Surah asy-Syarh 94 ~ Tafsir ash-Shabuni

Dari Buku: SHAFWATUT TAFASIR
(Tafsir-tafsir Pilihan)
Jilid 5 (al-Fath – an-Nas)
Oleh: Syaikh Muhammad ‘Ali ash-Shabuni
Penerjemah: KH.Yasin
Penerbit: PUSTAKA AL-KAUTSAR.

094

SŪRAT-USY-SYARḤ.

Pokok-pokok Kandungan Surat.

Sūrat-ul-Insyiraḥ atau Asy-Syarḥ atau Alam Nasyraḥ adalah surat Makkiyyah. Ia membicarakan kedudukan tinggi dan pangkat mulia Rasulullah di sisi Allah. Surat ini berbicara mengenai nikmat Allah yang banyak kepada hamba dan rasul-Nya, Muḥammad s.a.w. Allah melapangkan dadanya dengan keimanan, menyinari hatinya dengan hikmah dan makrifat, mensucikan hatinya dari dosa dan kesalahan. Semua itu bertujuan menghibur Nabi s.a.w. atas penderitaan yang beliau alami karena gangguan orang kafir yang durhaka dan menentramkan hati beliau dengan cahaya yang diberikan Allah kepadanya: “Bukankah Kami telah melapangkan untukmu dadamu? Dan Kami telah menghilangkan dari padamu bebanmu, yang memberatkan punggungmu?

Kemudian surat ini secara lantang meneriakkan kedudukan Nabi s.a.w. dan pangkatnya di dunia dan akhirat serta menyertakan nama beliau dengan nama Allah: “Dan Kami tinggikan bagimu sebutan (nama)-mu.”

Sūrat-Insyiraḥ juga membahas dakwah Nabi s.a.w. ketika beliau di Makkah. Pada saat itu beliau bersama kaum muslimin mengalami penderitaan dari orang kafir yang mendustakan. Surat ini menentramkan beliau bahwa kemenangan akan segera tiba. “Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.”

Surat ini ditutup dengan mengingatkan Nabi s.a.w. terhadap kewajiban mencurahkan seluruh waktu untuk beribadah kepada Allah setelah beliau selesai tabligh (menyampaikan risalah). Ini dalam rangka bersyukur kepada Allah atas nikmat-nikmat agung yang Dia berikan kepada beliau. “Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain, dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap.

 

TAFSĪR SŪRAT-USY-SYARḤ

Sūrat-usy-Syarḥ: Ayat: 1-8.

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ.

أَلَمْ نَشْرَحْ لَكَ صَدْرَكَ. وَ وَضَعْنَا عَنْكَ وِزْرَكَ. الَّذِيْ أَنْقَضَ ظَهْرَكَ. وَ رَفَعْنَا لَكَ ذِكْرَكَ. فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا. إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا. فَإِذَا فَرَغْتَ فَانْصَبْ. وَ إِلَى رَبِّكَ فَارْغَبْ

094:1. Bukankah Kami telah melapangkan untukmu dadamu?
094:2. Dan Kami telah menghilangkan dari padamu bebanmu,
094:3. yang memberatkan punggungmu?
094:4. Dan Kami tinggikan bagimu sebutan (nama)mu.
094:5. Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan,
094:6. sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.
094:7. Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain,
094:8. dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap.

Tafsir Ayat:

Bukankah Kami telah melapangkan untukmu dadamu?”; istifhām (pertanyaan ini) untuk memantapkan. Maknanya, Kami sungguh sudah melapangkan dadamu hai Muḥammad dengan hidayah dan keimanan serta cahaya al-Qur’an. Ayat ini semakna dengan ayat: “Barang siapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam.” (al-An‘ām: 125).

Ibnu Katsīr berkata: “Yakni Kami terangi dadamu (hatimu) dan Kami menjadikannya lapang. Sebagaimana Allah melapangkan dada Nabi s.a.w., demikian juga Allah menjadikan syariat beliau lapang, mudah dan ringan serta tidak ada kesempitan padanya.” (10641) Abū Ḥayyān berkata: “Melapangkan dada adalah menyinarinya dengan hikmah dan melapangkannya sehingga menerima wahyu dari Allah. Ini pendapat jumhur ulama. Pendapat lain menyatakan, melapangkan dada adalah membedah dada beliau yang dilakukan Jibril saat beliau masih kecil. Pendapat ini diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbās r.a.” (10652) “Dan Kami telah menghilangkan dari padamu bebanmu”; Kami hapus beban yang berat dari dirimu. “yang memberatkan punggungmu”; yang membuat berat dan melemahkan punggungmu. Ulama tafsir berkata: “Yang dimaksudkan beban di sini adalah hal-hal yang dilakukan oleh Nabi s.a.w. Sedangkan maksud menghilangkannya dari beliau adalah mengampuninya. Ini semakna dengan ayat: “Supaya Allah memberi ampunan kepadamu terhadap dosamu yang telah lalu dan yang akan datang.” (al-Fatḥ: 2) Yang dimaksudkan dosa bukanlah maksiat dan durhaka, sebab para rasul ma‘shūm dari dosa maksiat. Namun yang dimaksudkan adalah apa yang dilakukan Nabi s.a.w. dengan ijtihad dan beliau dikritik karenanya. Misalnya; beliau mengijinkan orang munafik tidak ikut jihad ketika mereka mengemukakan alasan, menerima tebusan dari para tawanan perang Badar, bermasam muka di hadapan ‘Abdullāh bin Ummī sahabat yang buta itu dan sejenisnya. Dalam at-Tasḥīl disebutkan: “Dosa-dosa para nabi disebut beban, padahal hal itu, dirasakan berat oleh mereka karena mereka sangat takut kepada Allah, sebagaimana disebutkan dalam sebuah atsar: “Sesungguhnya mu’min memandang dosa-dosanya bagaikan gunung yang menjatuhinya. Dan munafik memandang dosa-dosanya bagaikan lalat yang terbang di atas hidungnya.” (10663).

Dan Kami tinggikan bagimu sebutan (nama)mu”’; Kami tinggikan sifatmu dan Kami luhurkan kedudukannya di dunia dan akhirat serta Kami jadikan namamu disertakan dengan nama-Ku. Mujāhid berkata: “Maksudnya, Aku (Allah) tidak disebut, kecuali kamu disebut bersama-Ku.” Qatādah berkata: “Allah mengangkat namamu di dunia dan akhirat.” Tidak ada khathib, orang syahadat dan orang shalat, kecuali dia mengucapkan: Kami bersaksi bahwa tiada tuhan kecuali Allah dan kami bersaksi bahwa Muḥammad utusan Allah. Dalam hadits disebutkan: “Jibril mendatangi kamu lalu berkata kepada kami: “Hai Muḥammad, sesungguhnya Tuhanmu berfirman: “Apakah kamu tahu, bagaimana Aku mengangkat sebutanmu?” Kami menjawab: “Allah ta‘ālā lebih tahu.” Allah berfirman: “Jika Aku disebut, maka kamu disebut bersama-Ku.” (10674) Dalam al-Baḥr-ul-Muḥīth disebutkan: “Allah menyertakan nama Nabi s.a.w. dengan nama-Nya dalam kalimat syahadat, adzan, iqamah, tasyahhud dan khutbah serta dalam banyak tempat dari al-Qur’an. Allah mengharuskan para nabi dan kaum muslimin untuk beriman kepada Nabi s.a.w., (10685) sebagaimana dikatakan Ḥassan bin Tsābit r.a.:

وضم الإله إسم النبي إلى اسمه
إذا قال في الْخمس الْمؤذن أشهد
و شق له من إسمه ليجله
فذو العرش محمود و هذا محمد.

Tuhan menyatukan nama Nabi kepada nama-Nya.
Ketika mu’adzdzin berkata asyhadu dalam shalat lima waktu
Dan Allah membuat nama Nabi dari nama-Nya
Pemilik ‘Arasy Maḥmud dan nabi ini Muḥammad.” (10696).

Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan”; setelah kesempitan, pasti datang kelonggaran dan setelah kesulitan hadirilah jalan keluar. Ulama tafsir berkata: “Karena gangguan orang kafir, Nabi s.a.w. dan para sahabat ketika di Makkah berada dalam kesempitan dan kesulitan. Maka Allah menjanjikan kemudahan kepada beliau, sebagaimana pada awal surat ini Allah menyebut-nyebut nikmat-Nya kepada beliau untuk menentramkan dan menghibur agar hati beliau gembira dan harapan beliau kuat. Seolah Allah berfirman: “Yang memberikan nikmat yang demikian banyak kepadamu, akan membantumu untuk mengalahkan mereka dan meninggikan Islam dan Dia akan mengganti kesulitan ini dengan kemudahan yang dekat. Itulah sebabnya Allah mengulangi ayat ini untuk menguatkan: “sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan”; akan datang kelonggaran setelah kesempitan dan kemudahan setelah kesulitan. Karena itu, janganlah kamu bersedih dan bosan. Dalam hadits disebutkan: “Satu kesulitan tidak akan mengalahkan dua kemudahan.” (10707)

Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain”; jika kamu hai Muḥammad menyelesaikan dakwah kepada makhluk, maka bersungguh-sungguhlah kamu dalam beribadah kepada Sang Pencipta. Jika kamu selesai dari urusan duniawi, maka lelahkanlah dirimu untuk masalah akhirat. “dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap”; jadikanlah cita-citamu dan kesukaanmu adalah kepada apa yang ada di sisi Allah, bukan kepada dunia yang fanā’ ini. Ibnu Katsīr berkata: “Maknanya, jika kamu sudah menyelesaikan urusan dunia dan kesibukannya, maka lekaslah melakukan ibadah. Berdirilah untuk ibadah dengan semangat dan hati bersih, murnikanlah niat dan cinta kepada Tuhanmu.” (10718).

Aspek Balaghah:

Dalam sūrat-usy-Syarḥ terdapat sejumlah keindahan bahasa sebagaimana berikut ini:

Pertama, istifhām taqrīr (pertanyaan untuk menetapkan) untuk mengungkit-ungkit dan mengingatkan nikmat Allah:

أَلَمْ نَشْرَحْ لَكَ صَدْرَكَ.

Bukankah Kami telah melapangkan untukmu dadamu?

Kedua, isti‘ārah tamtsīliyyah:

وَ وَضَعْنَا عَنْكَ وِزْرَكَ. الَّذِيْ أَنْقَضَ ظَهْرَكَ.

Dan Kami telah menghilangkan dari padamu bebanmu, yang memberatkan punggungmu?

Dosa-dosa diserupakan dengan beban yang berat dan melelahkan pundak manusia sampai dia tidak mampu memikulnya.

Ketiga, nakirah (redaksi umum) untuk mengagungkan dan menggambarkan besarnya masalah:

إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا.

sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.

Seolah Allah berfirman: “Kemudahan yang besar.”

Keempat, jinās nāqish (dua kata yang mirip lafazh) antara (اليسر) (kemudahan) dan (العسر) (kesulitan).

Kelima, mengulangi kalimat untuk memantapkan maknanya di dalam hati dan jiwa:

فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا. إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا.

Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.

Keenam, saja‘ murashsha‘ untuk menyesuaikan akhir-akhir ayat (فَإِذَا فَرَغْتَ فَانْصَبْ. وَ إِلَى رَبِّكَ فَارْغَبْ)

Berkat pertolongan Allah, tafsir sūrat-usy-Syarḥ selesai.

Catatan:

  1. 1064). Mukhtasharu Ibni Katsīr (3/652).
  2. 1065). Al-Baḥr-ul-Muḥīth, (8/487). Riwayat yang diisyaratkan oleh Abū Ḥayyān disebutkan dalam Shaḥīḥ Muslim dari Anas r.a., bahwa Nabi s.a.w. didatangi oleh Jibril a.s. ketika beliau bermain bersama anak-anak. Jibril memegang beliau menelantangkannya lalu membelah jantungnya. Lalu, mengeluarkannya dan mengeluarkan segumpal darahnya darinya dan berkata: “Ini bagian setan darimu.” Lalu, Jibril membasuhnya dalam mangkok dengan air Zamzam, lalu menutupkannya. Lalu mengembalikannya ke tempatnya. Datanglah anak-anak kepada ibu Nabi s.a.w., yakni ibu susuan dan berkata: “Muḥammad dibunuh.” Lalu mereka menyongsongnya, sementara wajah beliau berubah.” Diriwayatkan Muslim. Anas berkata: “Kami melihat bekas jahitan pada dada beliau.”
  3. 1066). At-Tasḥīl (4/206).
  4. 1067). Mukhtasharu Ibni Katsīr (3/652).
  5. 1068). Al-Baḥr-ul-Muḥīth, (8/488).
  6. 1069). Mukhtasharu Ibni Katsīr (3/652).
  7. 1070). Diriwayatkan al-Ḥakīm dan al-Baihaqī.
  8. 1071). Mukhtasharu Ibni Katsīr (3/653).

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *