Surah al-Qalam 68 ~ Tafsir ash-Shabuni (2/4)

Dari Buku: SHAFWATUT TAFASIR
(Tafsir-tafsir Pilihan)
Jilid 5 (al-Fath – an-Nas)
Oleh: Syaikh Muhammad ‘Ali ash-Shabuni
Penerjemah: KH.Yasin
Penerbit: PUSTAKA AL-KAUTSAR.

Rangkaian Pos: Surah al-Qalam 68 ~ Tafsir ash-Shabuni

Tafsir Ayat

Nūn, demi qalam dan apa yang mereka tulis”; Nūn termasuk huruf Hija’iyyah yang muqaththa‘ah dibaca terpisah-pisah. Huruf ini disebutkan untuk mengingatkan kemu‘jizatan al-Qur’ān. (6951) Allah bersumpah demi pena yang digunakan umat manusia untuk menulis ‘ilmu pengetahuan. Sebab pena adalah saudaranya lisan dan termasuk ni‘mat Allah kepada hamba-Nya. Maksud ayat ini, Allah bersumpah demi pena dan apa yang ditulis oleh orang-orang yang menulis bahwa Muḥammad adalah benar sebagai utusan Allah, tidak seperti tuduhan orang-orang kafir sebagai manusia bodoh dan gila. Sumpah dengan pena dan tulisan menunjukkan keutamaan menulis dan membaca, sebab manusia diberi kelebihan di antara makhlūq hidup lainnya dengan mengerti tulisan untuk menjelaskan isi hatinya. Seperti firman Allah: “yang mengajar (manusia) dengan perantaraan (pena), Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (al-‘Alaq: 4-5). Ini cukup menjadi bukti kemuliaan pena karena Allah bersumpah dengannya pada surat ini. Hal ini juga untuk memuliakan kedudukan orang-orang yang menulis dan mengangkat derajat orang yang ber‘ilmu. Pena berfungsi sebagai sarana menjelaskan. Lisan dan pena adalah penjaga ‘ilmu pengetahuan. Ibnu Katsīr berkata: “Sudah jelas, pena yang dimaksud dalam ayat adalah yang digunakan untuk menulis. Sumpah Allah ini mengingatkan umat manusia terhadap ni‘mat-Nya yang diberikan kepada mereka, yaitu mengajarkan tulisan yang menghasilkan ‘ilmu pengetahuan.” (6962). “Berkat ni‘mat Tuhanmu, kamu (Muḥammad) sekali-kali bukan orang gila”; hai Muhammad, berkat anugrah Allah berupa kenabian, kamu bukanlah orang gila sebagaimana dikatakan orang-orang bodoh dan jahat dari orang musyrik. Dengan ni‘mat Allah, kamu orang yang pandai, tidak sebagaimana dikatakan mereka: “Hai orang yang diturunkan al-Qur’ān kepadanya, sesungguhnya kamu benar-benar orang yang gila.” (al-Ḥijr: 5). Ibnu ‘Athiyyah berkata: “Ayat kedua ini adalah pesan inti dari sumpah Allah. Firman Allah: “Berkat ni‘mat Tuhanmu,” adalah kalimat imbuhan, mu‘taridhah yang disampaikan namun tidak memiliki kaitan langsung dengan konteksnya. Sebagaimana anda berkata kepada seseorang: Anda – berkat puji Allah – adalah orang besar.” (6973).

Dan sesungguhnya bagi kamu benar-benar pahala yang besar yang tidak putus-putusnya”; bagi kamu ada pahala yang tidak ada putusnya dan tidak berkurang atau penderitaan yang kamu alami dalam da‘wah. “Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung”; kamu hai Muḥammad, sungguh mempunyai akhlāq mulia dan tinggi serta menghimpun segala kemuliaan. Pada dirimu, Allah mengumpulkan semua kelebihan dan kesempurnaan. Betapa Nabi Muḥammad memiliki keagungan yang puncaknya tidak terjangkau oleh manusia, sebab Allah menyifati beliau dengan firman-Nya: “Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung”. Akhlāq beliau adalah ‘ilmu, kesantunan, tidak pemarah, sangat pemalu, banyak ‘ibādah dan banyak derma, sabar, syukur, tawādhu‘, zuhud, belas kasihan, bergaul dengan baik, memiliki etika dan sifat-sifat mulia lainnya. (6984) Betapa indah syair seorang pujangga memuji beliau:

Jika Allah menyanjungmu dengan sesuatu yang layak
Maka di mana sanjungan makhlūq?

Maka kelak kamu akan melihat dan mereka (orang-orang kafir) pun akan melihat”; hai Muḥammad, kamu akan melihat dan juga kaum kafir Makkah ketika siksa menimpa mereka: “siapa di antara kamu yang gila”; siapakah di antara kalian yang gila? Apakah kamu seabgaimana kebohongan mereka, ataukah mereka karena mereka kafir dan berpaling dari hidāyah Allah? Al-Qurthubī berkata: “Yang dimaksud gila adalah karena gangguan syaithān. Sasaran sebagian besar ayat di surat ini adalah al-Walīd bin al-Mughīrah dan Abū Jahal. Orang-orang kafir berkata: “Pada diri Muḥammad ada syaithān.” Inilah yang mereka maksudkan dengan gila. Maka Allah berfirman: “Besok mereka akan tahu, siapakah yang diganggu syaithān yang menyebabkan gila dan kacaunya akal? (6995). “Sesungguhnya Tuhanmu, Dia-lah Yang Paling Mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya; dan Dia-lah Yang Paling Mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”, dan Allah-lah yang tahu hamba yang bertaqwa dan mendapat petunjuk kepada agama yang benar. Ini alasan firman sebelumnya dan menguatkan janji dan ancaman. Seakan-akan Allah berfirman: “Sesungguhnya merekalah yang gila, bukan kamu. Sebab mereka memiliki akal pikiran namun tidak berguna karena tidak mempergunakannya untuk hal-hal yang menyelamatkan mereka.”

Maka janganlah kamu ikuti orang-orang yang mendustakan (ayat-ayat Allah)”; karena itu, janganlah kamu taat kepada para pimpinan kaum kafir yang sesat dan mendustakan risalahmu serta mendustakan al-Qur’ān. Ar-Rāzī berkata: “Para petinggi Makkah mengajak Nabi s.a.w. agar memeluk agama nenek-moyang mereka. Allah kemudian melarang beliau untuk menaati mereka. Larangan ini mendorong agar beliau menyelisihi mereka dengan keras.” (7006). “Maka mereka menginginkan supaya kamu bersikap lunak lalu mereka bersikap lunak (pula kepadamu)”; mereka berharap kamu hai Muḥammad toleransi dengan mereka dan berharap kamu meninggalkan sebagian hal yang tidak mereka sukai demi menyenangkan mereka. Dengan begitu mereka mau toleransi kepadamu dan berbuat hal yang sama. Dalam at-Tasḥīl disebutkan, yang dimaksud toleransi di sini adalah dalam hal yang tidak seharusnya dilakukan oleh Nabi Muḥammad s.a.w. Diriwayatkan dalam sebuah hadits, orang-orang kafir berkata kepada Nabi s.a.w.: “Jika kamu menyembah berhala-berhala kami, tentu kamu mau menyembah Tuhanmu.” Maka turunlah ayat ini. (7017).

Dan janganlah kamu ikuti setiap orang yang banyak bersumpah lagi hina”; dan kamu hai Muḥammad, janganlah taati orang yang suka bersumpah, baik dalam hal kebenaran maupun kesalahan. Sebab dia banyak bersumpah dan meremehkan kebesaran Allah, “lagi hina”; durhaka dan rendah “yang banyak mencela”; menggunjing yang dosanya sama dengan memakan daging orang lain “yang kian ke mari menghambur fitnah”; dia berjalan mengadu domba antara orang-orang dan membuat fitnah di antara mereka. Dalam hadits Rasulūllāh s.a.w.: “Tidak masuk surga pengadu-domba.” (7028). “yang sangat enggan berbuat baik”; kikir dan tidak mau membelanjakan hartanya di jalan Allah “yang melampaui batas lagi banyak dosa”; dia zhālim, bahkan sangat zhālim dan memusuhi orang, banyak dosa dan berlaku jahat. Semua sifat tersebut, al-Qur’ān menggunakan redaksi shīghat mubalāghah (ḥallāf, masysyā’, mannā’, hammāz) yang menunjukkan banyak dan sering “yang kaku kasar”; kasar, keras hatinya keras dan sulit mengerti dan memahami suatu masalah “selain dari itu”; di samping sifat-sifat tercela di atas, dia juga memiliki sifat buruk lain: “yang terkenal kejahatannya”; dia anak zina. Sifat terakhir adalah sifat yang paling buruk dan memalukan. Sebab dia hanya mengklaim saja dan tidak mempunyai nasab (keturunan) yang benar. ‘Ulamā’ tafsir berkata: “Ayat-ayat di atas turun kepada al-Walīd bin al-Mughīrah. Dia hanya mengaku termasuk suku Quraisy namun sebenarnya tidak termasuk mereka. Dia diangkat anak oleh bapaknya dan menganggapnya sebagai anaknya setelah delapan belas tahun dia lahir. Padahal sebelumnya tidak diketahui siapa ayahnya. Ibnu ‘Abbās berkata: “Setahu kami, tidak seorang pun disifati Allah dengan sifat-sifat buruk di atas selain dia (al-Walīd bin Mughīrah). Allah mencelanya. ‘Aibnya ini tidak akan terpisah darinya selamanya. Dia dicela dengan sifat-sifat di atas. Sebab jika sperma buruk perzinaan, maka anak juga buruk. Diriwayatkan bahwa ketika turun ayat-ayat di atas, al-Walīd menemui ibunya dan berkata: “Muḥammad menyifatiku dengan sembilan sifat. Semua jelas dan saya mengerti kecuali yang kesembilan. (Yang dia maksudkan adalah “zanīm”; dia anak zina). Jika ibu tidak jujur, saya penggal kepalamu dengan pedang. Ibunya berkata: “Ayahmu impoten, lalu aku khawatir akan hartaku. Maka aku berzina dengan seorang penggembala. Jadi kamu adalah anak penggembala itu. Tidak ada yang tahu bahwa al-Walīd adalah anak zina sampai turunnya ayat itu.” (7039) “karena dia mempunyai (banyak) harta dan anak”; karena al-Walīd berharta dan beranak banyak. Dia berkomentar terhadap al-Qur’ān semaunya dengan mengatakan kitab suci itu hanya dongengan orang-orang dahulu.” (70410).

Apabila dibacakan kepadanya ayat-ayat Kami, ia berkata: “(Ini adalah) dongeng-dongengan orang-orang dahulu kala.””; jika ayat-ayat al-Qur’ān dibacakan kepada penjahat itu, dia berkata dengan menghina: “Ini takhayyul dan kebohongan orang-orang dahulu. Muḥammad membuatnya dan menisbatkannya kepada Allah.” Allah berfirman membantah al-Walīd dan mengancamnya dengan siksa: “Kelak akan Kami beri tanda dia di belalai(nya)”; Kami akan membuat sebuah tanda pada hidungnya agar menjadi ciri khasnya sampai kematian menjeputnya. Yang dimaksudkan belalai dalam ayat ini adalah hidung. Ini untuk menertawakannya. Sebab dengan belalai, maka hal itu adalah puncak penghinaan baginya. Ibnu ‘Abbās berkata: “Kami akan memukul hidungnya dengan pedang dan menjadikannya sebagai tanda abadi di hidungnya selama hidupnya. Pada perang Badar, hidungnya dipukul dengan pedang.” (70511) Imām ar-Rāzī berkata: “Karena wajah adalah anggota badan paling mulia dan hidung adalah bagian dari wajah yang paling mulia, maka bangsa ‘Arab menjadikannya sebagai tempat kehormatan dan harga diri. Tanda pada wajah adalah puncak kehinaan, sebab tanda pada wajah adalah ‘aib dan cacat. Lalu bagaimana jika tanda itu ada di hidung?” (70612).

Kemudian Allah menuturkan pemilik-pemilik kebun sekaligus ujian-Nya kepada mereka dengan membinasakan tanaman dan buah-buahan. Allah menjadikannya sebagai perumpamaan dan gambaran bagi kaum kafir Makkah. Allah berfirman: “Sesungguhnya Kami telah menguji mereka (musyirikīn Makkah) sebagaimana Kami telah menguji pemilik-pemilik kebun”; Kami menguji penduduk Makkah dengan paceklik dan kelaparan karena doa Nabi s.a.w., sebagaimana Kami menguji para pemilik kebun yang berisi bermacam-macam buah-buahan. Kami perintahan penduduk Makkah untuk bersyukur kepada Kami atas ni‘mat-ni‘mat yang mereka terima, sebagaimana Kami perintahkan para pemilik kebun untuk bersyukur dan memberikan hak fakir miskin. ‘Ulamā’ tafsir berkata: “Seorang lelaki Muslim di dekat kota San‘ā’ (kini Ibukota Yaman) mempunyai sebuah kebun yang berisi bermacam-macam pohon kurma, padi dan buah. Jika tiba waktu panen, dia memanggil para fakir miskin, lalu memberikan hak mereka secara penuh dan menghormati mereka dengan penghormatan yang paling tinggi. Ketika sang ayah (lelaki itu) meninggal dunia, ketiga orang anaknya mewarisinya. Mereka berkata: “Keluarga kita banyak dan harta kita sedikit, kita tidak bisa memberi fakir miskin sebagaimana yang dilakukan ayah kita.” Mereka bermusyāwarah, lalu memutuskan bahwa mereka tidak akan memberikan apapun kepada fakir miskin dan mereka akan memetik buah mereka pada saat pagi agar tidak diketahui fakir miskin. Mereka bersumpah atas hal itu. Maka Allah mengirimkan api kepada kebun mereka pada malam hari. Api itu membakar kebun mereka serta menghancurkan buah mereka. Pagi harinya, mereka pergi ke kebun, namun mereka tidak melihat pohon maupun buah di sana. Mereka mengira salah jalan, namun kemudian mereka yakin dan jelas bagi mereka bahwa itu kebun mereka. Meraka menyadari, Allah menghukum mereka karena niat buruk. Akhirnya, mereka menyesal dan bertaubat, namun tidak ada gunanya.” (70713). “ketika mereka bersumpah bahwa mereka sungguh-sungguh akan memetik (hasil)nya di pagi hari”; ketika mereka bersumpah bahwa mereka pasti memanen buah kebun mereka pada waktu pagi sebelum fakir miskin keluar menemui mereka “dan mereka tidak mengucapkan “In syā’ Allāh””; dan mereka tidak mengucapkan “In syā’ Allāh” sampai mereka bersumpah dan yakin akan hal itu. “lalu kebun itu diliputi melapetaka (yang datang) dari Tuhannya ketika mereka sedang tidur”; Allah menimpakan bencana kepada kebun itu ketika mereka tidak menyadari apa yang terjadi, sebab mereka tidur. Al-Kalabī berkata: “Allah mengirim api dari langit pada kebun mereka, lalu kebun mereka terbakar ketika mereka sedang tidur. “maka jadilah kebun itu hitam seperti malam yang gelap-gulita”; kebun mereka berubah menjadi seperti padi yang dipanen dan menjadi rumput yang kering. Ibnu ‘Abbās berkata: “Kebun mereka berubah menjadi seperti abu hitam. Mereka tidak memperoleh manfaat dari kebun mereka karena dosa mereka.”

Catatan:

  1. 695). Lihat catatan ‘ilmiyyah yang kami tulis pada awal surat al-Baqarah mengenai huruf muqaththa‘ah.
  2. 696). Mukhtasharu Ibni Katsīr, 3/ 532.
  3. 697). Al-Baḥr-ul-Muḥīth, 8/307. Abū Ḥayyān berkata: “Ayat ini seperti menjadi bukti yang autentik, bahwa pengakuan Nabi, adalah benar, sebab ni‘mat dan kelebihan yang diberikan Allah begitu jelas diberikan pada beliau. Baik berupa kefasihan sempurna, akal yang yang cerdas atau tindakan yang menyenangkan dan semua sifat mulia ada pada beliau. Semua itu membatalkan tuduhan orang kafir.”
  4. 698). Bukhārī dan Muslim meriwayatkan, bahwa Anas r.a. berkata: “Kami melayani Nabi s.a.w. selama sepuluh tahun. Beliau tidak pernah sama sekali berkata kepadaku: “Hus.” Dan tidak pernah bersabda terhadap apa yang kami lakukan: “Kenapa kamu melakukannya?” Dan tidak pernah bersabda terhadap sesuatu yang tidak kami lakukan: “Seharusnya kamu melakukannya.” Beliau orang yang paling baik budi pekertinya. Kami tidak pernah menyentuh sutra maupun yang suatu benda yang lebih halus daripada telapak tangan Nabi s.a.w.” diriwayatkan Bukhārī dan Muslim. Bukhārī meriwayatkan bahwa ‘Ā’isyah ditanya mengenai akhlāq Nabi s.a.w., maka dia menjawab: “Akhlāqnya adalah al-Qur’ān.” Ya‘ni beretika dengan etika al-Qur’ān.
  5. 699). Tafsīr-ul-Qurthubī, 18/229.
  6. 700). At-Tafsīr-ul-Kabīr, 30/83.
  7. 701). At-Tasḥīl, 4/138.
  8. 702). Diriwayatkan Muslim.
  9. 703). Lihat Tafsīr-ul-Jalālain dan ash-Shāwī 4/233.
  10. 704). Ath-Thabarī dan Ibnu Katsīr mendukung pendapat ini, bahwa ayat ini berhubungan dengan ayat selanjutnya. Ya‘ni karena dia mempunyai banyak harta dan anak, dia bertakabbur dengan harta dan anaknya dan berkata: bahwa al-Qur’ān hanyalah takhayyul dan kebatilan. Selain keduanya berpendapat, bahwa ayat ini berhubungan dengan hal sebelumnya. Ya‘ni janganlah kamu taat kepadanya karena dia banyak harta dan anak.
  11. 705). Tafsīr-uth-Thabarī, 29/18.
  12. 706). At-Tafsīr-ul-Kabīr, 30/86.
  13. 707). Lihat: At-Tafsīr-ul-Kabīr, 30/87 dan Al-Baḥr-ul-Muḥīth, 8/311.

Unduh Rujukan:

  • [download id="21503"]

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *