kepada mereka. Dengan demikian, kalian menjaga mereka dari neraka. (6531) Yang dimaksudkan keluarga adalah istri, anak dan orang yang seperti mereka. “yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu”; ‘Ulamā’ tafsir berkata: “Yang dimaksudkan dengan batu adalah batu belerang, sebab belerang merupakan benda yang paling menyala dan lebih cepat hidup. Yang dimaksudkan dengan api dunia yang hidup karena kayu bakar dan sejenisnya. Ibnu Mas‘ūd berkata: “Bahan bakar yang dilemparkan ke dalam api itu adalah anak Ādam dan batu belerang yang lebih busuk daripada bangkai.” (6542) “penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras”; pada api itu terdapat malaikat Zabāniyah yang hatinya keras dan kasar, tidak mengasihi siapapun dan bertugas menyiksa orang kafir. Al-Qurthubī berkata: “Yang dimaksudkan malaikat adalah malaikat Zabāniyah. Mereka keras hatinya dan tidak kasihan jika diminta mengasihi, sebab mereka tercipta dari murka dan mereka suka menyiksa makhlūq, sebagaimana anak Ādam suka makan dan minum.” (6553). “yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka”; mereka tidak mendurhakai perintah Allah bagaimanapun juga. “dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan”; dan menunaikan perintah tanpa menundanya maupun kendor.
Kemudian dikatakan kepada orang kafir ketika masuk neraka: “Hai orang-orang kafir, janganlah kamu mengemukakan ‘udzur pada hari ini”; janganlah kalian mengemukakan alasan atas dosa dan kejahatan kalian, sebab alasan tidak ada manfaatnya pada hari ini. Kalian telah diberi peringatan sebelum ini. “Sesungguhnya kamu hanya diberi balasan menurut apa yang kamu kerjakan”; kalian hanya diberi balasan ‘amal perbuatan kalian yang buruk dan kalian tidak dianiaya sama sekali. Ini senada dengan ayat: “Pada hari ini tiap-tiap jiwa diberi balasan dengan apa yang diusahakannya. Tidak ada yang dirugikan pada hari ini. Sesungguhnya Allah amat cepat hisab-Nya.” (al-Mu’min: 17).
Kemudian Allah mendorong orang mu’min agar melakukan taubat nashūḥa. “Hai orang-orang yang beriman, bertobatlah kepada Allah dengan taubat yang semurni-murninya”; ya‘ni bertaubatlah kalian kepada Allah dari dosa-dosa kalian dengan taubat nashūḥa yang tulus. ‘Umar ditanya mengenai taubat nashūḥa dan dia menjawab: “Yaitu bertaubat, lalu tidak akan mengulangi dosa, sebagaimana air susu tidak akan kembali ke payudara ibu.” (6564). ‘Ulamā’ berkata: “Taubat nashūḥa adalah taubat yang memenuhi tiga syarat; menghentikan dosa; menyesali apa yang telah terjadi; dan keinginan yang kuat untuk tidak mengulangi. Jika berhubungan dengan hak orang lain, maka ditambahkan syarat keempat, yaitu mengembalikan hak orang lain. “mudah-mudahan Tuhan kamu akan menghapus kesalahan-kesalahanmu”; semoga Allah merahmati kalian, lalu menghapus dosa-dosa dari kalian. ‘Ulamā’ tafsir berkata: “Kata semoga dari Allah, berarti pasti. Ini dorongan dari Allah kepada hamba agar hamba berharap taubatnya diterima sebagai anugrah Allah, sebab orang mulia dan orang besar adalah jika dia berjanji, maka pasti menepati. Adat para raja adalah jika mereka ingin melakukan sesuatu dan berkata: “semoga” maka menunjukkan kepastian.” (6575). “dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai”; dan di akhirat kelak Allah akan memasukkan kalian ke dalam taman-taman yang indah dan sungai-sungai mengalir di bawah istana-istananya. “pada hari ketika Allah tidak menghinakan Nabi dan orang-orang yang beriman bersama dengan dia”; pada hari itu Allah tidak mempermalukan nabi dan pengikutnya yang beriman di hadapan orang kafir. Sebaliknya Allah memuliakan dan mengagungkan mereka. Abū Su‘ūd berkata: “Ayat ini mengandung isyārat, bahwa Allah akan menghinakan orang kafir dan orang fāsiq.” (6586) “sedang cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka”; cahaya orang-orang mu’min itu menyinari mereka di jembatan dan bersinar di hadapan, belakang, kanan dan kiri mereka, seperti terangnya bulan di malam pekat.” (6597). “sambil mereka mengatakn: “Ya Tuhan kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami”; mereka berdoa kepada Allah dengan mengatakan: “Ya Tuhan kami, sempurnakanlah cahaya ini atas kami dan kekalkanlah cahaya itu untuk kami dan jangan biarkan kami membabi-buta dalam kegelapan.” Ibnu ‘Abbās berkata: “Doa ini diucapkan kaum Muslimīn ketika Allah memadamkan cahaya orang munāfiq. (6608). Mereka berdoa karena takut hingga mereka sampai ke surga. “dan ampunilah kami”; hapus dosa-dosa dari kami. “sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.””; Engkaulah Yang Kuasa atas segala sesuatu, termasuk mengampuni dan menyiksa, merahmati dan meng‘adzāb.
Kemudian Allah memerintahkan untuk memerangi musuh-musuhNya, yaitu orang kafir dan orang munāfiq. “Hai Nabi, perangilah orang-orang kafir dan orang-orang munāfiq.”; perangilah orang kafir dengan pedang dan tombak dan perangilah orang munāfiq dengan ḥujjah dan argumen, sebab orang munāfiq menampakkan keimanan dan karena itu mereka muslim secara lahir. Itulah sebab Nabi tiddak diperintah untuk memerangi orang munāfiq. “dan bersikap keraslah terhadap mereka”; keraslah kepada mereka dalam berbicara, janganlah kamu perlakukan mereka dengan lunak untuk menakuti dan menghinakan mereka agar kekerasan mereka mencair. “Tempat mereka adalah neraka Jahannam”; tempat tinggal mereka di akhirat adalah Jahannam. “dan itu adalah seburuk-buruk tempat kembali”; bagi orang-orang yang berdosa, seburuk-buruk tempat kembali adalah Jahannam.
Kemudian Allah membuat gambaran kepada orang kafir bahwa hubungan darah atau perkawinan tidak ada gunanya bagi mereka, sebab seluruh hubungan terputus di hari kiamat, kecuali ‘amal shāliḥ. “Allah membuat istri Nūḥ dan istri Lūth perumpamaan bagi orang-orang kafir”; Allah membuat gambaran untuk orang kafir seperti istri Nūḥ dan istri Lūth. Ini menunjukkan tidak adanya manfaat hubungan darah dengan mu’min bagi mereka. “Keduanya berada di bawah pengawasan dua orang hamba yang shāliḥ di antara hamba-hamba Kami”; kedua wanita itu menjadi istri kedua orang nabi besar, yaitu Nūḥ dan Lūth. Allah menyifati kedua nabi ini dengan hamba untuk menghormati keduanya. “lalu kedua istri itu berkhianat kepada kedua suaminya, maka kedua suaminya itu tiada dapat membantu mereka sedikit pun dari (siksa) Allah”; masing-masing dari kedua istri itu mengkhianati suaminya dengan kekafiran dan tidak beriman. (6619) Meskipun suami mereka nabi, tidak mampu menolak sedikitpun siksa Allah dari keduanya. “dan dikatakan (kepada keduanya); Masuklah ke neraka bersama orang-orang yang masuk (neraka)”; para penjaga Jahannam berkata kepada keduanya pada hari kiamat: “Masuklah kalian ke neraka Jahannam bersama orang kafir yang masuk neraka. Al-Qurthubī berkata: “Allah membuat gambaran ini untuk mengingatkan, bahwa tidak seorangpun di akhirat berguna bagi kerabat maupun saudaranya jika keduanya tidak seagama sebagaimana Nūḥ dan Lūth. Tidak ada yang bisa menolak sedikitpun siksa dari kedua istrinya, padahal keduanya nabi, ketika kedua istri mereka durhaka. (66210).
“Dan Allah membuat istri Fir‘aun perumpamaan bagi orang-orang yang beriman”; ini gambaran lain untuk mu’min untuk menunjukkan, bahwa mu’min tidak menerima akibat dari kekafiran orang dekatnya, jika dia sendiri mu’min. Abū Su‘ūd berkata: “Ya‘ni Allah menjadikan keadaan istri Fir‘aun dan suaminya sebagai gambaran bagi kaum Muslimīn, bahwa kekafiran tidak merugikan mereka. Di dunia dia menjadi milik musuh Allah terbesar, yaitu Fir‘aun, sedangkan di surga dia berada di kamar surga tertinggi.” (66311) ‘Ulamā’ tafsir berkata: “Namanya Asiyah binti Muzahim, dia beriman kepada Mūsā. Ketika mendengar hal itu, Fir‘aun memerintahkan untuk membunuhnya, namun Allah menyelamatkannya dari kejahatan Fir‘aun. Asiyah tidak menerima akibat buruk dari hubungannya dengan Fir‘aun yang termasuk orang paling kafir. Sedangkan istri Nūḥ dan Lūth tidak memperoleh manfaat dari hubungannya dengan kedua suami mereka, padahal kedua rasūl Allah. “ketika ia berkata: “Ya Tuhanku, bangunlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam surga”; ketika berdoa, dia berkata: “Ya Tuhanku, dirikanlah sebuah gedung yang kuat untukku di dalam surga penuh keni‘matan.” Sebagian ‘ulamā’ mengatakan: “Betapa indah doa Asiyah ini, di mana dia memilih dekat dengan Allah sebelum masuk surga. Dia berkata: “bangunlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam surga”; Sebelum mengharap istana surga, Asiyah meminta dekat dengan Allah. Ayat di atas menunjukkan, bahwa Asiyah beriman kepada hari kebangkitan.” “dan selamatkanlah aku dari kaum yang zhālim”; selamatkanlah kami dari suku Qibtī, pengikut Fir‘aun yang kejam. Ḥasan berkata: “Ketika berdoa meminta keselamatan, Allah menyelamatkannya dengan keselamatan paling tinggi. Lalu Allah mengangkatnya ke surga, di mana dia makan, minum, dan hidup ni‘mat.” (66412).
“Dan Maryam putri ‘Imrān”; Maryam putri ‘Imrān adalah gambaran lain tentang keimanan. “yang memelihara kehormatannya”; dia menjaga kehormatannya dari melakukan dosa zina. Dia wanita suci yang terhormat dan mulia, tidak sebagaimana tudingan kaum Yahudi, bahwa Maryam melakukan zina dan bahwa ‘Īsā adalah anak zina. “maka Kami tiupkan ke dalam rahimnya sebagian dari rūḥ (ciptaan) Kami”; lalu utusan Kami Jibrīl meniup kerah (collar; a neck band; the top part of a shirt around the neck) baju Maryam, Lalu, tiupan itu sampai ke farji (kemaluan) Maryam. Maryam pun mengandung ‘Īsā. Ibnu Katsīr berkata: “Allah mengutus Jibrīl, lalu menjelama menjadi manusia kepada Maryam. Allah memerintah Jibrīl untuk meniup kerah baju zirah (baju besi atau baju rantai) Maryam dengan mulut. Lalu, tiupan itu turun dan masuk ke dalam farji Maryam. Tiupan itulah menyebabkan Maryam mengandung ‘Īsā.” (66513) “dan dia membenarkan kalimat-kalimat Tuhannya dan Kitāb-kitābNya”; Maryam beriman kepada syarī‘at Allah yang suci dan kitāb-kitāb langit. “dan adalah dia termasuk orang-orang yang taat”; Maryam termasuk orang yang taat dan menyembah Allah. Ini sanjungan kepada Maryam, bahwa dia banyak melakukan ‘ibādah, taat dan khusyū‘. Dalam hadits disebutkan: “Banyak dari lelaki yang sempurna. Namun tidak ada yang sempurna dari kalangan wanita kecuali Asiyah istri Fir‘aun, Maryam binti ‘Imrān dan Khadījah binti Khuwailid. Padahal kelebihan ‘Ā’isyah atas kaum perempuan lainnya sama dengan kelebihan tsarid atas makanan yang lain.” (66614).
Aspek Balāghah.
Dalam surat ini terdapat sejumlah keindahan bahasa sebagai berikut ini:
Pertama, thibāq (kesesuaian rangkaian ma‘na kalimat dari dua lafazh) dalam:
لِمَ تُحَرِّمُ مَا أَحَلَّ
dan antara (عَرَّفَ) dan (أَعْرَضَ) dan antara (ثَيِّبَاتٍ) dan (أَبْكَارًا). Semua itu termasuk keindahan bahasa yang menghiasi keindahan ayat-ayat Allah.
Kedua, iltifāt dari dhamīr ghā’ib (kata ganti orang ketiga) kepada dhamīr mukhāthab (kata ganti orang kedua):
إِنْ تَتُوْبَا إِلَى اللهِ
“Jika kalian berdua bertaubat kepada Allah”
Agar lebih mengritik dan mendidik.
Ketiga, shīghat mubalāghah:
الْعَلِيْمُ الْخَبِيْرُ. نَصُوْحًا. ظَهِيْرٌ. قَدِيْرٌ.
“Yang Maha Mengetahui, Maha meliputi segala sesuatu, Taubat yang semurni-murninya, Yang sangat menolong, Maha Kuasa”.
Keempat, menuturkan yang umum setelah yang khusus:
وَ جِبْرِيْلُ وَ صَالِحُ الْمُؤْمِنِيْنَ، وَ الْمَلَائِكَةُ
“Malaikat Jibrīl, orang-orang shāliḥ dari kalangan orang mu’min dan Malaikat.”
Jibrīl secara khusus disebutkan untuk memuliakannya, kemudian disebut malaikat secara umum. Hal itu untuk memperhatikan Nabi s.a.w. Mu’min yang disebutkan di tengah-tengah antara para malaikat.
Kelima, majaz mursal:
قُوْا أَنْفُسَكُمْ وَ أَهْلِيْكُمْ نَارًا
“Jagalah dari kalian dan keluarga kalian dari api neraka.”
Ya‘ni tetapkanlah kalian taat kepada Allah agar kalian melindungi diri dan keluarga kalian dari siksa Allah.
Keenam, perbandingan antara tempat kembali mu’min dan tempat kembali orang durhaka:
ضَرَبَ اللهُ مَثَلًا لِلَّذِيْنَ كَفَرُوا
“Allah membuat istri Nūḥ dan istri Lūth sebagai perumpamaan bagi orang-orang kafir.”
Dan
وَ ضَرَبَ اللهُ مَثَلًا لِلَّذِيْنَ آمَنُوا
“dan Allah membuat istri Fir‘aun perumpamaan bagi orang-orang yang beriman.”
Ketujuh, taghlīb (menggalibkan kaum laki-laki atas perempuan):
وَ كَانَتْ مِنَ الْقَانِتِيْنَ.
“Dan dia termasuk orang-orang yang taat.”
Lafazh ayat ini, dia dengan redaksi bentuk perempuan “kānat” (mu’annats) sementara “qānithīn” (mudzakkar).
Yang lelaki mengalahkan yang perempuan.
Kedelapan, sajak yang tersusun rapi bagaikan mutiara dan marjan. Ini banyak dijumpai dalam al-Qur’ān. Renungkanlah dengan seksama.
Berkat pertolongan Allah, tafsir surat at-Taḥrīm selesai.
Catatan:
- 653). Tafsīr-ul-Khāzin, 4/121.
- 654). Mukhtasharu Ibni Katsīr, 3/523.
- 655). Tafsīr-ul-Qurthubī, 18/196.
- 656). Tafsīr-ul-Khāzin, 4/122.
- 657). Lihat Rūḥ-ul-Ma‘ānī, al-Alūsī 28/160.
- 658). Tafsīru Abī Su‘ūd, 5/175.
- 659). Dalam hadits Nabi ditanya: “Bagaimana anda mengenal umat anda di hari kiamat di antara umat-umat?” Nabi menjawab: “Sesungguhnya mereka datang bersinar tangan dan kakinya karena bekas wudhū’.” Dengan hal tersebut Nabi mengenal mereka.
- 660). Tafsīr-ul-Qurthubī, 18/201.
- 661). Pengkhianatan di sini adalah khianat dalam hal agama, bukan khianat dalam harga diri. Sungguh salah sebagian ‘ulamā’ tafsir karena mengatakan, bahwa kedua istri nabi itu melakukan perbuatan zina. Hal ini tidak mungkin, sebab Allah memuliakan para Nabi dari perzinahan istrinya. Istri para nabi adalah wanita mulia dan terjaga karena kemuliaan nabi. Ibnu ‘Abbās berkata: “Tidak ada istri nabi yang berbuat zina.” Pengkhianatan kedua istri Nūḥ dan Lūth adalah keduanya tidak memeluk agama suami mereka, malah kafir. Renungkanlah, sebab hal ini pelik.
- 662). Tafsīr-ul-Qurthubī, 18/201.
- 663). Tafsīru Abī Su‘ūd, 5/176.
- 664). Al-Baḥr-ul-Muḥīth, 8/295.
- 665). Mukhtasharu Ibni Katsīr, 3/525.
- 666). Diriwayatkan Bukhārī Muslim.