Surah an-Nas 114 ~ Tafsir al-Wasith

Dari Buku:

Tafsīr al-Wasīth
(Jilid 3, al-Qashash – an-Nās)
Oleh: Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili

Penerjemah: muhtadi, dkk.
Penerbit: GEMA INSANI

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang

 

SŪRAT-UN-NĀS

BERLINDUNG DARI KEJAHATAN SYAITHAN

Meski manusia memiliki kelebihan berupa akal, fikiran, kebijaksanaan dan kemampuan menimbang berbagai hal, hanya saja manusia tetap lemah terlebih kalangan awam, dikuasai hawa nafsu dan syaithan dari golongan jinn dan manusia hingga tunduk. Hawa nafsu dan syaithan menguasai manusia hingga tergerak dan dikuasai, sehingga tidak kuasa untuk melepaskan diri darinya bila tidak berlindung kepada Rabb, atau bersandar pada keimanan dan hubungannya dengan Allah s.w.t. Allah s.w.t. mengajari kita cara memohon perlindungan sebagai wujud rahmat dan karunia-Nya dalam surah an-Nās yang menurut pendapat kuat adalah surah Madaniyyah, sama seperti surah al-Falaq, bukan Makkiyyah. Ibnu ‘Abbās, Qatādah dan jamaah berpendapat, surah an-Nās adalah surah Madaniyyah. Alūsī menyatakan, pendapat ini benar karena sebab turunnya adalah sihir yang dilakukan orang yahudi, dan mereka hanya menyihir Nabi s.a.w. di Madīnah seperti yang disebutkan dalam kitab-kitab shaḥīḥ. Tidak perlu dihiraukan pendapat yang menguatkan surah an-Nās adalah surah Makkiyyah. Seperti itu juga pembahasan tentang surah an-Nās. Qatādah berpendapat, surah an-Nās adalah surah Makkiyyah. Yang benar adalah pendapat Ibnu ‘Abbās dan lainnya, surah Madaniyyah. Berikut nashnya:

قُلْ أَعُوْذُ بِرَبِّ النَّاسِ. مَلِكِ النَّاسِ. إِلهِ النَّاسِ. مِنْ شَرِّ الْوَسْوَاسِ الْخَنَّاسِ. الَّذِيْ يُوَسْوِسُ فِيْ صُدُوْرِ النَّاسِ. مِنَ الْجِنَّةِ وَ النَّاسِ

114-1. Katakanlah: “Aku berlindung kepada Tuhan-nya manusia,
114-2. Raja manusia,
114-3. Sembahan manusia,
114-4. dari kejahatan (bisikan) syaitan yang biasa bersembunyi,
114-5. yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia.
114-6. dari (golongan) jinn dan manusia.”

 

Wahai rasūl katakan: “Aku berlindung dan memohon pertolongan kepada Allah s.w.t., Rabb yang mengasuh, menjaga, menciptakan, mengurus dan memperbaiki semua urusan manusia, Raja manusia secara sempurna. Ia memiliki kekuasaan yang mengalahkan, Dialah Tuhan yang disembah manusia. Nama Tuhan khusus untuk Allah s.w.t., tidak disertai siapa pun juga. Sementara raja, bisa Tuhan atau yang lain.

Berikut tiga sifat Allah ‘azza wa jalla: rubūbiyyah, raja, dan ulūhiyyah. Ia adalah Rabb, Raja dan Tuhan segala sesuatu. Semua adalah makhluk, kepunyaan dan hamba-hambaNya. Adanya rubūbiyyah disebut terlebih dahulu adalah karena terkait dengan permohonan perlindungan. Rubūbiyyah mencakup nikmat penjagaan dan pemeliharaan. Selanjutnya, Allah s.w.t. menyebut kerajaan, sebab orang yang meminta perlindungan tidak akan mendapatkan pertolongan selain kepada raja. Setelah itu Allah s.w.t. menyebut ulūhiyyah untuk menjelaskan bahwa Dia berhak disyukuri dan disembah, bukan yang lain.

Sebab pengulangan kata “Manusia”, adalah untuk lebih memperjelas dan memuji kemuliaan manusia, mereka adalah makhluk Allah s.w.t. Allah s.w.t. menyebut: “Tuhannya manusia,” (an-Nās: 1) padahal Ia adalah Tuhan semua makhluk sebagai wujud kemuliaan, karena itulah secara khusus disebutkan, mengingat permohonan perlindungan adalah demi manusia.

Aku berlindung dan memohon penjagaan dari Allah s.w.t. dari kejahatan syaithan yang berbisik, yang bersembunyi dan berada di balik layar dengan mengingat Allah s.w.t., atau berbalik seraya bersembunyi saat seorang hamba mengingat Allah s.w.t. dan memohon perlindungan, ia pun ingat dan sadar. Bila hamba tidak mengingat Allah s.w.t., syaithan akan merasuk ke dalam hati. Ibnu ‘Abbās menjelaskan tentang ayat ini, syaithan mendekam di hati manusia. Saat manusia lupa dan lalai, syaithan berbisik dan saat mengingat Allah s.w.t., syaithan bersembunyi.

Mengingat Allah s.w.t. membuat orang sadar, seperti yang Allah s.w.t. sampaikan: “Sesungguhnya orang-orang yang bertaqwa bila mereka ditimpa waswas dari syaithan, mereka ingat kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya.” (al-A‘rāf: 201).

Syaithan juga bersembunyi bila malaikat menatap. Rasa malu dan keimanan menahan dengan kuat, hingga semua faktor penggerak, syahwat-syahwat yang kuat dan marah pun mereka dengan mengingat Allah s.w.t. Allah s.w.t. memberi kuasa syaithan untuk menguasai manusia selain mereka yang dijaga Allah s.w.t. sebagai perjuangan, fitnah dan ujian. Disebutkan dalam kitab shaḥīḥ:

مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ إِلَّا وُكِّلَ بِهِ قَرِيْنُهُ، قَالُوْا: وَ أَنْتَ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: نَعَمْ إِلَّا أَنَّ اللهَ أَعَانَنِيْ عَلَيْهِ، فَأَسْلَمَ فَلَا يَأْمُرُنِيْ إِلَّا بِخَيْرٍ.

Tidaklah seseorang dari kalian melainkan bersamanya seorang qarīn.” Para sahabat bertanya: “Engkau (juga), wahai Rasūlullāh.” Beliau menjawab: “Ya. Hanya saja Allah membantuku untuk mengalahkannya, ia pun masuk Islam sehingga hanya memerintahkan kebaikan padaku”.

Tempat syaithan berbisik dijelaskan dalam firman Allah s.w.t.: “Yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia.” (an-Nās: 5) yaitu yang menimbulkan pikiran-pikiran keburukan dan kejahatan dalam hati. Dalam ayat ini disebutkan dada karena di dalam dada berisi hati, dan semua lintasan pikiran adanya di hati, seperti yang lazim diketahui dalam bahasa ‘Arab.

Golongan yang berbisik ada dua; jinn dan manusia. Allah s.w.t. berfirman: “Dari (golongan) jinn dan manusia.” (an-Nās: 6). Yaitu, yang berbisik adalah syaithan dari golongan jinn, berbisik di dada manusia seperti yang dijelaskan ayat di atas, atau syaithan dari golongan manusia, ia berbisik ke dada manusia dengan memperlihatkan diri sebagai penasihat yang sayang, sehingga kata-katanya yang dituturkan seperti nasihat itu melekat di dada lalu dijadikan sebagai korban bisikan syaithan dari golongan jinn. Ini menunjukkan, bisikan kadang berasal dari jinn dan kadang berasal dari manusia. Firman Allah s.w.t.: “Dari (golongan) jinn dan manusia.” (an-Nās: 6) yaitu dari golongan syaithan (jinn dan manusia). Bisikan manusia berupa tipu-daya dan seruan menuju kebatilan, ia sama seperti syaithan dalam hal ini.

Tapi perlu diketahui, bisikan syaithan tidak bersifat memaksa, namun karena manusia menerima dan memilihnya. Kadang manusia lebih memilih mendengar bisikan syaithan, kadang terkadang pula mewaspadai permusuhan dan bisikan mereka seperti disebutkan dalam ayat lain: “Sesungguhnya hamba-hambaKu, kamu tidak dapat berkuasa atas mereka. Dan cukuplah Tuhanmu sebagai Penjaga.” (al-Isrā’: 65).

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *