Surah al-Qalam 68 ~ Tafsir ash-Shabuni (3/4)

Dari Buku: SHAFWATUT TAFASIR
(Tafsir-tafsir Pilihan)
Jilid 5 (al-Fath – an-Nas)
Oleh: Syaikh Muhammad ‘Ali ash-Shabuni
Penerjemah: KH.Yasin
Penerbit: PUSTAKA AL-KAUTSAR.

Rangkaian Pos: Surah al-Qalam 68 ~ Tafsir ash-Shabuni

Lalu mereka panggil memanggil di pagi hari’; mereka saling memanggil ketika mereka bertiga di pagi hari untuk pergi ke kebun sesuai perjanjian: ““Pergilah di waktu pagi (ini) ke kebunmu jika kamu hendak memetik buahnya.””; pergilah kalian pagi-pagi buta ke buah, tanaman dan anggur kalian jika kalian ingin memetiknya. “Maka pergilah mereka saling berbisik-bisikan”; mereka pergi ke arah kebun dengan mengendap-ngendap dan pelan-pelan karena khawatir fakir miskin mengetahuinya. Mereka berkata: ““Pada hari ini janganlah ada seorang miskin pun masuk ke dalam kebunmu.””; janganlah kalian pada hari ini memasukkan seorangpun fakir miskin ke kebun dan jangan biarkan dia masuk. “Dan berangkatlah mereka di pagi hari dengan niat menghalangi (orang-orang miskin) padahal mereka mampu (menolongnya)”; mereka pergi ke kebun dengan tujuan pasti dan merasa memiliki kemampuan dan yakin akan sukses dalam rencananya. Ibnu ‘Abbās berkata: “Ya‘ni dengan kemampuan dan kemauan.” As-Suddī berkata: “Ya‘ni dengan dendam dan kemarahan.” Al-Ḥasan berkata: “Dengan kemelaratan dan kemiskinan.” (7081) Pendapat Ibnu ‘Abbās lebih kuat. “Tatkala mereka melihat kebun itu, mereka berkata: “Sesungguhnya kita benar-benar orang-orang yang sesat (jalan)”; namun ketika mereka melihat kebun mereka hitam terbakar, sebelumnya hijau subur dan kini berubah hitam gelap, mereka berkata: “Kita salah jalan dan ini bukan kebun kita.” Abū Ḥayyān berkata: “Mereka berkata demikian ketika pertama kali sampai ke kebun itu. Mereka menyangkal itu kebun mereka. Mereka yakin salah jalan. Namun kemudian setelah itu jelas itu kebun mereka. Mereka sudah yakin kebun mereka telah tertimpa ‘adzāb Allah dan dihancurkannya. Saat itulah mereka berkata: (7092) “Bahkan kita dihalangi (dari memperoleh hasilnya)””; kita tidak salah jalan, namun kitab dihalangi dari buah dan keuntungan dari kebun kita karena kejahatan kita kepada diri kita sendiri.

Berkatalah seorang yang paling baik pikirannya di antara mereka: “Bukankah aku telah mengatakan kepadamu, hendaklah kamu bertasbih (kepada Tuhanmu)?””; yang paling pandai dan cemerlang pendapatnya dari mereka berkata: “Hendaknya kalian mensucikan Allah dan mengucapkan “Subḥānallāh” atau “In syā’ Allāh”.” Dalam al-Baḥr-ul-Muḥīth disebutkan, dia mengingatkan dan mencela saudaranya karena tidak melakukan apa yang dia anjurkan kepada mereka, yaitu bertasbih. Seandainya mereka ingat Allah dan kebaikan-Nya, tentu mereka menuruti apa yang dia perintahkan kepada mereka, yaitu solidarita kepada fakir miskin dan mengikuti jejak ayah mereka. Ketika mereka tidak ingat Allah dan bermaksud tidak berbagi kepada fakir miskin, maka Allah menguji mereka.” (7103). Ar-Rāzī berkata: “Ketika mereka bermaksud tidak membayar zakat dan terpedaya oleh harta benda serta kekuatan mereka, maka yang paling mengerti masalah berkata kepada mereka. “Bertaubatlah kalian dari maksiat ini sebelum turunnya siksa. Ketika mereka melihat keadaan kebun mereka, maka dia mengingatkan mereka kepada ucapannya terdahulu, lalu mereka bertaubat, namun setelah runtuhnya kota Bashrah.” (7114) “Mereka mengucapkan: “Maha Suci Tuhan kami, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang zhālim.””; saat itu mereka berkata: “Maha Suci Tuhan kita dari tindakan kezhāliman, kita sendirilah yang menzhālimi diri kita sendiri karena tidak memberikan hak fakir miskin.

Lalu sebahagian mereka menghadapi sebahagian yang lain seraya cela-mencela”; mereka saling mencela dengan berkata: “Kamu yang mengusulkan pendapat itu kepada kami. Yang lain berkata: “Kamu yang usul.” Yang lain berkata: “Kamulah yang menakut-nakuti kami terhadap kemiskinan dan membuat kami tergila-gila dengan harta.” Itu yang dimaksud saling cela-mencela. (7125) “Mereka berkata: “Aduhai celakalah kita; sesungguhnya kita ini adalah orang-orang yang melampaui batas.””; mereka berkata: “Betapa celaka kita jika Tuhan tidak mengampuni kita, sebab kita durhaka dan bersalah dengan tidak memberi kepada fakir-miskin serta tidak bergantung kepada-Nya. Ar-Rāzī berkata: “Yang dimaksudkan: mereka memandang besar dosa mereka.” “Mudah-mudahan Tuhan kita memberikan ganti kepada kita dengan (kebun) yang lebih baik daripada itu”; semoga Allah memberi kita yang lebih baik daripada kebun kita karena taubat dan pengakuan akan kesalahan kita. “sesungguhnya kita mengharapkan ampunan dari Tuhan kita”; sebab kita mengharapkan ampunan-Nya dan kebaikan serta anugrah-Nya.

Allah menuturkan kisah di atas untuk mengajarkan kepada kita, bahwa orang kikir dan orang yang tidak memberikan hak fakir-miskin pada akhirnya binasa. Dia tidak mau memberikan sebagian hartanya di jalan Allah, karena itu seluruh hartanya hancur disertai murka Allah. Itulah sebabnya Allah meneruskannya dengan firman: “Seperti itulah ‘adzāb (dunia). Dan sesungguhnya ‘adzāb akhirat lebih besar jika mereka mengetahui”; siksa yang menimpa para pemilik kebun tersebut akan menimpa kaum Quraisy. Sungguh siksa akhirat lebih besar dan lebih berat daripada siksa dunia jika mereka mempunyai pemahaman dan menyadari. Ibnu ‘Abbās berkata: “Ini permisalan bagi penduduk Makkah ketika mereka keluar ke padang Badar dan mereka bersumpah bahwa mereka tidak akan kembali ke Makkah kecuali setelah membunuh Nabi Muḥammad s.a.w. dan para sahabatnya. Kemudian mereka meminum arak dan meni‘mati biduwanita menyanyi di atas mereka. Allah menggagalkan janji mereka. Mereka terbunuh dan ditawan serta kalah dalam peperangan Badar itu. Persis nasib para pemilik kebun di atas ketika mereka keluar rumah dan pulang dengan merugi.” (7136).

Setelah menuturkan keadaan kafir-kafir Makkah yang jahat, Allah menjelaskan keadaan orang mu’min yang bertaqwā. Allah berfirman: “Sesungguhnya bagi orang-orang yang bertaqwā (disediakan) surga-surga yang penuh keni‘matan di sisi Tuhannya”; orang-orang yang bertaqwa di akhirat memperoleh kebun-kebun yang hanya berisi keni‘matan saja tanpa dicampuri kekurangan dan kesulitan seperti halnya sifat dunia. “Maka apakah patut Kami menjadikan orang-orang Islam itu sama dengan orang-orang yang berdosa (orang kafir)?”; pertanyaan ini untuk menolak dan mencela. Maksud ayat ini, apakah Kami samakan orang yang taat dan orang durhaka, orang yang berbuat baik dan orang yang berbuat jahat? Tentu tidak. “Mengapa kamu (berbuat demikian): bagaimanakah kamu mengambil keputusan?”; ini pertanyaan keheranan terhadap mereka, di mana mereka menyamakan orang yang taat dengan orang yang durhaka, antara mu’min dengan kafir, sebab hal seperti ini tidak akan dinyatakan orang yang berakal.

Atau adakah kamu mempunyai sebuah kitab (yang diturunkan Allah) yang kamu membacanya?”; apakah pada kalian memiliki sebuah kitab yang diturunkan dari langit yang kalian pelajari, “bahwa di dalamnya kamu benar-benar boleh memilih apa yang kamu sukai untukmu.”; kalimat ini yang dimaksud dipelajari oleh mereka. Ya‘ni, apakah kalian pelajari dalam kitab tersebut bahwa kalian memperoleh apa yang kalian inginkan dan kalian mau? Ini kalimat celaan lain terhadap orang kafir karena persangkaan batil mereka. Karena mereka berkata: “Jika memang terjadi hari kebangkitan dan hari pembalasan, kita akan diberi yang lebih baik daripada orang mu’min, sebagaimana di dunia ini.” ath-Thabarī berkata: “Ini celaan dan cercaan bagi kaum kafir karena ucapan batil mereka dan harapan kosong mereka.” (7147). “Atau apakah kamu memperoleh janji-janji yang diperkuat dengan sumpah dari Kami, yang tetap berlaku sampai hari kiamat; sesungguhnya kamu benar-benar dapat mengambil keputusan (sekehendakmu)?”; ini adalah jawaban kalimat sumpah. Ya‘ni, apakah kalian memperoleh apa yang kalian kehendaki dan kalian putuskan? Ibnu Katsīr berkata: “Ya‘ni apakah kalian mempunyai perjanjian yang kuat, bahwa apa yang kalian inginkan akan kalian peroleh? (7158) “Tanyakanlah kepada mereka: “Siapakah di antara mereka yang bertanggung-jawab terhadap keputusan yang diambil itu?””; hai Muḥammad, tanyalah orang-orang sombong, siapakah di antara mereka yang menjamin persangkaan mereka itu? Pertanyaan ini mengandung ejekan terhadap mereka karena memutuskan hal-hal yang keluar dari logika dan ditolak oleh prinsip keadilan (sebab mereka menyamakan nasib orang kafir dan mu’min). “Atau apakah mereka mempunyai sekutu-sekutu? Maka hendaklah mereka mendatangkan sekutu-sekutunya jika mereka adalah orang-orang yang benar”; ataukah mereka mempunyai beberapa sekutu dan tuhan yang menjamin hal itu? Maka hendaknya mereka mendatangkan tuhan-tuhan itu jika mereka benar dalam klaim mereka. Dalam at-Tasḥīl disebutkan, firman Allah ini menunjukkan ketidakmampuan orang kafir dalam membuktikan klaim mereka. Maksud ayat ini, jika kalian mempunyai beberapa sekutu yang mampu melakukan sesuatu, maka hadirkanlah mereka agar kami melihat keadaan mereka.” (7169).

Setelah membatalkan persangkaan dan menjatuhkan logika mereka, Allah segera menyebutkan prahara akhirat sebagai peringatan akan akibat kebodohan mereka kelak. “Pada hari betis disingkapkan”; hai Muḥammad ingatkan kaummu akan hari kiamat yang berat itu. Di hari itu ditampakkan hal yang menakutkan dan sangat mengerikan. Ibnu ‘Abbās berkata: “Ya‘ni hari kiamat, hari kesedihan dan kesulitan.” (71710). Al-Qurthubī berkata: “Asal ungkapan dalam ayat ini adalah jika seseorang mengalami kondisi di mana dia harus bersungguh-sungguh, maka dia menyingkap (menyingsingkan pakaiannya) betisnya). Seperti orang yang dalam kondisi peperangan.” (71811) “dan mereka dipanggil untuk bersujud; maka mereka tidak kuasa”; orang kafir pada hari itu dipanggil untuk bersujud kepada Tuhan semesta alam, namun mereka tidak mampu, sebab tulang punggung seorang kafir menjadi satu ruas. Dalam hadits disebutkan: “Bersujud kepada Allah setiap mu’min lelaki dan mu’min wanita dan tinggallah orang yang bersujud di dunia karena riyā’ dan ingin tenar. Maka dia pergi untuk bersujud, maka punggungnya menjadi satu ruas tulang punggung.” (71912) “(dalam keadaan) pandangan mereka tunduk ke bawah”; pandangan mereka merendahkan dan tidak mampu mengangkatnya “lagi mereka diliputi kehinaan”; mereka dikelilingi oleh kehinaan. “Dan sesungguhnya mereka dahulu (di dunia) diseru untuk bersujud, dan mereka dalam keadaan sejahtera”; padahal ketika sehat badannya di dunia, mereka diperintah untuk bersujud, namun mereka menolak. Imām ar-Rāzī berkata: “Mereka tidak disuruh untuk bersujud sebagai ‘ibādah maupun menggugurkan kewajiban. Ini untuk mempermalukan dan mencela mereka karena mereka enggan sujud selama di dunia. Kemudian Allah mencabut kemampuan untuk bersujud, sehingga mereka bertambah resah dan menyesal atas kesalahan yang mereka lakukan. Mereka sudah diperintahkan bersujud di dunia saat persendian dan anggota badan mereka sehat dan segar bugar.” (72013).

Maka serahkanlah (ya Muḥammad) kepada-Ku (urusan) orang-orang yang mendustakan perkataan ini (al-Qur’ān)”; hai Muḥammad, biarkanlah Aku bersama orang yang mendustakan al-Qur’ān ini. Maksudnya serahkan urusan dia kepada-Ku sebab Aku yang menghukumnya. Ini ancaman paling menakutkan. “Nanti Kami akan menarik mereka dengan berangsur-angsur (ke arah kebinasaan) dari arah yang tidak mereka ketahui”; Kami akan meng-istidrāj (memberikan keni‘matan di dunia sebagai tahapan sebelum siksa) mereka, menjerumuskan mereka dengan cara memberikan ni‘mat sebagai jebakan kebinasaaan dan kehancuran tanpa mereka sadari. Al-Ḥasan berkata: “Banyak orang yang terfitnah kerena dipuji dan banyak orang yang terpedaya karena dosanya ditutupi.” (72114) Ar-Rāzī berkata: “Istidrāj adalah menjerumuskan sedikit demi sedikit menuju kehancuran. Setiap kali mereka berbuat dosa, Allah malah memberi ni‘mat yang baru dan melupakan mereka dari istighfār. Istidrāj terjadi pada mereka dengan memberi mereka ni‘mat, sebab mereka mengira ni‘mat itu adalah karena mereka lebih baik daripada kaum Muslimīn. Padahal hakekatnya hal itu penyebab kehancuran mereka.” (72215) “dan Aku memberi tangguh kepada mereka”; Aku beri mereka kesempatan dan Aku panjangkan umur mereka agar mereka bertambah dosa. “Sesungguhnya rencana-Ku amat teguh”; siksa-Ku terhadap orang kafir adalah keras dan berat. Dalam hadits disebutkan: “Sesungguhnya Allah memberikan kesempatan kepada orang zhālim, sampai jika dia mendapatkannya, maka dia tidak melepaskannya.” Kemudian Nabi s.a.w. membaca firman Allah: “Dan begitulah ‘adzāb Tuhanmu, apabila Dia meng‘adzab penduduk negeri-negeri yang berbuat zhālim. Sesungguhnya ‘adzāb-Nya itu adalah sangat pedih lagi keras.” (72316) (Hūd: 102).

Catatan:

  1. 708). Ath-Thabarī berkata: “Tafsīr yang paling tepat adalah mereka berjalan dengan maksud yang mereka sanggupi. Ini menguatkan pendapat Ibnu ‘Abbas dan itulah yang kami pilih.
  2. 709). Al-Baḥr-ul-Muḥīth, 8/313.
  3. 710). At-Tafsīr-ul-Kabīr, 30/90.
  4. 711). Idem.
  5. 712). At-Tafsīr-ul-Kabīr, 30/91.
  6. 713). Tafsīr-ul-Qurthubī, 18/246.
  7. 714). Tafsīr-uth-Thabarī, 29/23.
  8. 715). Mukhtashar Ibni Katsīr, 5/537.
  9. 716). At-Tasḥīl, 4/140.
  10. 717). Mukhtashar Ibni Katsīr, 5/538.
  11. 718). Tafsīr-ul-Qurthubī, 18/249.
  12. 719). Bagian dari hadits panjang yang diriwayatkan Bukhārī Muslim.
  13. 720). At-Tafsīr-ul-Kabīr, 30/96.
  14. 721). Tafsīr-ul-Qurthubī, 18/251.
  15. 722). At-Tafsīr-ul-Kabīr, 30/96.
  16. 723). Diriwayatkan Bukhārī Muslim.