Kemudian Allah bersumpah atas keagungan al-Qur’ān dan kemuliaannya. Allah bersumpah untuk mempertegas al-Qur’ān diturunkan oleh dirinya Yang Maha Besar yang Bijaksana. “Maka Aku bersumpah dengan tempat beredarnya bintang-bintang”; lām di ayat ini untuk menguatkan sumpah dan (لَا) adalah tambahan. Al-Qurthubī berkata: “(لَا) adalah tambahan menurut pendapat mayoritas ‘ulamā’ dan ma‘nanya adalah: “Aku bersumpah”. Dalilnya adalah ayat selanjutnya: “Sesungguhnya sumpah itu adalah sumpah”; (3531), maksudnya, maka Allah bersumpah demi tempat-tempat orbit bintang-bintang di cakrawala. “Sesungguhnya sumpah itu adalah sumpah yang besar kalau kamu mengetahui”; sungguh sumpah yang agung ini adalah hal yang besar. Seandainya kalian mengenal keagungannya, tentu kalian beriman kepada al-Qur’ān dan mengambil manfaat darinya. (3542) Sebab apa yang digunakan untuk bersumpah menunjukkan besarnya kekuasaan, sempurnanya hikmah dan luasnya rahmat. Dan termasuk tujuan rahmat Allah adalah tidak membiarkan hamba terlantar. “sesungguhnya al-Qur’ān ini adalah bacaan yang sangat mulia”; inilah isi pesan dalam kalimat sumpah. Ma‘na ayat ini, Aku (Allah) bersumpah demi tempat orbit bintang-bintang, sesungguhnya al-Qur’ān ini adalah bacaan yang mulia, bukan sihir, bukan ramalan, bukan buatan Muḥammad. Sebaliknya ia adalah bacaan yang mulia, agung dan dijadikan Allah sebagai mu‘jizat bagi Muḥammad s.a.w. Ia banyak manfaat, kebaikan dan berkahnya. “pada kitab yang terpelihara (Lauḥ maḥfūzh)”; berada dalam kitab yang dipelihara di sisi Allah, terjaga dari kebāthilan dan terjaga dari perubahan. Ibnu ‘Abbās berkata: “Yaitu di Lauḥ maḥfūzh.” Mujāhid berkata: “Yaitu mushḥaf yang ada di tangan kita.” (3553) “tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan”; kitab yang terpelihara itu hanya disentuh oleh hamba-hamba yang suci yaitu malaikat yang suci dari syirik, dosa dan hadats. Atau kitab itu hanya disentuh oleh orang yang berwudhū’ dan suci. Al-Qurthubī berkata: “Yang dimaksudkan kitab adalah mushḥaf yang ada di tangan kita. Inilah pendapat yang paling kuat. Sebab, Ibnu ‘Umar r.a. berkata: “Janganlah kamu menyentuh al-Qur’ān, kecuali jika kamu suci.” Juga berdasarkan surat Nabi s.a.w. kepada ‘Amr bin Ḥazm yang isinya: “Dan bahwa tidak boleh menyentuh al-Qur’ān, kecuali orang yang suci.” (3564) “Diturunkan dari Tuhan semesta alam”; Al-Qur’ān diturunkan dari sisi Allah yang Maha Tinggi.
Setelah mengagungkan al-Qur’ān dan sifatnya, Allah mencela orang-orang kafir. “Maka apakah kamu menganggap remeh saja al-Qur’ān ini?”; hai orang-orang kafir, apakah kalian mendustakan al-Qur’ān dan kafir kepadanya? “kamu (mengganti) rezeki (yang Allah berikan) dengan mendustakan (Allah)”; dan apakah kalian jadikan syukur atas rezeki kalian dengan mendustakan Pemberi kalian rezeki, padahal Dia-lah yang memberi ni‘mat dan karunia kepada kalian? “Maka mengapa ketika nyawa sampai di kerongkongan”; mengapa kalian tidak beriman dan sadar ketika nyawa sampai di kerongkongan”; pada saat kalian merasakan sekarat. “padahal kamu ketika itu melihat”; padahal kalian saat itu melihat orang sekarat dan penderitaan yang dialaminya. “dan Kami lebih dekat kepadanya daripada kamu. Tetapi kamu tidak melihat”; dan dengan ‘ilmu dan penglihatan Kami, Kami lebih dekat kepada mayit itu daripada kalian, namun kalian tidak tahu hal itu dan kalian tidak melihat malaikat-malaikat Kami yang hadir untuk mencabut nyawanya. Ibnu Katsīr berkata: “Ma‘na ayat ini; para malaikat Kami lebih dekat kepadanya daripada kalian, namun kalian tidak melihat mereka. Ini seperti ayat Allah: “Sehingga apabila datang kematian kepada salah seorang di antara kamu, ia diwafatkan oleh malaikat-malaikat Kami, dan malaikat-malaikat Kami itu tidak melalaikan kewajibannya.” (3575) (al-An‘ām: 61). “maka mengapa jika kamu tidak dikuasai (oleh Allah)?”; jika kalian tidak dibalas dengan ‘amal perbuatan kalian sebagaimana kalian katakan, kenapa….. “kamu tidak mengembalikan nyawa itu (kepada tempatnya) jika kamu adalah orang-orang yang benar”; kenapa kalian tidak mengembalikan nyawa mayit itu ke jasadnya setelah nyawanya sampai di tenggorokan. Ibnu ‘Abbās berkata: “Ma‘na “ghairu madīnīn”; tidak dihisab dan tidak dibalas.” Al-Khāzin berkata: “Allah menjawab pengandaian-Nya: “Maka mengapa ketika nyawa sampai di kerongkongan”; dan firman-Nya: “maka mengapa jika kamu tidak dikuasai (oleh Allah)?”; dengan satu jawaban, yaitu “kamu tidak mengembalikan nyawa itu (kepada tempatnya) jika kamu adalah orang-orang yang benar”. Ma‘na ayat ini, jika yang kalian katakan benar bahwa tidak ada hari berbangkit, hari perhitungan dan tidak ada tuhan yang memberi balasan, maka seharusnya kalian mampu mengembalikan nyawa orang yang penting bagi kalian ketika nyawanya sampai di tenggorokan. Jika hal itu tidak bisa kalian lakukan, maka ketahuilah bahwa urusannya diserahkan kepada selain kalian, yaitu Allah. Maka berimanlah kalian kepada-Nya.” (3586).
Kemudian Allah menyebutkan tingkatan umat manusia ketika mati dan hari berbangkit dan menjelaskan derajat mereka di akhirat. Allah berfirman: “adapun jika dia (orang yang mati) termasuk orang yang didekatkan (kepada Allah), maka dia memperoleh ketenteraman dan rezeki serta surga keni‘matan”; jika orang mati itu termasuk sābiqīn (orang yang lebih dahulu) dalam berbuat baik, maka baginya di sisi Tuhannya rezeki yang baik, ketenteraman dan surga yang luas di mana ia hidup enak. Al-Qurthubī berkata: “Yang dimaksudkan orang yang didekatkan kepada Allah adalah sābiqīn yang disebutkan di permulaan surat ini.” (3597) “Dan adapun jika dia termasuk golongan kanan”; jika mayit itu termasuk orang-orang yang beruntung dan termasuk ahli surga yang menerima lembaran ‘amal dengan tangan kanan…. “maka keselamatan bagimu karena kamu dari golongan kanan”; maka salam keselamatan untuk kamu hai Muḥammad dari mereka. Sebab, mereka berada dalam ketenteraman dan kebahagiaan serta ni‘mat. “Dan adapun jika dia termasuk golongan orang yang mendustakan lagi sesat”; jika orang yang sekarat itu termasuk orang-orang yang mengingkari hari berbangkit dan tersesat dari kebenaran serta hidāyah, “maka dia mendapat hidangan air yang mendidih”; hidangan untuk (menghormati) mereka saat datang adalah air panas yang menghancurkan perut karena sangat panas. Dalam at-Tashīl disebutkan, yang dimaksud “nuzūl” (hidangan) adalah hal pertama kali yang disuguhkan kepada tamu.” (3608) “dan dibakar di dalam neraka”; mereka berhak dibakar dengan api Jahannam dan merasakan panasnya. “Sesungguhnya (yang disebutkan ini) adalah suatu keyakinan yang benar”; apa yang Kami kisahkan kepadamu hai Muḥammad, yaitu balasan bagi sābiqīn; orang-orang yang beruntung dan orang-orang yang celaka, adalah kebenaran pasti di mana tidak ada kebimbangan maupun sangsi, yaitu ‘ain-ul-yaqīn yang tidak mungkin dibantah. “Maka bertasbīḥlah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang Maha Besar”; karena itu, sucikanlah Tuhanmu dari kekurangan dan keburukan serta apa yang disebutkan oleh orang-orang zhālim. Ketika ayat ini turun, maka Nabi s.a.w. bersabda: “Jadikanlah ia bacaan dalam rukū‘ kalian.” Dan ketika turun ayat: “Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Maha Tinggi.” (al-A‘lā: 1), maka beliau bersaba: “Jadilah ia bacaan dalam sujūd kalian.” (3619).
Aspek Balāghah.
Dalam surat yang mulia ini terdapat sejumlah keindahan bahasa sebagai berikut ini:
Pertama, jinas isytiqāq (dua kata dari satu akar kata): (إِذَا وَقَعَتِ الْوَاقِعَةُ) dan jinas nāqish (dua kata yang lafazhnya mirip dan mendekati) pada: (فَرَوْحٌ وَ رَيْحَانٌ).
Kedua, thibāq (kesesuaian rangkaian ma‘na kalimat dari dua lafazh): antara (الْمَيْمَنَةِ) dan (الْمَيْمَنَةِ), antara (الْأَوَّلِيْنَ) dan (الْآخِرِيْنَ), antara (خَافِضَةٌ) dan (رَّافِعَةٌ). Menisbatkan mengangkat dan merendahkan kepada hari kiamat mengandung majaz ‘aqlī, sebab yang mengangkat dan merendahkan pada hakekatnya adalah Allah saja. Allah mengangkat para wali-Nya dan merendahkan para musuh-Nya.
Ketiga, tasybīh mursal mujmal:
وَ حُوْرٌ عِيْنٌ. كَأَمْثَالِ اللُّؤْلُؤِ الْمَكْنُوْنِ.
“Dan bidadari yang bermata jeli seperti mutiara yang tersimpan”.
ya‘ni bagaikan mutiara dalam hal putih dan jernihnya. Sisi tasybīhnya (persamaan) dibuang, sehingga menjadi mursal mujmal.
Keempat, mengagungkan dan memuliakan:
فَأَصْحَابُ الْمَيْمَنَةِ مَا أَصْحَابُ الْمَيْمَنَةِ.
“Dan golongan kanan, apa itu golongan kanan.”
Kelima, tafannun (seni; menyebutkan dua kata yang berbeda lafazh namun satu ma‘na) dengan menyebut (الْمَيْمَنَةِ) dan (الْيَمِيْنِ).
فَأَصْحَابُ الْمَيْمَنَةِ مَا أَصْحَابُ الْمَيْمَنَةِ.
وَ أَصْحَابُ الْيَمِيْنِ مَا أَصْحَابُ الْيَمِيْنِ.
“Dan golongan kanan, apa itu golongan kanan”
“Dan golongan kanan, apa itu golongan kanan”.
Keenam, menguatkan sanjungan dengan suatu yang menyerupai celaan:
لَا يَسْمَعُوْنَ فِيْهَا لَغْوًا وَ لَا تَأْثِيْمًا. إِلَّا قِيْلًا سَلَامًا سَلَامًا.
Sebab, salam tidak termasuk ucapan yang tidak berguna dan dosa. Maka ayat ini merupakan sanjungan kepada mereka. Ini sama dengan ucapan seseorang: “Tidak ada dosa bagiku, kecuali mencintaimu.”
Ketujuh, menertawakan dan menghina orang kafir di neraka:
هذَا نُزُلُهُمْ يَوْمَ الدِّيْنِ.
Ya‘ni siksa adalah suguhan pertama mereka di hari kiamat, sebab suguhan mestinya diberikan kepada kamu pertama kali.
Kedelapan, iltifāt (beralih) dari mukhāthab (obyek bicara orang kedua) ke ghā’ib (orang ketiga):
ثُمَّ إِنَّكُمْ أَيُّهَا الضَّالُّوْنَ الْمُكَذِّبُوْنَ
“Kemudian sesungguhnya kalian orang yang sesat dan orang yang mendustakan.”
Kemudian setelah itu Allah berfirman dengan iltifat:
هذَا نُزُلُهُمْ يَوْمَ الدِّيْنِ.
“Inilah suguhan kalian di hari kiamat.”
Hal itu untuk menghina mereka.
Kesembilan, jumlah mu‘taridhah (kalimat imbuhan) yang faedahnya memalingkan pikiran kepada pentingnya sumpah:
وَ إِنَّهُ لَقَسَمٌ لَّوْ تَعْلَمُوْنَ عَظِيْمٌ.
“Inilah sumpah – jika kalian tahu – agung.”
Yaitu kata (لَّوْ تَعْلَمُوْنَ) antara sifat dan yang disifati untuk menunjukkan pentingnya sumpah.
Kesepuluh, kesesuaian akhir-akhir ayat pada haruf akhir menambah keindahan ayat. Misalnya:
سِدْرٍ مَّخْضُوْدٍ. وَ طَلْحٍ مَّنْضُوْدٍ. وَ ظِلٍّ مَّمْدُوْدٍ.
فَشَارِبُوْنَ عَلَيْهِ مِنَ الْحَمِيْمِ. فَشَارِبُوْنَ شُرْبَ الْهِيْمِ.
Ini disebut sajak murasha‘ dan termasuk bahasa yang indah.
Hikmah Tersirat.
Kesesuaian antara benda yang digunakan sumpah yaitu bintang dan inti sumpah yaitu al-Qur’ān pada firman: “Maka Aku bersumpah dengan tempat beredarnya bintang-bintang. Sesungguhnya sumpah itu adalah sumpah yang besar kalau kamu mengetahui, sesungguhnya al-Qur’ān ini adalah bacaan yang sangat mulia”. Bintang diciptakan Allah agar menjadi petunjuk manusia di kegelapan darat dan laut. Sedangkan ayat-ayat al-Qur’ān menjadi petunjuk dalam kegelapan kebodohan dan kesesatan. Yang pertama kegelapan lahir dan yang kedua kegelapan bāthin. Dengan demikian, sumpah di sini mencakup dua petunjuk. Petunjuk jelas bagi bintang dan petunjuk bāthin bagi al-Qur’ān. Ini kalimat yang sangat sesuai. Wallāhu a‘lam.
Catatan:
- 353). Tafsīr-ul-Qurthubī, 17/223. Lihat secara rinci pendapat mengenai firman ini dalam kitab kami Tafsiru Ayat-il-Qur’an, juz 2, hal. 505.
- 354). Orang-orang yang menjadi sasaran firman ini hanya sedikit yang tahu tempat orbit bintang. Namun di masa modern ini, jelaslah mu‘jizat al-Qur’ān. Pakar astronomi berkata: “Termasuk galaksi di langit yang luas dan tidak diketahui batasnya adalah sebuah galaksi Bima Sakti yang mencakup jutaan bintang. Di antara bintang-bintang yang jumlahnya lebih dari berjuta-juta itu, terdapat sebuah bintang yang tidak bisa dilihat dengan mata telanjang dan ada yang hanya bisa dilihat dengan alat pembesar. Semua bintang itu bertasbih di cakrawala yang luas. Tidak mungkin garis edar sebuah bintang berdekatan dengan garis orbit bintang lain atau bertabrakan dengan bintang lain, kecuali sebagaimana mungkin tabrakan kapal di Laut Putih dan kapal di Samudra Indonesia dan keduanya berjalan dengan satu arah dengan kecepatan tinggi. Jelas keduanya tidak mungkin bertabrakan jika tidak mustahil. Lihat kitab Allāhu Wal-‘Ilm-il-Ḥadīts hal. 33.
- 355). Tafsīr-ul-Qurthubī, 17/225.
- 356). Idem.
- 357). Mukhtasharu Ibni Katsīr, 3/440.
- 358). Tafsīr-ul-Khāzin, 4/27.
- 359). Tafsīr-ul-Qurthubī, 17/232.
- 360). At-Tashīl, 4/94.
- 361). Diriwayatkan oleh Abū Dāwūd dan Ibnu Mājah serta di-shaḥīḥ-kan al-Ḥākim.