Surah asy-Syams 91 ~ Tafsir al-Jailani

Dari Buku: TAFSIR al-Jaelani
Oleh: Syekh ‘Abdul-Qadir Jaelani
Penerjemah: Abdul Hamid

Penerbit: PT. SAHARA intisains

Surah ke 091; 15 ayat

Asy-Syams

(matahari).

 

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang

 

Pembuka Surah asy-Syams

Orang yang menyingkap keesaan wujud dan perjalanan matahari zat di atas lembaran-lembaran unsur penciptaan dan ruangan ketuhanan; pasti mengetahui bahwa terbentangnya kebenaran dan munculnya eksistensi (wujud), itu semua didasarkan pada kedermawanan Ilahi dan sesuai dengan kehendak nama-namaNya yang lembut dan sifat-sifatNya yang sempurna, yang disusun untuk memunculkan dan menampakkan eksistensi-Nya sesuai dengan kecintaan zat yang keluar dari pancaran keindahan-Nya, yang menimpa semua urusan yang bermacam-macam, dan fase atau keadaan yang berbeda-beda.

Karena itulah Allah s.w.t. bersumpah dengan semua fase tersebut. Dia mengawali sumpah-Nya dengan fase munculnya matahari zat yang menjadi mata air lautan wujud. Setelah memberikan keberkahan, Allah s.w.t. berfirman: (بِسْمِ اللهِ) [Dengan menyebut nama Allah] yang disucikan dari keterlihatan dan ketersembunyian sesuai dengan Dzat-Nya, (الرَّحْمنِ) [Yang Maha Pemurah] yakni atas nama matahari Dzat Yang Esa untuk memperlihatkan semua kesempurnaan nama-nama dan sifat-sifatNya, (الرَّحِيْمِ) [lagi Maha Penyayang] dengan menyembunyikan kesempurnaan tersebut dalam keesaan Dzat-Nya.

Ayat 1.

(وَ الشَّمْسِ) [Demi matahari] keesaan Dzat yang memancarkan kilauan sinar dari langit alam nama yang berawan dan dari cakrawala jagat raya ketuhanan, (وَ) [dan] demi (ضُحَاهَا) [cahayanya di pagi hari] yang membentang di atas cermin ketiadaan yang dapat menerima pantulannya.

Ayat 2.

(وَ) [Dan] demi (الْقَمَرِ) [bulan], yaitu wujud tambahan umum yang meliputi semua pantulan dan bayang-bayang yang memantul dari cermin ketiadaan, yang merupakan ungkapan dari fatamorgana alam – baik alam gaib maupun alam penyaksian: (إِذَا تَلَاهَا) [apabila mengiringinya], mengikutinya, dan menyusulinya, yakni mengiringi matahari zat dalam hal cakupan dan kandungannya.

Ayat 3.

(وَ النَّهَارِ) [Dan siang], yaitu awal kemunculan dan keterlihatan yang terpantul dari alam nama dan sifat: (إِذَا جَلَّاهَا) [apabila menampakkannya], yaitu menampakkan matahari zat dan memerinci pengaruh nama dan sifatnya yang tersimpan di dalamnya melalui lembaran-lembaran alam semesta.

Ayat 4.

(وَ اللَّيْلِ) [Dan malam], yaitu awal ketersembunyian dan ketersamaran yang terpantul dari alam awan dan kegelapan yang melenyapkan semua makhluk berjiwa dan menghilangkan pengaruh nama dan sifat karena kilauan sinarnya yang sempurna: (إِذَا يَغْشَاهَا) [apabila menutupinya] di mana kemunculan matahari tertutupi oleh cahaya malam yang berlimpah dan oleh kilauan sinarnya yang sempurna.

Ayat 5.

(وَ السَّمَاءِ) [Dan langit], yaitu langit nama dan sifat yang dihiasi dengan bintang-bintang yang bertebaran dan asal-usul alam yang bermunculan: (وَ مَا بَنَاهَا) [serta pembinaannya] yang berasal dari tersingkapnya kecintaan, keindahan, dan keagungan Allah s.w.t.

Ayat 6.

(وَ الْأَرْضِ) [Dan bumi], yaitu alam persiapan yang rendah, menerima pantulan sisa dari semua hal yang tinggi: (وَ مَا طَحَاهَا) [serta penghamparannya] dan penyebarannya dari berbagai pengaruh yang menghasilkan sifat-sifat optimis ketuhanan.

Ayat 7.

(وَ نَفْسٍ) [Dan jiwa] yaitu roh yang memancar dari alam nama dan sifat melalui struktur segala sesuatu yang bernama dan yang menerima ketinggian dan kerendahan, sehingga roh memperoleh manfaat dengan diingatkannya ke negeri asal dan awal penciptaannya: (وَ مَا سَوَّاهَا) [serta penyempurnaannya], keseimbangannya, dan susunannya yang berasal dari campuran berbagai bekas yang bisa menerima ketinggian dan kerendahan.

Ayat 8.

Setelah Allah s.w.t. menyempurnakan dan menyeimbangkan penciptaan jiwa sedemikian rupa, (فَأَلْهَمَهَا فُجُوْرَهَا وَ تَقْوَاهَا) [Dia pun mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaan], sesuai dengan bekas ketinggian dan kerendahan yang dititipkan-Nya ke dalam jiwa. Kemudian Allah s.w.t. membebani jiwa dengan sesuatu yang harus dikerjakannya supaya ia dapat membedakan antara orang yang benar dengan yang salah, antara orang yang sesat dengan yang mendapat hidayah, dan antara orang kafir dengan orang Mu’min; untuk menyempurnakan keunggulan hikmah ilahiyah dan menunjukkan kekuasaan-Nya yang Maha Besar.

Kemudian, sebagai jawaban atas berbagai perkara sumpah yang diungkapkan dengan nada kiasan dan peringatan, Allah s.w.t. berfirman:

Ayat 9.

(قَدْ أَفْلَحَ) [Sesungguhnya beruntunglah], karena meraih derajat yang tinggi di sisi Allah s.w.t., (مَنْ زَكَّاهَا) [orang yang mensucikan jiwanya] dari berbagai macam sifat yang hina dan dari tuntutan angan-angannya.

Ayat 10.

(وَ قَدْ خَابَ) [Dan sesungguhnya merugilah] dan binasalah (مَنْ دَسَّاهَا) [orang yang mengotorinya], mengurangi kesempurnaannya, dan menyesatkannya karena ia telah mendorong jiwa untuk melakukan berbagai macam kemaksiatan dan perbuatan dosa yang membuat tabiat dan bagian inti tubuh berada dalam kehinaan sehingga menghasilkan berbagai macam kerugian, kebinasaan, keharaman, dan kerendahan.

Ayat 11.

Karena itu pula (كَذَّبَتْ ثَمُوْدُ) [(kaum) Tsamud telah mendustakan] rasul yang dikirim dan diperintahkan untuk memberi petunjuk kepada mereka – yang telah mengalami kebinasaan dan kesesatan yang begitu besar – pada saat mereka menyimpang dari jalan keadilan (بِطَغْوَاهَا) [karena melampaui batas], yaitu disebabkan karena kesewenang-wenangan dan perubahan sikap mereka yang lebih mengunggulkan sesuatu yang hina daripada yang mulia; karena sikap permusuhan yang disuntikkan oleh kekuatan yang memerintahkan keburukan, kepada tentara-tentara yang memerintahkan ketenangan; dan oleh tindakan yang lebih mendahulukan tuntunan watak kemanusiaan daripada kehendak ketuhanan. Ini semua terjadi karena kezhaliman, penentangan, kedustaan, dan kerusakan yang mereka lakukan secara berlebihan.

Ayat 12.

Apalagi (إِذِ انْبَعَثَ) [ketika bangkit] dan melangkah dengan tergesa-gesa, (أَشْقَاهَا) [orang yang paling celaka di antara mereka], yaitu orang yang paling celaka, paling jelek, dan paling tersesat dari jalan kebenaran. Ia adalah Qadar bin Salif yang berniat menyembelih unta yang telah diamanatkan untuk dijaga, melalui wasiat khusus Ilahi.

Ayat 13.

Setelah niatnya untuk menyembelih unta sudah bulat, (فَقَالَ لَهُمْ رَسُوْلُ اللهِ) [Rasul Allah (Shāliḥ a.s.) berkata kepada mereka] melalui lisan kenabian: “Biarkanlah (نَاقَةَ اللهِ) [unta betina Allah] dan janganlah kalian menyembelihnya. Ringkasnya, janganlah kalian menyakitinya sama sekali karena hal itu akan membuat kalian mendapat adzab yang besar. Biarkan pula (وَ سُقْيَاهَا) [minumannya] yang telah ditentukan Allah s.w.t. baginya, dan janganlah kalian menjauhkannya dari sumber minumannya.”

Ayat 14.

Namun (فَكَذَّبُوْهُ) [mereka tetap mendustakannya] dan tidak mau menerima perkataannya. Ketika mereka sepakat untuk menyembelihnya (فَعَقَرُوْهَا) [dan akhirnya menyembelih unta itu], Nabi Shāliḥ a.s. pun keluar dari tengah-tengah mereka karena takut tertimpa adzab Allah s.w.t. dan terkena serangan keperkasaan dan kekuasaan-Nya. Setelah mereka melanggar larangan itu, (فَدَمْدَمَ عَلَيْهِمْ رَبُّهُمْ) [maka Rabb pun mereka membinasakan mereka], yaitu Allah s.w.t. menimpakan siksaan yang mengerikan kepada mereka, lalu membinasakan mereka dengan siksaan tersebut selamanya, (بِذَنْبِهِمْ) [disebabkan dosa mereka] yang berasal dari perbuatan mereka sendiri, yakni berupa mendustakan Rasul utusan Allah s.w.t. untuk memberi petunjuk kepada mereka: (فَسَوَّاهَا) [lalu Allah menyama-ratakan mereka] yaitu menimpakan kebinasaan kepada mereka semua sehingga tidak ada satu orang pun yang selamat. Ringkasnya, Qadar bin Salif menyembelih unta yang telah diamanatkan untuk dijaga, dan kaum yang lain menyetujui tindakannya.

Ayat 15.

(وَ) [Dan] ia serta yang lainnya (لَا يَخَافُ عُقْبَاهَا) [tidak takut terhadap akibat tindakannya itu] maksudnya: ia tidak merasa takut pada hukuman yang diakibatkan oleh tindakannya menyembelih unta tersebut, di mana hukuman ini diikuti pula oleh berbagai macam cobaan, musibah, dan kesusahan. Nabi Shalih a.s. telah memberitahukan perihal unta itu, namun mereka mendustakannya dan malah mencemoohnya. Karena itu, mereka pun tertimpa bencana yang disebabkan oleh amal buruk mereka.

“Kami berlindung kepada-Mu dari melakukan amal buruk, dari menghadapi keadaan yang kacau-balau, dan dari mengalami kengerian yang begitu besar.”

 

Penutup Surah asy-Syams

Wahai pencari kebahagiaan abadi dan kebaikan kekal, yang menghasilkan adanya perlindungan Ilahi dan keutamaan-Nya; kamu harus membersihkan jiwamu dari semua tuntutan fasilitas, dan dari kegelapan hati dan pilarnya, sampai kamu aman dari kesewenang-wenangan jiwa dan dari permusuhannya. Kamu harus menghiasi jiwamu dengan berbagai macam ma‘rifat, hakekat, panca indera yang baik, dan amal serta akhlak yang menjadi sebab munculnya gelombang penyingkapan dan penyaksian yang terbebas dari segala macam ikatan karena terkelupasnya keesaan Dzat yang dapat menggugurkan semua label yang menempel secara tiba-tiba pada batasan-batasan yang semu.

“Semoga Allah s.w.t. memberikan anugerah kepada kita untuk bisa mengosongkan jiwa dari segala macam kehinaan dan menghiasinya dengan berbagai macam kebiasaan yang baik.”

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *