Surat an-Nāzi‘āt bermakna malaikat-malaikat yang mencabut. Diturunkan di Makkah sesudah surat an-Naba’, dan terdiri dari 46 ayat.
Surat ini mengandung beberapa sumpah Allah untuk menguatkan keterangan bahwa hari bangkit pasti akan terjadi dan menghidupkan kembali orang yang sudah meninggal dunia dari kuburnya merupakan hal yang mudah bagi Allah. Selain itu, Allah memperingatkan orang-orang musyrik dengan mengemukakan kisah Fir‘aun dan akibat kedurhakaannya itu.
Sesudah itu, surat ini menjelaskan bahwa kenyataan kudrat Allah membuktikan bahwa mencipta manusia adalah lebih mudah daripada mencipta langit dan bumi. Hal lain yang dijelaskan dalam surat ini adalah keadaan manusia pada hari kiamat. Pada akhirnya surat ini menjelaskan beberapa hal yang pasti terjadi pada hari bangkit.
Persesuaian antara surat yang telah lalu (an-Naba’) dan surat ini adalah bahwa dalam surat yang telah lalu, Allah mempertakutkan orang-orang musyrik dengan ‘adzāb hari kiamat, sedangkan dalam surat ini Tuhan bersumpah untuk menekankan bahwa hari bangkit pasti terjadi.
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ
Bismillāhirraḥmānirraḥīm
Dengan (menyebut) nama Allah Yang Maha Pemurah, yang senantiasa mencurahkan rahmat-Nya.
وَ النَّازِعَاتِ غَرْقًا. وَ النَّاشِطَاتِ نَشْطًا. وَ السَّابِحَاتِ سَبْحًا. فَالسَّابِقَاتِ سَبْقًا. فَالْمُدَبِّرَاتِ أَمْرًا.
Wan nāzi‘āti gharqā. Wan nāsyithāti nasythā. Was sābiḥāti sabḥā. Fas sābiqāti sabqā. Fal mudabbirāti amrā.
Allah bersumpah dengan bintang-bintang yang berjalan menurut ukuran yang telah ditentukan, yang terus-menerus beredar dalam falaknya. Allah juga bersumpah dengan bintang-bintang yang keluar dari buruj ke buruj, bintang-bintang yang beredar di dalam falaknya, bintang-bintang yang saling mendahului, sebagaimana Dia bersumpah dengan bintang-bintang yang menentukan waktunya dan masanya bahwa kamu benar-benar akan dihidupkan kembali sesudah mati dan akan diberitahu tentang semua apa yang kamu kerjakan sewaktu masih hidup di dunia.
Sebagian ‘ulamā’ berpendapat bahwa yang dimaksud dengan bintang-bintang di sini adalah malaikat yang mengambil jiwa (nyawa) orang-orang kafir dengan cara yang kasar dan yang mengambil nyawa orang-orang mu’min dengan lemah-lembut, malaikat yang terbang di angkasa untuk membawa turun perintah Tuhan, malaikat yang berlomba-lomba melaksanakan tugas, serta malaikat yang ditugasi oleh Allah untuk sesuatu urusan.
يَوْمَ تَرْجُفُ الرَّاجِفَةُ.
Yauma tarjufur rājifah.
“Ingatlah akan hari berguncangnya bumi.” (22) (an-Nāzi‘āt [79]: 6)
Hal itu akan terjadi ketika bumi berguncang, gunung bergerak-gerak dan menimbulkan gemuruh yang gaduh. Itu terjadi setelah tiupan sangkakala pertama.
تَتْبَعُهَا الرَّادِفَةُ.
Tatba‘uhar rādifah.
“Diikuti oleh suatu pekikan yang dahsyat.” (an-Nāzi‘āt [79]: 7)
Guncangan bumi yang hebat itu diiringi dengan guncangan langit dan bintang-bintang, sehingga berhamburan dan berantakan semua isinya. Peristiwa itu terjadi setelah tiupan sangkakala yang kedua. (33)
Menurut al-Ḥasan, guncangan pertama adalah sesudah tiupan sangkakala yang pertama yang membinasakan semua makhlūq yang hidup. Guncangan kedua adalah sesudah tiupan sangkakala yang menghidupkan kembali orang-orang yang sudah meninggal.
قُلُوْبٌ يَوْمَئِذٍ وَاجِفَةٌ.
Qulūbuy yauma’idziw wājifah.
“Pada hari itu, hati dalam ketakutan.” (an-Nāzi‘āt [79]: 8)
Ketika menyaksikan bumi dan langit berguncang dan berhamburan, barulah hati orang-orang kafir menjadi kacau-balau. Ternyata, apa yang dahulu mereka ingkari benar-benar menjadi kenyataan. Seketika mereka takut huru-hara kiamat itu akan menimpa diri mereka.
أَبْصَارُهَا خَاشِعَةٌ.
Abshāruhā khāsyi‘ah.
“Pandangan-pandangan tunduk ke bawah.” (an-Nāzi‘āt [79]: 9)
Pandangan penduduk bumi, pada hari itu seluruhnya menunduk, menampakkan ketakutan dan kebingungan.
يَقُوْلُوْنَ أَئِنَّا لَمَرْدُوْدُوْنَ فِي الْحَافِرَةِ.
Yaqūlūna a’innā lamardūdūna fil ḥāfirah.
“Mereka bertanya: “Apakah sesungguhnya kita benar-benar dikembalikan ke jalan yang telah ditempuh?” (an-Nāzi‘āt [79]: 10)
Orang-orang musyrik Quraisy yang mendustakan hari bangkit, apabila dikatakan kepadanya bahwa mereka nanti akan dihidupkan kembali sesudah mati, mereka justru bertanya: “Apakah kami akan dikembalikan lagi pada keadaan semula, lalu kami hidup kembali seperti waktu kami belum mati dahulu?”
أَئِذَا كُنَّا عِظَامًا نَّخِرَةً.
A’idzā kunnā ‘izhāman nakhirah.
“Apakah apabila kami telah menjadi tulang-belulang dan hancur-lebur?” (an-Nāzi‘āt [79]: 11)
Apakah kami akan dikembalikan hidup setelah tulang-tulang kami hancur dan berserakan di dalam tanah?
قَالُوْا تِلْكَ إِذًا كَرَّةٌ خَاسِرَةٌ.
Qālū tilka idzan karratun khāsirah.
“Mereka berkata: “Kalau demikian halnya adalah kembali yang merugi.” (an-Nāzi‘āt [79]: 12)
Orang-orang musyrik mengatakan: “Jika benar apa yang kamu nyatakan, hai Muḥammad, yaitu hidup kembali pada hari kiamat sesudah tulang-tulang kami lumat dan buruk, tentulah kami menjadi orang yang rugi. Sebab, kami semula mendustakan terjadinya peristiwa itu dan kami tidak mempersiapkan sesuatu bekal untuk menghadapi hari kiamat itu.”
فَإِنَّمَا هِيَ زَجْرَةٌ وَاحِدَةٌ. فَإِذَا هُمْ بِالسَّاهِرَةِ.
Fa innamā hiya zajratun wāḥidah. Fa idzā hum bis sāhirah.
“Sesungguhnya hal itu hanya teriakan sekali saja. Tiba-tiba mereka telah berada di muka bumi yang datar berkabut.” (44) (an-Nāzi‘āt [79]: 13-14)
Janganlah kamu memandang bahwa menghidupkan kembali manusia yang sudah mati itu sukar dan mustaḥīl. Sebab, hal itu hanyalah suatu pekikan saja, yaitu tiupan sangkakala yang kedua yang menghidupkan semua orang yang sudah mati. Setelah tiupan yang kedua itu, semua manusia hidup kembali dan berkumpul pada suatu dataran luas.
هَلْ أَتَاكَ حَدِيْثُ مُوْسَى. إِذْ نَادَاهُ رَبُّهُ بِالْوَادِ الْمُقَدَّسِ طُوًى.
Hal atāka ḥadītsu mūsā. Idz nādāhu rabbuhū bil wādil muqaddasi thuwā.
“Apakah cerita Mūsā telah sampai kepadamu? (55). Ingatlah, Tuhannya memanggil dia di lembah-suci Thuwā.” (an-Nāzi‘āt [79]: 15-16)
Apakah tidak sampai kepadamu, hai Muḥammad, tentang berita Mūsā beserta Fir‘aun dan kaumnya. Yaitu ketika Mūsā dipanggil oleh Tuhannya pada tengah malam di sebuah alur yang suci di bagian Thursina. Allah menyuruh Mūsā berlaku lemah-lembut dalam berbicara dan berlaku lunak dalam menyeru umat untuk menerima kebenaran. Maka ikutilah, hai Muḥammad, jalan yang ditempuh oleh Mūsā agar kamu memperoleh apa yang kamu inginkan dan agar kamu memperoleh kemenangan seperti apa yang telah diperoleh Mūsā.
اِذْهَبْ إِلَى فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَى.
Idzhab ilā fir‘auna innahū thaghā.
“Tuhan berfirman: “Pergilah kamu kepada Fir‘aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas.” (an-Nāzi‘āt [79]: 17)
Tuhan memerintahkan Mūsā supaya pergi menemui Fir‘aun dan memberi pelajaran kepadanya. Sebab, Fir‘aun telah melampaui batas dan menyombongkan diri terhadap Allah, bahkan menyangkal-Nya dan berlaku kejam terhadap Bani Isrā’īl dengan memperbudak mereka. Kekejaman itu bahkan telah sampai ke taraf pembunuhan bayi-bayi lelaki Bani Isrā’īl.
فَقُلْ هَل لَّكَ إِلَى أَنْ تَزَكَّى. وَ أَهْدِيَكَ إِلَى رَبِّكَ فَتَخْشَى.
Fa qul hal laka ilā an tazakkā. Wa ahdiyaka ilā rabbika fa takhsyā.
“Maka, katakan: “Apakah kamu mau aku tunjuki supaya bersih dari dosa? Dan aku tuntun ke jalan Tuhanmu, lalu kamu menjadi takut kepada-Nya?” (an-Nāzi‘āt [79]: 18-19)
Katakanlah, hai Mūsā, kepada Fir‘aun: “Maukah kamu menyucikan jiwamu dari semua dosa yang telah berkarat di dalam jiwamu? Maukah kamu mengerjakan jalan-jalan kebajikan yang akan aku tunjukkan kepadamu, maukah kamu menjauhkan diri dari segala macam kejahatan, dan maukah kamu takut kepada akibat menyalahi perintah Allah supaya kamu aman dari siksaan-Nya?
فَأَرَاهُ الْآيَةَ الْكُبْرَى.
Fa arāhul āyatal kubrā.
“Kemudian Mūsā memperlihatkan kepadanya tanda mu‘jizat yang besar.” (an-Nāzi‘āt [79]: 20)
Mūsā melaksanakan perintah Allah agar mendatangi Fir‘aun, namun beliau dilawannya. Fir‘aun tidak mau menerima dalil yang dikemukakan Mūsā, sehingga Mūsā pun memperlihatkan suatu mu‘jizat yang besar, yaitu tongkat berubah menjadi ular.
فَكَذَّبَ وَ عَصَى. ثُمَّ أَدْبَرَ يَسْعَى.
Fa kadzdzaba wa ‘ashā. Tsumma adbara yas‘ā.
“Tetapi dia mendustakan dan berbuat durhaka. Dia kemudian membelakangi sambil berjalan dengan cepat.” (an-Nāzi‘āt [79]: 21-22)
Fir‘aun mendustakan Mūsā dan berpaling dari seruan-seruan Mūsā serta terus-menerus mengerjakan kemaksiatan tanpa memikirkan akibat dari perbuatan yang dilakukannya itu.
فَحَشَرَ فَنَادَى. فَقَالَ أَنَا رَبُّكُمُ الْأَعْلَى.
Fa ḥasyara fa nādā. Fa qāla anā rabbukumul a‘lā.
“Dan mengumpulkan orang-orangnya (kaumnya) dan memaklumkan dekretnya. Dia berkata: “Aku inilah tuhanmu yang amat tinggi!” (an-Nāzi‘āt [79]: 23-24)
Maka Fir‘aun pun mengumpulkan ahli-ahli sihir yang berada di bawah kekuasaan-Nya. Di depan mereka yang berkumpul, Fir‘aun mengatakan: “Tidak ada kekuasaan yang mengalahkan kekuasaanku.” Fir‘aun tetap berlaku congkak dan sombong. Dia mengejar Mūsā dan kaumnya keluar dari Mesir menuju Laut Merah.
فَأَخَذَهُ اللهُ نَكَالَ الْآخِرَةِ وَ الْأُولَى.
Fa akhadzahullāhu nakālal ākhirati wal-ūlā.
“Karena itu, Allah menyiksanya dengan ‘adzāb pada hari kemudian dan ‘adzāb dunia.” (an-Nāzi‘āt [79]: 25)
Maka Allah pun mengancam Fir‘aun dan para pengikutnya di Laut Merah. ‘Adzāb siksa yang ditimpakan kepada Fir‘aun itu tidak saja merupakan ‘adzāb dunia, tetapi dia juga akan di‘adzāb di akhirat kelak di dalam neraka Jahannam.
إِنَّ فِيْ ذلِكَ لَعِبْرَةً لِّمَنْ يَخْشَى.
Inna fī dzālika la‘ibratal limay yakhsyā.
“Sesungguhnya yang demikian itu benar-benar terdapat pelajaran bagi orang-orang yang takut kepada Tuhan.” (an-Nāzi‘āt [79]: 26)
Apa yang sudah dijelaskan itu merupakan pelajaran bagi orang yang berakal, yang mau memperhatikan akibat yang ditimbulkan oleh sikap dan tindak-tanduk mereka.
Dalam ayat-ayat ini, Allah bersumpah dengan berbagai makhlūq-Nya untuk menandaskan bahwa masalah hari bangkit dan mengumpulkan manusia di padang maḥsyar untuk memberikan pembalasan adalah hal yang benar dan tidak perlu diragukan lagi. Itu akan terjadi pada suatu hari yang sangat besar huru-haranya. Untuk menghidupkan mereka kembali hanya memerlukan satu kali tiupan sangkakala saja.
Allah kembali menjelaskan sekelumit kisah Mūsā dengan Fir‘aun serta menerangkan bahwa kedurhakaan Fir‘aun telah dengan sangat ganasnya, sehingga dia pun menda‘wah dirinya sebagai tuhan. Mūsā menerima semua kesulitan dengan hati yang tabah. Fir‘aun yang sangat perkasa itu pada akhirnya dibinasakan oleh Allah dan dibenamkan ke dalam Laut Merah.