Surah an-Nazi’at 79 ~ Tafsir ash-Shabuni (2/2)

Dari Buku: SHAFWATUT TAFASIR
(Tafsir-tafsir Pilihan)
Jilid 5 (al-Fath – an-Nas)
Oleh: Syaikh Muhammad ‘Ali ash-Shabuni
Penerjemah: KH.Yasin
Penerbit: PUSTAKA AL-KAUTSAR.

Rangkaian Pos: Surah an-Nazi'at 79 ~ Tafsir ash-Shabuni

Kemudian Allah menyebutkan kisah Mūsā versus Fir‘aun untuk menghibur Nabi Muḥammad s.a.w. Kisah ini untuk memperingatkan kaum kafir Quraisy bahwa mereka akan tertimpa apa yang menimpa umat yang durhaka dan mendustakan seperti halnya Fir‘aun. Allah berfirman: “Sudahkah sampai kepadamu (ya Muḥammad) kisah Mūsā”; firman ini menggunakan metode yang membuat penasaran dan rindu untuk mendengarkan kisah. Yakni apakah sudah sampai kepadamu hai Muḥammad kisah Mūsā al-Kalīm (yang diajak bicara langsung oleh Allah)? “Tatkala Tuhannya memanggilnya di lembah suci ialah Lembah Thuwā”; ketika Allah memanggilnya di lembah yang suci dan berkah, yaitu lembah Thuwā di bagian bawah gunung Sinai, dengan berfirman kepadanya: ““Pergilah kamu kepada Fir‘aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas”; pergilah kamu kepada Fir‘aun yang jahat, kejam dan kelewatan zhalim. “dan katakanlah (kepada Fir‘aun): “Adakah keinginan bagimu untuk membersihkan diri (dari kesesatan)”; apakah kamu ada keinginan untuk membersihkan diri dari dosa dan durhaka? “Dan kamu akan kupimpin ke jalan Tuhanmu agar supaya kamu takut kepada-Nya?””; dan Kami bimbing kamu untuk mengenal Tuhanmu dan taat kepada-Nya, sehingga kamu takut kepada-Nya? Az-Zamakhsyarī berkata: “Mūsā menyebutkan sifat takut di sini, sebab takut adalah inti segala hal. Barang siapa takut kepada Allah, maka keluar segala kebaikan dari dia. Mūsā memulai percakapan dengan pertanyaan untuk menawarkan, sebagaimana seseorang berkata kepada tamunya: “Apakah anda ingin singgah pada kami? Mūsā meneruskannya dengan ucapan lemah-lembut agar dia mengajak Fir‘aun dengan halus agar mau meninggalkan kekejamannya. Ini senada dengan firman Allah: “Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah-lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut.” (9161). (Thāhā: 44).

Lalu Mūsā memperlihatkan kepadanya mu‘jizat yang besar”; dalam ayat ini ada kata yang dibuang yaitu: maka Mūsā pergi menemui Fir‘aun, berdakwah kepadanya dan berbicara dengannya. Namun ketika Fir‘aun menolak untuk beriman, maka Mūsā memperlihatkan mu‘jizat yang besar kepadanya, yaitu tongkat berubah menjadi ular yang bergerak. Al-Qurthubī berkata: “Mūsā memperlihatkan bukti yang besar kepada Fir‘aun, yaitu mu‘jizat.” Ibnu ‘Abbās berkata: “Yaitu memperlihatkan tongkat.” (9172). “Tetapi Fir‘aun mendustakan dan mendurhakai.”; Fir‘aun mendustakan Mūsā dan durhaka kepada perintah Allah setelah mu‘jizat diperlihatkan di hadapannya dengan gamblang. “Kemudian dia berpaling seraya berusaha menantang (Mūsā)”; Fir‘aun lalu berpaling melarikan diri dari ular dan bergegas dalam berjalan karena ketakutan yang dia rasakan. “Maka dia mengumpulkan (pembesar-pembesarnya) lalu berseru memanggil kaumnya”; dia mengumpulkan para penyihir, pasukan dan pengikutnya dan dia berpidato di hadapan umat manusia dengan “berkata: “Akulah tuhanmu yang paling tinggi””; lalu dia berkata kepada mereka dengan suara keras: “Kamilah tuhan kalian yang disembah dan agung. Tidak ada tuhan di atas kami.” “Maka Allah mengadzabnya dengan adzab di akhirat dan adzab di dunia”; maka Allah membinasakannya sebagai hukuman atas ucapannya yang terakhir, yaitu “Akulah tuhanmu yang paling tinggi”” dan ucapannya yang Pertama, “Aku tidak mengetahui tuhan bagimu selain aku.” (9183). (al-Qashash: 38). “. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat pelajaran bagi orang yang takut (kepada Tuhannya)”; pada hal tersebut, yaitu kisah Fir‘aun dan pembangkangannya serta siksa yang menimpanya, terdapat nasihat dan pelajaran bagi orang yang takut kepada Allah dan siksa-Nya.

Setelah menyelesaikan kisah Fir‘aun sang pembangkang, Allah kembali mengulas kisah kaum kafir Quraisy yang mengingkari hari kebangkitan. Allah mengingatkan mereka terhadap bukti-bukti kekuasaan-Nya dan keagungan-Nya dengan berfirman: “Apakah kamu yang lebih sulit penciptaannya ataukah langit?”; istifhām ini untuk mencela dan mengeritik. Yakni apakah kalian hai orang-orang kafir yang lebih sulit dan lebih berat penciptaannya ataukah penciptaan langit yang besar dan aneh? Yang mengangkat langit yang demikian besar, adalah ringan bagi-Nya untuk menciptakan kalian dan menghidupkan kalian dari kematian. Lalu bagaimana kalian mengingkari ba‘ts? Ar-Rāzī berkata: “Allah mengingatkan mereka terhadap hal yang terlihat dengan mata. Jika bentuk manusia yang kecil dan lemah dibandingkan dengan langit yang besar, maka penciptaan manusia merupakan hal mudah. Jika demikian halnya, maka menciptakan mereka kembali akan lebih mudah bagi Allah. Lalu bagaimana dan kenapa mereka mengingkari hal itu? (9194). Ini senada dengan ayat: “Sesungguhnya penciptaan langit dan bumi lebih besar daripada penciptaan manusia.” (al-Mu’min: 57). “Allah telah membangunnya”; Allah mengangkatnya tinggi di atas kalian tanpa tiang maupun pasak.

Kemudian Allah menambahkan penjelasan: “Dia meninggikan bangunannya lalu menyempurnakannya”; Allah meninggikan benda langit dan mengangkat atapnya di atas kalian, lalu menjadikannya sempurna tanpa ada cacat atau sesuatu yang tidak seimbang. Ibnu Katsīr berkata: “Yakni Allah menjadikan langit itu tinggi, jauh jangkauannya, penjuru yang seimbang dan dipenuhi bintang dalam malam gelap. (9205)” “dan Dia menjadikan malamnya gelap gulita dan menjadikan siangnya terang benderang”; Allah menjadikan malam langit hitam pekat dan siangnya bersinar terang benderang. Ibnu ‘Abbās berkata: “Yakni Allah menjadikan malamnya gelap dan menjadikan siangnya terang benderang.” (9216) “Dan bumi sesudah itu dihamparkan-Nya”; setelah menciptakan langit, Allah membentangkan dan menghamparkan bumi untuk didiami oleh penghuninya. (9227) “Ia memancarkan daripadanya mata airnya dan (menumbuhkan) tumbuh-tumbuhannya”; dari bumi Allah mengeluarkan mata air yang memancar, mengalirkan sungai padanya dan menumbuhkan rumput yang dimanfaatkan oleh manusia dan dimakan hewan.

Dan gunung-gunung dipancangkan-Nya dengan teguh”; Allah menetapkan gunung-gunung di bumi dan menjadikannya bagai pasak agar kami kuat dan tidak menggoyang penghuninya. “(semua itu) untuk kesenanganmu dan untuk binatang-binatang ternakmu”; Allah-lah yang berbuat semua hal di atas, memancarkan mata air, mengalirkan sungai, dan menumbuhkan tanaman dan pepohonan. Semua itu agar berguna bagi hamba dan untuk kemaslahatan mereka serta kemaslahatan binatang ternak mereka. Ar-Rāzī berkata: “Yang dimaksudkan tumbuh-tumbuhan pada ayat sebelumnya adalah apa yang dimakan oleh manusia dan hewan seperti yang ditegaskan ayat ini, “untuk kesenanganmu dan untuk binatang-binatang ternakmu”. Lalu perhatikan, bagaimana firman Allah, “Ia memancarkan daripadanya mata airnya dan (menumbuhkan) tumbuh-tumbuhannya”; menunjukkan bahwa segala sesuatu yang dikeluarkan oleh Allah dari bumi sebagai makanan pokok dan kenikmatan bagi manusia dan binatang berupa yaitu rumput, pepohonan, biji-bijian, buah-buahan, dedaunan tanaman, kayu bakar, pakaian, obat-obatan, sampai garam dan api. Garam yang dihasilkan dari air dan api dihasilkan dari pepohonan.” (9238).

Setelah menyebutkan penciptaan langit dan bumi serta keajaiban-keajaiban makhluk untuk membuktikan bahwa ba‘ts itu mungkin secara rasio, maka Allah menginformasikan terjadinya peristiwa itu yang sebenarnya dengan berfirman: “Maka apabila malapetaka yang sangat besar (hari kiamat) telah datang”; ketika hari kiamat tiba, yaitu musibah besar yang praharanya merata segala sesuatu dan mengalahkan seluruh musibah. Ibnu ‘Abbās berkata: “Malapetaka yang sangat besar adalah hari kiamat. Disebut demikian, sebab hari kiamat mengalahkan segala hal yang mengerikan dan menakutkan.” (9249) “Pada hari (ketika) manusia teringat akan apa yang telah dikerjakannya”; pada hari itu, manusia ingat apa yang telah dia lakukan, baik maupun buruk dan dia melihatnya tercatat rapi di dalam lembaran amal perbuatannya. “dan diperlihatkan neraka dengan jelas kepada setiap orang yang melihat”; Jahannam ditampakkan bagi orang-orang yang melihat, sehingga umat manusia melihatnya secara langsung dan Jahannam tampak bagi setiap pemilik penglihatan mata.

Setelah menjelaskan hari kiamat dan praharanya, maka Allah menyebutkan pembagian umat manusia menjadi dua kelompok; orang yang celaka dan orang yang beruntung. Allah berfirman: “Adapun orang yang melampaui batas”; dia melewati batas dalam kekafiran dan durhaka, “dan lebih mengutamakan kehidupan dunia”; dia mendahulukan kehidupan fanā’ ini atas akhirat yang baqā’, bergelimang dalam kesenangan yang haram, tidak bersiap-siap untuk akhirat dengan amal shaleh, “maka sesungguhnya nerakalah tempat tinggal (nya)”; Jahannam yang menyala-nyala menjadi tempat tinggalnya, tidak ada tempat tinggal bagi dia selain itu. “Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya”; orang yang takut kepada keagungan dan kemuliaan Tuhannya dan takut akan berdirinya di hadirat-Nya pada saat hisab, karena dia yakin akan dunia dan akhirat “dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya”; dia mencegah dirinya dari maksiat dan haram serta menjauhkannya dari kesenangan yang membawa kepada kehancuran, “maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal (nya)”; tempat tinggalnya dan tempat kembalinya adalah surga negeri kenikmatan, tidak ada tempat tinggal baginya selain itu.” (92510).

Kemudian Allah menuturkan sikap orang-orang yang mendustakan hari kiamat yang menertawakan berita-berita kiamat. Allah berfirman: “Mereka bertanya kepadamu (Muḥammad) tentang hari berbangkit, kapankah terjadinya”; hai Muḥammad, orang-orang kafir itu bertanya kepadamu mengenai hari kiamat, kapan akan terjadi? Ulama tafsir berkata: “Orang-orang kafir mendengar berita hari kiamat dan namanya yang menakutkan, misalnya Thāmmah (hari yang merupakan musibah). Shākhkhah (suara yang memekakkan (tiupan sangkakala yang kedua) dan Qāri‘ah (hari yang mengetuk), namun mereka berkata sambil menertawakan: Kapan Allah menghendaki hari kiamat terjadi? Kapan kiamat akan datang? Maka turunlah ayat ini.” “Siapakah kamu (sehingga) dapat menyebutkan (waktunya)?”; ilmu tentang kiamat tidak ada padamu, sehingga kamu tidak bisa menyebutkannya kepada mereka. Sebab kiamat termasuk hal ghaib yang hanya Allah yang mengetahui. Lalu kenapa mereka menanyakannya kepadamu dan mereka ngotot dalam bertanya? “Kepada Tuhanmulah dikembalikan kesudahannya (ketentuan waktunya)”; kembalinya hari kiamat itu kepada Allah, sehingga Dia-lah yang tahu waktunya secara pasti. Tidak seorang pun mengetahuinya selain Dia.

Kamu hanyalah pemberi peringatan bagi siapa yang takut kepadanya (hari berbangkit)”; kewajibanmu hai Muḥammad hanya memberi peringatan orang yang takut hari kiamat, bukan memberitahukan waktu terjadinya. Peringatan hanya khusus bagi orang yang takut, sebab dialah yang mampu mengambil manfaat dan pelajaran dari peringatan. “Pada hari mereka melihat hari berbangkit itu, mereka merasa seakan-akan tidak tinggal (di dunia) melainkan (sebentar saja) di waktu sore atau pagi hari.”; ketika melihat hari kiamat dan praharanya seakan-akan orang-orang kafir itu tidak tinggal di dunia, kecuali sesaat di siang, sore atau pagi hari. Ibnu Katsīr berkata: “Mereka menganggap hidup di dunia singkat, sehingga seolah-olah menurut mereka hidup itu adalah sore hari atau pagi hari saja.” Allah menutup surat ini dengan inti pesan sumpah Allah pada awal surat, yaitu penetapan hari berhimpunnya manusia di padang mahsyar dan hari kebangkitan. Ini sebagai dalil atas terjadinya hari kiamat. Permulaan dan penutup surat yang serasi.

Aspek Balaghah

Sūrat-un-Nāzi‘āt mengandung sejumlah keindahan bahasa sebagai berikut ini:

Pertama; thibāq antara akhirat dan dunia dalam firman-Nya: (فَأَخَذَهُ اللهُ نَكَالَ الْآخِرَةِ وَ الْأُولَى.). Yang dimaksudkan adalah dunia dan akhirat. Demikian juga antara (عَشِيَّةً) dan (ضُحَاهَا).

Kedua; jinās isytiqāq (pengulangan kata sejenis dari sisi turunan kata) dalam (السَّمَاءُ بَنَاهَا).

Ketiga; perbandingan antara (رَفَعَ سَمْكَهَا فَسَوَّاهَا. وَ أَغْطَشَ لَيْلَهَا وَ أَخْرَجَ ضُحَاهَا.) dan (وَ الْأَرْضَ بَعْدَ ذلِكَ دَحَاهَا. أَخْرَجَ مِنْهَا مَاءَهَا وَ مَرْعَاهَا.). Demikian juga antara (فَأَمَّا مَنْ طَغَى. وَ آثَرَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا.) dan (وَ أَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَ نَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَى.).

Keempat; gaya bahasa menciptakan perasaan rindu dan penasaran (هَلْ أَتَاكَ حَدِيْثُ مُوْسَى.). Tujuan kalimat ini untuk menciptakan perasaan rindu lawan bicara untuk tahu kisah tersebut.

Kelima; thibāq antara (الْجَنَّةَ) dan (الْجَحِيْمَ), antara (السَّمَاءُ) dan (الْأَرْضَ) yang tersebut dalam ayat-ayat di surat ini.

Keenam; tasybīh mursal mujmal (menyerupakan waktu hidup di dunia hanya singkat seperti sore hari atau waktu dhuḥā) (كَأَنَّهُمْ يَوْمَ يَرَوْنَهَا لَمْ يَلْبَثُوْا إِلَّا عَشِيَّةً أَوْ ضُحَاهَا) .

Ketujuh; isti‘ārah tashrīḥiyah (أَخْرَجَ مِنْهَا مَاءَهَا وَ مَرْعَاهَا.). Allah menyerupakan manusia yang makan dengan hewan yang makan dengan titik persamaan obyeknya yakni tumbuh-tumbuhan.

Kedelapan; keserasian akhir-akhir ayat pada huruf akhir. Misalnya; (ضُحَاهَا، دَحَاهَا، مَرْعَاهَا، أَرْسَاهَا.).

Catatan:

  1. 916). Tafsīr-ul-Kasysyāf, 4/695.
  2. 917). Tafsīr-ul-Qurthubī (19/202).
  3. 918). Demikian pendapat Ibnu ‘Abbās, Mujāhid dan ‘Ikrimah. Ibnu ‘Abbās berkata: “Antara kedua ucapannya yang buruk itu ada empat puluh tahun. Allah memberi dia kesempatan, lalu menghukumnya.
  4. 919). At-Tafsīr-ul-Kabīr, 31/43.
  5. 920). Mukhtasharu Ibni Katsīr
  6. 921). Idem.
  7. 922). Hal ini tidak bertentangan dengan pendapat bahwa bumi bulat sebab hal ini adalah hal yang pasti. Bahkan Imām ar-Rāzī berkata: “Dulu bumi seperti bola yang berkumpul, kemudian Allah menghamparkannya. Bukan yang dimaksudkan dengan menghamparkannya adalah hanya menghamparkan, namun yang dimaksudkan adalah menghamparkannya sehingga bisa dijadikan tempat tumbuh tanaman. Hal tersebut ditunjukkan oleh ayat selanjutnya Ia memancarkan darinya mata airnya dan (menumbuhkan) tumbuh-tumbuhannya. Benda yang besar lahirnya seperti papan yang rata,”….. At-Tafsīr-ul-Kabīr, 31/48.
  8. 923). At-Tafsīr-ul-Kabīr, 31/49.
  9. 924). Mukhtasharu Ibni Katsīr, 3/598.
  10. 925). Ayat-ayat yang mulia inilah neraca yang detail agar manusia menyadari, apakah dirinya termasuk ahli surga atau ahli neraka, apakah dia termasuk hamba yang beruntung atau termasuk hamba yang celaka. Barang siapa durhaka dan melampaui batas serta mendahulukan kesenangan daripada taat kepada Tuhannya, maka dialah orang yang celaka dan disiksa dengan neraka. Sebaliknya, barang siapa taat kepada Allah dan takut kepada-Nya serta bersegera menuju ridha-Nya dan mencegah dirinya dari dorongan nafsu belaka, maka dialah orang yang beruntung dan dimuliakan. Hendaknya manusia meletakkan dirinya di neraca ini.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *