Surah at-Tahrim 66 ~ Tafsir ash-Shabuni (2/3)

Dari Buku: SHAFWATUT TAFASIR
(Tafsir-tafsir Pilihan)
Jilid 5 (al-Fath – an-Nas)
Oleh: Syaikh Muhammad ‘Ali ash-Shabuni
Penerjemah: KH.Yasin
Penerbit: PUSTAKA AL-KAUTSAR.

Rangkaian Pos: Surah at-Tahrim 66 ~ Tafsir ash-Shabuni

Tafsir Ayat:

Hai Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah menghalalkannya bagimu”; kata Nabi dalam ayat ini mengandung penghormatan bagi beliau dan mengisyaratkan kedudukan tinggi beliau. Karena itu, Allah tidak memanggil beliau dengan nama, sebagaimana Allah berfirman kepada nabi yang lain dengan firman: “Hai Ibrāhīm, hai Nūḥ, hai ‘Īsā bin Maryam.” Allah hanya memanggil beliau dengan gelar nabi atau rasūl. Hal itu merupakan dalil paling besar bahwa beliau adalah nabi paling mulia. Ma‘na ayat ini, hai orang yang diberi wahyu dari langit dengan perantara Jibrīl, kenapa kamu menghalangi dirimu dari apa yang dihalalkan Allah bagimu, yaitu kaum wanita? ‘Ulamā’ tafsir berkata: “Nabi s.a.w. berduaan dengan umm-ul-walad beliau Mariyah di kamar Ḥafshah. Ḥafshah tahu hal itu, lalu beliau bersabda kepadanya: “Rahasiakan atasku dan aku sungguh telah mengharamkan Mariyah atas diriku.” Maka turunlah ayat: “Hai Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah menghalalkannya bagimu” (6411) Pada permulaan kritikan terdapat kelembutan yang jelas, di mana Allah mengritik Nabi karena beliau menyempitkan dirinya sendiri demi kesenangan sebagian istrinya. Seolah Allah berfirman: “Janganlah kamu letihkan dirimu demi istri-istrimu, sedangkan istri-istrimu berusaha agar kamu ridhāi. Istirahatkanlah dirimu dari letih ini.” “kamu mencari kesenangan hati istri-istrimu?”; kamu mencari kepuasan hati istri-istrimu dalam mengharamkan apa yang dihalalkan Allah bagimu? Dalam at-Tasḥīl disebutkan, ya‘ni pengharaman Nabi terhadap hamba sahaya wanita demi memuaskan hati Ḥafshah. Hal ini menunjukkan, bahwa sasaran turunnya ayat ini adalah mengharamkan hamba sahaya perempuan. Adapun pengharaman madu, Nabi tidak bermaksud memuaskan hati para istri, namun beliau tidak meminunnya karena baunya. (6422) “Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”; Allah luas ampunan-Nya dan besar rahmat-Nya, di mana Dia memberimu kemurahan dalam menolak Mariyah. Allah mengritikmu hanya karena Dia rahmat padamu. Hal ini menunjukkan, bahwa kritikan terhadap beliau hanyalah kemuliaan bagi beliau. Sebab, beliau menyempitkan diri sendiri dan beliau menolak sesuatu yang menghibur diri sendiri. Yang paling buruk adalah apa yang dikatakan az-Zamakhsyarī dalam hal ini, bahwa pengharaman itu adalah kesalahan Nabi s.a.w., sebab beliau mengharamkan apa yang dihalalkan oleh Allah dst. Ucapan az-Zamakhsyarī ini adalah upacan yang kurang ajar kepada Nabi s.a.w. dan menunjukkan ketidak-tahuan terhadap sifat Nabi yang ma‘shūm. Nabi s.a.w. tidak mengharamkan halal sebagaimana dikatakan az-Zamakhsyarī sehingga dianggap maksiat dan kekhilāfan. Beliau hanya menolak sebagian hamba sahaya perempuan demi menyenangkan hati sebagian istri beliau. Maka Allah mengritik beliau karena rahmat dan mengagungkan kedudukan beliau. (6433).

Sesungguhnya Allah telah mewajibkan kepada kamu sekalian membebaskan diri dari sumpahanmu”; Allah memperundang-undangkan bagi kalian hai kaum Muslimīn sesuatu yang kalian gunakan untuk menguraikan sumpah kalian, yaitu kaffarat. “dan Allah adalah Pelindungmu”; Allah pelindung kalian dan penolong kalian. “dan Dia Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”; Dia Maha Tahu makhlūq-Nya dan Maha Bijaksana dalam berbuat. Karena itu, Allah tidak memerintah maupun mencegah, kecuali sesuatu yang sesuai dengan hikmah dan kemaslahatan.

Kemudian Allah menjelaskan kisah yang terjadi antara Nabi s.a.w. dengan sebagian istri beliau. “Dan ingatlah ketika Nabi membicarakan secara rahasia kepada salah seorang dari istri-istrinya (Ḥafshah) suatu peristiwa”; ingatlah ketika Nabi s.a.w. membisikkan sebuah hal kepada Ḥafshah istrinya dan memintanya untuk merahasiakannya. Ibnu ‘Abbās berkata: “Apa yang dibisikkan oleh Nabi s.a.w. kepada Ḥafshah adalah mengharamkan sahaya perempuan bagi beliau. Sebagaimana Nabi s.a.w. memberitahu Ḥafshah, bahwa tumpuk kepemimpinan setelah beliau ada di tangan Abū Bakar dan ‘Umar.” (6444) Nabi meminta Ḥafshah agar tidak memberitahukan hal itu kepada siapapun. “Maka tatkala (Ḥafshah) menceritakan peristiwa itu”; ketika Ḥafshah membocorkan rahasia itu kepada ‘Ā’isyah, “dan Allah memberitahukan hal itu (semua pembicaraan antara Ḥafshah dengan ‘Ā’isyah) kepada Muḥammad”; Allah memberitahu Nabi s.a.w. bahwa Ḥafshah membocorkan rahasia itu lewat Jibrīl a.s. “lalu Muḥammad memberitahukan sebagian (yang diberitahukan Allah kepadanya) dan menyembunyikan sebagian yang lain (kepada Ḥafshah)”; Nabi s.a.w. memberitahu Ḥafshah sebagian hal yang dibocorkannya untuk mengritiknya. Nabi s.a.w. tidak memberitahunya segala hal yang dilakukan Ḥafshah karena ke‘arifan beliau. Sebab, termasuk adat kebiasaan orang-orang besar adalah melupakan kesalahan orang lain dan tidak mengritik secara total. Al-Ḥasan berkata: “Orang mulia tidak menyebutkan kesalahan orang lain secara detail.” Sufyān berkata: “Melupakan kesalahan termasuk sifat orang-orang besar.” (6455). Al-Khāzin berkata: “Maksudnya Nabi s.a.w. memberitahu Ḥafshah sebagian hal yang dikatakannya kepada ‘Ā’isyah, yaitu mengharamkan Mariyah bagi Nabi. Nabi s.a.w. tidak menyebutkan masalah khilāfah. Sebab beliau tidak suka jika hal itu tersebar pada khalayak.” (6466) “Maka tatkala (Muḥammad) memberitahukan pembicaraan (antara Ḥafshah dan ‘Ā’isyah)”; ketika Nabi s.a.w. memberitahu Ḥafshah bahwa dia sudah membocorkan rahasia beliau, “lalu Ḥafshah bertanya: “Siapakah yang telah memberitahukan hal ini kepadamu?””; Ḥafshah bertanya: Siapakah yang memberitahu baginda hai Rasūlullāh bahwa kami telah membocorkan rahasiamu? Abū Ḥayyān berkata: “Ḥafshah mengira bahwa ‘Ā’isyah telah mempermalukannya, padahal Ḥafshah telah meminta untuk merahasiakan hal itu. Maka Ḥafshah bertanya demikian karena hati-hati. Nabi memberitahu Ḥafshah, bahwa Allah-lah yang memberitahu beliau. Lalu, Ḥafshah diam dan pasrah.” (6477) “Nabi menjawab: “Telah diberitahukan kepadaku oleh Allah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.””; Nabi s.a.w. bersabda: “Hal itu diberitahukan kepadaku oleh Tuhan Yang Maha Tahu rahasia para hamba dan yang tidak ada hal yang samar bagi-Nya.

Jika kamu berdua bertobat kepada Allah”; ayat ini ditujukan kepada Hafshah dan ‘A’isyah. Allah berfirman kepada keduanya dengan cara iltifat agar kritikan lebih mengena kepada keduanya dan untuk mendorong keduanya agar bertaubat dari menyakiti junjungan para nabi. Jawab dari kalimat syarat di sini dibuang, ya‘ni jika kalian berdua bertaubat, maka hal itu lebih baik bagi kalian berdua daripada menyakiti Nabi s.a.w. “maka sesungguhnya hati kamu berdua telah condong (untuk menerima kebaikan)”; sebab hati kalian telah menyeleweng dari kewajiban kalian, yaitu sikap tulus kepada Nabi s.a.w. dengan menyukai apa yang disukai beliau dan membenci apa yang dibenci beliau. (6488) “dan jika kamu berdua bantu-membantu menyusahkan Nabi”; jika kalian berdua bahu-membahu untuk melakukan hal yang menyusahkan Nabi s.a.w., yaitu menggunjing beliau dan para istri, “maka sesungguhnya Allah adalah Pelindungnya”; Allah adalah penolong Nabi s.a.w., maka persekongkolan kalian tidak berarti apa-apa baginya. “dan (begitu pula) Jibrīl dan orang-orang mu’min yang baik”; Jibrīl dan kaum Muslimīn yang shāliḥ juga membatu Nabi s.a.w. Ibnu ‘Abbās berkata: “Yang dimaksudkan mu’min shāliḥ adalah Abū Bakar dan ‘Umar, sebab keduanya adalah pembantu beliau.” Dalam at-Tasḥīl disebutkan, ma‘na ayat adalah jika kalian berdua bersekongkol untuk cemburu yang kelewatan kepada Nabi s.a.w., membocorkan rahasia beliau dan hal lainnya, maka dia mempunyai penolong. Dalam hadits shaḥīḥ disebutkan, bahwa ketika hal tersebut terjadi, maka ‘Umar berkata kepada Nabi s.a.w.: “Ya Rasūlullāh, apa yang menyusahkan anda dari para istri anda? Jika anda menceraikan mereka, maka Allah, para malaikat, Jibrīl, Abū Bakar dan ‘Umar bersamamu.” Maka turunlah ayat ini sesuai perkataan ‘Umar. (6499) “dan selain dari itu malaikat-malaikat adalah penolongnya pula”; para malaikat yang suci setelah Allah, Jibrīl dan mu’min shāliḥ adalah pembantu Nabi s.a.w. atas orang yang memusuhi beliau. Apa pengaruh persekongkolan dua wanita atas seseorang yang penolongnya adalah orang-orang tersebut? Jibrīl secara khusus disebutkan untuk menghormatinya dan menampakkan kedudukannya di sisi Allah. Jibrīl disebutkan dua kali, pertama secara khusus dan kedua secara umum. Mu’min yang shāliḥ disebutkan di tengah-tengah antara Jibrīl dan para malaikat untuk memuliakannya dan untuk menampakkan kelebihan sifat shāliḥ. Ayat ini ditutup dengan menuturkan para malaikat, makhlūq paling besar dan menjadikannya sebagai penolong Nabi, adalah agar lebih mengagungkan beliau dan lebih menolongnya. Sebab malaikat bagaikan bala tentara yang siap perang untuk membantu beliau. Siapa yang mampu melawan Nabi setelah hal tersebut?

Kemudian Allah memperingatkan para istri Nabi. “Jika Nabi menceraikan kamu, boleh jadi Tuhannya”; ‘ulamā’ tafsir berkata: “Kata (عَسَى) jika yang berfirman Allah berarti pasti. Ya‘ni pasti Allah jika Rasul menceraikan kalian. “akan memberi ganti kepadanya dengan istri-istri yang lebih baik daripada kamu”; bahwa Allah akan memberi Nabi beberapa istri yang shalih, lebih baik dan lebih unggul daripada kalian. Al-Qurthubī berkata: “Ini janji dari Allah terhadap Nabi jika beliau menceraikan mereka di dunia, bahwa Allah akan menikahkan beliau dengan beberapa wanita yang lebih baik daripada mereka. Allah tahu bahwa beliau tidak akan menceraikan mereka, namun Allah berfirman demikian untuk menunjukkan kekuasaan-Nya untuk menakut-nakuti mereka.” (65010).

Kemudian Allah menyifati para istri pengganti istri-istri. “yang patuh”; rendah diri dan tunduk kepada perintah Allah dan perintah Nabi. “yang beriman”; percaya kepada Allah dan Nabi, “yang taat”; menaati apa yang diperintahkan kepada mereka dan selalu taat. “yang bertobat”; dari dosa-dosa dan tidak melakukan maksiat terus-menerus. “yang mengerjakan ‘ibādah”; kepada Allah dan banyak melakukan ‘ibādah, seakan-akan ‘ibādah telah mendarah-daging pada hati mereka, sampai menjadi watak. “yang berpuasa;” “yang berhijrah”; berhijrah kepada Allah dan Nabi.” (65111) “yang janda dan yang perawan”; di antara mereka ada yang janda dan ada yang masih gadis. Ibnu Katsīr berkata: “Allah membagi mereka menjadi dua bagian agar lebih menarik hati, sebab adanya banyak macam yang menyenangkan jiwa.” (65212) Firman ini ada wāwu ‘athaf-nya adalah untuk membagi. Seandainya tidak ada wāwu, maka tidak tepat, sebab sifat janda dan gadis tidak akan menyatu pada satu orang. Renungkanlah rahasia keagungan al-Qur’ān.

Catatan:

  1. 641). Lihat asbāb-un-nuzūl di muka, di mana kisah ini dirinci.
  2. 642). At-Tasḥīl, 4/130.
  3. 643). Penyusun al-Intishāfu ‘Alal-Kasyaf, menyerang az-Zamakhsyarī. Dia benar dalam hal ini.
  4. 644). Ar-Rāzī berkata: “Ketika Nabi s.a.w. melihat kecemburuan di wajah Ḥafshah, maka beliau ingin menyenangkan hatinya, sehingga beliau membisikkan dua hal kepadanya: mengharamkan sahaya itu bagi beliau dan berita gembira bahwa kepemimpinan setelah beliau ada di tangan Abū Bakar dan ‘Umar. At-Tafsīr-ul-Kabīr, 30/43).
  5. 645). Rūḥ-ul-Ma‘ānī, 29/150.
  6. 646). Tafsīr-ul-Khāzin, 4/117.
  7. 647). Al-Baḥr-ul-Muḥīth, 8/290.
  8. 648). Tafsīru Abī Su‘ūd, 5/174.
  9. 649). At-Tasḥīl, 4/131
  10. 650). Tafsīr-ul-Qurthubī, 18/193.b.
  11. 651). Ibnu ‘Abbās berkata: “Tafsir firman ini adalah berpuasa.” Zaid bin Aslam berkata: “Tafsirnya adalah yang berhijrah. Barangkali pendapat kedua ini lebih rājiḥ. Sebab pendapat ini sesuai dengan ma‘na bahasa, yaitu bepergian untun mengambil pelajaran. Ibnu Katsīr me-rājiḥ-kan pendapat pertama. Wallāhu a‘lam.
  12. 652). Ibnu Katsīr, 3/522.