Surah an-Nas 114 ~ Tafsir asy-Syanqithi – Bagian 3

Dari Buku:
Tafsir Adhwa’-ul-Bayan
(Tafsir al-Qur’an dengan al-Qur’an
(Jilid 11, Juz ‘Amma)
Oleh: Syaikh asy-Syanqithi

Penerjemah: Ahmad Affandi, Zubaidah Abdurrauf, Kholid Hidayatulullah, Muhammad Yusuf.
Penerbit: PUSTAKA AZZAM

Rangkaian Pos: Surah an-Nas 114 ~ Tafsir asy-Syanqithi

SURAH AN-NĀS

AN- NĀS (Manusia)
Surah ke 114: 6 ayat.

Peringatan

Abu Hayyan pada akhir kitab tafsirnya menyebutkan satu perbandingan yang halus antara surah al-Falaq dengan an-Nās. Beliau berkata: “Manakala kemudharatan agama, yaitu penyakit waswas, lebih besar dari kemudharatan dunia, maka datang bentuk permohonan perlindungan dengan tiga sifat, yaitu (الرب), (الملك), dan (الإله), sekalipun yang diminta satu. Dalam memohon perlindungan dari tiga: (الغاسق), (النفاثات), dan (الحاسد), dengan satu sifat, yaitu (الرب), sekalipun banyak yang dimohonkan perlindungan darinya.”

Ada hal lain yang menarik perhatian, yang sudah lama saya amati dalam dua sudut pandang saya, yaitu perbandingan di antara kedua surah, dan perbandingan antara surah an-Nās dengan susunan mushhaf yang mulia. Akan datang penjelasan mengenai keduanya.

Hanya saja, menurut sudut pandang Abu Hayyan, bahwa Allah s.w.t. disebut dalam surah al-Falaq pada permohonan perlindungan dengan satu sifat: (رب الفلق) Sementara dalam surah an-Nās pada permohonan perlindungan disebut dengan tiga sifat, padahal hal-hal yang dimohonkan perlindungan darinya dalam surah al-Falaq adalah tiga perkata, dan pada surah an-Nās hanya satu perkara. Namun karena urgennya perkara yang satu tersebut, maka disebutkan tiga sifat itu.

Dikatakan juga dari sudut lain bahwa yang dimohonkan perlindungan darinya pada surah yang pertama (al-Falaq) adalah perkara-perkara yang datang dari luar diri manusia, dan terkadang berupa kejahatan yang nyata. Hal semacam itu dapat diwaspadai sebelum terjadinya dan dapat dihindari jika diketahui. Sedangkan satu kejahatan dalam surah kedua (an-Nās) datang dari dalam diri manusia, dan bisa jadi itu berupa bisikan nafsu serta hal-hal yang tidak sanggup ditolaknya, sebab syaithan dapat melihat kita, sementara kita tidak dapat melihatnya:

إِنَّهُ يَرَاكُمْ هُوَ وَ قَبِيْلُهُ مِنْ حَيْثُ لاَ تَرَوْنَهُمْ

Sesungguhnya ia dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka.” (al-A‘rāf [7]: 27).

Terkadang ia goncang oleh kebimbangan dirinya dan pertentangan pikirannya, lalu ia tidak menemukan penyelesaiannya kecuali dengan memohon perlindungan kepada Tuhan manusia, Raja manusia, Sembahan manusia.

Adapun dua sudut pandang yang telah kami isyaratkan tadi, maka yang pertama adalah perbandingan di antara dua surah tersebut, yaitu dari apa yang disebutkan oleh Ibnu Hayyan, sebab dalam surah al-Falaq. Allah berfirman: (قُلْ أَعُوْذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ) “Katakanlah: “Aku berlindung kepada Tuhan yang menguasai Shubuh.” (al-Falaq [113]: 1).

(رَبِّ الْفَلَقِ) “Tuhan yang menguasai Shubuh” sebanding dengan: (رَبِّ الْعَالَمِيْنَ) “Tuhan semesta alam.” (al-Fātiḥah [1]: 2) karena tak ada apa pun di alam ini kecuali ia (مفلوق) “terbit” dari selainnya.

Pada tumbuh-tumbuhan: (فَالِقُ الْحَبِّ وَ النَّوَى) “Menumbuhkan butir tumbuh-tumbuhan dan biji buah-buahan.” (al-An‘ām [6]: 95).

Pada masa atau waktu: (فَالِقُ الْإِصْبَاحِ) “Dia menyingsingkan pagi.” (al-An‘ām [6]: 96).

Pada hewan-hewan: (الَّذِيْ خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَ خَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَ بَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيْرًا وَ نِسَاءً) “Yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan daripadanya Allah menciptakan istrinya; dan daripada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak.” (an-Nisā’ [4]: 1).

Pada benda-benda mati: (أَوَلَمْ يَرَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا أَنَّ السَّموَاتِ وَ الْأَرْضَ كَانَتَا رَتْقًا فَفَتَقْنَاهُمَا، وَ جَعَلْنَا مِنَ الْمَاءِ كُلَّ شَيْءٍ حَيٍّ، أَفَلَا يُؤْمِنُوْنَ. وَ جَعَلْنَا فِي الْأَرْضِ رَوَاسِيَ أَنْ تَمِيْدَ بِهِمْ) “Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwa langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah sesuatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman? Dan telah Kami jadikan di bumi ini gunung-gunung yang kokoh supaya bumi itu (tidak) goncang bersama mereka.” (al-Anbiyā’ [21]: 30-31).

Berarti (رَبِّ الْفَلَقِ) sebanding dengan (رَبِّ الْعَالَمِيْنَ), maka mengimbanginya dalam mohon perlindungan dengan keumuman yang dimohonkan perlindungan darinya, yaitu kejahatan makhluk-Nya.

Kemudian datang sebutan yang khusus sesudah yang umum untuk menarik perhatian terhadapnya, yaitu dari kejahatan malam apabila telah gelap, kejahatan wanita-wanita tukang sihir yang meniup pada buhul-buhul, dan kejahatan pendengki bila ia dengki.

Yang dimohon perlindungan dengannya satu sifat, sementara yang dimohonkan perlindungan darinya adalah makhluk ciptaan-Nya secara umum dan rinci. Sedangkan pada surah kedua (an-Nās), yang dimohon perlindungan dengannya ada tiga sifat yang merupakan sifat-sifat keagungan bagi Allah s.w.t., yaitu (الرب), (الملك), dan (الإله). Perbandingan yang dimohonkan perlindungan darinya hanya satu, yaitu (الوسواس الخناس), dan ini menunjukkan betapa berbahayanya yang dimohonkan perlindungan darinya ini.

Memang begitulah, karena jika kita memperhatikan realita, tentu kita akan menemukan pemicu setiap fitnah dan awal setiap kejahatan, baik di dunia maupun di akhirat, disebabkan oleh (الوسواس الخناس) “bisikan syaithan yang biasa bersembunyi”, dan ia terkait dengan sejarah keberadaan manusia.

Dosa pertama yang terjadi atas manusia pertama berasal dari (الوسواس الخناس) ini, yaitu manakala Allah s.w.t. memuliakan Adam, Dia menciptakannya dengan tangan-Nya, memerintahkan para malaikat sujud kepadanya, menempatkannya di surga bersama istrinya, tidak lapar di dalamnya dan tidak telanjang, serta tidak haus di dalamnya dan tidak binasa. Keduanya makan darinya apa pun yang mereka mau, kecuali dari pohon terlarang. Syaithan lalu datang menggoda, membujuk keduanya dengan tipu-daya, sehingga keduanya memakannya, yang berakibat pada diturunkannya mereka ke bumi dalam keadaan saling memusuhi.

Setelah keduanya berdiam di bumi, syaithan mendatangi anak mereka berdua, Qabil dan Habil, membisiki dengan bisikan jahat sampai berhasil menundukkan jiwa salah seorang dari keduanya untuk membunuh saudaranya, sehingga dia menjadi termasuk orang yang menyesal.

Begitu juga dengan seluruh manusia, dalam hidupnya pasti menghadapi godaan sehingga membuatnya tergelincir di dunia dan binasa di akhirat. Sesungguhnya syaithan selalu menjadikan perempuan sebagai jembatan bagi setiap apa yang ia inginkan. Ia mengulang kembali putaran dalam menanggalkan pakaian dari kedua moyang kita di surga, lalu ia menanggalkannya dari mereka di bawah bayang-bayang Baitullah al-Haram dalam thawaf mereka sebelum pengutusan Rasulullah s.a.w. Syaithan juga senantiasa menggoda melalui perempuan di setiap masa dan tempat untuk mengeluarkannya dari sikap istiqamah, sebagaimana ia telah mengeluarkan kedua moyangnya dari surga. Syaithan akan senantiasa menarik manusia dengan sekuat tenaga demi memenuhi sumpahnya di hadapan Allah untuk menyesatkan mereka semuanya.

Sesungguhnya pintu kerusakan yang paling berbahaya dalam masyarakat berasal dari harta, darah, atau kehormatan, sebagaimana dalam hadits haji Wada‘:

أَلَا إِنَّ دِمَاءَكُمْ وَ أَمْوَالَكُمْ وَ أَعْرَاضَكُمْ عَلَيْكُمْ حَرَامٌ كَحُرْمَةِ يَوْمِكَمْ هذَا.

Ketahuilah, sesungguhnya darah kamu, harta benda kamu, dan kehormatan kamu adalah haram atas kamu seperti keharaman hari kamu ini…” (198)

Apakah ada satu kejahatan terhadap salah satu darinya bukan berasal dari pengaruh (الوسواس الخناس) “bisikan syaithan yang biasa bersembunyi?” Jawabnya: Tidak.

Demikian pula di akhirat, Allah s.w.t. telah menjelaskan situasi dengan nyata dalam ucapan syaithan yang sangat jelas:

وَ قَالَ الشَّيْطَانُ لَمَّا قُضِيَ الأَمْرُ إِنَّ اللهَ وَعَدَكُمْ وَعْدَ الْحَقِّ وَ وَعَدْتُّكُمْ فَأَخْلَفْتُكُمْ وَ مَا كَانَ لِيَ عَلَيْكُمْ مِّنْ سُلْطَانٍ إِلاَّ أَنْ دَعَوْتُكُمْ فَاسْتَجَبْتُمْ لِيْ فَلاَ تَلُوْمُوْنِيْ وَ لُوْمُوْا أَنْفُسَكُمْ مَّا أَنَا بِمُصْرِخِكُمْ وَ مَا أَنْتُمْ بِمُصْرِخِيَّ إِنِّيْ كَفَرْتُ بِمَا أَشْرَكْتُمُوْنِ مِنْ قَبْلُ

Dan berkatalah syaitan tatkala perkara (hisab) telah diselesaikan: “Sesungguhnya Allah telah menjanjikan kepadamu janji yang benar, dan aku pun telah menjanjikan kepadamu tetapi aku menyalahinya. Sekali-kali tidak ada kekuasaan bagiku terhadapmu, melainkan (sekedar) aku menyeru kamu lalu kamu mematuhi seruanku, oleh sebab itu janganlah kamu mencerca aku, akan tetapi cercalah dirimu sendiri. Aku sekali-kali tidak dapat menolongmu dan kamu pun sekali-kali tidak dapat menolongku. Sesungguhnya aku tidak membenarkan perbuatanmu mempersekutukan aku (dengan Allah) sejak dahulu”.” (Ibrāhīm [14]: 22).

Sesungguhnya musuh kaum muslim tahu bahwa senjata yang paling berbahaya bagi manusia adalah keraguan, dan tidak ada jalan kepadanya kecuali dengan godaan. Syaithan pun mengambil perannya dan bergegas menggoda kaum muslim pada agama mereka dan pada dunia mereka, membuat mereka ragu pada kemampuan mereka untuk hidup terhormat dalam keadaan terbebas darinya, membuat mereka ragu pada kemampuan mereka untuk maju dan meraih kemandirian sejati, bahkan pada kemampuan mereka untuk berkreasi dan berkarya supaya mereka tetap berada dalam garis orbitnya dan daerah pengaruhnya. Lalu tinggallah kaum muslim berputar-putar dalam lingkaran kosong, maju selangkah dan mundur selangkah.

Orang yang meragukan hasil suatu pekerjaan tidak akan berani mengerjakannya selama-lamanya. Bahkan, apa yang dia bangun pada hari ini akan dia runtuhkan esok pagi. Akibat yang berbahaya ini telah dinyatakan oleh pimpinan muktamar pada orientalis di Timur Tengah sejak lebih dari 30 tahun yang lalu saat menyelenggarakan muktamar di Beirut untuk memaparkan hasil-hasil upaya mereka dan mengkaji metode-metode misi penginjilan mereka.

Para peserta muktamar lalu mengeluh karena lebih kurang 40 tahun mereka bekerja terus-menerus, namun mereka tidak berhasil mengkristenkan seorang muslim pun. Sang pimpinan muktamar lalu berkata: “Jika kita tidak berhasil mengkristenkan seorang muslim pun, namun kita berhasil menciptakan kerancuan dalam pemikiran, berarti kita telah berhasil dalam usaha kita.”

Begitulah cara musuh, menciptakan keraguan pada isu-isu Islam untuk menciptakan kerancuan pada akidah kaum muslim, terkadang lewat masalah warisan, terkadang melalui isu poligami, terkadang melalui motif peperangan, terkadang melalui perbudakan dan seterusnya.

Hingga dari kalangan anak-anak kaum muslim sendiri terdapat orang yang melangkah melewati batas keraguan menuju pembenaran dan bergegas mempropagandakan apa yang dipropagangakan musuh, dan itu semua merupakan hasil dan akibat (الوسواس الخناس).

Oleh karena itu, tidak heran jika berkumpul sifat mulia yang tiga ini, (الرب), (الملك), dan (الإله) di dalam surah ini.

Inilah sudut pandang pertama di antara surah al-Falaq dan an-Nās.

Adapun sudut pandang kedua, yaitu antara surah an-Nās dan susunan mushhaf yang mulia, adalah firman Allah:

الْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ .الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ .مَالِكِ يَوْمِ الدِّيْنِ. إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَ إِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ .اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيْمَ. صِرَاطَ الَّذِيْنَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَ لاَ الضَّالِّيْنَ

Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam, Maha Pemurah lagi Maha Penyayang, Yang menguasai hari pembalasan. Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan. Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.” (al-Fātiḥah [1] 2-7).

Pada permulaan mushhaf yang mulia ini, Allah menebarkan ketenteraman ke dalam hati yang diungkapkan dengan pujian, lambang keridhaan, kebahagian, dan pengakuan ketuhanan Allah, kemudian keimanan kepada Hari Kebangkitan dan pengakuan terhadap Allah sebagai Penguasa Hari Kiamat, kemudian konsistensi beribadah kepada Allah semua, berlindung kepada-Nya dan memohon pertolongan-Nya, memohon petunjuk kepada jalan yang lurus, dan memohon agar dapat menyertai orang-orang yang telah Dia beri nikmat kepada mereka.

Kemudian datang sesudahnya langsung pada awal surah al-Baqarah: (ذلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ فِيْهِ هُدًى لِلْمُتَّقِيْنَ.) “Kitab (al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa.” (al-Baqarah [2]: 2). Maksudnya adalah, petunjuk yang kalian cari untuk menuju jalan yang lurus ada di dalam kitab ini, tidak ada keraguan padanya. Allah lalu menjelaskan orang-orang bertaqwa yang telah Allah beri nikmat atas mereka dengan firman-Nya:

الَّذِيْنَ يُؤْمِنُوْنَ بِالْغَيْبِ وَ يُقِيْمُوْنَ الصَّلاَةَ وَ مِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُوْنَ. وَ الَّذِيْنَ يُؤْمِنُوْنَ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَ مَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ وَ بِالآخِرَةِ هُمْ يُوْقِنُوْنَ.

(Yaitu) mereka yang beriman kepada yang gaib, yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka. Dan mereka yang beriman kepada Kitab (al-Qur’an) yang telah diturunkan kepadamu dan Kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat. (al-Baqarah [2]: 3-4).

Sekali lagi untuk penegasan (أُولئِكَ), mereka itulah, bukan selain mereka (عَلى هُدًى مِّنْ رَّبِّهِمْ وَ أُولئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ) “yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhan mereka, dan merekalah orang-orang yang beruntung.” (al-Baqarah [2]: 5).

Surah tersebut lalu perlahan-lahan masuk ke dalam pembagian manusia kepada tiga bagian; mu’min, kafir, dan yang ragu di antara keduanya, yaitu munafik.

Kemudian datang seruan yang lantang, yaitu awal seruan kepada manusia secara umum di dalam mushhaf: (يأَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوْا رَبَّكُمُ) “Hai manusia, sembahlah Tuhanmu.” (al-Baqarah [2]: 21).

Allah menegakkan bukti-bukti atas kelayakan-Nya untuk disembah dan atas kemungkinan berbangkit:

الَّذِيْ خَلَقَكُمْ وَ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ. الَّذِيْ جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ فِرَاشًا وَ السَّمَاءَ بِنَاءً وَ أَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَخْرَجَ بِهِ مِنَ الثَّمَرَاتِ رِزْقًا لَّكُمْ فَلَا تَجْعَلُوْا للهِ أَنْدَادًا وَ أَنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ

Yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa. Dialah Yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezeki untukmu; karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui.” (al-Baqarah [2]: 21-22).

Setelah pengukuhan pondasi dasar, yaitu akidah, surah ini berlanjut menyebutkan cabang-cabang Islam, mencakup rukun-rukun Islam seluruhnya dan kebanyakan dari masalah-masalah mu‘amalat serta jihad. Jarang ada bab fikih kecuali terdapat sebutannya di dalam surah ini.

Kemudian datang yang sesudahnya menjelaskan apa yang dirangkum padanya atau apa yang termuat di dalamnya.

Begitulah, hingga al-Qur’an selesai dengan kesempurnaan syariat dan kesempatan agama.

Manakala datang pengungkapan sifat orang-orang bertaqwa yang mendapat petunjuk di awal mushhaf, bahwa mereka beriman dengan yang gaib, termasuk beriman dengan Hari Akhirat berikut apa yang ada padanya seperti hisab, siksaan, dan pahala, perkara-perkara yang gaib itu memerlukan keyakinan supaya berakibat ganjaran pahala atau siksa. Sementara pahala dan siksa adalah hasil berbuat dan meninggalkan. Sedangkan berbuat dan meninggalkan adalah tempat bergantung taklif, karena manusia biasanya melaksanakan perintah karena mengharap pahala dan berhenti dari tempat bergantung larangan karena takut siksa.

Jadi, seolah-olah susunan mushhaf yang mulia mengisyaratkan bahwa al-Qur’an dimulai dengan pujian terhadap Allah atas nikmat-nikmat yang diberikan-Nya kepada manusia berupa penurunan al-Qur’an dan pengutusan rasul yang menyertainya, kemudian mengalihkannya di alam dunia kepada alam akhirat, yaitu alam yang paling besar nilai dan urgensitasnya, kemudian menggariskan untuknya jalan telah ditempuh oleh orang-orang yang mendapat petunjuk, kemudian menghentikannya di atas jalan itu supaya ia menempuh jalan mereka. Setelah sempurna penjelasan, bimbingan, dan petunjuk, Allah membawanya kepada akhir jalan yang lurus ini, lalu menghentikannya untuk berkata kepadanya: “Jika kau telah merasa tenteram dengan agama ini, beriman kepada Allah, Tuhan semesta alam, meyakini kedatangan Hari Pembalasan, dan melihat pembagian manusia (mu’min, kafir, dan munafik), serta bagaimana akhir masing-masing dari mereka, maka tekunilah Kitab (al-Qur’an) ini dan berjalanlah di atas jalan ini, bertemanlah dengan orang-orang yang telah diberi nikmat, jauhilah orang-orang yang dimurkai dan orang-orang yang sesat, waspadailah jalan orang-orang munafik yang ragu, dan waspadalah terhadap penyebab semua itu, yaitu (الوسواس الخناس), jangan sampai ia membuatmu ragu pada tempat-tempat pergantungan iman, atau pada kelurusan jalanmu dan keistiqamahannya, atau pada kesucian Kitabmu dan kesempurnaannya. Tetaplah meyakini apa yang kau yakini, jangan kau melupakan bahayanya (الوسواس الخناس) terhadap kedua moyangmu sebelumnya, ketika keduanya berada di surga negeri sejahtera dan keduanya tidak selamat darinya. Ia membujuk keduanya dengan tipu-daya. Waspadalah terhadapnya dan berlindunglah dengan-Ku setiap kali ia menyakitimu atau kau ditimpa perasaan waswas darinya. Jadilah kau seperti para pendahulumu yang shalih:

إِذَا مَسَّهُمْ طَائِفٌ مِّنَ الشَّيْطَانِ تَذَكَّرُوْا فَإِذَا هُمْ مُّبْصِرُوْنَ

“…bila mereka ditimpa was-was dari setan, mereka ingat kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya.” (al-A‘rāf [7]: 201). Kau telah mengetahui permusuhannya terhadapmu dari sebelumnya, dan permusuhannya itu timbul dari kedengkian.”

Sepertinya keterkaitan kedua surah tersebut untuk mengisyaratkan tentang penyebab timbulnya permusuhan itu dan keterkaitannya dengan peringatan, sebab pada surah yang pertama disebutkan: (وَ مِنْ شَرِّ حَاسِدٍ إِذَا حَسَدَ) “Dan dari kejahatan pendengki bila ia dengki.” Jadi, syaithan kepada Adam atas kemuliaannya yang diberikan Allah kepadanya. Musuh yang dengki tidak akan puas kecuali hilang nikmat dari orang yang didengki. Jika tobat Adam merupakan jalan keselamatannya, sebagaimana dalam firman Allah: (فَتَلَقَّى آدَمُ مِنْ رَبِّهِ كَلِمَاتٍ فَتَابَ عَلَيْهِ.) “Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, maka Allah menerima tobatnya.” (al-Baqarah [2]: 37) maka keselamatanmu juga terletak pada kalimat-kalimat yang kau mohonkan perlindungan dengannya dari musuhmu kepada Tuhan manusia, Raja manusia, Sembahan manusia, karena (الرب) maknanya adalah yang mengasihi hamba-hambaNya, (ملك الناس) maknanya adalah yang memelihara, menjaga, dan melindungi mereka, dan (إله الناس) maknanya adalah yang mereka pertuhankan dan mereka mohon perlindungan-Nya.

 

Peringatan

Jika ini semuanya adalah bahaya: (الوسواس الخناس) dari jin dan manusia, sementara keduanya adalah musuh bersama dan pengintai yang dengki, lalu apa jalan selamat darinya?

Jalan keselamatan itu bergantung pada dua perkara:

Pertama, yang diambil dari makna-makna umum al-Qur’an dan Sunnah.

Kedua, yang saya dengar dari Syaikh raḥimahullāh.

Adapun yang pertama, jika misi godaan adalah menciptakan keraguan dan kerancuan, maka makna-makna umum taklif mengharuskan muslim tetap teguh, yakin, dan melangkah tanpa ragu-ragu, sebagaimana dalam firman Allah: (فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى الله.) “Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah.” (Āli ‘Imrān [3]: 159).

Allah telah memuji sebagian rasul karena keteguhan hati mereka dan memerintahkan agar meneladani mereka: (فَاصْبِرْ كَمَا صَبَرَ أُولُوا الْعَزْمِ مِنَ الرُّسُلِ.) “Maka bersabarlah kamu seperti orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dari rasul-rasul.” (al-Aḥqāf [46]: 35).

Rasulullah s.a.w. bersabda:

دَعْ مَا يُرِيْبُكَ إِلَى مَا لَا يُرِيْبُكَ.

Tinggalkanlah apa yang meragukanmu kepada apa yang tidak meragukanmu.” (199).

Kaidah fikih mengatakan: “Keyakinan tidak hilang dengan keraguan.”

Hadits menyatakan:

يَأْتِي الشَّيْطَانُ لِأَحَدِكُمْ وَ هُوَ فِي الصَّلَاةِ فَيَنْفُخُ فِيْ مَقْعَدَتِهِ، فَيَخِيْلُ إِلَيْهِ أَنَّهُ أَحْدَثَ وَ لَمْ يَحْدُثْ، فَلَا يَنْصَرِفْ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا، أَوْ يَجِدْ رِيْحًا.

Syaithan datang kepada salah seorang kamu dan dia sedang shalat, lalu ia meniup pada tempat duduknya (bagian pantatnya). Kemudian ia membayangkan kepadanya bahwa dia berhadats, padahal dia tidak berhadats. Maka hendaklah ia tidak beranjak hingga dia mendengar suara atau mencium bau.” (200).

Taklif-taklif seluruhnya berdasarkan keyakinan, dan masalah-masalah akidah harus berdasarkan keyakinan. Sedangkan cabang-cabang dalam ibadah harus berdasarkan niat:

إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ

Sesungguhnya amal perbuatan itu tergantung niatnya.” (201)

Syarat dalam niat adalah kepastian dan keyakinan. Jadi, bila seseorang berniat dengan catatan apabila si fulan datang, dia akan meninggalkan shalatnya, maka tidak sah niatnya. Jika dia berniat puasa dengan catatan apabila ia menginginkan berbuka, ia akan berbuka, maka tidak sah niatnya.

Naskah Malik dalam al-Muwaththa’: Jika seseorang berniat puasa pada hari syakk (hari yang diragukan), dan ia berniat pada malam harinya, dengan catatan jika tidak, maka puasanya untuk itu untuk Ramadhan, dan jika tidak, maka puasanya untuk puasa sunnah, maka tidak sah puasanya, baik fardhu maupun sunnah, sekalipun keesokan harinya memang benar Ramadhan, maka ia tidak dianggap telah melaksankannya dan dia wajib menqadhanya karena tidak memastikan niatnya.”

Adapun haji, bila dia telah berniat haji, maka dia wajib mengerjakannya dan menyempurnakannya, dan tidak boleh keluar darinya dengan kesengajaannya.

Demikian pula dalam berbagai macam mu‘amalah, pada seluruh transaksi yang dilakukan hendaknya atas dasar niat yang pasti, bahkan hingga dalam keadaan bercanda dan bermain-main, maka dianggap berlaku pada sebagiannya, seperti nikah, thalaq, dan memerdekakan budak.

Dari ini semua, motif-motif tekad yang pasti digali dari taklif-taklif, sehingga dapat melenyapkan kecenderungan-kecenderungan syak dan ragu, serta tidak tersisa di hati seorang mu’min ruang bagi keraguan dan waswas.

Syaithan lari dari jalan yang dilalui ‘Umar r.a. (202).

Adapun yang pernah saya dengar dari Syaikh raḥimahullāh adalah: Sesungguhnya Allah telah mengajari kita cara mewaspadai musuh dari kalangan manusia dan jin. Musuh dari kalangan manusia, terdapat dalam firman Allah:

وَ لاَ تَسْتَوِي الْحَسَنَةُ وَ لاَ السَّيِّئَةُ ادْفَعْ بِالَّتِيْ هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِيْ بَيْنَكَ وَ بَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيْمٌ

Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia.” (Fushshilat [41]: 34)

Ayat ini menunjukkan bahwa membalas kejahatan musuh dengan berbuat baik kepadanya dapat menghilangkan permusuhan dan meraih persahabatan, sebagaimana firman-Nya: (اِدْفَعْ بِالَّتِيْ هِيَ أَحْسَنُ) “Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik.”

Adapun musuh dari kalangan jin, terdapat dalam firman Allah s.w.t.:

وَ إِمَّا يَنْزَغَنَّكَ مِنَ الشَّيْطَانِ نَزْغٌ فَاسْتَعِذْ بِاللهِ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ

Dan jika setan mengganggumu dengan suatu gangguan, maka mohonlah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Fushshilat [41]: 36)

Ayat ini menunjukkan apa yang telah lalu dari atsar-atsar, bahwa syaithan akan mundur jika mendengar dzikrullah.

Berdasarkan ucapan beliau, maka syaithan jin akan mundur bila kita memohon perlindungan kepada Allah darinya, dan itu cukup baginya, karena tipu-daya syaithan itu lemah.

Adapun syaithan dari kalangan manusia membutuhkan keteguhan dan kesabaran dalam menghadapinya sebagaimana yang ditunjukkan oleh firman-Nya:

وَ مَا يُلَقَّاهَا إِلاَّ الَّذِيْنَ صَبَرُوْا وَ مَا يُلَقَّاهَا إِلاَّ ذُوْ حَظٍّ عَظِيْمٍ

Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keberuntungan yang besar.” (Fushshilat [41]: 35)

Semoga Allah memberi kita dan seluruh kaum muslim keberuntungan yang besar di dunia dan akhirat. Sesungguhnya Dialah tempat meminta dan sebaik-baik tempat berharap.

Ibnu Katsir meriwayatkan hadits Abu Sa‘id r.a., bahwa Rasulullah s.a.w. pernah berlindung dari pandangan jin dan manusia. Namun manakala turun al-Mu‘awwidzatain (al-Falaq dan an-Nas), beliau memakai keduanya dan meninggalkan yang selainnya.” H.R. at-Tirmidzi (203), an-Nasa’i (24), dan Ibnu Majah (205).

At-Tirmidzi berkata: “Hadits ḥasan shaḥīḥ.”

Diriwayatkan dari ‘Abdullah al-Aslami, bahwa Rasulullah s.a.w. pernah meletakkan tangannya di dadanya (‘Abdullah), kemudian berkata: “Ucapkanlah.” ‘Abdullah lalu berkata: “Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan.” Beliau lalu berkata kepadaku: “Ucapkanlah.” Aku pun berkata: (هُوَ اللهُ أَحَدٌ) Beliau lalu berkata kepadaku: “Ucapkanlah.” Aku pun berkata: (أَعُوْذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ، مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ….) hingga selesai. Beliau lalu berkata lagi kepadaku: “Ucapkanlah.” Aku pun berkata (أَعُوْذُ بِرَبِّ النَّاسِ….) hingga selesai. Setelah itu Rasulullah s.a.w. berkata: “Seperti itulah memohon perlindungan. Tidaklah seseorang memohon perlindungan dengan yang sepertinya sama sekali.”

Segala puji bagi Allah di awal dan akhir. Semoga shalawat dan salam Allah dilimpahkan atas makhluk-Nya yang paling mulia, manusia pilihan-Nya yang membawa risalah-Nya, dan atas keluarga beserta para sahabatnya yang mulia dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan kebaikan hingga Hari Kiamat kelak. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengabulkan.

Unduh Rujukan:

  • [download id="12826"]

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *