Surah an-Nas 114 ~ Tafsir al-Mishbah

Tafsir al-Mishbāḥ
(Jilid ke-15, Juz ‘Amma)
Oleh: M. Quraish Shihab

Penerbit: Penerbit Lentera Hati

Surah an-Nās

Surah ini terdiri dari 6 ayat.

Kata AN-NĀS, yang berarti “Manusia”,

diambil dari ayat pertama.

 

Surah an-Nās

Surah ini serangkai dengan surah sebelumnya, yaitu surah al-Falaq. Ia turun sesudah surah al-Falaq. Bagi yang berpendapat bahwa surah al-Falaq Madaniyyah, mereka juga menyatakan bahwa surah an-Nas pun demikian. Begitu juga yang menyatakan bahwa al-Falaq Makkiyyah, mereka menilai surah ini Makkiyyah. Rujuklah ke QS. al-Falaq untuk mengetahui alasan masing-masing. (481)

Namanya yang populer adalah surah an-Nās. Namanya yang lain telah penulis kemukakan ketika menafsirkan QS. al-Falaq.

Tema utama surah ini, sebagaimana surah al-Falaq, adalah permohonan perlindungan kepada Allah s.w.t. Nabi s.a.w. bersabda: “Allah telah menurunkan kepadaku ayat-ayat yang tidak ada bandingannya: Qul A‘ūdzu bi Rabb-in-Nās dan Qul A‘ūdzu bi Rabb-il-Falaq (dst)” (HR. Muslim dan at-Tirmidzī melalui ‘Uqbah Ibn ‘Āmir al-Juhānī). Yang dimaksud dengan tidak ada bandingannya adalah dalam hal doa meminta perlindungan. Dalam riwayat lain, Nabi s.a.w. bersabda kepada ‘Uqbah (sahabat yang meriwayatkan hadits ini): “Mohonlah perlindungan dengan membaca keduanya karena tidak satupun yang meminta perlindungan serupa dengannya.

Al-Biqā‘ī menulis bahwa tujuan utama surah ini adalah hasil yang dicapai dari tujuan surah al-Fātiḥah. Tujuan al-Fātiḥah adalah pengawasan yang mengantar kepada ketulusan terhadap Allah dan permusuhan terhahap syaithan. Demikian terlihat kaitan yang erat antara akhir surah al-Qur’ān dan awalnya. Di tempat lain, al-Biqā‘ī mengemukakan bahwa surah-surah al-Qur’ān dalam urutannya serupa dengan rantai yang sambung-menyambung sehingga akhirnya dapat dinilai awal. Kalau sebelum membaca al-Qur’ān seseorang dianjurkan memohon perlindungan Allah dari gangguan syaithan (ber-ta‘awwudz), maka surah yang mengandung pengajaran untuk memohon perlindungan dari syaithan manusia dan jin ini menjadi awal al-Qur’ān dan dibaca sebemum membaca Umm-ul-Qur’ān. Demikian terlihat akhir al-Qur’ān berhubungan dengan awalnya, persis seperti rantai yang sambung-menyambung itu.

Ulama yang berpendapat bahwa surah ini Makkiyyah menyatakan bahwa surah ini merupakan surah yang ke-21 dari segi perurutan turunnya. Ia turun sesudah surah al-Falaq dan sebelum surah al-Ikhlāsh. Jumlah ayat-ayatnya sebanyak 6 ayat.

 

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang

 

KELOMPOK 1

 

AYAT 1-6

قُلْ أَعُوْذُ بِرَبِّ النَّاسِ. مَلِكِ النَّاسِ. إِلهِ النَّاسِ. مِنْ شَرِّ الْوَسْوَاسِ الْخَنَّاسِ. الَّذِيْ يُوَسْوِسُ فِيْ صُدُوْرِ النَّاسِ. مِنَ الْجِنَّةِ وَ النَّاسِ

AYAT 1-3

Katakanlah, Aku berlindung kepada Tuhan manusia, Maha Raja manusia, Tuhan yang disembah manusia.

Surah al-Falaq adalah permohonan perlindungan menyangkut segala macam kejahatan di segala tempat dan waktu, dan secara khusus disebut malam pada saat kelamnya, penyihir, dan yang iri hati. Kesemuanya bersumber dari pihak lain. Dalam surah al-Falaq yang disebut terakhir adalah iri hati, dan inilah yang merupakan sumber upaya iblis menjerumuskan manusia serta sumber permusuhan dengannya. Karena itu, wajar jika surah an-Nās ini memulai dengan memohon perlindungan dari kejahatan khusus yaitu godaan jin atau iblis. Di sisi lain, surah al-Falaq merupakan permohonan perlindungan dari kejahatan yang bersumber dari luar, sedang surah an-Nās merupakan permohonan perlindungan dari kejahatan yang datang dari dalam, bahkan boleh jadi diri manusia sendiri. Allah s.w.t. pada surah ini mengajar Nabi s.a.w., agar memohon perlindungan dengan berfirman: Katakanlah, wahai Nabi Muḥammad, aku berlindung kepada Tuhan Pemelihara manusia, Maha Raja yang menguasai manusia, Tuhan yang disembah dipatuhi oleh manusia, suka atau tidak suka.

Tidak ada perbedaan antara ayat pertama surah an-Nās dan ayat pertama surah al-Falaq, kecuali pada kata terakhirnya. Di sana al-Falaq dan di sini an-Nās. Untuk itu rujuklah ke sana! Yang perlu ditambahkan di sini adalah kesan yang diperoleh dari pemilihan kata Rabb bukan Allāh. Seperti telah sering dikemukakan, Rabb mengandung pengertian kepemilikan dan kepemiliharaan serta pendidikan yang melahirkan pembelaan serta limpahan kasih-sayang. Jika demikian, menyebut kata itu di sini dapat memberi kesan tentang bakal terpenuhinya permohonan ini karena yang dimaksud adalah Tuhan Pemelihara itu.

Kata (النَّاس) an-nās terulang di dalam al-Qur’ān sebanyak 241 kali. Kata ini berarti kelompok manusia. Ia terambil dari kata (النَّوس) an-nauws yang berarti gerak, ada juga yang berpendapat bahwa ia terambil dari kata (أُنَاس) unās yang akar katanya berarti tampak.

Kata an-nās digunakan al-Qur’ān dalam arti jenis manusia (QS. al-Ḥujurāt [49]: 13) atau sekelompk tertentu dari manusia (seperti QS. Āli ‘Imrān [3]: 173).

Kata (النَّاس) an-nās terulang tiga kali dalam tiga ayat di atas secara berturut-turut. Sementara ulama memahami dalam tiga pengertian yang berbeda. Yang pertama janin dan anak-anak kecil karena mereka memerlukan perlindungan, yang kedua orang-orang dewasa yang membutuhkan bimbingan serta penguasaan, dan yang ketiga adalah orang-orang tua yang karena kekuatannya sudah sangat membutuhkan kedekatan dan kepatuhan kepada Allah. Pendapat yang membeda-bedakan ini ditolak oleh sementara ulama karena ketiga kata an-nās itu dalam bentuk definite (memakai Alif dan Lām). Ini berarti bahwa ketiganya mengandung makna yang sama karena, menurut kaidah umum, apabila satu kata yang sama dan kesemuanya berbentuk definite, makna kata-kata tersebut sama. Atas dasar itu, penulis cenderung berpendapat bahwa yang dimaksud dengan kata an-nās dalam ayat-ayat surah ini adalah seluruh manusia tanpa kecuali. Menurut Thāhir Ibn ‘Āsyūr, perurutan penyebutan sifat-sifat Allah dalam ketiga ayat di atas sangat serasi. Perlindungan yang dimohonkan itu menyangkut bencana yang dapat menimpa manusia. Maka, sangat wajar jika yang pertama diingatkan kepadanya atau diingatnya ialah Tuhan Pemelihara karena Dia-lah Sang Pencipta yang dapat melindungi dan membimbing (رَبِّ النَّاسِ) Rabb-in-Nās, kemudian meningkat pada mengingatkan tentang kuasa-Nya atas manusia dan seluruh makhluk. Dari sini, disebutlah (مَلِكِ النَّاسِ) Mālik-in-Nās, selanjutnya karena Allah adalah Maha Raja yang menguasai manusia, menjadi sangat wajar Dia disembah dan dipatuhi sehingga disebutlah sifat-Nya sebagai (إِلهِ النَّاسِ) Ilāh-in-Nās (Tuhan yang dipatuhi manusia). Demikian lebih kurang Ibnu ‘Āsyūr.

Kata (مَلِكِ) Malik/Raja yang biasanya digunakan untuk penguasa yang mengurus manusia, berbeda dengan (مَالِكِ) Mālik/Pemilik yang biasanya digunakan untuk menggambarkan kekuasaan si pemilik terhadap sesuatu yang tidak bernyawa. Kalau demikian, adalah wajar apabila ayat kedua surah an-Nās ini tidak dibaca mālik dengan memanjangkan huruf (م) mīm sebagaimana dalam surah al-Fātiḥah. Di sisi lain, kesan yang ditimbulkan oleh kata Raja dari segi kekuasaan dan keagungan melebihi kesan yang ditimbulkan oleh kata pemilik.

Kalau di atas dikemukakan bahwa kata (رَبّ) Rabb mengandung makna kepemilikan, pemeliharaan, dan perlindungan terhadap pemohon, dengan kata Mālik tersurat sekaligus tersirat kerajaan dan kekuasaan-Nya untuk menggagalkan usaha siapa pun yang bermaksud jahat. Demikian, masing-masing ayat menekankan sisi yang berbeda. Sedang, kata (إِلهِ النَّاسِ) Ilāh-in-Nās mencakup si pemohon dan yang bermaksud jahat, bahkan semua manusia.

Kata (إِله) Ilāh terambil dari kata (أَلِهَ – يَأْلَهُ) aliha-ya’lahu dalam arti menuju dan bermohon. Tuhan adalah Ilāh karena seluruh makhluk menuju serta bermohon kepada-Nya dalam memenuhi kebutuhan mereka. Pendapat lain mengatakan bahwa kata tersebut pada mulanya berarti menyembah/mengabdi sehingga Ilāh adalah “dzāt yang disembah dan kepada-Nya tertuju segala pengabdian.”

 

AYAT 4-6

Dari kejahatan pembisik yang bersembunyi, yang membisik di dada manusia, dari jin dan manusia.”

Setelah ayat-ayat yang lalu menyebut sifat Allah yang menjadikan-Nya wajar untuk dihadapkan, kepada-Nya permohonan, ayat di atas menyebut apa yang dimohonkan yaitu perlindungan dari kejahatan syaithan pembisik yang bersembunyi mundur dan menghilang jika diusik dengan memohon pertolongan Allah, yang senantiasa membisik secara tersembunyi di dada, yakni hati, manusia hal-hal yang mengantarnya terjerumus ke dalam kebinasaan, yakni para pembisik dari kelompok syaithan jin dan syaithan manusia.

Rujuklah ke QS. al-Falaq untuk memahami makna kata (شَرّ) syarr.

Kata (الْوَسْوَاس) al-waswās pada mulanya berarti suara yang sangat halus, kemudian makna ini berkembang sehingga diartikan bisikan-bisikan. Biasanya, kata ini digunakan untuk bisikan-bisikan negatif. Karena itu, sementara ulama tafsir memahami kata ini dalam arti syaithān. Menurut mereka, syaithan sering kali membisikkan ke dalam hati seseorang rayuan dan jebakannya. Untuk maksud makna tersebut, ada ulama yang menyisipkan kata pelaku sebelum kata al-waswās sehingga berarti pelaku yang melakukan bisikan ke dalam hati, yakni syaithan. Ada juga yang berpendapat bahwa sisipan tersebut tidak perlu karena, dengan demikian, syaithan tidak lagi digambarkan sebagai pelaku, tetapi ia sendiri merupakan wujud dari bisikan negatif itu. Jika anda berkata: “si A pelaku kejahatan”, kalimat ini hanya menginformasikan bahwa kejahatan tertentu telah dilakukan si A, namun tidak menutup kemungkinan adanya kebaikan yang dia lakukan, tetapi jika anda berkata “si A adalah kejahatan,” maka tidak ada satu sisi pun dalam diri dan aktivitasnya kecuali kejahatan. Ada juga ulama yang langsung memahami kata waswas dalam arti pelaku bisikan negatif.

Kata (الْخَنَّاسِ) al-khannās terambil dari kata (خَنس) khanasa yang berarti kembali, mundur, melempem, dan bersembunyi. Patron kata yang digunakan ayat ini mengandung makna sering kali atau banyak sekali. Dengan demikian, ia dapat berarti:

a). Syaithan sering kali dan berulang kali kembali menggoda manusia pada saat ia lengah dan melupakan Allah.

b). Syaithan sering kali dan berulang-ulang mundur dan melempem (tidak giat) saat manusia berdzikir dan mengingat Allah. Pendapat kedua ini didukung sabda Nabi s.a.w.: “Sesungguhnya syaithan itu bercokol di hati putra Ādam. Apabila ia berdzikir, syaithan itu mundur menjauh, dan bila ia lengah, syaithan berbisik.” (HR. Bukhārī melalui Ibn ‘Abbās).

Kata (الْجِنَّة) al-jinnah adalah bentuk jama‘ dari kata (الْجِنِّي) jinny yang ditandai dengan (ــة) tā’ untuk menunjukkan bentuk jama‘ mu’annats. Kata jinn terambil dari akar kata (جنن) janana, yang berarti tertutup atau tidak terlihat. Anak yang masih dalam kandungan dinamai janīn karena dia tidak terlihat. Demikian juga hutan yang lebat, dinamai (جنة) jannah karena pandangan tidak dapat menembusnya. (مجنون) Majnūn adalah orang gila/yang tertutup akalnya. Jin, dinamai demikian, karena ia adalah makhluk halus yang tidak dapat dilihat dengan mata.

Kata (مِنْ) min pada awal ayat ini mengandung makna sebagian. Hal ini wajar karena tidak semua manusia dan tidak semua jin melakukan bisikan-bisikan negatif. Dalam QS. al-Jinn [72]: 11, Allah mengabadikan ucapan jin bahwa:

وَ أَنَّا مِنَّا الصَّالِحُوْنَ وَ مِنَّا دُوْنَ ذلِكَ كُنَّا طَرَائِقَ قِدَدًا.

Dan sesungguhnya di antara kami ada yang saleh-saleh dan ada juga di antara kami yang tidak demikian halnya. Kami menempuh jalan yang berbeda-beda.”

Ada juga yang memahami min berfungsi menjelaskan sehingga ia berarti yakni.

Semua makhluk Allah yang tidak saleh, yang menggoda dan mengajak kepada kemaksiatan, dinamai syaithān (setan), baik dari jenis jin maupun manusia. Dari sini, dapat dipahami bahwa ada syaithān manusia dan ada pula syaithān jin. Syaithan jin tersembunyi, tetapi syaithān manusia bisa terlihat. Diriwayatkan bahwa Abū Dzarr, salah seorang sahabat Nabi s.a.w., pernah bertanya kepada seseorang: “Apakah anda telah meminta perlindungan Allah dari syaithan manusia?” Yang ditanya balik bertanya: “Apakah ada syaithan manusia?” Abū Dzarr menjawab: “Ya, bukankah Allah telah berfirman:

وَ كَذلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَيَاطِيْنَ الْإِنْسِ وَ الْجِنِّ يُوْحِيْ بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُوْرًا.

Dan demikian itu, Kami jadikan bagi tiap-tiap Nabi musuh, yaitu syaithan-syaithan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin, sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan yang indah-indah untuk memperdaya” (QS. al-An‘ām [6]: 112).

Di atas, telah dikemukakan bahwa syaithan – baik dari jenis manusia maupun jin – selalu berupaya untuk membisikkan rayuan dan ajakan negatif atau, dalam bahasa surah ini: Yuwaswisu Fī Shudūr-in-Nās. Waswasah itulah yang merupakan salah satu manifestasi dari bisikan hati yang bersumber dari syaithan.

Para ulama, khususnya kaum sufi, menekankan bahwa pada hakikatnya manusia tidak mengetahui gejolak nafsu dan bisikan hati, kecuali bila ia dapat melepaskan diri dari pengaruh gejolak tersebut. At-Tustarī, seorang sufi besar, menyatakan: “Tidak diketahui bisikan syirik, kecuali oleh seorang muslim, tidak diketahui bisikan kemunafikan kecuali oleh seorang mu’min, demikian juga bisikan kebodohan kecuali yang berpengetahuan, bisikan kelengahan kecuali ingat, bisikan kedurhakaan kecuali yang taat, dan bisikan dunia kecuali dengan amalan akhirat.”

Dari ayat di atas, kita dapat memahami bahwa bisikan negatif itu muncul dari dua sumber: nafsu manusia dan rayuan syaithan. Gejolak dan dorongan nafsu tertolak dengan tekad tidak memperturutkannya karena “nafsu bagaikan bayi, jika anda membiarkannya menyusu ia terus menyusu, dan jika anda bersikeras menyapihnya, dia akan menurut.”

Adapun bisikan syaithan, ia tertolak dengan mengingat Allah. Dalam konteks ini, al-Qur’ān mengingatkan:

وَ إِمَّا يَنْزَغَنَّكَ مِنَ الشَّيْطَانِ نَزْغٌ فِاسْتَعِذْ بِاللهِ، إِنَّهُ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ. إِنَّ الَّذِيْنَ اتَّقَوْا إِذَا مَسَّهُمْ طَائِفٌ مِنَ الشَّيْطَانِ تَذَكَّرُوْا فَإِذَا هُمْ مُبْصِرُوْنَ.

Dan jika kamu ditimpa suatu godaan syaithan, maka berlindunglah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Sesungguhnya orang-orang yang bertaqwa bila mereka ditimpa godaan dari syaithan, mereka mengingat, maka ketika itu juga mereka melihat (yakni menyadari kesalahan-kesalahannya)” (QS. al-A‘rāf [7]: 200-201).

Surat an-Nās ini menyebut Tuhan dengan tiga sifat-Nya: Rabb, Mālik, dan Ilāh, sedang yang dimohonkan hanya satu, yakni perlindungan dari bisikan dan rayuan syaithan yang merasuk ke dalam hati. Ini berbeda dengan surah al-Falaq yang hanya menyebut satu sifat Tuhan sebagai Rabb-ul-Falaq tetapi yang dimohon adalah kejahatan makhluk yang secara khusus disebut tiga macam, yaitu ghāsiq(in) idzā waqab, an-naffātsāti fil-‘uqad, dan ḥāsid(in) idzā ḥasad. Sementara ulama berkata hal tersebut menunjukkan bahwa rayuan syaithan yang berada dalam dada manusia atau musuh yang berada dalam diri manusia jauh lebih berbahaya daripada musuh yang ada di luar dirinya, dan oleh karena itu, maka permohonan untuk dilindungi dari musuh yang di dalam itu dimohonkan dengan berulang kali menghadirkan kuasa Allah s.w.t.

Demikian surah an-Nās ini mengingatkan manusia akan musuh-musuhnya dan mendorong mereka untuk memohon perlindungan Allah. Perlindungan itu dapat diperoleh manusia dengan mengamalkan tuntutan kitab suci-Nya yang dimulai dari surah al-Fātiḥah sampai dengan surah an-Nās ini. Wa Allāhu A‘lam.

صدق الله العظيم

 

Catatan:


  1. 48). Baca kembali halaman 729-730. 

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *