Surah at-Taghabun 64 ~ Tafsir Sayyid Quthb (4/4)

Dari Buku:
Tafsīr fi Zhilāl-il-Qur’ān
Oleh: Sayyid Quthb
 
Penerbit: Gema Insani

Rangkaian Pos: Surah at-Taghabun 64 ~ Tafsir Sayyid Quthb

Fitnah Keluarga dan Harta Benda

Pada bagian akhir, redaksi surah mengarahkan seruannya kepada orang-orang yang beriman untuk mengingatkan mereka tentang fitnah istri-istri, anak-anak, dan harta benda. Ia mengajak mereka untuk bertakwa kepada Allah, mendengarkan, menaati, dan berinfak. Sebagaimana ia pun memperingatkan mereka dari sikap bakhil dalam jiwa-jiwa mereka. Allah menjanjikan kepada mereka bila mampu mengatasinya bahwa bagi mereka adalah rezeki yang berlipat ganda, ampunan, dan kemenangan. Akhirnya, mereka diingatkan tentang ilmu Allah bagi sesuatu yang nyata dan yang gaib, kekuasaan-Nya dan kebesaran-Nya bersama dengan hikmah-Nya dan kemuliaan-Nya,

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا إِنَّ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ وَ أَوْلَادِكُمْ عَدُوًّا لَّكُمْ فَاحْذَرُوْهُمْ وَ إِنْ تَعْفُوْا وَ تَصْفَحُوْا وَ تَغْفِرُوْا فَإِنَّ اللهَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ. إِنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَ أَوْلَادُكُمْ فِتْنَةٌ وَ اللهُ عِنْدَهُ أَجْرٌ عَظِيْمٌ. فَاتَّقُوا اللهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ وَ اسْمَعُوْا وَ أَطِيْعُوْا وَ أَنْفِقُوْا خَيْرًا لِأَنْفُسِكُمْ وَ مَنْ يُوْقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ. إِنْ تُقْرِضُوا اللهَ قَرْضًا حَسَنًا يُضَاعِفْهُ لَكُمْ وَ يَغْفِرْ لَكُمْ وَ اللهُ شَكُوْرٌ حَلِيْمٌ. عَالِمُ الْغَيْبِ وَ الشَّهَادَةِ الْعَزِيْزُ الْحَكِيْمُ.

Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka. Jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu), di sisi Allahlah pahala yang besar. Maka, bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta taatlah, dan nafkahkanlah nafkah yang baik untuk dirimu. Barang siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung. Jika kamu meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, niscaya Allah melipatgandakan (pembalasannya) kepadamu dan mengampuni kamu. Allah Maha Pembalas jasa lagi Maha Penyantun. Yang Mengetahui yang gaib dan yang nyata. Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” (at-Taghābun: 14-18)

Telah disebutkan dari Ibnu ‘Abbās r.a. tentang ayat pertama dari himpunan ayat-ayat ini, bahwa ia ditanya oleh seseorang, dan ia menjawab, “Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang berislam di Mekah. Kemudian mereka hendak menghadap kepada Rasulullah dan mendatanginya, namun istri-istri dan anak-anak mereka menghalangi dan tidak membiarkan mereka pergi. Setelah mereka mendatangi Rasulullah dan melihat orang-orang telah diberikan pemahaman dalam agama, maka orang-orang itu pun hendak memberikan hukuman kepada mereka. Lalu Allah menurunkan ayat 14 surah ath-Taghābun, “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka. Jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Demikianlah yang diriwayatkan oleh Tirmīdzī dengan sanadnya yang lain, dan dia berkata, “Hadits ini ḥasan dan shaḥīḥ.” Demikian pula yang dikatakan oleh ‘Ikrimah pembantu dan maula Ibnu ‘Abbās.

Tetapi, nash al-Qur’an ini lebih umum dan lebih meliputi daripada kasus yang parsial itu, dan ia lebih jauh jangkauannya dan lebih panjang lingkupnya. Peringatan tentang fitnah istri-istri dan anak-anak ini seperti peringatan yang terdapat dalam ayat setelahnya yang diperingatkan tentang fitnah harta benda dan anak-anak sekaligus,

Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu), di sisi Allahlah pahala yang besar.” (at-Taghābun: 15)

Di sana juga terdapat peringatan bahwa di antara istri-istri dan anak-anak ada yang menjadi musuh. Sesungguhnya hal ini mengisyaratkan tentang hakikat yang mendalam tentang kehidupan manusia, dan menyentuh hubungan-hubungan yang saling terkait secara terperinci dalam susunan struktur nurani dan sekaligus dalam kerumitan-kerumitan permasalahan hidup. Maka, bisa jadi istri-istri dan anak-anak menjadi faktor-faktor yang menyibukkan dan melalaikan seseorang dari berzikir kepada Allah. Hal ini sebagaimana mereka juga dapat menjadi faktor-faktor yang mendorong seseorang untuk bertindak curang dan tidak memenuhi beban-beban iman, karena menghindarkan diri dari kesibukan-kesibukan yang melelahkan dan meliputi mereka.

Seandainya seorang mukmin benar-benar mengemban kewajibannya, maka dia pasti menemukan segala sesuatu yang diraih oleh seorang mujahid di jalan Allah! Seorang mujahid di jalan Allah pasti harus menghadapi segala kemungkinan kerugian duniawi dalam banyak hal dan dia harus mengorbankan banyak hal. Dia dan keluarganya juga akan menghadapi ujian dan ancaman. Kadangkala dia bisa bertahan terhadap siksaan dan ujian atas dirinya sendiri. Namun, dia tidak kuat bertahan bila siksaan dan ujian itu tertimpa kepada istri dan anak-anaknya. Sehingga, dia pun menjadi bakhil dan penakut karena ingin memenuhi segala kebutuhan mereka, baik yang berupa keamanan, kestabilan, kenikmatan, maupun harta benda.

Dengan demikian, mereka pun menjadi musuh baginya, karena mereka telah menghalanginya dari berbuat kebajikan dan merintanginya dari meraih dan merealisasikan tujuan keberadaan hidupnya yang paling tinggi. Sebagaimana istri-istri dan anak-anak sering menghalangi jalannya dan melarangnya dari menunaikan kewajibannya karena ingin menghindarkan diri dari segala konsekuensinya dan atau karena mereka tidak mengikuti jalan yang ditempuhnya. Lalu, dia tidak bisa membebaskan dirinya dari mereka dan memurnikan dirinya hanya untuk Allah.

Semua itu merupakan bentuk-bentuk dari permusuhan dengan berbagai tingkatannya. Semua itu biasa terjadi dalam kehidupan seorang mukmin dari waktu ke waktu.

Oleh karena itu, kondisi yang runyam dan berbenturan ini, membutuhkan peringatan dari Allah untuk membangkitkan kesadaran dalam hati orang-orang yang beriman. Juga peringatan agar berhati-hati dari pengaruh buruk perasaan-perasaan demikian dan tekanan dari pengaruh-pengaruh itu.

Kemudian Allah mengulang kembali peringatan tentang fitnah harta benda dan anak-anak ini dalam berbagai bentuk. Dan, kata “fitnah” itu sendiri mengandung dua makna.

Pertama, sesungguhnya Allah menguji kalian dengan fitnah harta benda dan anak-anak untuk menempa kalian, maka hendaklah kalian berhati-hati dengan harta benda dan anak-anak itu. Dan, ingat dan sadarlah selalu sehingga kalian lulus dalam ujian ini. Kemudian murnikan, ikhlaskan, dan bersihkanlah diri kalian hanya untuk Allah semata-mata. Hal ini hampir mirip dengan seorang pandai emas yang menempa emasnya sehingga menjadi murni dan bersih dari segala kotoran dan campuran lain.

Kedua, sesungguhnya harta benda dan anak-anak ini merupakan fitnah godaan bagi kalian yang dapat menjerumuskan kalian kepada penyimpangan dan maksiat. Maka, berhati-hatilah terhadap fitnah godaan ini, jangan sampai menjerumuskan kalian dan menjauhkan diri kalian dari Allah.

Kedua makna itu adalah saling berdekatan. Diriwayatkan dari Imam Aḥmad sebuah hadits dengan sanadnya dari Abdullah bin Buraidah bahwa ia mendengar ayahnya (Buraidah) berkata, “Rasulullah sedang berkhotbah, kemudian datanglah Ḥasan dan Ḥusain r.a. yang keduanya memakai pakaian berwarna merah. Mereka berdua berjalan dan sering tergelincir jatuh. Maka, Rasulullah pun turun dari mimbar kemudian membopong keduanya dan meletakkan keduanya di hadapannya. Lalu Rasulullah bersabda, “Mahabenar Allah dan rasul-Nya, sesungguhnya harta benda dan anak-anak kalian adalah fitnah. Aku melihat kepada dua balita ini, mereka berdua berjalan dan sering tergelincir jatuh, maka aku pun tidak sabar untuk memutuskan khutbahku dan mengangkat keduanya.” Hadits ini diriwayatkan oleh Ashḥāb-us-Sunan dari hadits Ibnu Wāqid. Itulah Rasulullah dan itulah dua putra dari puteri beliau, Fathimah. Jadi, sesungguhnya perkara ini sangat berbahaya. Maka, sesungguhnya peringatan dan ancaman dalam perkara ini menjadi sangat penting, yang telah ditentukan oleh Pencipta hati manusia, dan meletakkan perasaan-perasaan di dalamnya, agar dapat merintanginya dari pelanggaran dan berlebih-lebihan. Beliau sangat menyadari bahwa ikatan-ikatan kasih sayang bisa menjerumuskannya seperti yang dilakukan oleh musuh-musuhnya, dan bisa mengelabuinya ke dalam perangkap-perangkap seperti perangkap-perangkap musuh.

Oleh karena itu, hati orang-orang yang beriman ditunjukkan kepada sesuatu yang lebih mulia di sisi Allah. Hal ini setelah ada peringatan terhadap fitnah harta benda dan anak-anak itu. Juga setelah ada seruan agar berhati-hati terhadap permusuhan yang tersebar dalam pribadi anak-anak dan istri-istri, karena itu semua adalah fitnah sedangkan di sisi Allah terdapat pahala yang besar.

 

Setelah itu Allah membisikkan kepada orang-orang yang beriman agar bertakwa kepada Allah dalam batasan kemampuan dan kekuatan. Juga agar mendengar dan taat kepada-Nya,

Maka, bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta taatlah,….

Dalam batasan ini, “...Menurut kesanggupanmu” tampak sekali kelembutan dan kasih sayang Allah terhadap hamba-hamba-Nya. Juga tampak ilmu-Nya tentang kadar kemampuan mereka dalam bertakwa dan menaati-Nya, Dalam hadits Rasulullah bersabda, “Apabila aku menyuruh kalian melakukan sesuatu, maka kerjakanlah sesuai dengan kemampuanmu. Dan, apabila aku melarang kalian terhadap sesuatu, maka jauhilah perkara itu.

Jadi, ketaatan dalam suatu perintah tidak ada batasannya. Karena itu, Allah menerima ketaatan itu sesuai dengan kemampuan. Sedangkan, dalam perkara larangan, maka di sana tidak dispensasi. Karena itu, larangan tersebut harus dijauhi dengan sempurna tanpa pengecualian sedikitpun.

Allah menyerukan mereka agar berinfak,

Dan nafkahkanlah nafkah yang baik untuk diri-Mu….

Jadi, orang-orang yang beriman itu berinfak untuk diri mereka sendiri. Allah menyuruh mereka agar berinfak segala kebaikan untuk diri mereka. Allah menjadikan harta benda yang mereka infakkan seolah-olah harta benda yang mereka infakkan bagi keluarga mereka sendiri, dan Dia menjanjikan bagi mereka kebaikan ketika melaksanakannya.

Allah menyadarkan mereka bahwa sifat bakhil dalam diri sendiri adalah ujian yang selalu menyertainya. Maka, berbahagialah bagi orang-orang yang mampu melepaskan dirinya darinya. Orang yang mampu menjaga dirinya dari sifat itu telah mendapatkan keutamaan dan karunia dari Allah,

Barang siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (at-Taghābun: 16)

 

Allah terus merangsang orang-orang yang beriman untuk mengeluarkan dan menyenangkan diri mereka agar berinfak, sehingga sampai menyebutkan bahwa infak mereka merupakan pinjaman bagi Allah. Dan, siapa yang tidak beruntung bila meminjamkan sesuatu kepada tuannya, yaitu Allah? Dia (Allah) pasti mengambil pinjaman itu kemudian melipatgandakannya dan mengampuninya. Allah pasti berterima kasih kepada peminjam dan merahmatinya dengan kasih sayang dan kelembutan bila dia kurang dan tidak sempurna dalam bersyukur kepada-Nya.

Jika kamu meminjamkan kepada Allah suatu pinjaman yang baik, niscaya Allah melipatgandakan (pembalasannya) kepadamu dan mengampuni kamu. Allah Maha Pembalas jasa lagi Maha Penyantun.” (at-Taghābun: 17)

Bertambah-tambahlah berkah dari Allah. Dia adalah Maha Pemurah, alangkah pemurah dan dermawannya Allah; dan alangkah agung dan mulianya Allah! Dia menciptakan para hamba kemudian memberikan rezeki kepada mereka. Kemudian Dia memohon kelebihan dari kebutuhan para hamba-Nya yang telah dianugerahkan-Nya dalam bentuk pinjaman, lalu pinjaman itu dibalas dengan berlipat ganda. Kemudian Allah pasti berterima kasih kepada hamba-Nya yang telah Dia ciptakan dan Dia berikan segala anugerah. Dan, Dia pasti merahmatinya dengan kasih sayang dan kelembutan bila dia kurang dan tidak sempurna dalam bersyukur kepada-Nya. Alangkah mulianya dan dermawannya Engkau Ya Allah!

Sesungguhnya Allah mengajarkan kepada kita dengan sifat-sifat-Nya bagaimana kita merangkak naik. Dia memuliakan diri kita dengan segala kekurangan dan kelemahan kita. Dia mengajarkan kita agar kita selalu berusaha meningkatkan diri ke derajat yang lebih tinggi untuk bercermin kepada-Nya, dan agar kita berusaha untuk meneladani-Nya dalam batas-batas kemampuan kita dan tabiat kita yang kecil.

Allah telah meniupkan ruh-Nya kepada manusia. Sehingga, menjadikannya selalu rindu dan tertarik mewujudkan keteladanan yang sempurna dan tertinggi yang mampu dia usahakan dalam batas-batas kemampuannya dan tabiatnya. Oleh karena itu, ufuk-ufuk yang tertinggi selalu terbuka agar manusia mencapai kesempurnaan, dan mengusahakan agar selalu naik tingkat demi tingkat hingga menjumpai Allah dengan kecintaan-Nya dan keridhaan-Nya.

 

Penelusuran ini diakhiri setelah sentuhan yang menakjubkan itu, dengan sifat Allah yang mengetahui dan mengawasi segala yang ada dalam hati.

Yang Mengetahui yang gaib dan yang nyata. Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” (at-Taghābun: 18)

Jadi, setiap sesuatu pasti tersingkap dalam ilmu-Nya, tunduk kepada kekuasaan-Nya, dan terorganisir dengan hikmah-Nya. Semuanya bertujuan agar manusia hidup sambil merasakan dan menyadari bahwa Allah selalu melihatnya dan mengawasinya. Demikian pula kekuasaan-Nya menguasai mereka. Kebijakan-Nya mengatur dan mengelola segala usuran mereka baik yang lahiriah maupun yang batiniah. Dan, pandangan bila tertanam kokoh dalam hati, cukuplah sebagai jaminan bagi hati agar bertakwa kepada Allah, memurnikan dirinya bagi-Nya, dan menyambut segala seruan-Nya.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *