أَلَمْ نَشْرَحْ
ALAM NASYRAḤ
Surah Ke-94: 8 ayat
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ
Dengan nama Allah, Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
أَلَمْ نَشْرَحْ لَكَ صَدْرَكَ. وَ وَضَعْنَا عَنْكَ وِزْرَكَ. الَّذِيْ أَنْقَضَ ظَهْرَكَ. وَ رَفَعْنَا لَكَ ذِكْرَكَ. فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا. إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا. فَإِذَا فَرَغْتَ فَانْصَبْ. وَ إِلَى رَبِّكَ فَارْغَبْ
094:1. Bukankah Kami telah melapangkan untukmu dadamu?
094:2. Dan Kami telah menghilangkan dari padamu bebanmu,
094:3. yang memberatkan punggungmu?
094:4. Dan Kami tinggikan bagimu sebutan (nama)mu.
094:5. Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan,
094:6. sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.
094:7. Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain,
094:8. dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap.
Alam nasyraḥ laka shadrak (Bukankah kami telah melapangkan untukmu dadamu? – ayat 1). Kalimat ini merupakan kalimat pertanyaan (istifhām) inkārī, pertanyaan yang dimaksudkan untuk membantah anggapan bahwa Allah tak melapangkan dada. Formulasi seperti ini dimaksudkan untuk lebih menegaskan. Lebih jelasnya: Kami telah melapangkan untukmu dadamu. Itu terjadi karena sesungguhnya seorang muwaḥḥid sejati (kamu) di maqām fanā’, terhijab oleh al-Ḥaqq dari makhluk karena ke-fanā’-annya, dan seorang yang fanā’ merasa sempit dari segala sesuatu, karena yang namanya orang fanā’ atau tidak ada tak bisa menerima bentuk wujud apapun, seperti halnya waktu sebelum fanā’, ia dalam keadaan terhijab oleh makhluk dari al-Ḥaqq karena sempitnya wadah wujudnya dan tidak mungkinnya menerima wujud tajallī dzāti.
Maka, ketika kamu (bisa) kembali ke makhluk berkat wujud-ḥaqqānī yang dianugerahkan kepadamu, dan kembali ke tengah-tengah masyarakat – yang tak lain adalah manifestasi ragam sifat dan nama-Nya (tafshīl), maka dada kamu menjadi lapang sehingga bisa mencakup al-Ḥaqq dan makhluk sekaligus, karena dia sekarang menjadi wujud hakiki. Itulah yang dimaksudkan dengan pelapangan dada. Lebih jelasnya: kami telah melapangkannya dengan cahaya kami agar ia berdakwah dan memenuhi misi kenabian dan beban (tugas kenabian) yang membebani punggungnya dengan suara yang memecahkan (amat memekakkan). Yang dimaksud suara yang memecahkan adalah beban kenabian berikut segala risiko pemenuhannya yang hampir-hampir memecahkan punggungnya. Sebab sewaktu tugas kenabian itu turun, ia sedang berada di maqam penglihatan (syuhūd) di mana ia tak bisa melihat wujud makhluk apa pun, terlebih lagi melihat perbuatan mereka, dan ia pun tak bisa membeda-bedakan antara satu perbuatan dengan perbuatan lainnya, karena ia hanya menyaksikan perbuatan-perbuatanNya saja. Maka, bagaimana mungkin ia bisa menetapkan kebaikan dan keburukan serta melakukan amar ma‘rūf nahyi munkar, sementara ia tak melihat kecuali al-Ḥaqq semata?
Dengan kata lain, ketika beliau dikembalikan ke maqām kenabian (nubuwwah) dari maqām wilāyah (kewalian), terhijab oleh hijab hati, maka maqām nubuwwah itu sungguh terasa berat dan hampir-hampir saja ia memecahkan punggungnya, karena waktu itu beliau masih terhijab oleh menyaksikan “Dzat”-Nya (syuhūd dzāti). Kemudian Allah menganugerahkan keteguhan di maqām baqā’, sehingga ia tidak lagi terhijab oleh kemajemukan makhluk dari Kemanunggalan-Nya dan ia menyaksikan Kemanunggalan itu di tengah-tengah masyarakat, dan ia selalu menyaksikan-Nya meskipun sedang melakukan dakwah. Itulah yang dimaksud dengan pelapangan dada, yang pada hakikatnya adalah penghapusan beban itu dan pengangkatan nama Nabi. Sebab, orang yang fanā’ di dalam Kemanunggalan (Nabi), jangankan bisa disebut-sebut nama harumnya, ia pun tak berwujud apa-apa. Karena itu, andai saja beliau hanyut (baqā’) di alam Kemanunggalan saja – dan tidak turun ke alam kemajemukan – ; maka tentulah ucapan: “Muhammad adalah utusan Allah” (dalam dua kalimah syahādah) itu tidak sah, dan Islam pun tidak sempurna karena ia hanya sah, dan Islam pun tidak sempurna karena ia hanya sah dengan tegaknya dua kalimah syahādah.
Fainna ma‘al-‘usri yusrā (Karena sesungguhnya setelah kesulitan itu ada kemudahan – ayat 5). Maksudnya, karena sesungguhnya setelah engkau terhijab oleh makhluk dari al-Ḥaqq (hijab pertama), engkau akan mendapatkan kemudahan, yakni tersibakkannya dzāt dan maqām wilayah.
Inna ma‘al-‘usri yusrā (Sesungguhnya setelah kesulitan itu ada kemudahan – ayat 6). Jelasnya, setelah engkau terhijab oleh al-Ḥaqq dari makhluk (hijab kedua), engkau akan mendapatkan kemudahan berupa pelapangan dada dengan wujud al-ḥaqqānī yang dianugerahkan dan maqām kenabian.
Faidzā faraghta fanshab (Maka apabila kamu telah selesai [dari suatu urusan], kerjakanlah dengan sungguh-sungguh [urusan] yang lain – ayat 7). Jelasnya, apabila kamu telah selesai dari perjalanan dengan, di dalam dan dari Allah, maka teruskanlah untuk menempuh jalan istiqāmah, menuju kepada Allah, dan berupaya keraslah untuk berdakwah kepada makhluk.
Wa ilā rabbika farghab (dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya engkau berharap – ayat 8). Jelasnya, dalam melakukan dakwah kepada-Nya, hendaknya engkau berharap hanya kepada-Nya. Janganlah engkau berhadap kecuali kepada dzāt-Nya, bukan karena pahala atau tujuan lainnya. Ini semua supaya dakwahmu benar-benar bersama-Nya dan kepada-Nya. Jika tidak demikian, tentu engkau belum istiqāmah menuju kepada-Nya bersama-Nya. Sebaliknya, engkau akan menyimpang dari-Nya dan bergerak karena nafsumu. Wallāhu a‘lam.