سُوْرَةُ النَّصْرِ
AN-NASHR (Pertolongan)
Surah ke 110: 3 ayat.
Firman Allah s.w.t.:
إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللهِ وَ الْفَتْحُ.
“Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan.” (Qs. an-Nashr [110]: 1).
Di sini disebutkan (النَّصْر) “pertolongan” dan (الْفَتْحُ) “kemenangan”, padahal keduanya saling terkait, sebab bersama setiap pertolongan ada kemenangan dan bersama setiap kemenangan ada pertolongan. Lalu, apakah keduanya saling melazimi? Sebagaimana kata (النَّصْر) di sini mudhaf kepada (اللهُ) dan kata (الْفَتْحُ) mutlak (berdiri sendiri).
Para mufassir sepakat bahwa surah tersebut turun sesudah penaklukan Makkah, sebab penaklukan Makkah didahului dengan beberapa penaklukan, di antaranya penaklukan Khaibar dan perjanjian Ḥudaibiyyah. Allah menamakannya (فَتْح) dalam firman-Nya: (فَعَلِمَ مَا لَمْ تَعْلَمُوْا فَجَعَلَ مِنْ دُوْنِ ذلِكَ فَتْحًا قَرِيْبًا.) “Maka Allah mengetahui apa yang tiada kamu ketahui dan Dia memberikan sebelum itu kemenangan yang dekat.” (Qs. al-Fatḥ [48]: 27).
(النَّصْر) terjadi di medan-medan pertempuran, terjadi dengan hujjah serta kekuatan, dan terjadi dengan menahan serangan musuh, sebagaimana dalam Perang al-Aḥzāb: (وَ رَدَّ اللهُ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا بِغَيْظِهِمْ لَمْ يَنَالُوْا خَيْرًا وَ كَفَى اللهُ الْمُؤْمِنِيْنَ الْقِتَالَ، وَ كَانَ اللهُ قَوِيًّا عَزِيْزًا.) “Dan Allah menghalau orang-orang yang kafir itu yang keadaan mereka penuh kejengkelan, (lagi) mereka tidak memperoleh keuntungan apa pun. Dan Allah menghindarkan orang-orang mu’min dari peperangan, dan adalah Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa.” (Qs. Al-Aḥzāb [33]: 25).
Juga sebagaimana pada kaum Yahudi:
وَ أَنْزَلَ الَّذِيْنَ ظَاهَرُوْهُمْ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ مِنْ صَيَاصِيْهِمْ وَ قَذَفَ فِيْ قُلُوْبِهِمُ الرُّعْبَ فَرِيْقًا تَقْتُلُوْنَ وَ تَأْسِرُوْنَ فَرِيْقًا، وَ أَوْرَثَكُمْ أَرْضَهُمْ وَ دِيَارَهُمْ وَ أَمْوَالَهُمْ وَ أَرْضًا لَمْ تَطَؤُهَا، وَ كَانَ اللهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرًا.
“Dan Dia menurunkan orang-orang Ahli Kitāb (bani Quraizhah) yang membantu golongan-golongan yang bersekutu dari benteng-benteng mereka, dan Dia memasukkan rasa takut ke hati mereka. Sebagian mereka kamu bunuh dan sebagian yang lain kamu tawan. Dan Dia mewariskan kepada kamu tanah-tanah, rumah-rumah dan harta benda mereka, dan (begitu pula) tanah yang belum kamu injak, dan adalah Allah Maha Kuasa terhadap segala sesuatu.” (Qs. al-Aḥzāb [33]: 26-27).
Berarti (النَّصْر) adalah hak dari Allah: (وَ مَا النَّصْرُ إِلَّا مِنْ عِنْدِ اللهِ الْعَزِيْزِ الْحَكِيْمِ.) “Dan kemenanganmu itu hanyalah dari Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Qs. Āli ‘Imrān [3]: 126).
Kaum Muslim juga mengetahui hal tersebut, sebagaimana firman Allah s.w.t.: (مَسَّتْهُمُ الْبَأْسَاءُ وَ الضَّرَّاءُ وَ زُلْزِلُوْا حَتَّى يَقُوْلَ الرَّسُوْلُ وَ الَّذِيْنَ آمَنُوْا مَعَهُ مَتَى نَصْرُ اللهِ.) “Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncang (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasūl dan orang-orang yang beriman bersamanya: “Bilakah datangnya pertolongan Allah?” (Qs. al-Baqarah [2]: 214).
Mereka mengharapkan pertolongan. Kemudian datang kepada mereka jawaban: (أَلَا إِنَّ نَصْرَ اللهِ قَرِيْبٌ.) “Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat.” (Qs. al-Baqarah [2]: 214).
Dalam hadits disebutkan: “Aku ditolong dengan rasa takut (yang dimasukkan ke dalam hati musuh) sejarak satu bulan perjalanan.” (1681).
Allah s.w.t. telah berfirman kepada Mūsā dan saudaranya (Hārūn): (لَا تَخَافَا إِنَّنِيْ مَعَكُمَا أَسْمَعُ وَ أَرَى.) “Janganlah kamu berdua khawatir, sesungguhnya Aku beserta kamu berdua, Aku mendengar dan melihat.” (Qs. Thāhā [20]: 46).
Itu merupakan pertolongan berupa kebersamaan dan dukungan, maka pertolongan di sini bersifat umum.
Demikian pula penaklukan dalam agama dengan tersebarnya Islam, terutama dua penaklukan tersebar; penaklukan Ḥudaibiyyah dan penaklukan Makkah, sebab penaklukan yang pertama merupakan persiapan bagi penaklukan yang kedua, dan penaklukan yang kedua merupakan pembasmian negara syirik di Jazīrah ‘Arab, yang juga menunjukkan makna umum dalam pertolongan dan kemenangan.
Firman Allah s.w.t.:
وَ رَأَيْتَ النَّاسَ يَدْخُلُوْنَ فِيْ دِيْنِ اللهِ أَفْوَاجًا.
“Dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong.” (Qs. an-Nashr [110]: 2).
Seakan-akan manusia berdatangan dari setiap penjuru hingga dari Yaman. Ini menunjukkan kesempurnaan dakwah dan kesuksesan risalah, sebagaimana ditunjukkan dengan turunnya ayat: (الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ وَ أَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِيْ وَ رَضِيْتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِيْنًا.) “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (Qs. al-Mā’idah [5]: 3). Ayat ini turun pada musim haji tahun itu.
Di sini dapat dilihat bahwa kata (النَّصْر) datang dengan lafazh (نَصْرُ اللهِ), dan pada selain ini: (وَ مَا النَّصْرُ إِلَّا مِنْ عِنْدِ اللهِ.) “dan kemenanganmu itu hanyalah dari Allah.”
Idhāfah (penyandaran) di sini memiliki konotasi makna sempurna, sebagaimana lafazh (بَيْتُ اللهِ), pada semua masjid adalah rumah Allah. Berarti itu menyiratkan pertolongan dengan segenap pertolongan. Atau pertolongan sempurna seluruhnya untuk Rasūlullāh s.a.w.
Tentang (الْفَتْحُ) “penaklukan” di sini, ada yang berpendapat: “Maksudnya adalah penaklukan Makkah.”
Ada yang berpendapat: “Maksudnya adalah penaklukan al-Madā’in (kota-kota) dan lainnya.”
Telah lalu isyarat kepada beberapa penaklukan sebelum penaklukan Makkah.
Ada beberapa penaklukan yang dijanjikan setelah penaklukan Makkah, dan Rasūlullāh s.a.w. menjelaskannya saat Perang al-Aḥzāb. Sewaktu mereka sedang menggali parit, tiba-tiba mereka berhadapan dengan sebuah batu besar yang tidak sanggup mereka pecahkan, maka mereka memanggil Rasūlullāh s.a.w. Beliau pun mengambil sedikit air dan berkumur-kumur kemudian mengeluarkannya sambil berdoa kepada Allah, kemudian beliau memukul batu tersebut, maka batu itu pun telah menjadi lunak seperti gundukan pasir.
Ibnu Katsīr meriwayatkannya dengan beberapa riwayat dan jalur yang berbeda-beda. Semuanya menyebutkan bahwa saat itu Rasūlullāh s.a.w. memukulnya dengan tiga kali pukulan, yang setiap satu kali pukulan. Ketika hal itu mereka tanyakan, beliau menjawab: “Pada pukulan yang pertama diberikan kepadaku kunci-kunci kemenangan atas Persia.” Beliau juga menyebut Yaman dan Syām.
Semuanya memang riwayat-riwayat yang tidak lepas dari perdebatan, tetapi karena banyaknya, maka satu sama lain saling menguatkan.
Riwayat yang paling kuat di antaranya adalah riwayat an-Nasā’ī dengan sanadnya: Ketika Rasūlullāh s.a.w. memerintahkan penggalian parit, mereka terhalang oleh sebuah batu besar di antara galian. Nabi s.a.w. lalu datang dan mengambil kapak, seraya meletakkan selendangnya di tepi parit, dan membaca: (وَ تَمَّتْ كَلِمَتُ رَبِّكَ صِدْقًا وَ عَدْلًا، لَا مُبَدِّلَ لِكَلِمَاتِهِ، وَ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ.) “Telah sempurnalah kalimat Tuhanmu (al-Qur’ān) sebagai kalimat yang benar dan adil. Tidak ada yang dapat merobah-robah kalimat-kalimat-Nya dan Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Qs. al-An‘ām [6]: 115). Lalu runtuhlah sepertiga batu itu. Sementara itu, Salmān al-Fārisī berdiri melihat, dan ia melihat munculnya kilauan cahaya bersama pukulan Rasūlullāh s.a.w. Beliau lalu mengayunkan pukulan kedua dan membaca apa yang dibacanya tadi, dan kembali muncul kilauan cahaya. Beliau lalu mengayunkan pukulan ketiga. Setelah itu Rasūlullāh s.a.w. keluar dari parit, sementara batu tersebut telah pecah. Beliau kemudian mengambila selendangnya, lalu duduk. Salmān pun bertanya kepada beliau tentang kilauan cahaya tersebut. Beliau berkata: “Apakah kau melihatnya?” Salman berkata: “Ya, demi Dzāt yang mengutusmu dengan kebenaran, wahai Rasūlullāh.” Beliau lalu menceritakan kepadanya kota-kota Kisra dan sekitarnya serta banyak kota-kota lain hingga beliau dapat melihatnya dengan mata kepalanya. Mereka lalu berkata: “Berdoalah kepada Allah untuk kami agar kota-kota itu ditaklukkan atas kami.” Beliau pun berdoa untuk mereka. Pada pukulan yang kedua, diperlihatkan kepada beliau kota-kota Romawi dan sekitarnya. Pada pukulan yang ketiga, diperlihatkan kepada beliau kota-kota Ḥabasyah. Mereka minta supaya beliau berdoa agar kota-kota tersebut ditaklukkan atas mereka. Beliau pun berdoa untuk mereka, kecuali pada Ḥabasyah, beliau berkata: “Biarkanlah Ḥabasyah selama mereka membiarkan kamu dan tinggalkanlah Turki selama mereka meninggalkan kamu.” (1692). (Ringkasan).
Masing-masing dari Ibnu Katsīr, dan an-Nasā’ī meriwayatkan kisah ini dengan panjang lebar.
Riwayat-riwayat tersebut, sekalipun mengandung kritikan, namun dalam al-Muwaththa’ terdapat riwayat yang tidak mengandung kritikan, tidak diragukan ke-shahih-annya, dan tidak diragukan tunjukan maknanya, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Mālik dari Hisyām, dari ‘Urwah, dari ayahnya, dari ‘Abdullāh bin az-Zubair, dari Sufyān bin Abī Zuhair, ia berkata: “Aku mendengar Rasūlullāh s.a.w. bersabda:
يُفْتَحُ الْيَمَنُ فَيَأْتِيْ قُوْمٌ يَسُبُّوْنَ فَيَتَحَمَّلُوْنَ بِأَهْلِيْهِمْ وَ مَنْ أَطَاعَهُمْ، وَ الْمَدِيْنَةُ خَيْرٌ لَهُمْ لَوْ كَانُوْا يَعْلَمُوْنَ بِأَهْلِيْهِمْ وَ مَنْ أَطَاعَهُمْ، وَ الْمَدِيْنَةُ خَيْرٌ لَهُمْ لَوْ كَانُوْا يَعْلَمُوْنَ، وَ يُفْتَحُ الْعِرَاقُ فَيَأْتِيْ قُوْمٌ يَسُبُّوْنَ فَيَتَحَمَّلُوْنَ بِأَهْلِيْهِمْ وَ مَنْ أَطَاعَهُمْ، وَ الْمَدِيْنَةُ خَيْرٌ لَهُمْ لَوْ كَانُوْا يَعْلَمُوْنَ.
“Ditaklukkan Yaman, lalu datanglah sekelompok orang, perlahan-lahan membawa keluarga mereka dan orang-orang yang mamatuhi mereka, padahal Madīnah lebih baik bagi mereka sekiranya mereka mengetahui. Ditaklukkan Syām, lalu datanglah sekelompok orang, perlahan-lahan membawa keluarga mereka dan orang-orang yang mematuhi mereka, padahal Madīnah lebih baik bagi mereka sekiranya mereka mengetahui. Ditaklukkan ‘Irāq, lalu datanglah sekelompok orang perlahan-lahan membawa keluarga mereka dan orang-orang yang mematuhi mereka, padahal Madīnah lebih baik bagi mereka sekiranya mengetahui.” (1703).
Itu merupakan nash yang shaḥīḥ dan jelas dari Rasūlullāh s.a.w. semasa hidupnya tentang penaklukan Yaman, Syām, dan ‘Irāq. Semuanya ditaklukkan sepeninggal Rasūlullāh s.a.w., kecuali Yaman.
Pendapat tersebut diperkuat oleh hadits yang dikeluarkan Ibnu Jarīr dari Ibnu ‘Abbās: Ketika Rasūlullāh s.a.w. di Madīnah, tiba-tiba beliau berkata: “Allāhu Akbar, Allāhu Akbar, telah datang pertolongan Allah dan kemenangan, telah datang penduduk Yaman.” Beliau pun ditanya: “Wahai Rasūlullāh, siapa itu penduduk Yaman?” Beliau menjawab:
قَوْمٌ رَقِيْقَةٌ قُلُوْبُهُمْ، لَيِّنَةٌ طَبَاعُهُمْ، الْإِيْمَانُ يَمَانٍ، وَ الْفِقْهُ يَمَانٍ، وَ الْحِكْمَةُ يَمَانِيَّةٌ.
“Kaum yang lembut hatinya dan santun wataknya. Iman adalah milik orang Yaman. Fikih adalah milik orang Yaman, dan hikmah adalah milik orang Yaman.” (1714) (HR. Ibnu Katsīr dari Ibnu ‘Abbās).
Penaklukan Makkah terjadi pada tahun ke-8 H. Lalu pada tahun ke-9 H. datanglah utusan-utusan yang masuk ke dalam agama Allah secara berbondong-bondong. Datanglah delegasi Yaman, dan Rasūlullāh s.a.w. mengirim utusannya ke Yaman setelah penaklukan Makkah. Kemudian pada tahun ke-10 H. ‘Alī r.a. kembali dari Yaman pada musim haji. Berarti, Yaman ditaklukkan setelah penaklukan Makkah, semasa hidup Rasūlullāh s.a.w.
Berdasarkan itu, maka penaklukan-penaklukan terjadi setelah penaklukan Makkah, yang dapat disimpulkan di sini dengan firman Allah: (وَ الْفَتْحُ) “dan kemenangan”, tidak terbatas penaklukan Makkah, sebagaimana kata mereka.
Janji adanya penaklukan-penaklukan yang mencakup daerah-daerah yang sangat luas dapat diambil dengan makna isyarat dari firman Allah: (وَ أَذِّنْ فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوْكَ رِجَالًا وَ عَلَى كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِيْنَ مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيْقٍ.) “Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh.” (Qs. al-Ḥajj [22]: 27).
Itu karena (يَأْتِيْنَ مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيْقٍ.) menunjukkan datang menunaikan haji dari tempat yang jauh, dan datang menunaikan haji menunjukkan atas Islam, selanjutnya menunjukkan datangnya kaum muslim dari tempat-tempat yang jauh.
Firman Allah s.w.t.:
فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَ اسْتَغْفِرْهُ، إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا.
“Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima tobat.” (Qs. an-Nashr [110]: 3).
Telah lewat pembicaraan mengenai kata tasbīḥ, muta‘allaq-nya dan tashrīf-nya.
Penyandingan tasbīḥ dengan memuji Allah di sini mengandung keterkaitan yang halus dengan awal surah dan temanya, yaitu menunjukkan kesempurnaan misi risalah dengan datangnya pertolongan Allah bagi Nabi-Nya, bagi kaum mu’min, dan bagi agama-Nya, serta dengan datangnya penaklukan yang umum atas negeri-negeri Allah bagi kaum muslim dengan nyata atau dengan janji yang benar sebagaimana yang lalu, dan itu merupakan nikmat yang wajib disyukuri, dan pengaturnya berhak mendapatkan pujian.
Jadi, tasbīḥ disandingkan dengan pujian sebagai bandingan, dan firman Allah: (بِحَمْدِ رَبِّكَ) bertujuan menyatakan bahwa Allah-lah yang memberi nikmat-nikmat itu, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah: (مَا وَدَّعَكَ رَبُّكَ وَ مَا قَلَى) “Tuhanmu tiada meninggalkan kamu dan tiada (pula) benci kepadamu.” (Qs. adh-Dhuḥā [93]: 3).
(اِقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ) “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu.” (Qs. al-‘Alaq [96]: 1).
(اِقْرَأْ وَ رَبُّكَ الْأَكْرَمُ) “Bacalah dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah.” (Qs. al-‘Alaq [96]: 3).
Itu karena sifat Rubūbiyyah (ketuhanan) menyiratkan pemberian nikmat.
Tentang firman Allah: (رَبِّكَ وَ اسْتَغْفِرْهُ) “Tuhanmu, dan mohonlah ampunan kepada-Nya”, sebagian mufassir mengatakan bahwa istighfār adalah permohonan ampun dari dosa dan lainnya. Telah lewat pembicaraan tentang ke-ma‘shūm-an para nabi pada firman Allah: (وَ وَضَعْنَا عَنْكَ وِزْرَكَ.) “Dan Kami telah menghilangkan daripadamu bebanmu.” (Qs. al-Insyirāḥ [94]: 2).
Hal yang perlu disinggung di sini di antaranya tobat, yang merupakan dakwah para rasul. Seandainya kita mulai dari Ādam a.s. bersama kisahnya, maka di dalamnya disebutkan: (فَتَلَقَّى آدَمُ مِنْ رَبِّهِ كَلِمَاتٍ فَتَابَ عَلَيْهِ.) “Kemudian Ādam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, maka Allah menerima tobatnya.” (Qs. al-Baqarah [2]: 37).
Nūḥ a.s. lalu berkata: (رَبِّ اغْفِرْ لِيْ وَ لِوَالِدَيَّ وَ لِمَنْ دَخَلَ بَيْتِيَ مُؤْمِنًا وَ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَ الْمُؤْمِنَاتِ.) “Ya Tuhanku, ampunilah aku, ibu bapakku, orang yang masuk ke rumahku dengan beriman dan semua orang yang beriman laki-laki dan perempuan.” (Qs. Nūḥ [71]: 28).
Ibrāhīm a.s. berkata: (وَ أَرِنَا مَنَاسِكَنَا وَ تُبْ عَلَيْنَا، إِنَّكَ أَنْتَ التَّوَّابُ الرَّحِيْمُ.) “Dan tunjukkanlah kepada kami cara-cara dan tempat-tempat ibadah haji kami, dan terimalah tobat kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Penerima Tobat lagi Maha Penyayang.” (Qs. al-Baqarah [2]: 128).
Berdasarkan itu, sebagian ulama berpendapat bahwa istighfār merupakan satu ibadah, seperti tasbīḥ, maka tidak harus ada dosa.
Ada yang berpendapat: “Itu merupakan pengajaran bagi umatnya.”
Ada yang berpendapat: “Istighfār tersebut untuk mengangkat derajatnya.”
Dalam hadits disebutkan bahwa Rasūlullāh s.a.w. bersabda:
تُوْبُوْا إِلَى اللهِ، فَإِنِّيْ أَتُوْبُ إِلَى اللهِ فِي الْيَوْمِ مِائَة مَرَّةٍ.
“Bertobatlah kamu kepada Allah, sesungguhnya aku bertobat kepada Allah dalam sehari sebanyak seratus kali.” (1725).
Berarti, istighfār juga termasuk kategori memperbanyak kebaikan dan kembali kepada Allah.
Dalam kitab tafsir semua mufassir disebutkan bahwa sejak surah ini diturunkan, Rasūlullāh s.a.w. tidak pernah meninggalkan ucapan: (سُبْحَانَكَ اللهُمَّ وَ بِحَمْدِكَ.) “Maha Suci Engkau ya Allah, dan segala puji bagi-Mu”.
‘Ā’isyah r.a. berkata: “Beliau mena’wilkan al-Qur’ān.”
Artinya, beliau menafsirkan dan mengamalkannya.
Abū Ḥayyān mengutip dari az-Zamakhsyarī: “Perintah istighfār bersama tasbīḥ merupakan penyempurnaan perintah dengan sesuatu yang menjadi pilar agama, yaitu menghimpun ketaatan dan menghindari kemaksiatan. Perintah ber-istighfār yang disampaikan kepada Nabi s.a.w. padahal beliau seorang yang ma‘shūm merupakan pendorong semangat tersendiri bagi umatnya, dan karena istighfār itu termasuk sikap tawādhu‘ (kerendahan hati) dan penahan nafsu yang merupakan ibadah tersendiri.”
Hal ini juga menjadi pengalihan perhatian bagi orang-orang yang biasa melakukan ritual dzikir dan wirid, bahwa inilah yang selalu diucapkan oleh Rasūlullāh s.a.w. di samping wirid dan dzikir pagi dan petang, tidak membatasi diri dengan hanya menyebut salah satu dari Nama-nama Allah secara tersendiri yang tidak ada nash-nya secara shaḥīḥ maupun syarīḥ.
Kebaikan yang sempurna adalah mengikuti Sunnah, bukan membuat bid‘ah, dan kebaikan apakah yang lebih besar dari apa yang dipilihkan Allah untuk Nabi-Nya di akhir hayatnya, yang beliau diperintahkan melakukannya, dan beliau sendiri senantiasa mejalankannya?!
Kami katakan “di akhir hayatnya” karena tidak berapa sesudah itu beliau wafat.
Dalam ayat tersebut terdapat indikasi perhatian, sebagaimana kata mereka, dan indikasi komitmen, sebagaimana diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbās dalam kisah ‘Umar r.a. bersama para pembesar Muhājirīn dan Anshār, ketika ‘Umar mengizinkannya (Ibnu ‘Abbās) duduk bersama mereka, dan ia memandangi wajah mereka. Kemudian mereka berkata kepadanya: “Kami punya anak-anak yang seumur dia.” ‘Umar berkata: “Dia ini sebagaimana yang kamu ketahui.”
Pada suatu hari para pembesar Muhājirīn dan Anshār berkumpul di sekeliling ‘Umar, lalu ‘Umar memanggil Ibnu ‘Abbās. Ibnu ‘Abbās berkata: “Aku tahu dia tidak memanggilku melainkan untuk suatu urusan. Lalu ‘Umar bertanya kepada mereka tentang firman Allah: (إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللهِ وَ الْفَتْحُ.) “Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan”. Maka mereka menjawab: “Itu adalah kabar gembira tentang kemenangan dan pertolongan.” Lalu ‘Umar berkata: “Apa pendapatmu hai Ibnu ‘Abbās?” Maka aku berkata: “Demi Allah, tidak, itu adalah kabar kematian Rasūlullāh s.a.w. kepada kita, ketika beliau masih berada di tengah-tengah kita.” Lalu ‘Umar berkata: “Dan aku pun tidak mengetahui tentangnya kecuali sebagaimana yang kau katakan, bahwa Rasūlullāh s.a.w. datang untuk sebuah misi, dan misi itu telah selesai dengan datangnya kemenangan, pertolongan, serta berbondong-bondongnya manusia masuk Islam.” Dengan demikian berarti beliau telah menunaikan amanah dan menyampaikan risalah, maka beliau pun bersiap-siap untuk menemui Tuhannya guna menerima balasan amalnya. Ini merupakan kesimpulan yang sangat teliti dan penjelasan bagi ucapan ‘Alī r.a., atau pemahaman tentang al-Qur’ān yang diberikan Allah kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya.