Surah al-Qiyamah 75 ~ Tafsir al-Qur’an-ul-Majid an-Nur (1/2)

Judul Buku:
TAFSĪR AL-QUR’ĀNUL MAJĪD AN-NŪR

JILID 4

Penulis: Prof. Dr. Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy
Diterbitkan oleh: Cakrawala Publishing

Rangkaian Pos: Surah al-Qiyamah 75 ~ Tafsir al-Qur'an-ul-Majid an-Nur

Surat Ke-75
AL-QIYĀMAH

Surat al-Qiyāmah bermakna hari kiamat, diturunkan di Makkah sesudah surat al-Qāri‘ah. dan terdiri dari 40 ayat.

A. KANDUNGAN ISI

Surat ini menjelaskan keadaan hari kiamat dan huru-haranya yang dialami umat manusia. Selain itu, juga menjelaskan janji Allah yang diberikan kepada Muḥammad berupa kemampuan menghafal al-Qur’ān dengan baik dan memahami ma‘nanya dengan sempurna.

Surat ini menegaskan bahwa Allah tidak akan membiarkan manusia berbuat sesuka hatinya tanpa ada balasan. Semua manusia harus mempertanggungjawabkan segala ‘amal usahanya dan tindak-tanduknya. Hal lain yang juga dijelaskan dalam surat ini adalah ketika manusia menghadapi sakarat-ul-maut (menjelang ajal). Tidak ada seorang pun yang dapat menolongnya, dan pada saat itu nyatalah bagi manusia tentang kebenaran apa yang sebelumnya mereka sangkal.

B. KAITAN DENGAN SURAT SEBELUMNYA

Persesuaian antara surat yang telah lalu (al-Muddatstsir) dengan surat ini, bahwa dalam surat yang telah lalu Allah berfirman: “Jangan begitu, mereka tidak beriman kepada hari kiamat.” Mereka tidak takut, karena tidak percaya bahwa manusia nantinya akan dihidupkan kembali.

Dalam surat ini, Allah menjelaskan dalil yang menunjukkan tentang adanya ‘adzāb dengan menerangkan ciri-ciri hari kiamat dan keadaan huru-haranya, serta asal mula kejadian makhlūq.

C. TAFSĪR SURAT AL-QIYĀMAH

1. Allah Bersumpah dengan Hari Kiamat. Manusia Menjadi Saksi atas Dirinya Sendiri.

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ

Bismillāhirraḥmānirraḥīm

Dengan (menyebut) nama Allah Yang Maha Pemurah, yang senantiasa mencurahkan rahmat-Nya.

 

لَا أُقْسِمُ بِيَوْمِ الْقِيَامَةِ، وَ لَا أُقْسِمُ بِالنَّفْسِ اللَّوَّامَةِ،

La uqsimu biyaumil qiyāmah. Wa lā uqsimu bin nafsil lawwāmah.
“Aku bersumpah dengan hari kiamat. Dan Aku bersumpah dengan jiwa yang amat tercela.” (al-Qiyāmah [75]: 1-2).

Allah bersumpah dengan hari kiamat dan dengan huru-haranya yang amat besar. Juga dengan jiwa yang menginginkan ketinggian derajat, menyesali perbuatan-perbuatan terkutuk yang telah dilakukan, serta menyesali terlalu sedikit mengerjakan perbuatan kebajikan.

Tuhan bersumpah dengan hari kiamat untuk menyatakan kebesaran hari itu. Allah berhak bersumpah dengan apa saja yang dikehendaki-Nya.

أَيْحْسَبُ الْإِنْسَانُ أَلَّنْ نَجْمَعَ عِظَامَهُ، بَلَى قَادِرِيْنَ عَلَى أَنْ نُسَوِّيَ بَنَانَهُ.

Ayaḥsabul insānu allan najma‘a ‘izhāmah. Balā qādirīna ‘alā an nusawwiya banānah.
“Apakah manusia mengira, bahwa Kami sama sekali tidak akan mengumpulkan tulang-belulangnya? Ya, Kami berkuasa membuat ujung anak jarinya.” (al-Qiyāmah [75]: 3-4).

Allah bersumpah dengan hari kiamat dan dengan jiwa yang banyak mencela dirinya bahwa Allah akan menghidupkan kembali seluruh umat manusia pada hari kiamat dengan membawa semua ‘amal kebajikan dan ‘amal kemaksiatan mereka. Maka, apakah manusia mengira bahwa Allah tidak sanggup mengumpulkan tulang-belulang mereka, bahkan berkuasa menjadikan ujung kaki mereka seperti telapak kaki unta yang tanpa jari, sehingga tangan dan kaki mereka tidak sanggup berkerja, sebagaimana yang bisa dilakukan oleh tangan-tangan dan kaki yang berjari.

Ada riwayat yang menyebutkan bahwa ayat ini diturunkan untuk membantah pendapat ‘Adī ibn Rabī‘ah dan al-Akhnān ibn Syuraik, dua orang tetangga Rasūlullāh yang berperangai amat buruk.

Pada suatu hari ‘Adī meminta Rasūl supaya menjelaskan masalah hari kiamat. Sesudah Rasūl memberi penjelasannya, ‘Adī mengatakan: “Demi Allah, walaupun aku menyaksikan hari itu dengan kedua mataku, aku tidak akan membenarkan kamu. Mungkinkah Allah mengumpulkan tulang-tulang yang telah hancur dan berserak-serakan?”

بَلْ يُرِيْدُ الْإِنْسَانُ لِيَفْجُرَ أَمَامَهُ،

Bal yurīdul insānu liyafjura amāmah.
“Sebenarnya manusia itu berkeinginan supaya tetap terus berada dalam kesalahan.” (al-Qiyāmah [75]: 5).

Anak Ādam mengetahui bahwa Allah mampu mengumpulkan tulang-belulang, tetapi mereka mengingkari hari bangkit agar tetap bergelimang dalam kemaksiatan. Sebab, manusia ingin hidup seperti binatang, jika tidak ada akal yang mengendalikannya dan tidak ada agama yang menuntunnya.

يَسْأَلُ أَيَّانَ يَوْمُ الْقِيَامَةِ.

Yas’alu ayyāna yaumul qiyāmah.
“Dia menanyakan: “Bilakah hari kiamat itu tiba?” (1) (al-Qiyāmah [75]: 6).

Manusia yang sombong dan angkuh itu bertanya: “Kapankah terjadi hari kiamat itu? Apakah sudah dekat ataukah masih lama?”

فَإِذَا بَرِقَ الْبَصَرُ،

Fa idzā bariqal bashar.
“Apabila pemandangan telah kacau-balau.” (al-Qiyāmah [75]: 7).

Apabila mereka telah melihat hal yang mendahsyatkan dan membingungkan.

وَ خَسَفَ الْقَمَرُ، وَ جُمِعَ الشَّمْسُ وَ الْقَمَرُ،

Wa khasafal qamar. Wa jumi‘asy syamsu wal qamar.
“Dan bulan hilang cahayanya. Dan matahari dan bulan dikumpulkan.” (al-Qiyāmah [75]: 8-9).

Apabila bulan dan matahari telah berkumpul pada suatu tempat, karena peraturan (hukum) alam menjadi berantakan.

يَقُوْلُ الْإِنْسَانُ يَوْمَئِذٍ أَيْنَ الْمَفَرُّ،

Yuqūlul insānu yauma’idzin ainal mafarr.
“Pada hari itu manusia bertanya: “Di mana tempat berlindung?” (al-Qiyāmah [75]: 10).

Apabila pemandangan telah kacau, bulan hilang cahayanya, serta matahari dan bulan menjadi satu, barulah manusia berkata: “Ke mana tempat melarikan diri dari Jahannam? Apakah ada tempat berlindung?”

كَلَّا لَا وَزَرَ،

Kallā lā wazar.
“Jangan cari tempat untuk lari, tidak ada tempat berlindung” (2) (al-Qiyāmah [75]: 11).

Tidak ada sesuatu yang dapat memelihara manusia dari ketetapan Allah. Tidak ada benteng, gunung, dan senjata yang dapat melindungi manusia dari ‘adzāb Allah.

إِلَى رَبِّكَ يَوْمَئِذٍ الْمُسْتَقَرُّ.

Ilā rabbika yauma’idzinil mustaqarr.
“Pada hari itu, hanya kepada Tuhan tempat kembali.” (3) (al-Qiyāmah [75]: 12).

Semua urusan pada hari itu berpulang kepada Allah, dan terserah kepada kehendak-Nya. Dimasukkan ke dalam surga siapa yang dikehendaki-Nya dan dimasukkan ke dalam neraka siapa yang dikehendaki-Nya.

يُنَبَّأُ الْإِنْسَانُ يَوْمَئِذٍ بِمَا قَدَّمَ وَ أَخَّرَ،

Yunabba’ul insānu yauma’idzim bimā qaddama wa akhkhar.
“Pada hari itu diberitakan kepada manusia tentang apa yang didahulukan dan apa pula yang diakhirkan.” (al-Qiyāmah [75]: 13).

Pada hari hisab itu diberitahukan kepada manusia tentang semua ‘amalannya, baik yang telah lama maupun yang baru, yang kecil maupun yang besar, yang telah dikerjakan ataupun yang belum dikerjakan. Semua akan diberi pembalasan menurut kadarnya masing-masing.

بَلِ الْإِنْسَانُ عَلَى نَفْسِهِ بَصِيْرَةٌ، وَ لَوْ أَلْقَى مَعَاذِيْرَهُ.

Balil insānu ‘alā nafsihī bashīrah. Wa lau alqā ma‘ādzīrah.
“Sebenarnya, manusia itu menjadi hujjah atas dirinya sendiri. Walaupun dia mengemukakan semua keudzurannya.” (al-Qiyāmah [75]: 14-15).

Sebenarnya, manusia sendiri menjadi saksi dan keterangan terhadap dirinya sendiri, tidak memerlukan saksi lain. Manusia akan dihisab dan diminta pertanggungjawaban, walaupun dia mengemukakan berbagai dalih dan mempertahankan dirinya.

لَا تُحَرِّكْ بِهِ لِسَانَكَ لِتَعْجَلَ بِهِ، إِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهُ وَ قُرْآنَهُ،

Lā tuḥarrik bihī lisānaka lita‘jala bih. Inna ‘alainā jam‘ahū wa qur’ānah.
“Janganlah kamu gerakkan lisanmu untuk bisa cepat membaca al-Qur’ān. (4) Sesungguhnya Kami yang mengumpulkannya dan membacakannya.” (al-Qiyāmah [75]: 16-17).

Hai Muḥammad, janganlah kamu menggerakkan lidah dan bibirmu untuk menyambut pembacaan al-Qur’ān sebelum Jibrīl selesai membaca wahyu yang disampaikan kepadamu. Janganlah kamu tergesa-gesa membacanya dan menghafalnya. Janganlah kamu merasa takut tidak dapat menghafalnya, karena Kami (Allah) mengumpulkan al-Qur’ān di dalam dadamu dan menetapkannya di dalam hatimu. Kami akan menaufiqkan kamu untuk membacanya dengan sempurna.

فَإِذَا قَرَأْنَاهُ فَاتَّبِعْ قُرْآنَهُ،

Fa idzā qara’nāhu fattabi‘ qur’ānah.
“Maka, apabila Kami membacakannya, maka turutilah bacaannya.” (al-Qiyāmah [75]: 18).

Apabila al-Qur’ān telah dibacakan kepadamu, maka dengarlah dengan baik-baik dan barulah kamu mengulangi pembacaannya dan ‘amalkan seluruh isinya, baik yang merupakan syarī‘at maupun yang merupakan hukum.

Ada riwayat yang menyebutkan, pada waktu permulaan wahyu diturunkan, Nabi sangat berkeinginan untuk bisa segera menghafal al-Qur’ān dan beliau terus menyambut pembacaan al-Qur’ān kata demi kata, sebelum Jibril selesai membacanya. Dalam surat Thāhā dan dalam surat ini, Allah melarang Nabi berbuat demikian.

Apakah hikmahnya pembicaraan pembacaan al-Qur’ān ditempatkan di tengah pembahasan masalah hari bangkit dan orang-orang yang mengingkarinya? Ada yang menyatakan bahwa penjelasan ini masih bersangkut-paut dengan penjelasan orang yang telah lalu. Sebab, tiap manusia mempunyai sebuah kitab catatan ‘amalan yang akan dibacanya pada hari kiamat. Apabila orang yang mendustakan hari bangkit diperintahkan membaca kitab catatan ‘amalannya, dia akan menggerakkan lidahnya dengan cepat supaya sebagian apa yang dibacanya tidak terdengar. Dia mengira bahwa yang demikian itu bisa melepaskan dirinya dari ‘adzāb. Karena itu, mereka dilarang membacanya dengan tergesa-gesa dan memerintahkan mereka untuk mengakui semua perbuatannya.

Kebanyakan ahli tafsir mengatakan: “Penjelasan ini diletakkan di sini untuk membantah orang yang tergesa-gesa, walaupun menyangkut kebajikan.”

Menurut pendapat ‘Abd-ul-Qādir al-Maghribī, ayat ini diturunkan kepada Nabi sewaktu Jibrīl sedang menyampaikan surat al-Qiyāmah. Nabi cepat-cepat menggerakkan bibirnya untuk segera menghafal surat itu.

Berkenaan dengan masalah itu, Allah menurunkan ayat ini. Jibrīl langsung menyampaikan ayat itu kepada Nabi bersamaan dengan ayat yang sedang dibacakan saat itu. (5)

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *