ثُمَّ إِنَّ عَلَيْنَا بَيَانَهُ.
Tsumma inna ‘alainā bayānah.
“Kemudian Kami menjelaskan isinya.” (al-Qiyāmah [75]: 19).
Kami akan segera menjelaskan pengertiannya kepadamu dan akan menjelaskan ma‘nanya sebagaimana Kami kehendaki.
كَلَّا بَلْ تُحِبُّوْنَ الْعَاجِلَةَ، وَ تَذَرُوْنَ الْلآخِرَةَ.
Kallā bal tuḥibbunal ‘ājilah. Wa tadzarūnal ākhirah.
“Tiadalah keadaan seperti yang kamu katakan, sebenarnya kamu mencintai kehidupan dunia. Dan kamu meninggalkan negeri akhirat.” (al-Qiyāmah [75]: 20-21).
Keadaan ini bukanlah seperti yang kamu katakan. Tetapi kamu didorong untuk mengatakan bahwa kamu tidak dihidupkan kembali dan tidak mendapat pembalasan apa-apa, karena kecintaanmu kepada dunia yang fana’ dan kamu mengutamakan nafsu dunia daripada akhirat.
وُجُوْهٌ يَوْمَئِذٍ نَاضِرَةٌ،
Wujūhuy yauma’idzin nādhirah.
“Muka-muka di hari itu bercahaya.” (al-Qiyāmah [75]: 22).
Wajah para mu’min yang tulus ikhlas pada hari kiamat tampak berseri-seri.
إِلَى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ.
Ilā rabbihā nāzhirah.
“Melihat kepada Tuhannya.” (al-Qiyāmah [75]: 23).
Dia memandang Tuhannya, tanpa ada hijab yang menghalangi. Jumhur ‘ulamā’ berpendapat bahwa seluruh umat manusia memandang Tuhannya pada hari kiamat sebagaimana mereka memandang bulan purnama. Ibnu Katsīr mengatakan: “Pendapat ini disepakati oleh para sahabat, tābi‘īn, dan ‘ulamā’ salaf.” Tetapi segolongan ‘ulamā’ tidak membenarkan pendapat ini.
Menurut Mujāhid, yang dikehendaki dengan “melihat” di sini adalah menanti apa yang akan diberikan oleh Allah.
وَ وُجُوْهٌ يَوْمَئِذٍ بَاسِرَةٌ، تَظُنُّ أَنْ يُفْعَلَ بِهَا فَاقِرَةٌ.
Wa wujūhuy yauma’idzim bāsirah. Tazhunnu an yuf‘ala bihā fāqirah.
“Ada muka-muka yang hari itu terlihat kecut. (61) mengira akan ada bahaya besar yang mematahkan tulang-belakangnya.” (al-Qiyāmah [75]: 24-25).
Wajah-wajah orang yang durhaka, pada hari kiamat tampak kecewa, karena meyakini dirinya akan ditimpa ‘adzāb yang besar, yang akan mematahkan tulang punggungnya.
كَلَّا إِذَا بَلَغَتِ التَّرَاقِيَ،
Kallā idzā balaghatit tarāqiy.
“Janganlah demikian, apabila nyawa sudah sampai ke puncak dada.” (72) (al-Qiyāmah [75]: 26).
Sadarilah apa yang pasti akan terjadi atas kamu. Hubungan dengan dunia akan terputus dan kamu berpindah ke negeri akhirat. Karena itu janganlah kamu mencintai dunia dengan berlebihan, tetapi hendaklah kamu juga berbuat untuk akhirat dengan seluruh kemampuanmu.
Ingatlah, ketika rūḥ telah sampai ke kerongkongan dan seluruh keluarga berserta sahabat mengelilinginya.
وَ قِيْلَ مَنْ رَاقٍ،
Wa qīla man…. rāq.
“Dikatakan: “Siapakah yang dapat memberi penawar?” (al-Qiyāmah [75]: 27).
Ketika menjelang ajal itu, keluarga dan para sahabat bertanya: “Adakah dokter yang sanggup mengobati? Adakah dukun yang masih sanggup menyembuhkan?”
وَ ظَنَّ أَنَّهُ الْفِرَاقُ،
Wa zhanna annahul firāq.
“Dan diyakini itulah waktu perpisahan.” (al-Qiyāmah [75]: 28).
Orang yang sedang menghadapi sakarat-ul-maut (menjelang kematian) itu meyakini bahwa apa yang tengah menimpanya hanyalah peringatan bahwa dia akan mati, bercerai dari hartanya, keluarga, anak, dan sanak-saudara.
وَ الْتَفَّتِ السَّاقُ بِالسَّاقِ،
Waltaffatis sāqu bis sāq.
“Dan betis (kesukaran) telah tindih-menindih.” (83) (al-Qiyāmah [75]: 29).
Pada masa itu, dia tidak dapat menggerakkan kakinya, betisnya, dan bercampur-baurlah rasa kecewa dan sedih, karena akan meninggal dunia dan rasa takut menghadapi akhirat.
إِلَى رَبِّكَ يَوْمَئِذٍ الْمَسَاقُ.
Ilā rabbika yauma’idzinil masāq.
“Pada hari itu akan dihalau kepada ketetapan Tuhanmu.” (al-Qiyāmah [75]: 30).
Pada hari kiamat, Tuhanlah tempat kembali. Manusia ada yang menuju ke surga dan ada yang menuju ke neraka. Mereka akan ditempatkan sesuai dengan ketetapan Allah.
فَلَا صَدَّقَ وَ لَا صَلَّى، وَ لكِنْ كَذَّبَ وَ تَوَلَّى،
Falā shaddaqa wa lā shallā. Wa lākin kadzdzaba wa tawallā.
“Dia tidak mau menerima kebenaran (membayar zakat) dan tidak menjalankan shalat. Tetapi dia mendustakan dan membelakangi.” (al-Qiyāmah [75]: 31-32).
Orang yang mendustakan kebenaran tidak mau membenarkan Allah dan mengesakan-Nya. Tidak mau memberikan sedekah, tidak mau shalat, tidak mau menunaikan fardhu-fardhu yang diwajibkan Allah kepadanya. Bahkan dia berpaling dari ketaatan dan menolak kebenaran.
ثُمَّ ذَهَبَ إِلَى أَهْلِهِ يَتَمَطَّى.
Tsumma dzahaba ilā ahlihī yatamaththā.
“Dia pergi kepada keluarganya dengan penuh kesombongan.” (al-Qiyāmah [75]: 33).
Tidak saja dia berpaling dari Allah dan menyangkal kebenaran, bahkan dia kembali kepada keluarganya dengan sikap congkak dan sombong, tidak mempedulikan apa yang telah diperbuatnya.
أَوْلَى لَكَ فَأَوْلَى،
Aulā laka fa aulā.
“Kecelakaan untuk kamu dan celakalah.” (al-Qiyāmah [75]: 34).
Bertubi-tubi kecelakaan (kerugian) akan menimpamu, karena itu tidak syakk (ragu) lagi bahwa kamu akan binasa. Qatādah meriwayatkan bahwa pada suatu hari Rasulullah memegang tangan Abū Jahal, sambil berkata: “Aulā laka fa aulā. Tsumma aulā laka fa aulā.”
Mendengar ucapan itu, Abū Jahal bertanya: “Hai Muḥammad, apakah kamu akan mengancam? Demi Tuhanmu, Tuhanmu tidak akan berbuat sesuatu terhadap diriku. Akulah orang yang termulia di dunia ini.” Maka dalam peperangan Badar, Abu Jahal menemui ajalnya. Dia tewas di tengah medan tempur.
ثُمَّ أَوْلَى لَكَ فَأَوْلَى، أَيَحْسَبُ الْإِنْسَانُ أَنْ يُتْرَكَ سُدًى.
Tsumma aulā laka fa aulā. Ayaḥsabu insānu ay yutraka sudā.
“Kemudian kecelakaan untukmu dan celakalah. Apakah manusia itu mengira bahwa mereka akan dibiarkan begitu saja?” (al-Qiyāmah [75]: 35-36).
Janganlah manusia mengira bahwa di dunia dia tidak dibebani dengan berbagai macam perintah dan tidak akan dihisab. Hidup di dunia adalah dengan menanggung beban dan tugas-tugas keagamaan. Kelak dia akan dihimpun di hadapan Allah, akan menuju surga atau neraka.
أَلَمْ يَكُ نُطْفَةً مِنْ مَنِيٍّ يُمْنَى، ثُمَّ كَانَ عَلَقَةً فَخَلَقَ فَسَوَّى، فَجَعَلَ مِنْهُ الزَّوْجَيْنِ الذَّكَرَ وَ الْأُنْثَى،
Alam yaku nuthfatam mim maniyiy yumnā. Tsumma kāna ‘alaqatan fa khalaqa fa sawwā. Fa ja‘ala minhuz zaujainidz dzakara wal untsā.
“Bukankah dia dahulunya adalah setetes mani yang ditumpahkan ke dalam rahim? Kemudian menjadi segumpal darah, lalu Tuhan menciptakan bentuknya, dan menyempurnakan kejadiannya. Tuhan menjadikan manusia dalam dua jenis, lelaki dan perempuan.” (al-Qiyāmah [75]: 37-39).
Bukankah orang yang mengingkari kekuasaan Allah berasal dari nuthfah (sperma) dalam sulbi ayahnya, yang ditumpahkan ke dalam rahim ibunya (perempuan) yang kemudian berproses menjadi segumpal darah, yang akhirnya berkembang menjadi manusia sempurna setelah dilahirkan ke dunia? Bahkan kemudian beranak-pinak, melahirkan anak lelaki dan anak perempuan dengan idzin dan taqdīr Allah juga.
أَلَيْسَ ذلِكَ بِقَادِرٍ عَلَى أَنْ يُحْيِيَ الْمَوْتَى.
Alaisa dzālika biqādirin ‘alā ay yuḥyiyal mautā.
“Apakah Tuhan yang begitu besar kekuasaan-Nya tidak berkuasa untuk menghidupkan kembali orang-orang yang telah mati?” (al-Qiyāmah [75]: 40).
Apakah Tuhan yang telah menciptakan manusia dari setetes mani (nuthfah) yang anyir baunya, kuasa menghidupkan kembali manusia setelah meninggal dunia, pada hari kiamat nanti? Menghidupkan kembali sekali lagi adalah lebih mudah bagi Allah daripada menciptakan kali pertama. Dari beberapa riwayat diperoleh keterangan bahwa Nabi s.a.w., apabila membaca ayat ini, beliau pun mengucapkan:
“Maha Suci Engkau, wahai Tuhanku. Engkau berkuasa menghidupkan kembali orang yang telah mati.” (HR. Aḥmad, Abū Dāūd, dan at-Tirmidzī).
Dalam ayat-ayat ini, Allah menjelaskan bahwa dunia mempunyai titik akhir dan tiap manusia akan menghadapi maut serta menderita kepedihan-kepedihannya. Orang kafir tidak mempergunakan waktunya di dunia untuk taat kepada Allah. Pada hari akhir nanti, semua umat manusia akan menerima pembalasan atas ‘amalan-‘amalan perbuatannya, dan bahwa menghidupkan kembali manusia setelah kematiannya adalah sesuatu yang mudah bagi Allah.